Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi secara umum diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit pada prosedur pembedahan dan berbagai prosedur lainya. Obat untuk
mengilangkan nyeri dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi.
Analgetik adalah obat penghilang nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Terdapat berberapa tipe anestesi, yaitu anestesi total dengan menghilangkan
kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada tubuh daerah
tertentu,anestesi regional dengan blokade selektif pada spinal atau saraf sehingga
bekerja pada bagian yang lebih luas. Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi,
epidural anestesi dan blok perifer. Spinal anestesi, adalah teknik regional pertama
utama dalam praktek klinis. Operasi sectio caesaria memerlukan anestesi yang
efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang) atau anestesi umum. Dengan
epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan ke dalam ruang di sekitar tulang
belakang pasien, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi disuntikkan
sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang pasien. Dengan dua jenis anestesi
regional ini pasien terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari pinggang
ke bawah. Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan dengan anestesi epidural
adalah kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian
hipotensi, ada mualmuntah intrapartum, kemungkinan adanya post spinal
headache, lama kerja obat anestesi terbatas. Komplikasi yang paling umum
ditemui dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang disebabkan blokade sistem
saraf simpatik. Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik dan perifer
terjadi penurunan cardiac output. Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular
dapat bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam & bradikardia. Hipotensi
merupakan masalah yang serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada operasi
sectio caesaria.
A. Definisi Seksio Saesaria
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam.

B. Klasifikasi Seksio Sesaria

Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:

a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan


dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus (Prawiroharjo, 2002).
Hampir 99% dari seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran
dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa
keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan
perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam
mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi
dan dapat menimbulkan perdarahan (Manuaba, 1999). Arah insisi melintang
(secara Kerr) dan insisi memanjang (secara Kronig).
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat
dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika
urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen
bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan
letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2005). Teknik ini
juga memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit,
kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan
kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar
(Manuaba, 1999).
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah
seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan
lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur
uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan (Cunningham dkk, 2005).
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke
dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek
obstetri (Charles, 2005).
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi
di segmen bawah (Charles, 2005).
C. Indikasi Seksio Sesaria

Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan


suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan
ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu
faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar
bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin
jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba, 1999).

Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:

1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage

2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat

Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang


lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi
(Cunningham dkk, 2005).

Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea


terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%, gawat
janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2% kasus seksio
sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari
10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%, diikuti oleh
distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%, sedangkan
gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio sesarea
sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio sesarea yang
terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi bokong 2,6%,
gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2% (Cunningham dkk, 2005). Sebaran indikasi
seksio sesarea di negara-negara maju tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut

Tabel 4. Indikasi Seksio Caesaria di berbagai negara

Seksio Cesarea tiap 100 persalinan


Indikasi
Norwegia Skotlandia Swedia USA

Distosia 3,6 4,0 1,8 7,1

Riwayat SC sebelumnya 1,4 3,1 3,1 8,5


Presentasi bokong 2,1 2,0 1,8 2,6

Gawat janin 2,0 2,4 1,6 2,2

Lainnya 3,7 2,7 2,4 3,2

Seksio Caesarea 12,8 14,2 10,7 23,6

Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun


terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %) (Birza, 2003).

D. Kontraindikasi Seksio sesaria

Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin (Cunningham dkk, 2005).

E. Komplikasi Seksio sesaria

Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka (Manuaba,
2003; Bobak. 2004).
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai
38,50C (Heler, 1997). Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan
sebuah diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas
febris merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea (Rayburn, 2001).
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat
kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental
bed akibat atoni uteri (Karsono dkk, 1999). Komplikasi pada bayi dapat
menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan
trauma persalinan (Mochtar, 1988).

F. Perawatan pasca Seksio sesaria

Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :

1. Perawatan luka insisi

Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya,
lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan
luka dibersihkan.

2. Tempat perawatan pasca bedah

Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam kamar


rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara selama
beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke ICU untuk
perawatan bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini peralatan untuk
menyelamatkan pasien lebih lengkap. Setelah pulih barulah di pindahkan ke
tempat pasien semula dirawat.

3. Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang diperlukan,
agar tidak terjadi dehidrasi.

4. Nyeri

Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh mereka
yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri tersebut dapat
disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri
tersebut hampir tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau
gangguan terutama bila aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar
yang tiba-tiba.

Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah
operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat diberikan obat-obat anti nyeri
dan penenang seperti suntikan intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150 mg
atau morfin sebanyak 10-15 mg atau secara perinfus.

5. Mobilisasi

Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis
dan emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah
pasien sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang
sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies dapat didukukan selama 5
menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya
disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan
sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri pasien bahwa ia mulai pulih.
Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk (semi
fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5
pasca bedah.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi Collumna Vertebralis


Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral.
Ada 7 cervical, 12 ruas vertebrae torakal, dan 5 ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas
tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain. Tulang belakang
secara keselruhan berfungsi sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-
tulang lumbalis.selain itu tulang belakang juga berfungsi melindungi medula
spinalis yang terdapat di dalamnya.2,8
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masingmasing
radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil),yang
terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix
mempunyai sebuah ganglion radix posterior, yang axon selselnya memberikan
serabutserabutsaraf perifer dan pusat.2,8
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping,
yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2
cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar
di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui
kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis
berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang
mirip sayap vertebra yang berdekatan.2,8
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5
pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).2,8
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal
tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar
saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan
sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang),
sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai
kauda ekuina ekor kuda karena penampakannya.2,8

Gambar 1. Collumna Vertebralis

Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
sebelum bercampur dengan CSF.8
1. Kulit
2. Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
3. Ligament Supraspinosa
4. Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus
5. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang
berjalan secara vertical dari lamina ke lamina.
6. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
7. Duramater
8. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF
dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.8

Gambar 2. Sagital section through lumbar vertebra

Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang
berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom
tubuh yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus
mencapai segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah
pembedahan tersebut.8
Gambar 3. Dermatom tubuh

Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur


pembedahan8

Pembedahan Ketinggian segmen dermatom


kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1

2.2 Anestesi Spinal


A. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-
L5.2,8
B. Farmakologi Obat Anestetik Lokal
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf
secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat
anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat
yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak
neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga
mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah.2
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan
alkaloid larut lemak dan garam larut air. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala
cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon
sebagai penghubung, bagian ekor amino tersier bersifat hidrofilik. Bagian
aromatik mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan
jalur metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum dari obat anestetik lokal
tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu membran sel saraf. Jika
dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua lapisan lemak dan
satu lapisan protein di luar dan dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus
hidrofilik berguna untuk transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna
untuk migrasi ke dalam sel saraf.2
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain,
tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain,
etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada
kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil
dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa
dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan amida
dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan
ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan
bupivakain.2

Tabel 2. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi

spinal.2
BUPIVAKAIN
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga
kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh
BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions.2,3,8
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik
diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska
bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan
tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau
lebih.2,3,8
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %,
epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB.2,3,8

KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari
pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (1-3g/kg),
transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (1-2g/kg)
dari pemberian klonidin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve
block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada
medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus
dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala
withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek
samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering.2,3,8
Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.2,3,8

EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,
dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan
efek metabolik lain.2,3,8
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,
dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang
kedua yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan
dalam dua jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan
kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).2,3,8
Adrenalin 200-500 g (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi
spinal sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok
yang mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 g intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.2,3,8

FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh
aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat
menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai
dengan aturan.2,3,8
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 g menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah
tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek
samping.2,3,8
Dari penelitian ini terbukti bahwa dengan penambahan fentanil pada
anastesi spinal dapat mengurangi dosis bupivacain sehingga insidensi hipotensi
dan penurunan tekanan darah sistolik dapat menurun juga.2,3,8
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:2,8
a. Faktor utama2,8
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal
anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta
posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan
serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang
sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada tingkat
daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat
daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian.
Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
2,8

Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik


lokal: 2,8
- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah
cephalad, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah
kaudal, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi
lateral dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar
penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan
hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan
puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin
singkat durasi blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi
obat di daerah injeksi. 2,8
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka
akan semakin tinggi juga area hambatan. 2,8

b. Faktor tambahan2,8
1. Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid
dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan
hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga
level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.
Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. 2,8
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita
yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek. 2,8
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman
klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap
penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal2,8
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi
darah vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan
serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi
seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen. 2,8
5. Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat
anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan
yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal.
Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah
penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad
dan mencapai kurvatura T4. 2,8
6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3
atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan
tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat
berkumpul di daerah sakral. 2,8
7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan
terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad. 2,8
8. Kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan
tingkat analgesia yang dicapai rendah. 2,8
C. Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut:1,2,8
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa 6cm. 1,2,8
D. Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. 1,2,8
E. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan
tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk
mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.
1,2,8
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi. 1,2,8
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma,
hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang
untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli
anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis,
seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
local. 1,2,8
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk
menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal. 1,2,8
F. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal. 1,2,8,9
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi. 1,2,8,9
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. 1,2,8,9
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena. 1,2,8,9
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital
dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat
dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh
menggunakan satu bantal) selama 24 jam. 1,2,8,9
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan. 1,2,8,9
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. 1,2,8,9
2.3 ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosis G2P1A0 hamil 41 minggu dengan oligohidramnion dan
ASA 1, yakni pasien sehat secara fisik dan mental kecuali keadaan yang akan
dioperasi. Pasien direncanakan untuk operasi section caesaria. Menjelang
operasi pasien tampak tenang karena belum merasakan mulas dan kesadaran
compos mentis. Pasien sudah dipuasakan sejak malam hari pukul 02.00 . Jenis
anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik spinal anestesi
subarachnoid block sit position.3 Pada pasien diberikan premedikasi
Ondansetron 4 mg secara bolus IV.Ondansetron merupakan antagonis reseptor
serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan dan pengobatan
mual mual dan muntah selama dan pasca bedah. Ondansetron diberikan pada
pasien untuk mencegah mual muntah yang dapat menyebabkan aspirasi.
Pelepasan 5HT3 ke dalam usus merangsang reflex muntah dan mengaktifkan
serabut aferen vagal lewat reseptornya.2 Dilakukan induksi dengan
Bupivacain 20 mg (dosis induksi 1-2 mg/kgBB). Bupivacaine adalah obat
anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja yang
pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacain menghasilkan
blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf yang
bersifat reversibel, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.2 Oxytocin
dan Methylergometrin diberikan sebagai ureterotonika yang berguna
mengontrol perdarahan paska persalinan dengan merangsang kontraksi uterus.
Oxytocin diberikan 10 IU perdrip dan methylergometrin 0,2 mg diberikan
secara bolus intravena. Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan
tiap 5 menit secara efisien dan terus-menerus, dan pemberian cairan intravena
Ringer Laktat. Tramadol merupakan analgetik kuat yang bekerja pada reseptor
opiat dan bekerja di sentral. Selain itu tramadol menghambat pelepasan
neuroransmiter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang sehingga
menghambat impuls nyeri. Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi
dilanjutkan pada pasien post-operatif di recovery room, dimana dilakukan
pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi, dan saturasi
oksigen.

BAB III

KESIMPULAN

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Indikasi untuk
dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang
dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi
spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid, dimana
daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada
dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan sacus
duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada
dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak. Blok neuroaksial tipikal menyebabkan
penurunan tekanan darah yang disertai dengan penurunan detak jantung dan
kontraktilitas jantung. Blokade transmisi eferen pada nervus spinal dan
menyebabkan blokade dari simpatik dan parasimpatik. Blokade serabut simpatik
yang muncul dari T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena akan
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan
menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria
dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Hal ini dapat
menimbulkan hipotensi dan bradikardia. Selanjutnya blok sensori menghambat
stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan blokade motorik
menghasilkan relaksasi otot rangka.

BAB IV

LAPORAN KASUS

ANAMNESA PRIBADI

KEADAAN PRA BEDAH (FOLLOW UP ANASTHESI)


Anamnesis

Diagnosis : Benign Prostat Hyperplasia (BPH)


Status fisik : ASA III
Rencana tindakan : TURP (Transurethral Resection of Prostat)
Rencana anestesi : Spinal Anestesi

ANESTESI
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00
Pemasangan IV line pada tangan kiri dengan cairan RL 20 gtt/i
Persiapan alat
Stetoskop
Tensimeter
Meja operasi dan perangkat operasi
Spinochain 25G
Kassa dan duk steril
Betadine 10%
Alcohol 70%
Infus set
Abocath no 18 G
Threeway
Spuit 1 cc
Spuit 3 cc
Spuit 5 cc
Sarung tangan

Obat obat yang dipakai


- Bupivacaine 20 mg
- Fentanyl 100 mcg
Urutan pelaksanaan anastesi
- Cairan pre operasi : RL 500 ml
- Prosedur anastesi :
Pasien dibaringkan di meja operasi dalam posisi supine, kemudian
dipasangkan IV line di tangan kiri, monitor EKG, saturasi O2, manset,
nasal kanul.
Memakai sarung tangan steril, prosedur persiapan obat spinal anestesi
dilakukan
Pengguanaan obat anestesi berupa bupivacaine 20 mg dan fentanyl 100
mcg
Dari posisi supine, kemudian diposisikan duduk tegak, dengan posisi
leher flexi, posisi tangan memeluk bantal atau dengan kata lain
memposisikan tulang belakang sepertu huruf C apabila dilihat dari
posisi samping.
Buat garis imaginer yang menghubungkan kedua crista iliaca dextra
sinistra sebagai batas antara L4-L5.
Setelah menemukan posisi yang tepat, memberikan tanda dengan
penekanan kulit lokal dengan kuku jari di daerah L3-L4
Tindakan aseptic dengan betadine 10% dengan metode sirkuler dari
tengah ke luar, lalu dengan cara yang sama tindakan aseptic dengan
alcohol 70%.
Gunakan jarum spinocaine 25G, injeksikan di daerah yang sudah diberi
tanda, pastikan LCS keluar, masukkan obat anestesi yang sudah
disediakan.
Pasien dipersilahkan berbaring kembali dam diposisikan litotomi.

Teknik anastesi :
Identifikasi L3-L4 pasien desinfektan injeksi spinocaine No. 25G
LCS keluar injeksi bupivacaine 20 mg

DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infus.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi,dan nafas setiap 5 menit.

Jam TD Nadi RR SaO2

(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)

09.30 130/80 85 18 99%


09.35 120/70 80 18 99%

09.40 120/70 86 16 99%

09.45 120/60 80 16 99%

09.50 120/60 78 16 99%

09.55 120/60 78 16 99%

3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa basah :-
Kassa basah :-
Suction :-
Handuk :-
Total :-
- Infuse RL dengan IV line pada regio dorsum manus sinistra
Pre operasi : 500 ml
Durante operasi :-
- Urine output
Durante operasi : 0 cc
EBV : 49 x 80 = 3920
EBL :10% = 392, 20% = 784, 30% = 1176

KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post TURP a/i Benign Prostat Hyperplasia
- Lama anastesi : 09.30 09.55
- Lama operasi : 09.35 09.50

INSTRUKSI PASCA BEDAH


Bed rest
O2 2 L/i via nasal kanul
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Injeksi Ranitidin 50 mg/8 jam
Antibiotik dan terapi lain sesuai TS Bedah
Pantau Vital sign dan urin output per 15 menit selama 30 menit di ruang
pemulihan
MSS (makan sedikit- sedikit) jika peristaltik (+) normal

DAFTAR PUSTAKA

1 Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi


Edisi

II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

2 Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,


2013]

Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview

3 S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan


Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV. Infomedika,
2004;

125-8.

4 Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral

Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.

5 NYSORA New York School of Regional Anesthesia, [Internet]


Subarachnoidal

Block [Last Update Oct 4 2013], Available at

http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmarkbased/

spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html

6 Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral

Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A

7 University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block

anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at

http://www.pitt.e du/~regional/Spinal/Spinal.htm l

8 Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;

Balai Penerbit FKUI, 259-72.

9 G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical

Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal

Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.

10 Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of

Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update


on

July 4 2011] Available at http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/

uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
11 Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional

Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 16170.

Anda mungkin juga menyukai