Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma laring merupakan keganasan yang sering terjadi pada saluran nafas dan
masih merupakan masalah karena penanggulangannya mencakup berbagai segi.
Sebagai gambaran perbandingan, di luar negeri karsinoma laring menempati tempat
pertama dalam urutan keganasan di bidang THT. Tumor Ganas laring lebih sering
mengenai laki-laki dibanding perempuan, dengan perbandingan 11:1. Terbanyak pada
usia 56-69 tahun.1, 2 Tumor ganas laring merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor
ganas di seluruh dunia. Pada tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas
laring di Amerika Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal.1,2

Laring memainkan peranan sentral dalam mengkoordinasikan fungsi saluran


pencernaan-pernafasan atas termasuk respirasi, berbicara dan menelan. Laring dibagi
menjadi supraglotis, glotis, dan subglotis. Laring adalah tempat tersering kedua untuk
kasus karsinoma sel skuamosa pada daerah kepala dan leher. Karsinoma sel skuamosa
merupakan jenis tumor ganas laring primer yang paling sering ditemukan, yaitu lebih
dari 95% kasus. Sisanya tumor yang berasal dari kelenjar ludah minor, neuroepithelial,
tumor jaringan lunak dan jarang timbul dari tulang kartilaginosa laring.3

Etiologi pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal
yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu rokok, alkohol, sinar
radioaktif, polusi udara radiasi leher dan asbestosis. Meningkatnya insiden karsinoma
laring sangat berkaitan dengan merokok dimana seorang perokok memiliki risiko 6 kali
lipat untuk menderita tumor kepala dan leher dibandingkan dengan bukan perokok dan
lebih banyak terjadi pada laki-laki. Namun, akhir-akhir ini jumlah penderita perempuan
semakin meningkat karena adanya kecenderungan makin banyaknya wanita yang
merokok.3,4

Untuk menegakkan diagnosa tumor ganas laring masih belum memuaskan, hal ini
disebabkan antara lain karena letaknya dan sulit untuk dicapai sehingga dijumpai bukan
pada stadium awal lagi. Biasanya pasien datang dalam keadaan yang sudah berat sehingga
hasil pengobatan yang diberikan kurang memuaskan. Yang terpenting pada
penanggulangan tumor ganas laring ialah diagnosa dini.
Secara umum, penatalaksanaan karsinoma laring meliputi pembedahan, radiasi,
sitostatika ataupun terapi kombinasi, tergantung stadium penyakit dan keadaan umum
penderita. Tujuan utama penatalaksanaan karsinoma laring adalah mengeluarkan
bagian laring yang terkena tumor dengan memperhatikan fungsi respirasi, fonasi serta
fungsi sfingter laring.1,2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Laring

1.1.1 Struktur penyangga

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang
berpasangan ataupun tidak . Disebelah superior terdapat os hioideum, struktur yang
berbentuk U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring
lateral. Meluas dari masing masing sisi bagian tengah atau os atau korpus hioideum
adalah suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu
prosesus pendek yang mengarah ke superior.tendon dan otot otot lidah, mandibula ,
dan kranium, melekat pada permukaan superior korpus kedua prosesus. Saat menelan
kontraksi otot otot ini mengangkat laring. Namun bila laring dalam keadaan stabil,
maka otot otot tersebut akan membuka mulut dan akan berperan dalam gerakan lidah.
Di bawah os hioideum dan menggantung pada ligamentum tirohioideum adalah dua
alae atau sayap kartilago tiroidea (perisai).Kedua alae menyatu di garis tengah pada
sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria, lalu membentuk jakun (Adam apple). Pada
tepi masing masing alae, terdapat kornu superior dan inferior. Artikulasio kornu
inferius dan kartilago krikoidea, memungkinkan sedikit pergeseran atau pergerakan
antara kartilago tiroidea dan krikodea.5

Kartilago krikoidea yang juga mudah teraba dibawah kulit, melekat pada kartilago
tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum.Tidak seperti struktur penyokong lainnya
dari jalan pernapasan, kartilago krikoidea berbentuk lingkaran penuh dan tak mampu
mengembang.Permukaan posterior atau lamina krikoidea cukup lebar, sehingga
kartilago ini tampak seperti signet ring. Intubasi endotrakea yang lama sering kali
merusak lapisan mukosa cincin dan dapat menyebabkan stenosis subglotis, didapat
disebelah inferior, kartilago trakealis pertama melekat pada krikoid lewat ligamentum
interkartilaginosa.5

Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea


masing-masing berbentuk sepertipiramid berisi tiga. Basis piramidalis berartikulasi
dengan krikoid pada artikulasio krikoatenoidea, sehingga dapat terjadi gerakan
meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Tiap kartilago aritenoidea mempunyai dua
prosesus , prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis. Ligamentum
vokalis meluas ke anterior dan masing masing prosesus vokalis dan berisensi ke
dalam kartilago tiroidea di garis tengah. Prosesus membentuk dua perlima bagian
belakang dari korda vokalis.Sementara ligamentum vokalis membentuk bagian
membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar.Ujung bebas dan permukaan
superior korda vokalis suara membentuk glotis.Bagian laring diatasnya disebut
supraglotis dan dibawahnya subglotis.Terdapat dua pasang kartilago kecil didalam
laring yang tidak memiliki fungsi.Kartilago kornikulata terletak dalam jaringan diatas
menutupi aritenoid. Disebelah lateralnya, yaitu didalam plika ariepiglotika terletak
kartilago kuneiformis.5

Gambar 1: Anatomi laring

1.1.2 Otot otot laring

Otot otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok.Otot ekstrinsik yang terutama
bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot intrinsik menyebabkan gerakan
antara struktur struktur laring sendiri.Otot ekstrinsik dapat digolongkan menurut
fungsinya. Otot depresor atau otot- otot leher (omohioideus, sternotyroideus,
sternohyoideus) berasal dari bagian inferior. Otot elevator (milohyoideus,
geniohyoideus, genioglosus, hyoglosus, digastrikus dan stilohyoideus ) meluas dari os
hyoideum ke mandibula, lidah dan prosessus stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus
walaupun digolongkan sebagai otot otot leher, terutama berfungsi sebagai elevator.
Melekat pada os hioideum dan ujung posterior alae kartilago tiroidea adalah otot
konstriktor medius dan inferior yang melingkari faring disebelah posterior dan
berfungsi pada saat menelan. Serat serat paling bawah dari otot konstriktor inferior
berasal dari krikoid, membentuk krikofaringeus yang kuat, yang berfungsi sebagai
sfingter esophagus superior.5

Gambar 2 : Otot laring intrinsik dan ekstrinsik


2.2 Definisi

Tumor ganas (neoplasma) secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Dengan kata
lain, neoplasma merupakan massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan
dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal meskipun rangsangan
yang memicu perubahan tersebut telah berhenti. Tumor ganas (kanker) laring
merupakan suatu neoplasma yang ditandai dengan sebuah tumor yang berasal dari
epitel struktur laring.8,9

2.3 Etiologi

Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal
yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar
radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko
terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.

Virus yang juga dikaitkan dengan kejadian karsinoma laring yaitu HPV (Human
Papilloma Virus) dan Eibstein Barr Virus. HPV dikategorikan menjadi risiko tinggi
(tipe 16,18), medium (tipe 31,33), risiko rendah (tipe 6,11).10

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi dan


stadium tumor ganas laring terbagi atas :11,12,13,14,15

1. Supraglotis

2. Glotis

3. Subglotis

Yang termasuk supraglotis adalah : permukaan posterior epiglotis yang terletak di


sekitar os hioid, lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os hioid,
pita suara palsu, ventrikel. Yang termasuk glottis adalah : pita suara asli, komisura
anterior dan komisura posterior. Yang termasuk subglotis adalah : dinding subglotis.

Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC :


1. Tumor primer (T)
Supra glottis :
T is : tumor insitu
T0 : tidak jelas adanya tumor primer l
T1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika
ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi.
T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau
pita suara palsu
T2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi
T3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi ke
dalam.
T4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.

Glotis :
T is : tumor insitu
T0 : tak jelas adanya tumor primer
T1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan
posterior) dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli
T 1b : tumor mengenai kedua pita suara
T2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun
subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu.
T3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita
suara
T4 : tumor dengan perluasan ke luar laring

Sub glotis :
T is : tumor insitu
T0 : tak jelas adanya tumor primer
T1 : tumor terbatas pada subglotis
T 1a : tumor terbatas pada satu sisi
T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi
T2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita
Suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu
T3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara
T4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring.

2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)


N x : kelenjar tidak dapat dinilai
N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar.
N 1 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter 3 cm
N 2 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 3 cm - 6cm.
N 2b:klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter 6 cm
N 3 :kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral
N 3 a :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm N 3 :klinis
terdapat kelenjar bilateral
N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral

3. Metastase jauh (M)


M 0 : tidak ada metastase jauh
M1 : terdapat metastase jauh
4. Stadium :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0 T1, T2, T3, N1, M0
Stadium IV : T4, N0, M0

Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1

2.5 Manifestasi Klinis

1. Serak:

Gejala utama Ca laring, merupakan gejala dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan
karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar
celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran dan
ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik
disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik,
terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadangkadang
menyerang saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran
kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi semakin kasar,
mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang kadang bisa afoni
karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit. Hubungan antara serak
dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor laring tumbuh pada
pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Apabila tumor tumbuh di
daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita
suara, serak akan timbul kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat
merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala
pertama tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang
mengganjal di tenggorok. Tumor hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali
tumornya eksentif.16

2. Suara bergumam (hot potato voice):

Fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumam.16

3. Dispnea dan stridor:

Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap tumor
laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan
kotoran atau secret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan
transglotik terdapat kedua gejala tersebut.Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat
dikompensasi. Pada umunya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang
baik.16

4.Nyeri tenggorok:

Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam.8

5.Disfagia:

Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus
piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas
postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia): menandakan adanya tumor ganas
lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.16
6. Batuk dan hemoptisis:

Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan
tertekanya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering
terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.

7. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi
tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.16

2.6 Patofisiologi

Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun.


Kebanyakan pada orang laki-laki . hal ini berkaitan dengan kebiasaan merokok,
bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk logam berat.
Bagaimana terjadinya belum di ketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala
dan leher menyebabkan 5.5% dari semua penyakit keganasan terutama neoplasma
laryngeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.1m Bila kanker terbatas pada pita
suara (intrinsik) , biasanya menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan
pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe. Bila kanker
melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi. Tumor supraglotis
dan subglotis harus cukup besar sebelum mengenai pita suara sehingga
mengakibatkan suara serak. Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya
pada waktu pita suara masih dapat digerakan.
Pada fasa lanjut dapat disertai rasa sakit untuk menelan atau berbicara. Sesak
napas terjadi bila rima glotis tertutup atau hamper tertutup 80%. Sesak napas tidak
timbul mendadak tetapi perlahan lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi
sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar. Stridor terjadi akibat
sumbatan jalan napas. Bila sudah dijumpai pemebesaran kelenjar berarti tumor
sudah masuk dalam stadium lanjut. Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba
menyebabkan pembengkakan.16

Bila tumor laring mengadakan perluasan kearah faring akan timbul gejala disfagia,
rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit kearah telinga.17

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita sudah
cukup lama, tidak bersifat hilang - timbul meskipun sudah diobati dan bertendens
makin lama menjadi berat. Penderita kebanyakan adalah seorang perokok berat yang
juga kadang kadang adalah seorang yang juga banyak memakai suara berlebihan dan
salah ( vocal abuse ), peminum alkohol atau seorang yang sering atau pernah terpapar
sinar radioaktif, misalnya pernah diradiasi didaerah lain. Pada anamnesis kadang
kadang didapatkan hemoptisis, yang bisa tersamar bersamaan dengan adanya TBC paru,
sebab banyak penderita menjelang tua dan dari sosial - ekonomi yang lemah.6 Sesuai
pembagian anatomi, lokasi tumor laring dibagi menjadi 3 bagian yakni supraglotis,
glottis dan subglotis, dan gejala serta tanda tandanya sesuai dengan lokasi tumor
tersebut.

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik sering didapatkan tidak adanya tanda yang khas dari luar,
terutama pada stadium dini / permulaan, tetapi bila tumor sudah menjalar ke kelenjar
limfe leher, terlihat perubahan kontur leher, dan hilangnya krepitasi tulang rawan
tulang rawan laring.7 Pemeriksaan untuk melihat kedalam laring dapat dilakukan
dengan cara tak langsung maupun langsung dengan menggunakan laringoskop unutk
menilai lokasi tumor, penyebaran tumor yang terlihat ( field of cancerisation ), dan
kemudian melakukan biopsi.1

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium darah,


juga pemeriksaan radiologik. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru , ada
atau tidaknya proses spesifik dan metastasis diparu. Foto jaringan lunak ( soft tissue )
leher dari lateral kadang kadang dapat menilai besarnya dan letak tumor, bila
tumornya cukup besar. Apabila memungkinkan, CT scan laring dapat memperlihatkan
keadaan tumor dan laring lebih seksama, misalnya penjalaran tumor pada tulang rawan
tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastase kelenjar getah bening leher. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi-anatomik dari bahan biopsi laring, dan
biosi jarum-halus pada pembesaran kelenjar limf dileher. Dari hasil patologi anatomik
yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.1

a) Radiologi konvensional

Radiografi jaringan lunak leher merupakan studi survey yang baik. Udara
digunakan sebagai agen kontras alami untuk memvisualisasikan lumenlaring dan
trakea. Ketebalan jaringan retropharyngeal dapat dinilai. Epiglottis dan lipatan
aryepiglottic dapat divisualisasikan. Namun, radiografi tidak memiliki peran dalam
manajemen kanker laring saat ini.1
Gambar 8: Lateral radiograph of the neckshowing the different structures of the
larynx: a, vallecula; b, hyoid bone; c, epiglottis; d, preepiglotticspace; e, ventricle
(air-space between false and true cords); f, arytenoid

b. Computed Tomography Scan (CT)

Penentuan stadium awal pada diagnosa klinis berdasarkan pada keterlibatan


beberapa tempat pada supraglotis laring dan mobilitas pita suara. Pencitraan dapat
membantu dalam mengidentifikasi perluasan submukosa transglotis yang tersembunyi.
Kriteria pencitraan lesi T3 adalah perluasan ke ruang pra-epiglotis (paralayngeal fat)
atau tumor yang mengerosi kebagian dalam korteks dari kartilago tiroid. Tumor yang
mengerosi ke bagian luar korteks kartilago tiroid merupakan stadium T4a. Ada yang
berpendapat bahwa kerterlibatan korteks bagian luar saja tanpa keterlibatan sebagian
besar tendon bisa memenuhi kriteria pencitraan lesi T4.

Tumor stadium T4 (a dan b) sulit diidentifikasikan hanya dengan pemeriksaan


klinis saja, karena sebagian besar kriteria tidak dapat diniai dengan palpasi dan
endoskopi. Pencitraan secara Cross-sectional diindikasikan untuk mengetahui
komponen anatomi yang terlibat untuk menentukan stadium tumor. Untuk
mendapatkan gambaran yang baik, ketebalan potongan tidak boleh lebih dari 3 mm dan
laring dapat dicitrakan dalam beberapa detik, dan dengan artefak minimal akibat
gerakan.
Gambar 2: Normal larynx. Axial CT scan shows the normal appearance of the
larynx during quiet respiration. The true vocal cords are abducted.

Axial view on CT scan of an advanced right laryngeal tumor invading through the
thyroid cartilage

An 89-year-old man with supraglottic laryngeal cancer. A and B, The standard neck CT images at the
supraglottic (A) and glottic (B) levels show a large soft-tissue mass involving the pre-epiglottic space
(arrow) and right aryepiglottic fold, extending to the right true vocal cord (arrowhead). C and D,
Coronal (C) and sagittal (D) reformatted images of the standard neck CT scan show transglottic
extension of the tumor without subglottic extension. E and F, Dedicated laryngeal CT images with
straw-blowing (E) and breath-holding (F) at the level of true vocal cord show no change in the location of
vocal cord, indicating the fixed vocal cord. Clinically, vocal cord mobility is impaired but not fixed. This
is staged as T3 for pre-epiglottic extension.

C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI memiliki beberapa kelebihan daripada CT yang mungkin membantu dalam


perencanaan pre-operasi. Pencitraan koronal membantu dalam menentukan
keterlibatan ventrikel laryngeal dan penyebaran transglottic. Pencitraan Midsagittal
membantu untuk memperlihatkan hubungan antara tumor dengan komisura anterior.
MRI juga lebih unggul daripada CT untuk karakterisasi jaringan spesifik. Namun,
pencitraan yang lebih lama dapat menyebabkan degradasi gambar akibat pergerakan

Gambaran MRI tumor laring tipe supraglotis


2.8 Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan kanker laring ada 3 cara penanggulangan yang lazim


dilakukan, yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatika ataupun kombinasi daripadanya,
tergantung pada stadium penyakit dan keadaan pasien. Stadium I dan stadium II
biasanya suaranya berat dan kasar dapat dilakukan operasi laringektomi sebagian atau
dilakukan radiasi dan stadium III dilakukan operasi pengangkatan laring total dengan
diseksi leher . modalitas tambahan seperti kemoradiasi dapat menjadi pertimbangan,
dan stadium IV dilakukan operasi rekonstruksi bila masih memungkinkan atau hanya
mendapat radiasi.1,2

1. Pembedahan

Jenis pembedahan yang dilakukan dapat berupa laringektomi total ataupun parsial,
tergantung lokasi ataupun penjalaran tumor, atau diseksi leher radikal bila terdapat
penjalaran ke kelenjar limfa leher.19,20

a. Laringektomi
Laringektomi parsial Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma
laring stadium I yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor
stadium II.
Laringektomi total Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring
mulai dari batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin
trakea. Prosedur operasi ini digunakan pada penatalaksanaan tumor
ganas laring lanjut atau prosedur lanjutan ketika operasi laringektomi
parsial dan radioterapi sebelumnya gagal
b. Diseksi leher radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor
supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan
metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
2. Radioterapi

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2


dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini
adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad. Radioterapi
dengan dosis menengah telah dilakukan oleh Ogura, Som, Wang, dkk, untuk
tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh kerusakan maksimal dari
tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya.
Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad selama 46 minggu diikuti dengan
laringektomi total.21,22

3. Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ.
Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80120 mg/m2 dan 5 FU 8001000 mg/m2.22

4. Rehabilitasi
Laringektomi menyebabkan cacat pada pasien dengan dilakukannya pengangkatan
laring beserta pita suara yang ada di dalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan
bernapas melalui stoma permanen di leher. Untuk itu rehabilitasi terhadap pasien
diperlukan. Baik yang bersifat umum, yakni agar pasien dapat memasyarakat dan
mandiri kembali, maupun rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara (voice
rehabilitation), agar pasien dapat berbicara (bersuara), sehingga berkomunikasi verbal.
Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni
semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula ataupun dengan suara
yang dihasilkan dari esofagus (esophageal speech) melalui proses belajar.
Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini, tetapi
dapat di simpulkan menjadi 2 faktor utama ialah faktor fisik dan psiko-sosial. Suatu hal
yang membantu adalah pembentukan penghimpunan pasien-pasien tuna-laring untuk
menyokong aspek psikis dalam lingkup yang luas dari pasien, baik sebelum maupun
sesudah operasi.19
2.9 Komplikasi

Adapun komplikasi kanker laring adalah:23

1. Gangguan vokal
Penderita beresiko kehilangan suara dikarenakan dilakukannya pengangkatan
pita suara pada pembedahan laringektomi.
2. Timbulnya fistel
Fistel faringokutan dapat muncul pada daerah insisi operasi, paling sering pada
minggu pertama setelah operasi. Sesuai dengan lokasinya, fistel faringokutan
dan orokutan merupakan fistel tersering pada pasien dengan reseksi yang
ekstensif, faringektomi dan prosedur operasi setelah gagal kemoradiasi
3. infeksi luka
perawatan luka operasi memegang peranan penting dalam proses penyembuhan
luka dan pencegahan terjadinya fistel. Tanda-tanda luka insisi yang terinfeksi
harus diperhatikan seperti kemerahan, udem, dan basah. Oral hygine yang baik
pasca operasi sangat penting untuk mengontrol infeksi dan mencegah bau
mulut.
4. Gangguan menelan
Masalah menelan muncul setelah laringektomi karena adanya aliran balik ke
faring saat proses menelan. Residu yang terlihat didaerah faring saat
pemeriksaan dengan video-fluoroskopi merupakan tanda utama penurunan
tekanan otot faring. Penurunan fungsi faring ini dikarenakan hilangnya
gerakan anterior dan superior faring selama proses elevasi hyolaryngeal dan
retraksi dasar lidah yang diperlukan untuk membantu pembukaan Upper
Esophageal Sphincter (UES). Masalah pada proses menelan ditandai dengan
keluhan mengganjal di tenggorok. Waktu transit faring menjadi dua kali lebih
sehingga memperpanjang waktu makan pasien.
2.10 Prognosis

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan
tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium
I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium IV 40 50%.
Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate
sebesar 50%.1
Bab 3
Kesimpulan

Gejala dini Karsinoma laring adalah suara parau. Suara parau lebih dari 4 minggu
harus dicari teliti penyebabnya. Gejala lebih lanjut antara lain sesak napas, stridor,
rasa nyeri di tenggorok dan batuk/batuk darah.
Diagnosis karsinoma laring ditegakkan berdasar anamnesa, pemeriksaan klinis,
radiologi dan biopsy.
Terapi karsinoma laring tergantung lokasi & stadium, dapat berupa laringektomi
parsial atau total dg atau tanpa diseksi leher, radioterapi, kemoterapi atau kombinasi.
Dengan prognosis tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor
dan kecakapan tenaga ahli.
Daftar Pustaka

1. Hermani B, Abdurrachman H. Tumor Laring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar


N, Bashiruddin J, Restuti RD editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher.Edisi 7. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012: h.
176-180.
2. Robert A.Weisman, MD, Kris S.Moe, MD, Lisa A. Orloff, MD. 2003.
Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. BC
Decker: Ontario. Hal. 1255-1292.
3. Shah J, Patel SG, Singh B. Larynx and Trachea. In: Shah J, Patel SG, Singh B,
editors. Head and Neck Surgery and Oncology. Philadelphia: Elsevier Mosby.
2012. p. 811-992.
4. Vasan NR. Cancer of the Larynx. In: Lee KJ, ed, Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery, 9th. New York, McGraw-Hill, 2008, p. 676-06.
5. Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR Jr, Higler
PA editors. Boies Buku ajar penyakit THT. Edisi Bahasa Indonesia, Alih
bahasa Wijaya C. Jakarta EGC.1997: 369-77.
6. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A. Short Practice of Otolaryngylogy
India : All Publisher & Disatributor, 1993. h. 335-43.
http://medlinux.blogspot.com/2012/02/tumor-laring.html
7. Haryuna Sh, Tumor Ganas Laring. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari www .
repository.usu.ac.id (prognosis)
8. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Dalam Soepardi EA, Iskandar N Ed.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher.
Edisi ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001. h. 156-62.
9. Spector, Ogura JH. Tumor Laring dan Laringofaring. Dalam. Ballenger JJ, Ed.
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid I. Edisi ke-13.
Jakarta : Binarupa Aksara. 1997. h. 621-77.
10. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A. Short Practice of Otolaryngylogy
India : All Publisher & Disatributor, 1993. h. 335-43.
11. Spector, Ogura JH. Tumor Laring dan Laringofaring. Dalam. Ballenger JJ, Ed.
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid I. Edisi ke-13.
Jakarta : Binarupa Aksara. 1997. h. 621-77.
12. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A. Short Practice of Otolaryngylogy
India : All Publisher & Disatributor, 1993. h. 335-43.
13. Basyiruddin H. Penanggulangan Karsinoma Laring di Bagian THT RSAPD
Gatot Subroto. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati. Ujung Pandang,
1986. h. 185-93.
14. Mulyarjo. Hasil Pembedahan pada Karsinoma Laring di UPF THT RSUD DR.
Sutomo Surabaya. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati, Batu Malang,
27- 29 Oktober 1996. h. 1075-9.
15. Hermani B, abdurrachman H. Tumor laring. Dalam : Soepandi EA, Islandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD editors, Buku ajar ilmu kesehatan telingan hidung
tenggorokan kepala dan leher. Edisi 6. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2008: h.
194-98
16. Doenges. E Marilyn. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC. Jakarta,
2000.
17. Long Barbara C. Perawatan Medikal Bedah. IAPK Pajajaran. Bandung, 1996.
18. Sjamsuhidayat. Buku ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta, 2005.
19. Hermani B, Abdurachman H. Tumor Laring in Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. 2014. h. 176-180.
20. Klarisa C, Fauziah F. Kanker Laring in Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.
Jakarta. Media Aesculapius. 2014. h. 1060-1064.
21. Spector, Ogura JH. Tumor Laring dan Laringofaring. Dalam. Ballenger JJ, Ed.
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid I. Edisi ke-13.
Jakarta : Binarupa Aksara. 1997. h. 621-77.
22. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A. Short Practice of Otolaryngylogy
India : All Publisher & Disatributor, 1993. h. 335-43.
23. Irfandy D, Rahman S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas Laring.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2015. h. 618-624.

Anda mungkin juga menyukai