Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bells Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti
beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua kelumpuhan N. Fasialis
perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bells Palsy. 1
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologi, laboratorium, dan patologi anatomi
menunjukan BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor
dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia
dewasa, jarang pada anak dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosa BP dapat
ditegakan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n.fasialis perifer.1
BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23
kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit
ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bells palsi sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada
usia 21-30 tahun. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama.
Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-
laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi dari pada wanita tidak
hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat . Tidak didapati juga perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin atau angin berlebihan. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa
adanya penyakit neurologik lainnya. BP adalah kelumpuhan atau paralisis wajah
unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab
yang tidak teridentifikasi, seperti proses non-supuratif, non neo-plasmatik, non-
degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut
yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1,3,4

Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau


gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah
yang akan bersifat permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy
oleh dokter pelayanan primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa
melupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan.3

B. ANATOMI NERVUS FASIALIS

Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil
(nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan
komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula
lakrimalis. Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus
akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang
untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke cabang motorik ditandai
dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan
cabang aferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus dan titik.
muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis

2
fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis;
foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm.3

Gambar 1 : Skema Dari Saraf Kranialis Ketujuh (Nervus Fasialis)

Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar
motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral).
Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut-serabut
motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus
salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-serabut aferen
untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori
eksterna dan pinna.4

3
Gambar 2. Anatomi dari Nervus Fasialis

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara
lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju
meatus akustikus internus, yang memiliki panjang 1 cm, dibungkus dalam periosteum
dan perineurium . Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)
memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan:
labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan
mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin
ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering
menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang
terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan
ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk
kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini
mendukung kelenjar lakrimal dan palatina.4

4
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial
dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus
stapedius (melekat pada stapes). Lebih kearah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu
saraf korda timpani, yang terletak 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda
timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati
membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran
mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf
lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah.4

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar


sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel
dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan
melalui saraf intermedius ke traktus solitarius.4

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang


kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi
kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke
kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5
kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan
cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid,
dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis
oris, m. buccinator dan m. Platysma.4

OTOT-OTOT WAJAH DAN SARAF YANG MENSARAFINYA5

CABANG N. VII OTOT FUNGSI

Aurikuler 1. Aurikular posterior 1. Menarik telinga ke belakang


posterior 2. Oksipitofrontalis 2. Menarik kulit kepala ke belakang

Temporal 1. Aurikular anterior 1. Menarik telinga ke depan


2. Aurikular superior 2. Mengangkat pinna
3. Oksipitofrontalis 3. Menarik kulit kepala ke depan
4. Korugator supersilia 4. Menarik alis ke medial dan bawah

5
5. Procerus 5. Menarik alis bagian tengah ke
bawah

Temporal & Orbicularis okuli Menutup mata & kontraksi kulit sekitar
Zigomatik mata

Zigomatik & Zigomatikus mayor Mengangkat sudut mulut


Buccal
1. Zigomatikus minor 1. Mengangkat bibir atas
2. Levator labii superior 2. Mengangkat bibir atas & lipatan
3. Levator labii sup ala nasi nasolabial bagian
4. Risorius tengah
5. Businator 3. Mengangkat lipatan nasolabial
6. Levator anguli oris bagian medial dan ala
Buccal 7. Orbikularis oris nasi
8. Nasalis dilator nares 4. Menarik ke lateral saat senyum
9. Nasalis compressor nares 5. Menarik tepi mulut ke belakang dan
mengembungkan
pipi
6. Menarik tepi mulut ke atas dan
garis tengah
7. Menutup & mengembungkan bibir
8. Mengembangkan lubang hidung
9. Mengecilkan lubang hidung

Buccal & Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke bawah


Mandibula

Mandibular 1. Depressor labii inferior 1. Menarik bibir bawah ke bawah


2. Mentalis 2. Menarik dagu ke atas

Servikal Platisma Menarik tepi mulut ke bawah

Tabel 1. Otot-otot Wajah dan Saraf yang mensarafinya

6
C. ETIOPATOGENESIS

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell s palsy,


yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes
simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell s palsy. Murakami et al. Menggunakan teknik reaksi
rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe
1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell
s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada
wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes
simpleks atau herpetika dapat diadopsi.6
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini
terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana
lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus. Secara klinis, Bells
palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas.

7
Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik
vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal
tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia
sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah
pada pengobatan Bells palsy.6
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan
penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfosit pada pasien Bells palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bells palsy
merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini
mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya.6
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi
saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan
saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian systematic review
berdasarkan Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian
randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih
efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells
palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy sehingga
perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bells palsy yang lain.4
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy,
terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan
kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah
berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeIIs palsy, dan
kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki
hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun.4

D. PATOFISIOLOGI

Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut
merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot-otot wajah. Masing-
masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat trauma
yang berbeda.Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat

8
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian
patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf
fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bells palsy dan
herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi
bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi
selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau dari suatu
pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan cepat. Pada Bells palsy,
herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau
lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih
kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil
kompresi saraf tetap sama seperti pada Bells palsy dan herpes
zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran
vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan
cepat terjadi kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga
dari trauma.
Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium
dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik
pada derajat pertama. Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan
mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson-akson
yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3)
terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang menginervasi kembali
kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan
badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor-
faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Selain itu, terdapat juga
gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata
dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin
karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan
terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama
seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-
faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,
menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup
nyeri.4

9
E. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pada pasien bells palsy biasanya timbul secara mendadak dan
pasien menyadari adanya kelumpuhan pada otot wajah pada saat melihat kaca atau
diberitahukan oleh orang lain. Sebelumnya pasien akan merasakan adanya hiperakusis
pada telinga daerah wajah yang lumpuh. Pada sisi wajah yang lumpuh semua gerakan
volunter akan hilang, seperti ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis
tidak tampak. Bila pasien diminta untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada
sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar keatas
(phenomena Bell). Karena kedipan mata berkurang maka akan terjadi iritasi oleh karena
debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat
bahwa pada sisi lumpuh tidak dapat mengembung. Disamping itu makanan cenderung
berkumpul diantara pipi dan gusi yang lumpuh.1

F. PEMERIKSAAN FISIK

1. Fungsi motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris


atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut
mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis
perifer. Dalam ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika
nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis
sentral, muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita
disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.7

a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi

Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau
tidak. Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus
oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris atau tidak.
Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan
mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli,
musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis perifer terlihat
adanya asimetri.7

10
b. Memejamkan mata

Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat paasien tidak dapat
memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang kuat. Hal
ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa,
sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan
matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila
terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Disini
dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi dengan baik atau tidak,
simetris atau tidak.7

c. Menyeringai (menunjukan gigi geligi)

Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal
ini dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak
dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus
mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak
dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan nyeri,
yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).7

d. Mencucurkan bibir

Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan
apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka
dicurigai ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris. 7

e. Menggembungkan pipi.

Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat
dilakukan dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka
dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.7

f. Mengembang kempiskan cuping hidung

Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris
atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.7

11
2. Fungsi Pengecapan

Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan


ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien
disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam
sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk
ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke
dalam mulut bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah
lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien
diminta untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1
untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan
pada atau diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air
mata, dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva.7

G. DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral;
kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau
riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat
fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma
sebelumnya. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto
mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan
adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau
pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster;
sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan
miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata
kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin
(tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar
parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat

12
ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis,
eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.3

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu


dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologi dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain
itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat
tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah
hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-
value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus
didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas
pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6%
kasus.3

I. TATA LAKSANA

Tujuan dari pengobatan pada bells palsy termasuk tata laksana untuk
mempercepat masa penyembuhan dan untuk meminimalisasi komplikasi. Tata laksana
untuk mempercepat masa penyembuhan dilakukan dengan terapi farmakologi dan
terapi non-farmakologi yaitu rehabilitasi medik.8

13
1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat
cortikosteroid dan anti-viral.8

a. Kortikosteroid

Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bells palsy karena inflamasi
dan edema pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bells palsy dan
kortikosteroid berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi
kerusakan pada saraf dan sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan
secara random ditemukan bahwa terapi bells palsy dengan menggunakan prednisolon
mempercepat proses penyembuhan. Prednisolon dapat digunakan pada semua pasien
dengan lumpuh pada otot wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset dimana
tidak dapat kontraindikasi pada terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg dalam 5
hari,kemudian dikurangi menjadi 10 mg perhari (dari 10 hari total perawatan ) dan 50
mg per hari dalam 10 hari. Terapi dengan prednisolon lebih hemat biaya. Efek toksik
dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.8

b. Anti-viral

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat


antivirus digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif
dibandingkan kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan
steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir
untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali
pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2
000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima

14
hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun
kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.8

2. Terapi non Farmakologi/Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat handikap serta meningkatkan kemampuan penyandang
cacat mengenai integritas sosial.1

Tujuan rehabilitasi medik adalah :

1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin


2. Mengurangi keadaan cacat sebnyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang tertinggal.1

a. Program fisioterapi

1. Pemanasan 1
a. Pemanasan superfisial dengan infra red
b. Pemanasan profunda berupa Shortwave Diathermy
2. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah
atau memperlambat terjasi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya, dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah atau merenggangkan perlengketan.
Diberikan 2 minggu setelah onset.1
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan
kaca dengan konsentrasi penuh).1
Massage adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut bells palsy diberi gentle

15
massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efek mengurangi
edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat
fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunter
wajah. Deep Kneuding Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh
darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,
mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan
gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah
dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan
keatas, lamanya 5-10 menit.1

b. Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi didini memberikan latihan gerakan pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan
menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan
mengerutkan dahi di depan cermin.1

c. Program Sosial Medik

Penderita bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan
biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi
tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan
mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. selain itu
memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang
merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.1

d. Program Psikologi

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol,


rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau

16
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.1

e. Program Ortotik Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut


mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester
dilakukan juka dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan zigomatikus selama
parese dan mencegah terjadinya kontraktur.1

HOME PROGRAM

1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.


2. Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet.
4. Perawatan mata :
a. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3 kali sehari.
b. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.
c. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

J. PROGNOSIS

Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-
kira 10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.1

17
BAB III

KESIMPULAN

1. Bells Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meniliti
beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua kelumpuhan N. Fasialis
perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bells Palsy
2. Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell s palsy, yaitu :
Iskemik, vaskular, Virus, Bakteri, Herediter, Imunologi (Mc. Govern dan Hughes).
3. Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Secara klinis,
Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak
jelas
4. Patofisiologi dari Bells Palsy adalah kerusakan/trauma/inflamasi pada serabut saraf
fasialis.
5. Gambaran Klinis : Timbul mendadak dan sebelumnya merasakan adanya hiperakusis
pada telinga daerah wajah yang lumpuh
6. Pemeriksaan Fisik yang dilakukan : yaitu fungsi motorik dan fungsi sensorik pada
otot-otot yang diinervasi oleh nervus fasialis
7. Diagnosa Banding : Stoke, GBS, dll
8. Penatalaksanaan : Terapi dan non terapi
9. Prognosa : Dapat sembuh dengan sendirinya.

18
BAB IV

LAPORAN KASUS

LEMBAR STATUS PASIEN

DEPARTEMEN RAHABILITASI MEDIK RS YOWARI- KAB. JAYAPURA

I. Data Base
1.1 Identitas

Nama : Rosida Tampubolon


Alamat : Perumnas 4 Padang Bulan Jayapura
Umur : 52 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Rujuakan dari : dr. H. Saragih Sp.S
No. Rekam Medik : No. BPJS :
No. Jamkespa : No. Jamkesmas:

Anamnesis

1.1.1 Keluhan utama : Wajah Menceng Kearah Kiri Bawah

1.1.2 Riwayat penyakit sekarang (25 Maret 2015)

Penderita datang dengan keluhan muka menceng kearah kiri bawah sejak 3
minggu yang lalu. Dimulai dengan telinga berdenging saat penderita hendak
pergi beribadah. Kemudian wajah sebelah kiri terasa turun kebawah dan mata
sebelah kiri sering berkedip dengan sendirinya. Penderita dulunya sering tidur
di ubin dengan wajah menghadap kearah bawah ubin, dan sering terpapar
dengan udara dingin/angin saat menggunakan kendaraan. Menurut penderita
wajah menceng ini sudah yang ke 3 kalinya terjad. Pertama tahun 2013
dengan 1 kali resep pengobatan seminggu sudah baikan, demikian pula yang

19
kedua pada tahun 2014, sembuh dengan pengobatan selama seminggu. Tetapi
berbeda dengan insiden yang ketiga ini, sudah terjadi 3 minggu dan juga
dengan melalukan pengobatan dari dokter spesialis saraf, keadaan belum
membaik juga. Dan dengan tetap mengkonsumsi obat dari dr.Sp.S di rujuk
untuk mendapat terapi dari dr. Sp.KFR (dokter Rehab Medik). Untuk Makan
baik, tetapi saat minum masih agak susah, karna bila minum air sering keluar.

1.1.3 Riwayat penyakit dahulu:


Penyakit Sistemik : (-)

1.1.4 Riwayat sosial dan Keluarga :


Hanya penderita yang sakit seperti ini

1.2 Pemeriksaan fisik

1.2.1 General status


Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital sign : BP mmHg; HR x/min; RR x/min; temp C
Kepala & leher : Anemia.,Icterus.., Cyanosis., dypsneu..
Thorax : Heart : Suara S1S2 ., murmur

Lung(Paru) : Vesicular ; ronchi. ; Wheezing

Abdomen : Supple meteorismus , hepar & lien tak teraba / teraba

Extremities (AGA/AGB): Acral hangat/dingin, oedema +/- at , Fraktur: + / -

1.3 Physiatric examination


1.3.1 MMT otot wajah
Otot otot wajah SKOR
Dextra Sinistra
M. Frontalis 3 1
M. Corrgurator supercilli 3 1
M. Proserus 3 1
M. Nasalis 3 2
M. Buccinator 3 1

20
M. Orbicularis oculi 3 1
M. Zygomaticus mayor 3 1
M. Orbicularis oris 3 1

1.4.2 Neurological Status

Nervus Kranialis I-XII :

- Terjadi penurunan kerja otot-otot wajah sebelah kiri yang dipersarafi


nervus VII.
- Tidak dapat menunjukkan ekspresi wajah.
- Adanya asimetri mimik wajah.

II. DIAGNOSA

2.1 Diagnosis : bells palsy

2.2 Diagnosis fungsi :


Impairment : - kelemahan otot-otot wajah sinistra
- kelopak mata kiri tidak dapat menutup dengan baik.

Disability : - pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut
kiri.

Handicap : -

III. PROBLEM LIST

3.1 Medical : -
3.2 Surgical: -
3.3 Rehabilitation Medicine :
R1 (Ambulation) : independent ambulation
R2 (ADL) : totally independent
R3 (communication) : dapat berbicara dengan normal
R4 (Psychological) : cemas karena keadaan
R5 (Social Economy) :-
R6 (Vocational) :-

R7 (Others) : -

21
Tujuan penatalaksanaan terapi :
a. Immediate goals : meningkatkan kekuatan otot wajah sinistra.

b. Ultimate goals : gerak dan fungsi wajah optimal tanpa keluhan.

IV. MANAGEMENT
4.1 Fisioterapi
Evaluasi :
Tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, mata kiri tidak dapat menutup dengan
baik.
Sudut mulut jatuh ke kiri.

Program :

Stimulai listrik (elektrostimulan galvanic) pada wajah sebelah kiri selama 5-10
menit.
Deep Kneuding Massage wajah sebelah kiri lamanya 5-10 menit.
Latihan gerak volunter wajah sebelah kiri di depan cermin dengan gerakan
mengerutkan dahi, menutup mata, meniup, menyeringai.
4.2 Okupasi terapi
Evaluasi :
Mata kiri tidak bisa menutup rapat
Sudut mulut jatuh ke kiri
Pada saat minum/berkumur, air kekuar menetes dari sudut kanan mulut.

Program :

Latihan penguat otot wajah sebelah kiri dengan memberikan latihan


mengerutkan dahi, menutup mata, meniup, menyeringai.
Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan
makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan.
4.3 Psikologi
Evaluasi :
Penderita sering merasa cemas dan malu.

Program :

Memberikan dorongan mental agar pasien rajin menjalankan program rehabilitasi


dan melakukan home program yang diberikan agar penyakitnya cepat sembuh.

22
4.4 Sosial medik
Evaluasi :
Pasien adalah ibu rumah tangga, sehingga tidak terlalu bermasalah pada sosial
mediknya.
4.5 Ortotik Prostetik
Evaluasi :
wajah tidak simetris
kelopak mata kiri tidak dapat menutup rapat
sudut mulut jatuh disebelah kanan.

Program :

menggunakan Y plester selama parese.


Diganti setiap 8 jam
Perlu diperhatikan intoleransi kulit.

4.6 Home Program


a. Perawatan mata :
Memakai kaca mata hitam saat bepergian siang hari.
Artifial tears
Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif.
b. Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kiri selama 5-10 menit.
c. Massage wajah sebelah kiri ke arah atas dengan menggunakan tangan dari
sebelah kiri.
d. Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan, makan dengan mengunyah
disebelah kanan, minum dengan sedotan dan mengunyah permen karet.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.slideshare.net/InjilitaNansi/rehabilitasi-medik-bells-palsy

2. https://www.scribd.com/doc/237765614/Makalah-Bell-Palsy

3. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1118/1104

4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39715/Chapter%20II.pdf;jsessioni
d=A299CABAC59447B5E26AC91AC193C387?sequence=4

5. http://repository.unand.ac.id/17668/1/Case%201%20%20Fraktur%20Tulang%20Temporal.p
df

6. https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf

7. Lumbantobing, S. M. 2012. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Badan
Penerbit FKUI.

8. Murthy, J.M., Saxena, A. Bells Palsy : Treatment Guideline. Annals of Indian


Academy of Neurology : 2011. Website :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3152161/

24

Anda mungkin juga menyukai