Anda di halaman 1dari 22

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat

LAPORAN KASUS
STATUS ILMU PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU KEBIDANAN
RSUD CENGKARENG, JAKARTA BARAT

Nama Mahasiswa : Salfarina Azira Mat Saridan Tanda Tangan


Nim : 112015200
........................
Dr. Pembimbing/Penguji: dr. Johanes Benarto, Sp. OG

IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap Ny. S Nama Suami Tn. S


Tanggai Lahir 13 Februari 1976 Usia 42 tahun
Usia Ibu 41 tahun Agama Islam

Agama Islam Suku Bangsa Jawa

Suku Bangsa Jawa Alamat Jembatan Gantung

Alamat Jembatan Gantung Pekerjaan Suami Pedagang

I.ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal: 19 Maret 2017 Jam: 09.30 WIB

Keluhan utama:
Pasien dengan G4P1A2 dengan usia kehamilan 32 33 minggu datang dengan keluhan rasa
mules 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien wanita berusia 41 tahun merupakan pasien rujukan dari puskesmas Cengkareng. Pasien
mengatakan mules yang kencang dirasai satu hari sebelum ke puskesmas. Menurut perkiraan
pasien, mules dirasakan dalam 1-2 menit dalam satu kali dan mules dirasakan setiap jam. Pasien
juga mengeluh pusing dan nyeri kepala yang berat. Pasien menyangkal adanya nyeri ulu hati,
penglihatan yang kabur serta menyangkal merasakan mual. Pasien dirujuk ke RSUD Cengkareng
kerana tekanan darah yang tinggi dan pasien dirawat inap. 5 jam setelah di ruang perawatan,
pasien mengalami pendarahan secara tiba-tiba yang keluar dari kemaluan pasien.

1
Riwayat Haid:

Haid Pertama :12 tahun

Siklus Haid : 28 hari, teratur

Lama Haid : 5 hari dengan 2-3 kali ganti pembalut/hari

Hari Pertama Haid Terakhir : 8 Augustus 2016

Taksiran Persalinan : 15 Mei 2017

Riwayat Pernikahan
Status : Sudah menikah
Kawin : Pertama kali
Lamanya dengan suami sekarang : 14 tahun
Riwayat Obstetri

Hamil Usia Jenis Penyulit Penolo Jenis BB/PB Usia/Kondi


ke kehamila persalinan ng kelamin lahir si sekarang
n

I 30 Operasi Pre Dokter Laki-Laki 2500gra 8 tahun,


minggu Sectio Eklamps m/ 45cm sehat
Caesarean ia

II 10 Abortus
minggu

III 15 Abortus
minggu

IV 32 Operasi Pre Dokter Laki-Laki 1500 Dirawat di


minggu Sectio Eklamps gram/ 42 Ruang NICU
Caesarean ia, cm
Solusio
Placenta

Ante Natal Care


Pasien sudah 3 kali memeriksakan kehamilannya di puskesmas di wilayah tempat tinggal pasien.
Pasien pernah USG 2 kali.

2
Riwayat Keluarga Berencana
Pasien pernah mempunyai riwayat menggunakan KB suntik setiap 3 bulan tetapi sejak 5 tahun
kebelakangan pasien tidak menggunakan KB.

Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal / Saluran kemih
(-) Cacar air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit prostat
(-) Batuk rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-)Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Korea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Perdarahan otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu Lain Lain: (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab
(Tahun) Meninggal
Kakek (ayah) 72 Laki-laki Meninggal Tidak diketahui
Nenek (ayah) 68 Perempuan Meninggal Tidak diketahui
Kakek (ibu) 70 Laki-laki Meninggal Tidak diketahui
Nenek (ibu) 67 Perempuan Sehat -
Ayah 51 Laki-laki Sehat -
Ibu 50 Perempuan Sehat -
Saudara 28 Laki-laki Sehat -
Suami 42 Laki-laki Sehat -
Anak 8 Laki-laki Sehat

3
Adakah kerabat yang menderita :
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Artritis
Rematisme
Hipertensi
Jantung
Ginjal
Lambung

Riwayat Persalinan

Pasien pernah melahirkan secara operasi Sectio Caesarean dengan pre eklampsia satu kali dan
mempunyai riwayat keguguran sebanyak dua kali. Kehamilan ini merupakan kehamilan keempat
pasien.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Selama kehamilan pasien tidak pernah merokok ataupun minum alkohol.

II. PEMERIKSAAN JASMANI


1.Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 36,7 C
Tekanan darah : 175/89 mmHg // 182/120 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernapasan (Frekuensi dan tipe) : 20 kali/menit, reguler, torakoabdominal
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 62 kg
Keadaan gizi : Berat badan obese (IMT = 25,8 kg/m2)

Kepala : Normosefalus
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor
(3mm/3mm), Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deviasi septum nasi (-), Pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : Gangguan pendengaran (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-), Pembesaran KGB (-)
Thoraks

4
a) Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Retraksi ICS (-), Pelebaran ICS (-)
Palpasi : Gerakan dada simetris.
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-/-), Wheezing (-/-), Suara nafas (+)
b) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba
Perkusi :Batas jantung kanan : sternalis dekstra ICS 4
: Batas jantungkiri : 2 jari medial dari axillasinistra ICS 5
: Batas atas jantung : sternal kiri ICS 3
Auskultasi : Murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas
Superior : Hangat (+), edema (-)
Inferior : Hangat (+), edema (+)
2.Pemeriksaan Payudara

Tidak dilakukan

3.Pemeriksaan Perut

Inspeksi : Membuncit, simetris, striae gravidarum (+)


Palpasi : Tinggi fundus uteri 29 cm. Pemeriksaan Leopold tidak dilakukan
Auskultasi : Pemeriksaan Denyut Jantung Janin 158x/menit

III.PEMERIKSAAN GINEKOLOGI
1. Dengan spekulum : Tidak dilakukan
2. Pemeriksaan bimanual : Pembukaan cerviks 1 cm, portio tebal dan lunak, mucosal discharge,
air ketuban negatif, tidak didapatkan darah

5
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal
Nama Test Hasil Flag Unit Nilai Rujukan
Pemeriksaan
19 Maret HEMATOLOGI
2017 Darah Rutin
Hemoglobin 13.4 g/dL 12-14
Hematokrit 36 % 37-43
Leukosit 13 800 /mm3 5000-10.000
Trombosit 186, 000 /mm3 150000-400000
Elektrolit
Natrium 142 mmol/L 136-146
Kalium 4,0 mmol/L 3,5-4,0
Chlorida 111 mmol/L 94-111
Fungsi Liver
AST (SGOT) 28 U/L <35
ALT (SGPT) 22 U/L <35
Hemostasis
Masa Pendarahan 230 menit 1-6 (Ivy)
/BT
Fungsi Ginjal
Ureum 20 mg/dl 15-50
Creatinin 1.1 mg/dl 1.4
Urinalisa
Combur Test ++
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat Jenis 1.025 1.005-1.030
pH 7,0-8,0 5-8
Glukosa Negatif
Bilirubin Negatif
Keton Negatif
Darah ++
Protein ++

6
Urobilinogen 0.2 EU/dL 0.1-1.0
Nitrit Negatif
Leukosit Esterase Negatif
Enzim Jantung
LDH 540 U/L 200-400

V. RINGKASAN (RESUME)

Wanita, 41 tahun dengan G4P1A2 usia kehamila 32-33 minggu, pasien rujukan dari puskesmas
dengan hipertensi dalam kehamilan. Pasien mengeluh perutnya mulai mules satu hari sebelum masuk
rumah sakit dan mengeluh pusing dengan nyeri kepala. Keluhan seperti nyeri ulu hati, mual, muntah
serta pemandangan jadi kabur disangkal oleh pasien. Tekanan darah pasien diobservasi dengan hasil
tekanan darah yang melebihi 160/90 mmHg. Pemeriksaan laboratorium yang bermakna didapatkan
proteinuria +2 dan peningkatan enzim LDH dari batas normal.

VI. DAFTAR MASALAH


DIAGNOSIS PASTI
G4P1A2, hamil 32 33 minggu, dengan Pre Eklampsia Berat, suspek Solusio Placenta

DASAR DIAGNOSIS
1. Evaluasi tekanan darah lebih dari obervasi dalam interval 4 jam dimana tekanan sistol lebih
dari 140 mmHg dan tekanan diastol lebih daripada 90 mmHg
2. Tekanan darah yang melebihi 160/90 mmHg
3. Secara klinis, pasien mengalami pusing dan nyeri kepala berat dimana menrupakan salah satu
gejala klinis pre eklampsia
4. Pemeriksaan Laboratorium, Urinalisa didapatkan proteinuria +2 dan peningkatan enzim LDH
yang bermakna
5. Pendarahan merah segar yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir curiga pasien
mengalami solusio placenta

7
VII. RENCANA TERAPI

Non medika mentosa


1. Terminasi kehamilan pada 32 minggu dengan operasi sectio Caesaerean (emergency)

Medika Mentosa
1. Nifedipin 4x10 mg
2. Dopamet 2x300 mg
3. Furosemid 1x40 mg
4. Ceftriaxone 1x1 gr
5. Magnesium Sulfate 40% loading dose 4 gram

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad fungsionam : Dubia Ad Bonam
Ad sanationam : Dubia Ad Bonam

FOLLOW UP

20 Maret 2017
S: Pasien mengatakan sakit pada luka operasi, keluhan lain disangkal. ASI masih belum keluar
O: TD; 137/105 mmHg. TFU 1 jari dibawah umbilikus, luka operasi diverban baik
A: Nifas hari pertama, post sectio Caseran a/i PEB dan Solusio Placenta
P: Observasi tekanan darah dan terapi medika mentosa dilanjutkan. Motivasi mobilisasi pada pasien

21 Maret 2017
S: Pasien mengeluh pusing
O: TD; 107/86 mmHg. TFU 1 jari dibawah umbilikus, luka operasi diverban baik
A: Nifas hari kedua, post sectio Caseran a/i PEB dan Solusio Placenta
P: Observasi tekanan darah dan terapi anti hipertensi dilanjutkan. Motivasi mobilisasi pada pasien

22 Maret 2017
S: Pasien mengatakan tiada keluhan
O: TD; 107/86 mmHg. TFU 1 jari dibawah umbilikus, luka operasi diverban baik
A: Nifas hari ketiga, post sectio Caseran a/i PEB dan Solusio Placenta
P: Terapi dilanjutkan. Rencana pulang. Edukasi pasien untuk kontrol pemeriksaan kontrol tekanan
darah.

8
TINJAUAN PUSTAKA
PREEKLAMPSIA

Pendahuluan

Preeklampsia-eklampsia sebagai salah satu penyakit hipertensi dalam kehamilan, adalah


antara penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi pada ibu hamil. Upaya meningkatkan kesehatan
ibu dan menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) telah menjadi topik pembicaraan penting dalam
konferensi internasional sejak tahun 1980. Salah satu dari delapan Millennium Development Goals
(MDGs) adalah meningkatkan kesehatan ibu (MDG 5). Komunitas internasional telah berkomitmen
untuk menurunkan AKI di negara masing-masing sebanyak 75% antara tahun 1999 sampai tahun
2015 (WHO, 2007).1

AKI adalah jumlah kematian ibu selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup
(Setiyohadi, 2006). Kematian ibu diperkirakan sebesar 358.000 terjadi di seluruh dunia pada tahun
2008. Negara berkembang menyumbangkan 99% (355.000) dari kematian ibu tersebut di mana Afrika
Sub-Sahara dan Asia Tenggara berkontribusi sebesar 87% (313.000) dari kematian ibu secara global.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI di Indonesia sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target Indonesia Sehat 2010 sebesar 125
per 100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tinggi. Salah satu penyebab tertinggi kematian ibu
adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia/eklampsia) selain perdarahan dan infeksi.1
Menurut American College of Obstetrian and Gynaecologist, Hypertension in Pregnancy 2013,
hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi empat, yaitu (1) hipertensi kronik, (2) preeklampsia-
eklampsia, (3) hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan (4) hipertensi gestasional.

Wanita dengan hipertensi dalam kehamilan berisiko untuk melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah. Pada preeklampsia berat, perfusi uteroplasenta berkurang sehingga menyebabkan
peningkatan insiden Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), hipoksia janin dan kematian perinatal
(Gezginc, 2008). Oleh sebab itu, pengenalan awal faktor risiko hipertensi dalam kehamilan sangat
penting untuk menghindari dampak buruk pada ibu dan janin.

9
Epidemiologi

Penyakit hipertensi adalah komplikasi paling umum dari kehamilan yang mempengaruhi 6-
8% kehamilan di USA (Leeman, 2008). Penyakit hipertensi dalam kehamilan juga merupakan
penyebab utama mortalitas serta morbiditas maternal dan perinatal di Kanada (JOGC, 2008).
Prevalensi hipertensi dalam kehamilan di Los Angeles meningkat dari 40,5 kasus per 1.000 pada
tahun 1991 menjadi 54,4 kasus per 1.000 pada tahun 2003 (Baraban, 2008). Preeklampsia-eklampsia
sebagai salah satu penyakit hipertensi dalam kehamilan, adalah penyebab mortalitas dan morbiditas
tertinggi pada ibu hamil. Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5-15% dari seluruh kehamilan
di seluruh dunia. Di United Kingdom (UK), preeklampsia/eklampsia terhitung sebanyak 10-15% dari
kematian obstetrik langsung (Duley, 2003). Di Indonesia angka kejadian preeklampsia cukup tinggi,
seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ditemukan 400 -500 kasus/4000-5000 persalinan per
tahun.1

Insiden hipertensi dalam kehamilan pada nullipara 4-5 kali lebih besar daripada multipara.
Sekitar 30-50% wanita yang memiliki hipertensi dalam kehamilan pada kehamilan pertama berisiko
untuk mengalami hipertensi dalam kehamilan pada kehamilan selanjutnya (Zhang, 1997).
Preeklampsia (penyakit hipertensi dalam kehamilan dengan mortalitas tertinggi) adalah penyakit
utama pada primigravida. Preeklampsia dan eklampsia dapat terjadi pada 6-8% wanita hamil, di
antaranya 3-7% pada nullipara dan 0,8-5% pada multipara (Roeshadi, 2006). Selain itu, faktor risiko
preeklampsia lainnya adalah mola hidatidosa, adanya riwayat preeklampsia sebelumnya, dan
kehamilan multifetus.1

Etiologi

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Terdapat banyak teori yang ingin
menjelaskan tentang penyebab preeklampsia namun hingga kini belum ada yang memuaskan sehingga
Zweifel menyebut preeklampsia sebagai the disease of theories. Adapun teori-teori yang ada saat ini
adalah (Angsar, 2010) :

Teori vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang cabang arteri
uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan
bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis
memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan proliferasi tropoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu
dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunica media dan jaringan otot polos dinding
arteri serta mengganti dinding arteri dengan materi fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trisemester
I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.2 Pada usia
kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas dimana sel-sel trofoblas tersebut
akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalam miometrium. Selanjutnya terjadi proses
seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan
material fibrinoid dinding arteri. Akhir dari invasi trofoblas ini akan menimbulkan distensi lapisan
otot arteri spiralis akibat degenerasi, dan juga vasodilatasi arteri spiralis, pembuluh darah menjadi
berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong sehingga akan terjadi dilatasi secara pasif

10
sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan. yang
kemudian akan memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan
perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada preeklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan
arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan
vasodilatasi yang akibatnya aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia
plasenta.2 Kegagalan tersebut dapat terjadi karena dua sebab yaitu:

1. Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas.


2. Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara
normal tetapi invasi tahap ke dua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang
berada dalam miometrium tetap mempunyai dinding muskulo-elastik yang reaktif yang
berarti masih terdapat resistensi vaskuler. Akibatnya terjadi gangguan alirah darah di daerah
intervili yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan
iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterine
(IUGR), asfiksia neonatorum hingga kematian bayi.2

Teori Iskemik Plasenta dan Radikal Bebas

Seperti yang sudah dijelaskan di teori vaskularisasi plasenta bahwa kelainan yang terjadi pada
preeklampsia terjadi pada plasenta di mana terdapat invasi trofoblas yang tidak adekuat pada arteri
spiralis yang akhirnya menyebabkan kegagalan remodelling arteri spiralis. Kegagalan tersebut akan
membuat hipoperfusi plasenta dengan akibat iskemia plasenta. Hal ini merangsang pembentukan
radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan
merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.2

Gambar 1 : Sirkulasi uteroplasenta pada kehamilan normal dan preeklampsia.

Pada gambar di atas kehamilan normal terjadi perubahan pada cabang arteri spiralis dari dinding otot
yang tebal menjadi dinding pembuluh darah yang lunak sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah
aliran darah ke uteroplasenta.Pada preeklampsia, perubahan arteri spiralis ini tidak terjadi dengan
sempurna sehingga dinding otot tetap kaku dan sempit dan akibatnya akan terjadi penurunan aliran
darah ke sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan hipoksia.

11
Teori Disfungsi Endotel

Disfungsi endotel adalah keadaan dimana terjadi kerusakan membran sel endotel yang mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Pada keadaan ini
didapatkan adanya ketidak seimbangan antara faktor vasodilatasi dan vasokontriksi. Endotel
menghasilkan zat-zat penting yang bersifat relaksasi pembuluh darah, seperti nitric oxide (NO) dan
prostasiklin (PGE2). Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel sel epitel yang
berasal dari asam arakidonat dimana dalam pembuatannya di katalisir oleh enzim siklooksigenasi.
Prostasiklin akan meningkatan cAMP intraselular pada sel otot polos dan trombosit yang memiliki
efek vasodilator dan anti agregasi trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari
asam arakidonat dengan bantuan siklooginase. Trombosan memiliki efek vasokontriktor dan agregasi
trombosit. Prostasiklin dan trombosan A2 memiliki efek yang berlawanan dalam mekanisme yang
mengatur trombosit dan dinding pembuluh darah. Pada kehamilan normal terdapat kenaikan
prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta dan janin. Pada preeklampsia terjadinya kerusakan endotel
akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
terbentuknya prostasiklin dan sebagai kompensasinya tromboksan A2 akan ditingkatkan. Selain itu,
kerusakan endotel juga menyebabkan terjadinya peningkatan endotelin sebagai vasokontriktor dan
penurunan nitric oxide (NO) sebagai vasodilator dan memegang fungsi penting dalam regulasi fungsi
ginjal dan tekanan arterial pembuluh darah. Ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tahanan
perifer yang pada akhirnya akan memicu preeklampsia.2

Teori Genetik

Faktor genetik di duga turut berperan dalam patogenesis preeklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita
preeklampsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia adalah
peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara
histokompatibilitas antigen HLA-DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga wanita hamil yang
mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita
preeklampsia dan pertumbuhan janin terhambat dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak
memmiliki haplotipe tersebut. Gen resesif tunggal dikatakan juga mungkin berperan dalam
preeklampsia. Telah terdapat peningkatan prevalensi preeklampsia pada anak perempuan yang lahir
dari ibu yang menderita preeklampsia menandakan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian
preeklampsia. Meskipun faktor genetik nampaknya berperan pada preeklampsia, akan tetapi
manifestasinya pada penyakit ini belum dapat diterangkan secara jelas.3

Teori Imunologis

Sistem imun diduga berperan penting dalam perkembang preeklampsia. Teori ini didukung oleh
peningkatan insiden preekampsia-eklampsia pada primigravida dan ibu hamil dari pasangan yang
baru. Hal ini dapat diterangkan pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna dan akan makin sempurna pada kehamilan berikutnya. Pada
wanita normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini
disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas
janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi sel trofoblas
kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi
penurunan HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi

12
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada pre eklampsia.3

Teori Adaptasi Kardiovaskular

Pada preeklampsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan
mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.3

Teori Stimulasi Inflamasi

Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan
utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses apoptosis pada pre eklampsia, dimana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik
trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon
inflamasi akan mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag dan granulosit, sehingga terjadi reaksi
inflamasi menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.3

Patofisiologi

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ
dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi
pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan
trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala
dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri
epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan
volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.
Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan
obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.4

Perubahan organ-organ yaitu:

1. Perubahan kardiovaskuler

13
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklampsia.
Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat
hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid
intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.

2. Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui penyebabnya. Jumlah
air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan eklampsia daripada pada
wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi
glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium,
dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.

3. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang
terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya
preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan
akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat
penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina

4. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan merupakan penyebab
utama kematian (Wiknjosastro, 2006). Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat
yang mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi
karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang
diproduksi oleh hati.

6. Hati

Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan ekskresi
bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari
plasenta. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan terjadinya
peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat mengakibatkan ruptur hepatika,
menyebar di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005).

14
7. Ginjal

Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu pembengkakan dari
kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi
asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita
hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya
terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil
atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang
hebat. Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air. Retensi garam
dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada
pasien preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi
di tubulus. Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi karena peningkatan
permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin,
globulin, dan transferin. Protein protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.

8. Darah

Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular (DIC) dan destruksi pada
eritrosit. Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari
150.000/l ditemukan pada 15 20 % pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen yang
rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum
waktunya (placental abruption). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP
syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet
rendah. ditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan
dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption)4.

9. Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang
lama pertumbuhan janin akan tergangggu, pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin
bahkan kematian karena kekurangan oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap
perangsangan sering didapatkan pada preeklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.4

10. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat autoregulasi
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat
menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan
menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit
yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri. Dilaporkan bahwa
resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada
eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam
batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia. 3,4

15
Penegakkan Diagnosis

Kriteria spesifik harus ditemukan bagi menegakkan diagnosis preeklampsia, preeklmapsia dengan
gejala berat dan juga eklampsia. Preeklampsia merupakan satu sindroma yang meliputi hipertensi
yang baru timbul pada trimester kedua kehamilan dan boleh atau tidak dengan adanya proteinuria
serta beberapa manifestasi klinis yang ditemukan. Hipertensi bukan merupakan indikatif utama
preeklampsia dimana gejala lain harus ditemukan. Terbaru American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) telah mengeluarkan referensi bagi kriteria spesifik menegakkan diagnosis
preeklampsia dan juga kriteria spesifik buat preeklampsia dengan gejala berat (preeklampsia berat).5

Tingkat keparahan preeklampsia juga harus dievaluasi bagi penatalkasaan yang tepat dan emergensi.
Berdasarakan ACOG, Hypertension in Pregnancy 2013, beberapa gejala yang ditemukan didalam
preeklampsia seperti thrombocytopenia, insufficiency renal, kerusakan fungsi hati, edema pulmonal
dan gangguan penglihatan dikategorikan sebagai preeklampsia dengan gejala berat atau preeklampsia
berat.5 Berikut adalah kriteria yang termasuk di diagnosis sebagai preeklampsia berat:

1. Systolic blood pressure of 160 mm Hg or higher, or diastolic blood pressure of 110 mm Hg or


higher on two occasions at least 4 hours apart while the patient is on bed rest (unless
antihypertensive therapy is initiated before this time)
2. Thrombocytopenia (platelet count less than 100,000/microliter)
3. Impaired liver function as indicated by abnormally elevated blood concentrations of liver
enzymes (to twice normal concentration), severe persistent right upper quadrant or epigastric
pain unresponsive to medication and not accounted for by alternative diagnoses, or both
4. Progressive renal insuf ciency (serum creatinine concentration greater than 1.1 mg/dL or a
doubling of the serum creatinine concentration in the absence of other renal disease)
5. Pulmonary edema
6. New-onset cerebral or visual disturbances

16
Penatalaksanaan

Pengobatan kehamilan dengan hipertensi adalah berdasarkan tingkat keparahan, usia kehamilan dan
juga dengan adanya pre eklampsia atau tidak. Penatalaksanaan utama pada kehamilan dengan pre
eklampsia adalah terminasi kehamilan dengan risiko trauma minimal pada ibu dan bayi, kelahiran
bayi yang bisa hidup dan mengembalikan kesihatan pada ibu. Satu kunci utama dalam
penatalaksanaan yang tepat adala penentuan usia kehamilan yang teliti dan tepat. Deteksi dini pada
pasien pre eklampsia amatlah penting dengan peningkatan kunjungan antenatal care pada trimester
ketiga. Wanita hamil dengan tekanan darah tinggi harus dievaluasi bagi pertimbangan untuk dirawat
inap dan evaluasi untuk pre eklampsia. Evaluasi yang sistematis yang perlu dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan yang teliti dengan temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan,
nyeri ulu hati dan penambahan berat badan yang drsatis
2. Analisis untuk proteinuria pada setiap dua hari pasien dirawat inap
3. Observasi tekanan darah dengan posisi duduk, manset yang bear setiap 4 jam
4. Pemeriksaan kreatinin serum dan enzim hati seperti AST dan ALT dan juga evaluasi jumlah
trombosit. Ada yang merekomendasi pemeriksaan asam urat dan juga laktat dehidrogenase
dan hemostasis
5. Evaluasi ukuran fetus, volume air ketuban dengan pemeriksaan fisik dan ultrasound
sonografi

Target bagi pentalaksanaan adalah termasuk identifikasi pemburukan pre eklmapsia dan rencana
waktu untuk kelahiran bayi. Pertimbangan untuk persalinan dimana terminasi kehamilan merupakan
terapi utama bagi pre eklampsia. Terminasi kehamilan pada preeklampsia dianjurkan pada 34 minggu
usia kehamilan. Manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri epigastrika, dan gangguan penglihatan
adalah indikatif bagi eklampsia terjadi. Objektif utama adalah untuk mengelakkan kejang terjadi,
mengelakkan pendarahan intrakranial dan juga beberapa kerusakan organ penting yang disebabkan
oleh preeklampsia. Penatalaksanaan utama bagi preterm dengan pre eklampsia berat adalah
adminitrasi kortikosteroid dan juga profilaksis untuk eklampsia. Pemberian kortikosteroid dianjurkan
untuk maturasi paru fetus 48 jam sebelum persalinan.6

17
Gambar 2: Alur tatalaksana bagi preeklampsia ringan tanpa gejala yang berat menurut ACOG 2013

18
Gambar 3: Alur tatalaksana preeklampsia berat dengan usia kehamilan dibawah 34 minggu menurut
ACOG 2013

19
Medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah
baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel
endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena
itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang
dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal
jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse
ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin.
Oligouria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.

Profilaksis Eklampsia dengan MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin, berdasar Cochrane
review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897 penderita eklampsia. Magnesium sulfat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang
tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap
menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.5

Cara pemberian MgSO4


1. Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit
2. Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau
5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4


1. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1
gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
2. Refleks patella (+) kuat
3. Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
4. Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
5. Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
6. Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
7. Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
8. Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

20
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan atau
24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu
dan didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)Contoh obat-obat lain
yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan
sodium amobarbital. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk
jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan
dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih
baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih
sedikit.7

Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung kongestif
atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan,
yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan darah, untuk
pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110
mmhg dan MAP 126 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25%
dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP <125. Jenis
antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara
mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin (apresoline) injeksi (di
Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan reflex takikardia,
peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain
adalah labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang
tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul mengandung 0,15
mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama


1. Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
2. Sodium nitroprussida : 0,25g iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25g iv/kg/5 menit.
3. Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
4. Metildopa 250-500 mg/oral

Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel kiri
akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah
paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria. Pemberian
glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34
minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.

21
Pencegahan

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini preeklampsia, dalam
hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat
dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan
dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet
dan istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring.
Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak
berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa
memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui
pemeriksaan antenatal yang baik.

Daftar Pustaka

1. Profil Kesehatan Indonesia 2015, kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2016
2. Cunningham, Kenneth, Stevn, et al, Williams Obstetrics, 24th Edition, Mc Graw Hill
publications, 2014
3. Wiknjosastro H, 2005. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta.
4. Philip N Baker, Louise C Kenny, Obstetrics by Ten Teachers 19th Edition, Hodder &
Stoughton 2011.
5. [Guideline] American College of Obstetricians and Gynecologists, Task Force on
Hypertension in Pregnancy. Hypertension in pregnancy. Report of the American College of
Obstetricians and Gynecologists Task Force on Hypertension in Pregnancy. Obstet Gynecol.
2013 Nov. 122 (5):1122-31.
6. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG
Technical Bulletin No. 219. Washington DC: 2013
7. Sibai BM. Magnesium sulfate prophylaxis in preeclampsia: Lessons learned from recent
trials. Am J Obstet Gynecol. 2004 Jun. 190(6):1520-6

22

Anda mungkin juga menyukai