PENDAHULUAN
1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin (Cunningham dkk, 2005).
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka (Manuaba,
2003; Bobak. 2004).
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai
38,50C (Heler, 1997). Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan
sebuah diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas
febris merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea (Rayburn, 2001).
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat
kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental
bed akibat atoni uteri (Karsono dkk, 1999). Komplikasi pada bayi dapat
menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan
trauma persalinan (Mochtar, 1988).
Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya,
lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan
luka dibersihkan.
3. Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang diperlukan,
agar tidak terjadi dehidrasi.
4. Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh mereka
yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri tersebut dapat
disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri
tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau
gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar
yang tiba-tiba.
Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah
operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan obat-obat anti nyeri
dan penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150 mg
atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.
5. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis
dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah
pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang
sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies dapat didukukan selama 5
menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya
disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan
sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih.
Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk (semi
fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5
pasca bedah.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
sebelum bercampur dengan CSF.8
1. Kulit
2. Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
3. Ligament Supraspinosa
4. Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus
5. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang
berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.
6. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
7. Duramater
8. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF
dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.8
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang
berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom
tubuh yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus
mencapai segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah
pembedahan tersebut.8
Gambar 3. Dermatom tubuh
Tabel 2. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi
spinal.2
BUPIVAKAIN
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga
kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh
BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions.2,3,8
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik
diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska
bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan
tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau
lebih.2,3,8
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %,
epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.2,3,8
KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari
pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (1-3g/kg),
transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (1-2g/kg)
dari pemberian klonidin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve
block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada
medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus
dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala
withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek
samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering.2,3,8
Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.2,3,8
EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,
dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan
efek metabolik lain.2,3,8
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,
dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang
kedua yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan
dalam dua jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan
kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).2,3,8
Adrenalin 200-500 g (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi
spinal sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok
yang mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 g intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.2,3,8
FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh
aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat
menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai
dengan aturan.2,3,8
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 g menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah
tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek
samping.2,3,8
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada
anastesi spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi
dan penurunan tekanan darah sistolik dapat menurun juga.2,3,8
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:2,8
a. Faktor utama2,8
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal
anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta
posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan
serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang
sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada tingkat
daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat
daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian.
Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
2,8
b. Faktor tambahan2,8
1. Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid
dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan
hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga
level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.
Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. 2,8
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita
yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek. 2,8
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman
klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap
penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal2,8
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi
darah vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan
serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi
seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen. 2,8
5. Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan
yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal.
Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah
penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad
dan mencapai kurvatura T4. 2,8
6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3
atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan
tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat
berkumpul di daerah sakral. 2,8
7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan
terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad. 2,8
8. Kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan
tingkat analgesia yang dicapai rendah. 2,8
C. Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut:1,2,8
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa 6cm. 1,2,8
D. Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. 1,2,8
E. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan
tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk
mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.
1,2,8
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi. 1,2,8
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma,
hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang
untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli
anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
local. 1,2,8
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk
menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal. 1,2,8
F. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal. 1,2,8,9
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi. 1,2,8,9
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. 1,2,8,9
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena. 1,2,8,9
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital
dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat
dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh
menggunakan satu bantal) selama 24 jam. 1,2,8,9
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan. 1,2,8,9
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. 1,2,8,9
2.3 ANALISA KASUS
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
LAPORAN KASUS
ANAMNESA PRIBADI
ANESTESI
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00
Pemasangan IV line pada tangan kiri dengan cairan RL 20 gtt/i
Persiapan alat
Stetoskop
Tensimeter
Meja operasi dan perangkat operasi
Spinochain 25G
Kassa dan duk steril
Betadine 10%
Alcohol 70%
Infus set
Abocath no 18 G
Threeway
Spuit 1 cc
Spuit 3 cc
Spuit 5 cc
Sarung tangan
Teknik anastesi :
Identifikasi L3-L4 pasien desinfektan injeksi spinocaine No. 25G
LCS keluar injeksi bupivacaine 20 mg
DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infus.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi,dan nafas setiap 5 menit.
3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa basah :-
Kassa basah :-
Suction :-
Handuk :-
Total :-
- Infuse RL dengan IV line pada regio dorsum manus sinistra
Pre operasi : 500 ml
Durante operasi :-
- Urine output
Durante operasi : 0 cc
EBV : 49 x 80 = 3920
EBL :10% = 392, 20% = 784, 30% = 1176
KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post TURP a/i Benign Prostat Hyperplasia
- Lama anastesi : 09.30 09.55
- Lama operasi : 09.35 09.50
DAFTAR PUSTAKA
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
125-8.
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmarkbased/
spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html
http://www.pitt.e du/~regional/Spinal/Spinal.htm l
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
11 Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional