BAB I PENDAHULUAN
2.2.1 DEFINISI
2.2.2 KLASIFIKASI
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
2.2.4 ETIOLOGI
2.2.5 PATOFISIOLOGI
2.2.9 DIAGNOSIS
2.2.10 TATALAKSANA
2.2.11 KOMPLIKASI
PENDAHULUAN
Trauma masih menjadi penyebab kematian nomor satu pada kelompok usia
muda dan produktif di seluruh dunia. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab
kematian nomor tiga, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun merupakan penyebab
kematian utama. Monotrauma adalah cedera pada salah satu regio tubuh, biasanya
tanpa disertai perburukan fisiologis, kardiovaskular, respirasi atau neurologis.
Multitrauma adalah cedera yang mengenai lebih dari satu regio tubuh. Politrauma
adalah cedera yang mengenai setidaknya 2 regio tubuh disertai perburukan fisiologis
sistemik.1,2 Trauma adalah kondisi sensitif-waktu, dan penanganan trauma dikenal
sebagai salah satu tantangan utama pada pelayanan kesehatan saat ini. Lebih dari 5
juta orang meninggal akibat trauma pada tahun 2002, lebih dari 90% terjadi di
negara berkembang. Dari tahun 2000-2020, kematian akibat kecelakaan lalu lintas
diperkirakan meningkat 83% di negara berkembang.3-5 Akibat trauma dapat berupa
kecacatan fisik, psikologis, dan keuangan.2
Trauma abdomen adalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar
yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma
abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh
pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma
tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat. Sebanyak 75% kasus
trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas, baik itu
kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki. Sedangkan
trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak 9%.
Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yang cepat
dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering
mengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap
cedera abdominal sampai terbukti lain.
Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan
penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada penderita dengan
dengan trauma batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai riwayat kesehatan
pasien, kronologis kejadian, luka atau trauma lain yang dapat mengalihkan perhatian,
dan perubahan status mental sebagai akibat dari cedera kepala atau intoksikasi,
membuat trauma tumpul abdomen sulit untuk didiagnosis dan ditatalaksana. Pasien
dengan trauma tumpul abdomen biasanya datang dengan cedera abdominal dan
extraabdominal yang memerlukan perawatan lanjut yang rumit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan pelvis.
Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah atas oleh
diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang miring yang
disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk bagian dari
abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga abdomen
meluas ke atas sampai mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima. Jadi
sebagian rongga abdomen terletak atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari
hepar, gaster dan lien terdapat di dalamnya.
Abdomen terbagi menjadi 9 regio atau 4 kuadran, dalam bentuk kuadran bentuk
garis besar dan sederhana. Penentuan kuadran ini dengan menarik garis (horizontal
dan vertikal) melalui umbilikus. Dengan cara ini dinding abdomen terbagi atas 4
daerah yang sering disebut :
Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik, yaitu
dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan pembagian
yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi 9 regio:
2. Regio epigastrica
5. Regio umbilicalis
Kepentingan pembagian ini, yaitu bila kita meminta pasien untuk menunjukan
dengan tepat lokasi rasa nyeri serta melakukan deskripsi perjalanan rasa nyeri
tersebut. Dalam hal ini sangat penting untuk membuat peta lokasi rasa nyeri beserta
perjalanannya, sebab sudah diketahui karakteristik dan lokasi nyeri akibat kelainan
masing-masing organ intra abdominal berdasarkan hubungan persarafan viseral dan
somatik.
Tabel 1. Organ dalam regio-regio abdomen
1. Kutis
2. lemak subkutis
3. fasia skarpa
7. fasia transversalis
8. lemak peritoneal
9. peritoneum
Dinding abdomen dari luar ke dalam terdiri dari kulit, jaringan subcutis, fascia
Superfisialis, Otot-otot perut dan punggung, serta di sebelah dalam dibatasi oleh
fascia otot bagian dalam (fascia transversalis). Kulit abdomen mempunyai turgor
yang bervariasi. Pada wanita yang telah melahirkan anak, turgornya berkurang
sehingga kulit menjadi lembek dan berkeriput. pada penderita dehidrasi turgor kulit
juga berkurang. Fascia super cialis meliputi bagian depan otot dan ke arah bawah
dapat dibedakan dalam dua lapisan, yaitu fascia Camperi di bagian luar dan fascia
Scarpae di sebelah dalam. Fascia Camperi yang mengandung banyak lemak menyatu
dengan lapisan lemak superfisial dari tubuh dan ke bawah menyatu dengan fascia
superficialis daripaha, dan pada scrotum ikut membentuk lapisan Otot dari tunica
Dartos dari scrotum pada pria atau menuju ke labium majus pada wanita. Fascia
Scarpae yang tipis dan bersifat membranosa, ke bawah meliwati ligamentum
inguinale dan menyatu dengan fascia lata pada Paha. Di linea mediana di bawah
fascia ini tidak melekat pada os pubis, tetapi membentuk ligamentum suspensorium
penis (pria) atau suspensorium clitoridis (wanita). Dari situ fascia akan melekat pada
pinggir dari arcus pubicus dan membentuk fascia Collesi (fascia perinealis
superficialis, NA)
Gambar 2. Lapisan superfisial dinding abdomen
1. Lateral :
M.transversus abdominis
2. Ventral/anterior :
M.rectus abdominis
M.pyramidalis
2.1.3 PERITONEUM
Cavum peritonei normalnya berisi sedikit cairan, keadaan patologis terjadi jika
ditemukan cairan lebih banyak (ascites). Pada laki-laki cavum peritonei merupakan
rongga yang utuh / tertutup sedangkan pada wanita, cavum memiliki 2 lubang pada
bagian caudal/inferior pada ujung-ujung bebas tuba uterina ostium tuba uterina (D)
dan (S).
Gambar 4. Peritoneum
2.2.1 DEFINISI
Jadi, trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang
diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk.
2.2.2 KLASIFIKASI
Trauma penetrasi (Trauma tajam) : luka tusuk dan luka tembak menyebabkan
kerusakan jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tembak kecepatan tinggi
mengalihkan lebih banyak energy pada organ-organ abdomen mengingat peluru
mungkin berguling atau pecah sehingga menambah efek cedera yang lebih berat.
Laserasi. Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil
(30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%).1,2,5
2.2.4 ETIOLOGI
2.2.5 PATOFISIOLOGI
Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen
dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi dan
kekuatan perlambatan (deselerasi).
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau
kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap
belt dan spinal column. Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan
timbulnya hematoma subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut
juga menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat menimbulkan robekan.
Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong
(shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang
bergerak bebas. Kekuatan memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan
ruptur dari struktu penyokong pada daerah hubungan antara dua segmen yang
bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya hepar
sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri renalis. Hal serupa
juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan mesenterium,
trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri
splanikus.
Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat penusuk.
Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang
padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga
abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak akan menimbul
kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan mengalami kerusakan
yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.
a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua diafragma,
yang paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5 10
cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma kiri. Pada
pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun
kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara yang membuat
kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster
terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya
kelainan.
b. Organ berongga
1. Lambung dan usus halus
Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum relatif
mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan debridemen
luka dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam
usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga mereseksi segmen yang
terlibat dan melakukan anastomosis primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor
yang dianggap mencetuskan hal tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan
intralumina lokal, kompresi usus halus pada kolumna vertebralis serta deselerasi
pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan sabuk pengaman mengakibatkan avulsi
lambung dan usus halus.
2. Kolon dan rektum
Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas
abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon.
Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh
derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan kontaminasi
feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan bedah. Para ahli
percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan dan kontaminasi
feses sedikit.
c. Organ padat
1. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering
terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan
disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan
di hati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar
dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular
dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24 jam.
Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial. Indikasi
operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis, hematoma yang
meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra abdominal.
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan
oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari
limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di
limpa.
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non
operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan
memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi
pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera
pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis.
3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah
epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase
yang konstan harus dicurigai adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca
trauma pemeriksaan CT dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan
cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika dicurigai adanya cedera pada organ
tersebut. Jika CT scan meragukan maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan
eksplorasi.
4. Traktus urinarius
a. Ginjal
Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal disebabkan
oleh trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen, pinggang, dan
punggung. Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, perkelahian,
jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi bisa
menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena deselerasi cepat. Luka karena
senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal
sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada luka
tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma visera abdomen.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya terfiksasi
oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas
dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena fiksasi yang sedikit,
ginjal mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun deselerasi mendadak yang
bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima
arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila mauopun komplit pembuluh darah.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini
bisa menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan
dengan pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal
kanan bisa menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan
ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor
maligna lebih mudah mengalami ruptur karena adanya trauma ginjal.
b. Ureter, vesika urinaria, dan urethra
Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan
laparotomi. Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat
fraktur pelvik atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang
timbul berupa rangsangan peritoneum. Pemeriksaan dengan CT scan dapat
mendeteksi cairan intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan retrograde atau CT cystography.
Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat
straddle injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan
perineum. Pasien dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada
spongiosus urethra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan dengan mobilisasi urethra
dan eksisi segmen cedra dengan reanastomosis.
d. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada pasien yang
tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi akibat yang lain.
Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam. Darah
dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa didapatkan
nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara usus bisa menurun atau
tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan penegangan dari dinding perut untuk
menjaga organ-organ yang mengalami inflamasi di dalam abdomen.
Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di dalam rongga abdomen, bisa
menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada luka tembus, bisa
didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam abdomen dari tempat
luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan trauma intraabdomen
meliputi fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan cedera pada dinding
abdomen.
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya
darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula
ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui
dengan hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya melemah dan
menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di daerah bahu
sebelah kiri.
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul
sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat
kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling
cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi di bagian atas, misalnya di
daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan
terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah, seperti kolon,
mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi
karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang
tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa
mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka
tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami
cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang
berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu
untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis
diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien
dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di
abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini
menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur
luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien
mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah
menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang
sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena
perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk
evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.
a. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak. Untuk pasien asimptomatik
dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas
diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks berulang, torakoskopi atau
laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan.
Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia
diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka
lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan
terbaik adalah laparatomi.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan
urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk
menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus.
Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan.
Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan
kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler
count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif.
Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.
Pengukuran amilase
Pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera
pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 6 jam setelah trauma
memiliki akuransi yang cukup besar.
Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada
abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien hipotensi,
dan mekanisme deselerasi yang parah.
Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang
dalam terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).
e. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal.
Tehnik DPL :
- Tehnik terbuka
i. CT Scan
j. Laparoskopi
Dengan menggunakan teknik modern minimally invasive surgery, cepatnya
perkembangan teknologi ini memberikan aplikasi dalam diagnostik dan terapeutik
pada berbagai bidang terutama juga dalam trauma abdomen. Laparoskopi dilakukan
pada penderita dengan hemodinamik stabil. Indikasi penggunaannya dalam trauma
abdomen masih diklarifikasikan dan laparoskopi memegang peranan baik dalam
trauma tembus dan trauma tumpul abdomen.10,11
Prosedur ini baik terutama untuk cedera pada diafragma. Keputusan untuk
dilakukan operasi atau pengobatan konservatif nonoperative pada trauma tumpul ( non
penetrans) dan trauma tajam(penetrans) abdomen memerlukan diagnosis yang
tepat,yang tidak selalu mungkin dengan teknik pencitraan, dimana ada bahaya besar
bahwa cedera pada diafragma atau usus mungkin terlewatkan. Untuk menghindari
kelalaian tersebut, laparatomi eksplorasi biasanya segera dilakukan, data
menunjukkan bahwa sampai 41% dari laparotomi eksplorasi ternyata non therapeutic
dan bisa, atau bisa saja, dihindari dengan laparoskopi.10,11
2.2.9 DIAGNOSIS
2.2.10 TATALAKSANA
Kunci sukses untuk penanganan trauma abdomen adalah adanya kecurigaan
yang besar untuk trauma abdomen (high index of suspicion) yaitu pemeriksa harus
menganggap bahwa ada kerusakan organ intra abdomen. Dan pemeriksa harus
menentukan apakah perlu intervensi operasi segera atau tidak. Untuk diketahui
bahwa lebih kurang 75 % -90 % luka tembak abdomen memerlukan tindakan operasi
segera, 25 % - 35 % untuk luka tusuk abdomen, dan hanya 15 % - 20 % untuk
trauma tumpul abdomen.
Exposure : pada pasien trauma harus dinilai ada tidaknya cedera lain yang dapat
meperberat morbiditas.
Nasogastric tube dipasang jika tidak ada kontraindikasi untuk dekompresi dan
menilai ada tidaknya darah. Jika pasien mengalami cedera maksilofacial maka
digunakan orofaringeal tube. Folley kateter dipasang dan urine diambil untuk
pemeriksaan hematuria mikroskopik. Jika ada kecurigaan cedera urethra atau
buli-buli pada fraktur pelvis maka dilakukan uretrogram retrograde sebelum
melakukan pemasangan kateter.
a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan
permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan
pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau
hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen.
Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau pneumothoraks
sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan tanda shok dan
mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan intravena.
Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala
sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma. Setelah
melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi dengan secondary
survey untuk mengidentifikasi semua potensi yang memungkinkan menimbulkan
cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah satu protokol untuk menilai
adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif atau meragukan,
DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil. Pasien yang
mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas yang jelas pada
pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi pembedahan.
Penemuan yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti adanya cairan bebas
atau cedera organ padat pada sonogram atau CT-scan merupakan indikasi untuk
dilakukan intervensi pembedahan.
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai laparotomi.
Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi. Perhatian harus
ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian cairan dan darah,
penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada pasien dengan
adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai keuntungan untuk
dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya embolisasi; dan
beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk mengontrol perdarahan.
Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan demage-control procedures)
dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen sementara harus dilakukan operasi
kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan definitif.
Algoritma bertujuan untuk membantu klinisi dalam memberi petunjuk dalam
membuat keputusan. Pasien pasien dengan tanda tanda yang jelas untuk trauma
abdomen dengan atau tanpa haemoperitoneum masif tidak boleh ditunda dengan
pemeriksaan pemeriksaan lainnya dan harus dilakukan resusitasi dan laparatomi
segera. Sebaliknya pada pasien pasien dengan tanda tanda klinik muncul setelah
12 jam dan menderita trauma resiko rendah dengan pemeriksaan fisik yang tidak
jelas harus diobservasi atau harus diperiksa USG sebagai screening investigation,
untuk mencari cairan bebas dengan atau tanpa tanda tanda trauma pada organ.
Sedangkan pasien dengan tanda tanda klinik yang tertunda dengan trauma resiko
tinggi dan atau pemeriksaan fisik yang positif harus dilakukan pemeriksaan CT Scan
dan penanganan selanjutnya tergantung dari hasil CT Scan tersebut. Pasien pasien
dengan riwayat dan pemeriksaan klinis dengan trauma resiko rendah yaitu
pemeriksaan fisik yang tidak jelas dan mekanisme trauma resiko rendah , dengan
hemodinamik yang stabil harus diperiksa USG sebagai pemeriksaan awal yang
sederhana. Sedangkan pasien dengan trauma resiko rendah dengan gejala klinik yang
meragukan atau gejala klinik yang positif dengan hemodinamik stabil harus
diperiksa CT Scan . Sebaliknya jika hemodinamik tidak stabil harus dilakukan
laparatomi segera walaupun beberapa klinisi masih menganjurkan DPL (Diagnostic
Peritoneal Lavage) sebelumnya sebagai bukti adanya perdarahan intraabdominal.
b. Luka Tusuk
Manajemen trauma darurat berfokus pada golden hour, 60 menit pertama
setelah cedera apapun, ketika dampak terbesar pada morbiditas dan mortalitas dapat
diwujudkan. Hal ini terutama berlaku dalam trauma abdomen. Kematian dini
seringkali merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkontrol dari organ padat
atau cedera pembuluh darah, sehingga stabilisasi dini, diagnosis, dan intervensi
operatif dapat menyelamatkan nyawa. Penyebab kematian akhir termasuk sepsis,
perdarahan yang belum diakui, cedera okultisme (misalnya, ruptur diafragma dengan
herniasi isi perut), cedera organ berongga (usus, kandung empedu, dan kandung
kemih), dan pankreas atau cedera ginjal. Karena tingginya frekuensi laparotomi
negatif pada tindakan laparotomi rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih
selektif dalam memutuskan tindakan laparotomi pada luka tusuk abdomen.
Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan
peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk, darah
dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal
memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama 24-48 jam.
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu
apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk.
Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan laparotomi.
Ada tiga pertanyaan utama yang dibutuhkan dalam pendekatan algoritma untuk
luka tusuk dinding depan abdomen yaitu :
1. Tanda vital yang tidak stabil merupakan alasan utama untuk operasi
emergency. Harus diingat bahwa luka tusuk pada dada bagian bawah dapat
mencederai organ organ intrathoraks seperti jantung dan paru, sehingga
hipotensi pada keadaan ini dapat saja bukan oleh kehilangan darah
intraperitoneal.
2. Eviserasi dari organ intraperitoneal membawa resiko 60 % terhadap cedera
organ intraabdomen
3. Tanda tanda peritonitis , keadaan ini tidak boleh ditunda denga pemeriksaan
lain.
c. Luka Tembak
Luka tembak pada dinding depan abdomen 80 85 % mengakibatkan tembus
peritoneum. Jika tembus peritoneum, maka trauma organ organ intraabdominal
terjadi 90 95 % dari pasien. Sama halnya dengan luka tusuk abdomen pertanyaan
apakah perlu operasi segera, apakah peritoneum telah tembus atau apakah ada
trauma organ intraabdomen, juga berlaku pada luka tembak abdomen. Indikasi untuk
laparatomi segera juga sama dengan luka tusuk yaitu jiak ada tanda tanda
peritonitis.
Indikasi untuk tembus atau tidaknya peritoneum sulit untuk luka tembak, Local
wound exploration kurang tepat untuk luka tembak sebab luasnya trauma jaringa
lokal. Biplanar X Rays dapat menentukan lokasi proyektil, dan luka masuk serta
keluar mengindikasikan kemungkinan proyektilnya. Sejauh ini, tanda tanda yang
jelas luka tembak dan kecurigaan kerusakan organ merupakan petunjuk untuk
laparatomi segera. Tidak ada tempat untuk penanganan konservatif luka tembak.
Indikasi Laparatomi
Intervensi bedah segera bagi organ yang terkena.
Pendarahan dari gaster, rectum atau traktus urogenitalis pada luka tusuk.
e. Follow up
Setelah laparatomy, pasien diberikan terapi non operatif dengan resusitasi cairan
dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik serial dan
jika adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan laparatomi.
Operasi damage control adalah salah satu kemajuan besar dalam teknik bedah
dalam 20 tahun terakhir. Prinsip - prinsip damage control lambat untuk dapat
diterima oleh ahli bedah di seluruh dunia, karena bertentangan dengan prinsip
standar praktek bedah yaitu bahwa operasi yang terbaik untuk pasien adalah
prosedur definitif. Kira kira 10 % dari trauma abdomen sangat berat dan usaha
untuk memperbaiki secara definitif tidak mungkin dilakukan pada laparatomi awal.
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun yang
tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian dapat
terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya limpa
dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan, komplikasi
sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi.
Emboli Pulmonar
Pneumonia
Tekanan ulserasi
Atelektasis
Sepsis
Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan
perdarahan.
2.2.12 PROGNOSIS
KESIMPULAN
1. Masloman AH, Rendy L, Wowiling PA, Sapan HB. Pola Pasien Trauma Di
Instalasi Rawat Darurat Bedah Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode
Januari 2013. e-CliniC. 2016;4(1).
5. Reddy NB, Hanumantha PM, Reddy NN, Reddy CS. An epidemiological study
on pattern of thoraco-abdominal injuries sustained in fatal road traffic accidents
of Bangalore: Autopsy-based study. Journal of emergencies, trauma, and shock.
2014 Apr;7(2):116.
9. Boutros SM, Nassef MA, Abdel-Ghany AF. Blunt abdominal trauma: The role
of focused abdominal sonography in assessment of organ injury and reducing
the need for CT. Alexandria Journal of Medicine. 2016 Mar 31;52(1):35-41.
10. Lee PC, Lo C, Wu JM, Lin KL, Lin HF, Ko WJ. Laparoscopy decreases the
laparotomy rate in hemodynamically stable patients with blunt abdominal
trauma. Surgical innovation. 2014 Apr;21(2):155-65.
11. Johnson JJ, Garwe T, Raines AR, Thurman JB, Carter S, Bender JS, Albrecht
RM. The use of laparoscopy in the diagnosis and treatment of blunt and
penetrating abdominal injuries: 10-year experience at a level 1 trauma center.
The American Journal of Surgery. 2013 Mar 31;205(3):317-21.
14. Raza M, Abbas Y, Devi V, Prasad KV, Rizk KN, Nair PP. Non operative
management of abdominal traumaa 10 years review. World Journal of
Emergency Surgery. 2013 Apr 5;8(1):14.