Anda di halaman 1dari 52

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI ABDOMEN

2.2 TRAUMA ABDOMEN

2.2.1 DEFINISI

2.2.2 KLASIFIKASI

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

2.2.4 ETIOLOGI

2.2.5 PATOFISIOLOGI

2.2.6 GEJALA KLINIS (RUPTUR ORGAN)

2.2.7 PEMERIKSAAN FISIK

2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.2.9 DIAGNOSIS

2.2.10 TATALAKSANA

2.2.11 KOMPLIKASI

BAB III KESIMPULAN


BAB I

PENDAHULUAN

Trauma masih menjadi penyebab kematian nomor satu pada kelompok usia
muda dan produktif di seluruh dunia. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab
kematian nomor tiga, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun merupakan penyebab
kematian utama. Monotrauma adalah cedera pada salah satu regio tubuh, biasanya
tanpa disertai perburukan fisiologis, kardiovaskular, respirasi atau neurologis.
Multitrauma adalah cedera yang mengenai lebih dari satu regio tubuh. Politrauma
adalah cedera yang mengenai setidaknya 2 regio tubuh disertai perburukan fisiologis
sistemik.1,2 Trauma adalah kondisi sensitif-waktu, dan penanganan trauma dikenal
sebagai salah satu tantangan utama pada pelayanan kesehatan saat ini. Lebih dari 5
juta orang meninggal akibat trauma pada tahun 2002, lebih dari 90% terjadi di
negara berkembang. Dari tahun 2000-2020, kematian akibat kecelakaan lalu lintas
diperkirakan meningkat 83% di negara berkembang.3-5 Akibat trauma dapat berupa
kecacatan fisik, psikologis, dan keuangan.2

Sistem penilaian trauma mencoba menerjemahkan keparahan cedera menjadi


angka, membantu menilai secara kuantitatif berat ringannya cedera, memperkirakan
hasil akhir trauma, bahkan berguna dalam audit dan penelitian klinis. Pemantauan
pasien trauma dengan penilaian berulang dan sistematis dapat sebagai identifikasi
awal perbaikan atau perburukan. Beberapa sistem penilaian bertujuan untuk
memperkirakan probabilitas keberlangsungan hidup. Terdapat tiga tipe sistem
penilaian trauma, yaitu berdasarkan anatomi, fisiologi, dan kombinasi.1,2

Trauma abdomen adalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar
yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma
abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh
pukulan, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma
tumpul abdomen sering kali ditemui pada unit gawat darurat. Sebanyak 75% kasus
trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas, baik itu
kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki. Sedangkan
trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuh sebanyak 9%.
Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yang cepat
dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering
mengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap
cedera abdominal sampai terbukti lain.

Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan
penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada penderita dengan
dengan trauma batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai riwayat kesehatan
pasien, kronologis kejadian, luka atau trauma lain yang dapat mengalihkan perhatian,
dan perubahan status mental sebagai akibat dari cedera kepala atau intoksikasi,
membuat trauma tumpul abdomen sulit untuk didiagnosis dan ditatalaksana. Pasien
dengan trauma tumpul abdomen biasanya datang dengan cedera abdominal dan
extraabdominal yang memerlukan perawatan lanjut yang rumit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI ABDOMEN

Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan pelvis.
Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah atas oleh
diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang miring yang
disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk bagian dari
abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga abdomen
meluas ke atas sampai mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima. Jadi
sebagian rongga abdomen terletak atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari
hepar, gaster dan lien terdapat di dalamnya.

Abdomen terbagi menjadi 9 regio atau 4 kuadran, dalam bentuk kuadran bentuk
garis besar dan sederhana. Penentuan kuadran ini dengan menarik garis (horizontal
dan vertikal) melalui umbilikus. Dengan cara ini dinding abdomen terbagi atas 4
daerah yang sering disebut :

1. Kuadran kanan atas

Organ : hati, kantung empedu, paru-paru, esofagus

2. Kuadran kiri atas

Organ : Hati, jantung, esofagus, paru, pankreas, limfa, lambung

3. Kuadran kanan bawah


Organ : Usus 12 jari (duodenum), usus besar, usus kecil, kandung kemih, rektum,
testis, anus

4. Kuadran kiri bawah

Anus, rektum, testis, ginjal, usus kecil, usus besar

Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik, yaitu
dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan pembagian
yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi 9 regio:

1. Regio hypocondriaca dextra

2. Regio epigastrica

3. Regio hypocondriaca sinistra

4. Regio abdominal lateralis dextra

5. Regio umbilicalis

6. Regio abdominal lateralis sinistra

7. Regio inguinalis dextra

8. Regio pubica (hypogastrium)

9. Regio inguinalis sinistra

Kepentingan pembagian ini, yaitu bila kita meminta pasien untuk menunjukan
dengan tepat lokasi rasa nyeri serta melakukan deskripsi perjalanan rasa nyeri
tersebut. Dalam hal ini sangat penting untuk membuat peta lokasi rasa nyeri beserta
perjalanannya, sebab sudah diketahui karakteristik dan lokasi nyeri akibat kelainan
masing-masing organ intra abdominal berdasarkan hubungan persarafan viseral dan
somatik.
Tabel 1. Organ dalam regio-regio abdomen

Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokondrium kiri


Lobus kanan dari Pilorus gaster Lambung
hepar Duodenum Limpa
Kantung empedu Pankreas Bagian kaudal dari
Sebagian dari Sebagian dari hepar pankreas
Fleksura lienalis dari
duodenum
kolon
Fleksura hepatik dari Kutub atas dari ginjal
kolon kiri
Sebagian dari ginjal Kelenjar suprarenal
kanan kiri
Kelenjar suprarenal
kanan
Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri
Kolon asendens Omentum Kolon desendens
Bagian bawah dari Mesenterium Bagian bawah dari
ginjal kanan Bagian bawah dari ginjal kiri
Sebagian daru duodenum Sebagian jejunum
duodenum dan Jejunum dan ileum dan ileum
jejunum
Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri
Sekum Ileum Kolon sigmoid
Apendiks Kandung kemih Ureter kiri
Bagian akhir dari Uterus (pada Ovarium kiri
ileum kehamilan)
Ureter kanan

Kuadran dan regio tersebut dapat dilihat pada gambar berikut4,


Gambar 1. Regio-regio abdomen dan pembagian empat kuadran abdomen4

2.1.1 DINDING ABDOMEN

Anatomi dari dinding perut dari luar ke dalam terdiri dari :

1. Kutis

2. lemak subkutis

3. fasia skarpa

4. muskulus obligus eksterna

5. muskulus obligus abdominis interna

6. muskulus abdominis tranversal

7. fasia transversalis

8. lemak peritoneal

9. peritoneum
Dinding abdomen dari luar ke dalam terdiri dari kulit, jaringan subcutis, fascia
Superfisialis, Otot-otot perut dan punggung, serta di sebelah dalam dibatasi oleh
fascia otot bagian dalam (fascia transversalis). Kulit abdomen mempunyai turgor
yang bervariasi. Pada wanita yang telah melahirkan anak, turgornya berkurang
sehingga kulit menjadi lembek dan berkeriput. pada penderita dehidrasi turgor kulit
juga berkurang. Fascia super cialis meliputi bagian depan otot dan ke arah bawah
dapat dibedakan dalam dua lapisan, yaitu fascia Camperi di bagian luar dan fascia
Scarpae di sebelah dalam. Fascia Camperi yang mengandung banyak lemak menyatu
dengan lapisan lemak superfisial dari tubuh dan ke bawah menyatu dengan fascia
superficialis daripaha, dan pada scrotum ikut membentuk lapisan Otot dari tunica
Dartos dari scrotum pada pria atau menuju ke labium majus pada wanita. Fascia
Scarpae yang tipis dan bersifat membranosa, ke bawah meliwati ligamentum
inguinale dan menyatu dengan fascia lata pada Paha. Di linea mediana di bawah
fascia ini tidak melekat pada os pubis, tetapi membentuk ligamentum suspensorium
penis (pria) atau suspensorium clitoridis (wanita). Dari situ fascia akan melekat pada
pinggir dari arcus pubicus dan membentuk fascia Collesi (fascia perinealis
superficialis, NA)
Gambar 2. Lapisan superfisial dinding abdomen

Musculus yang berada pada dinding abdomen adalah,

1. Lateral :

M.obliquus externus abdominis

M.obliquus internus abdominis

M.transversus abdominis

2. Ventral/anterior :

M.rectus abdominis

M.pyramidalis

Fascia transversa abdominis


Peritoneum parietale

Gambar 3. Lapisan dalam dinding abdomen

2.1.2 CAVUM ABDOMEN

Cavum abdomen berisi alat-alat tractus digestivus, Sebagian alat-alat tractus


urogenitalis, Lien, Glandula suprarenalis, dan Plexus nervosus sistem otonom. Isi
abdomen sebagian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan
usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi
lambung dan bagian pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati.
Pankreas terletak dibelakang lambung, dan limpa terletak dibagian ujung pancreas.
Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior abdomen. Ureter
berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava inferior,
reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen.
Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai
dalam rongga ini.

2.1.3 PERITONEUM

Peritoneum merupakan membran serous yang terdiri dari stratum mesothelium


selapis & jar.ikat kolagen/elastis. Fungsi peritoneum :

Mengurangi pergeseran antar organ visceral

Tempat menyimpan lemak

Melokalisir proses infeksi

Absorpsi bahan-bahan terlarut

Cavum peritonei normalnya berisi sedikit cairan, keadaan patologis terjadi jika
ditemukan cairan lebih banyak (ascites). Pada laki-laki cavum peritonei merupakan
rongga yang utuh / tertutup sedangkan pada wanita, cavum memiliki 2 lubang pada
bagian caudal/inferior pada ujung-ujung bebas tuba uterina ostium tuba uterina (D)
dan (S).
Gambar 4. Peritoneum

2.2 TRAUMA ABDOMEN

2.2.1 DEFINISI

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah antara


diafragma atas dan panggul bawah. Beberapa sumber juga menyebutkan trauma
abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja. Trauma Abdomen adalah terjadinya atau
kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk.

Jadi, trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang
diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk.
2.2.2 KLASIFIKASI

Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu :

Trauma penetrasi (Trauma tajam) : luka tusuk dan luka tembak menyebabkan
kerusakan jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tembak kecepatan tinggi
mengalihkan lebih banyak energy pada organ-organ abdomen mengingat peluru
mungkin berguling atau pecah sehingga menambah efek cedera yang lebih berat.

Trauma non-penetrasi (Trauma tumpul) : akibat trauma benda tumpul dapat


mengakibatkan rusaknya organ padat atau berongga yang menyebabkan rupture,
dengan perdarahan sekunder dan peritonitis. Pada penderita yang dilakukan
lapaorotomi oleh karena trauma tumpul organ yang paling sering terkena adalah
limpa (40-55%), hati dan hematoma retroperitoneum.
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :

Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding


abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.

Laserasi. Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya


lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada
abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada tahun 1990,
sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia karena cedera (trauma). Resiko
kematian karena trauma sangat bervariasi tergantung dari daerah, usia, dan jenis
kelamin. Kematian karena trauma sekitar 12,5% dari seluruh kematian pada laki-laki
dan pada perempuan hanya 7,4%. Pada tahun 2020, diperkirakan angka kematian di
dunia akibat trauma akan mencapai 8,4 miliar dan salah satu penyebab tersebut
adalah kecelakaan lalu lintas.
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat melaporkan
8% pasien (total 25.301 pasien) mengalami trauma abdomen. Delapan puluh tiga
persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma tumpul dan 59% dari trauma
tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena kecelakaan kendaraan. Penelitian
yang serupa dari database trauma pasien dewasa menunjukkan bahwa trauma tumpul
merupakan penyebab utama cedera intraabdomen dan kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama dari cedera tersebut. Trauma tumpul
didapatkan sekitar 2/3 dari seluruh trauma tersebut.
Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka
tusuk menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari 50%
trauma tumpul disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai dengan
trauma pada bagian tubuh lainnya. Di negara-negara yang mengharuskan
penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan, dikenal trauma tumpul yang
disebabkan oleh sabuk pengaman ini yang disebut seat-belt syndrome. Trauma
tumpul terutama terjadi di daerah pedesaan, sementara trauma tembus lebih sering
terjadi di daerah perkotaan.
Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma tumpul
abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus
halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera
adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas dan ureter.

Pada trauma tajam abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil
(30%), diafragma (20%), dan usus besar (15%).1,2,5

2.2.4 ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya trauma tumpul dibagi menjadai tiga yaitu:


benturan karena benda tumpul, cedera kompresi, dan cedera perlambatan (deselerasi).
Benturan karena benda tumpul dapat mengakibatkan perforasi pada organ visera
berongga dan perdarahan pada organ visera padat. Pada cedera kompresi dapat
mengakibatkan robekan dan hematoma pada organ visera padat. Selain itu cedera
kompresi juga dapat mengakibatkan ruptur pada organ berongga karena peningkatan
tekanan intraluminer. Peregangan dan ruptur pada jaringan ikat atau penyokong
diakibatkan karena perlambatan atau deselerasi.
Trauma akibat kecelakaan kendaraan sampai saat ini merupakan penyebab
utama trauma tumpul abdomen pada populasi masyarakat. Kecelakaan antar
kendaraan dan kendaraan dengan pejalan kaki menjadi penyebab pada 50-75% kasus.
Penyebab yang jarang dari trauma tumpul abdomen antara lain trauma iatrogenic
selama resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual untuk
membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich.
Trauma tembus dapat desebabkan oleh luka akibat terkena tembakan, luka
akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan. Luka tembus karena tembakan
kecepatan rendah dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, laserasi, dan putus.
Sedangkan luka tembak kecepatan tinggi dapat mengakibatkan hancurnya organ
dalam.
Luka akibat tembakan senjata, dimana mempunyai energi yang lebih besar
dibandingkan luka tusuk, biasanya menyababkan kerusakan yang lebih besar. Luka
akibat tembakan senjata yang menembus peritoneum dan mengakibatkan kerusakan
yang berarti terhadap struktur intraabdomen yang penting didapatkan pada lebih dari
90% kasus. Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum, dengan 50-75%
dari pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan.
Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan
kolon (20%). Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan)
dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi penetrasi
rongga toraks. Cedera diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus ini.
Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius.2,7
Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera
organ solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah
abdominal (25%).

2.2.5 PATOFISIOLOGI

Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen
dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi dan
kekuatan perlambatan (deselerasi).
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau
kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap
belt dan spinal column. Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan
timbulnya hematoma subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut
juga menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat menimbulkan robekan.
Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong
(shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang
bergerak bebas. Kekuatan memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan
ruptur dari struktu penyokong pada daerah hubungan antara dua segmen yang
bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya hepar
sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri renalis. Hal serupa
juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan mesenterium,
trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri
splanikus.

Mekanisme trauma tumpul secara kronologis adalah sebagai berikut,


Compression Injury, terjadi dimana organ organ viscera terperangkap diantara
kekuatan yang datang dari dinding depan abdomen dan dinding depan dada
dengan tulang belakang daerah lumbal atau dada sebagai bantalannya. Suatu
pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang
melesak kedalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun
crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun
organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang
distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun
peritonitis.
Shearing force, secara klasik dimulai oleh deselerasi tiba-tiba pada kecelakaan
lalu lintas. Terjadi akibat perubahan kecepatan mendadak dimana terjadi
pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfixir dengan bagian
yang bergerak dapat menyebabkan robekan pedikel vascular seperti
mesenterium, porta hepatic, atau hilus renalis. Misalnya sebuah mobil yang
melaju kencang tiba-tiba terhenti karena menabrak pohon, hal ini
mengakibatkan tubuh penumpang ikut terhenti sehingga organ dalam abdomen
yang bersifat mobile (gaster, intestinum dan kolon) dapat lepas dari
perlekatannya.
Sudden rise in intra abdominal pressure. Peningkatan tekanan intraabdomen
yang tiba tiba yang disebabkan oleh external compression forces yang dapat
memberikan tekanan yang merusak organ padat (to brust injury of solid organs)
seperti hepar, limpa atau ruptur organ berongga seperti usus. Pada pasien-pasien
yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering
terkena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai
tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.6 Ruptur pada trauma
tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya lien yang merupakan
organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atau tidak langsung. Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien
akibat suatu dampak penting kepada lien dari beberapa sumber. Penyebab
utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung, Pada trauma lien yang
perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda perdarahan yang memperlihatkan
keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri abdomen pada kuadran atas kiri
dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma.

Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat penusuk.
Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang
padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga
abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak akan menimbul
kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan mengalami kerusakan
yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.

Perjalanan penyakit dapat digambarkan sebagai berikut,


Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari


dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

2.2.6 GEJALA KLINIS

2.2.6.1 CEDERA ORGAN ABDOMEN

a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua diafragma,
yang paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5 10
cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma kiri. Pada
pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun
kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara yang membuat
kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster
terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya
kelainan.

b. Organ berongga
1. Lambung dan usus halus
Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum relatif
mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan debridemen
luka dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam
usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga mereseksi segmen yang
terlibat dan melakukan anastomosis primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor
yang dianggap mencetuskan hal tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan
intralumina lokal, kompresi usus halus pada kolumna vertebralis serta deselerasi
pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan sabuk pengaman mengakibatkan avulsi
lambung dan usus halus.
2. Kolon dan rektum
Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas
abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon.
Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh
derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan kontaminasi
feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan bedah. Para ahli
percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan dan kontaminasi
feses sedikit.

c. Organ padat
1. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering
terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan
disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan
di hati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar
dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular
dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24 jam.
Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial. Indikasi
operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis, hematoma yang
meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra abdominal.
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan
oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari
limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di
limpa.
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non
operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan
memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi
pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera
pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis.
3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah
epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase
yang konstan harus dicurigai adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca
trauma pemeriksaan CT dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan
cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika dicurigai adanya cedera pada organ
tersebut. Jika CT scan meragukan maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan
eksplorasi.
4. Traktus urinarius
a. Ginjal
Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal disebabkan
oleh trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen, pinggang, dan
punggung. Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, perkelahian,
jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi bisa
menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena deselerasi cepat. Luka karena
senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal
sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada luka
tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma visera abdomen.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya terfiksasi
oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas
dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena fiksasi yang sedikit,
ginjal mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun deselerasi mendadak yang
bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima
arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila mauopun komplit pembuluh darah.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini
bisa menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan
dengan pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal
kanan bisa menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan
ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor
maligna lebih mudah mengalami ruptur karena adanya trauma ginjal.
b. Ureter, vesika urinaria, dan urethra
Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan
laparotomi. Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat
fraktur pelvik atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang
timbul berupa rangsangan peritoneum. Pemeriksaan dengan CT scan dapat
mendeteksi cairan intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan retrograde atau CT cystography.
Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat
straddle injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan
perineum. Pasien dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada
spongiosus urethra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan dengan mobilisasi urethra
dan eksisi segmen cedra dengan reanastomosis.
d. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada pasien yang
tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi akibat yang lain.

e. Pembuluh darah abdomen


Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya menyebabkan
instabilisasi hemodinamik dan ditemukan pada saat laparotomi. Pada beberapa kasus
perdarahan dapat berhenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan
adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka
merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan cara laparotomi.
Pada beberapa kasus perdarahan dapat berenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan
mungkin ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh
darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan
cara laparotomi dan mencegah perdarahan yang terjadi

2.2.6.2 GEJALA AWAL DAN TANDA KLINIS

Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam. Darah
dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa didapatkan
nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara usus bisa menurun atau
tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan penegangan dari dinding perut untuk
menjaga organ-organ yang mengalami inflamasi di dalam abdomen.
Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di dalam rongga abdomen, bisa
menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada luka tembus, bisa
didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam abdomen dari tempat
luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan trauma intraabdomen
meliputi fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan cedera pada dinding
abdomen.
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya
darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula
ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui
dengan hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya melemah dan
menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di daerah bahu
sebelah kiri.
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul
sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat
kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling
cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi di bagian atas, misalnya di
daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan
terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah, seperti kolon,
mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi
karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang
tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa
mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka
tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami
cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang
berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu
untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis
diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien
dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di
abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini
menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur
luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien
mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah
menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang
sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena
perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk
evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.

2.2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru


palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda
dehidrasi, perdarahan, dan tanda-tanda syok. Pada trauma abdomen biasanya
ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis merupakan indikasi
adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat Echimosis pada daerah umbilikal
biasa kita sebut Cullens Sign sedangkan echimosis yang ditemukan pada
salah satu panggul disebut sebagai Turners Sign. Terkadang ditemukan
adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, kolon yang
terjadi pada trauma tembus atau tajam.
Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran
dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga
perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical
merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk melihat apakah
ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju dengan
meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina iliaka
anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi getaran
di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya radang atau
abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma.
Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut
di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi
bila ditemukan balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul
kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya ruptur limpa.
Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya udara bebas
yang masuk.
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan
kekakuan (rigidity) dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen dapat pula
diakibatkan oleh hematoma pada dinding abdomen. Adanya darah dalam rongga
abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas
ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Bising usus biasanya
melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum berarti bahwa
tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai ranggsangan
peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu terutama yang
sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat membantu
menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan: pemeriksaan rektum, adanya darah
menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya darah
dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada saluran
kencing.

2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak. Untuk pasien asimptomatik
dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas
diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks berulang, torakoskopi atau
laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan.
Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia
diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka
lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan
terbaik adalah laparatomi.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan
urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk
menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus.

Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan.
Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan
kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler
count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif.

Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.

Lever funection test (LFT)


LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen
untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse. Peningkatan kadar
aspartate aminotransferase (AST) atau alanin aminotransferase (ALT) lebih dari
130 berhubungan dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar lactate
dehydrogenase (LDH) dan bilirubun merupakan indikasi non spesifik untuk
cedera hepar.

Pengukuran amilase
Pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera
pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 6 jam setelah trauma
memiliki akuransi yang cukup besar.

Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada
abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien hipotensi,
dan mekanisme deselerasi yang parah.

Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang
dalam terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).

Golongan darah, screen, dan crossmatch


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen
dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat dipersiapkan
darah utnuk transfusi dengan segera.

Pengukuran gas darah arteri


Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar oksigen
(PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi
asidosis metabolik yang sering menyertai keadaan syok.

Skrining obat dan alkohol


Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna
untuk menilai kesadaran pasien.

c. Plain abdomen foto tegak


Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.

d. Pemeriksaan urine rutin


Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.
Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran
urogenital.

e. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal.

f. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)


Pemeriksaan ini diperkenalkan pada tahun 1965 oleh Root and Collagnes,
DPL memberikan gambaran yang cepat, murah, akurat dan sangat invasif, aman
untuk menilai baik pada trauma tumpul atau trauma tembus abdomen. DPL
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil,
tapi juga bisa dilakukan pada pasien yang stabil tetapi tidak ada fasilitas USG
dan CT scan. Rata-rata akurasi dari pemeriksaan ini adalah 98 % dan angka
morbiditas kurang 1%.

Indikasi pemeriksaan DPL.


1. Equivocal, yaitu pada keadaan gejala klinik yang meragukan misalnya
bila trauma jaringan lunak disertai trauma tulang dengan gambaran yang
gejala kliniknya saling mengaburkan.
2. Unreliable dimana kesadaran pasien menurun setelah trauma kepala atau
intoksikasi
3. Impractical, yaitu DPL dilakukan untuk mengantisipasi dimana pasien
membutuhkan anestesi umum yang lama untuk trauma lainnya. Sebagai
tambahan dimana pasien tidak jelas menderita trauma abdomen tetapi
menderita hipotensif yang tidak bisa dijelaskan maka DPL bisa
menentukan atau menyingkirkan trauma abdomen.

Adapun kontraindikasi pemeriksaan DPL adalah

1. Kontraindikasi absolut yaitu pada pasien pasien dengan indikasi yang


jelas untuk tindakan laparotomi.
2. Kontraindikasi relatif secara teknik sulit dilakukan seperti pada
kegemukan (obesitas morbid), pembedahan abdomen sebelumnya,
kehamilan lanjut dan koagulopati

Tehnik DPL :

- Tehnik terbuka

- Tehnik tertutup (Seldinger Technique)

- Tehnik semi open

Tabel 2. Pemeriksaan DPL yang positif


Parameter Aspirate Lavage
Blood > 10 ml
Fluid Enteric contents (stool,
foods, etc)
Red Cell > 100.000/mm3
>20.000 100.000/mm3
Equivokal
WBC >500/mm3
Enzymes Amylase >20 UI/I
Alkaline phospatase > 3 UI/I

Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun


empedu yang keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang
abnormal merupakan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar
(>10 cc) ataupun cairan feses, dilakukan lavase dengan 1000 cc RL (pada
anak-anak 10 cc/KgBB). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal, serat maupun empedu. Jika setelah dilakukan lavase hasilnya
masih meragukan yaitu jumlah sel darah merah >20.000 100.000 /mm3 maka
penderita diobservasi lebih lanjut.

g. FAST (Focussed Assessment Sonography in Trauma)


USG digunakan pada penderita dengan hemodinamik stabil atau tidak stabil.
USG secara luas untuk evaluasi trauma abdomen terutama trauma pediatrik.
Dengan menggunakan mesin USG dengan resolusi tinggi, maka pemeriksaan ini
lebih cepat, murah, dan bersifat relatif organ spesifik, bersifat portable dan bisa
digunakan di ruangan saat resusitasi berlangsung. Keakuratan pemeriksaan USG
tergantung pemeriksanya (more operator dependent). Faktor yang
mempengaruhi penggunaannya adalah obesitas, adanya udara subkutan ataupun
bekas operasi abdomen sebelumnya.

Pemeriksaan USG dapat dengan cepat menunjukkan cairan bebas


intraperitoneal dan trauma organ padat, mampu mengevaluasi daerah
retroperitoneum meskipun tanpa CT scan. Scanning dengan ultrasound bisa
dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum. Scanning dilakukan
mulai dari kantong pericard, fossa hepatorenalis, fossa splenorenalis dan cavum
douglas. Sesudah scan pertama, 30 menit berikutnya idealnya dilakukan lagi scan
kedua atau scan kontrol. Scan kontrol ini gunanya adalah untuk melihat
pertambahan hemoperitoneum pada pasien perdarahan yang berangsur-angsur.
USG kurang mampu untuk mengidentifikasi kebocoran / perforasi organ
berongga pada keadaan banyak udara dalam usus seperti pada ileus paralitik.
h. Parasentesis Perut
Pada trauma tumpul sulit untuk melihat setiap bagian intraperitoneum dari
traktus gastrointestinal dengan diagnosis laparoskopi. Teknik ini tidak
memungkinkan untuk melihat secara adekuat bagian retroperitoneum. Cara ini
mungkin mampu menilai adanya cedera hepar atau limpa dan terapi kejadian
cedera minor, namun cara tersebut sulit untuk menentukan rencana terapi.

i. CT Scan

Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan


disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum. Merupakan prosedur
diagnostik dimana kita perlu memindahkan pasien ke tempat scanner. Prosedur
ini hanya dilakukan pada pasien pasien dengan hemodinamik yang stabil
dimana kita tidak perlu segera melakukan laparatomi. Dengan CT scan kita
memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat
kerusakannya dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun
pelvis yang sulit didiagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST maupun DPL.

Keuntungan CT scan dibanding DPL adalah :

Kemampuannya menentukan organ spesifik yang mengalami trauma.


Penanganan konservatif modern dari trauma yang tidak mengancam jiwa (non life
threatening injuries) pada hepar dan limpa, CT scan mampu untuk menunjukkan
seberapa besar kerusakan organ dengan pemeriksaan CT serial. Disamping itu CT
mampu mendiagnosa trauma intraperitoneal atau retroperitoneal, dan bersifat
non-invasive, dan tidak berkomplikasi. 5

Kelemahan CT scan adalah :

Memerlukan waktu mulai dari transport, pemeriksaan dan interpretasi hasil


yang didapat, meskipun dilakukan oleh spesialis trauma akan memakan waktu 1
jam. Sehingga dengan tertundanya (delayed) diagnosa berpotensi untuk
mengancam jiwa. Disamping itu CT scan membutuhkan specialist personel
dan spesialist equipment. CT scan tidak mampu mendiagnosa organ berongga
terutama perforasi, walaupun hal ini bisa diatasi dengan pemakaian media
kontras.
Gambar 3. CT Scan Abdomen.

Indikasi pemeriksaan CT scan pada trauma abdomen adalah :

delayed presentation tertunda lebih dari 12 jam

Hasil DPL yang meragukan

Adanya kontraindikasi pemeriksaan DPL

Kecurigaan trauma retroperitoneal pada keadaan di mana hematuria tidak


jelas pada trauma buli-buli atau uretra.

Kontraindikasi pemeriksaan CT scan :

Kontra indikasi absolut yaitu adanya indikasi laparotomi dan kehamilan

Kontraindikasi relatif meliputi adanya pasien yang tidak kooperatif yang


tidak mudah ditenangkan dengan obat,alergi terhadap kontras media dan
trauma pediatri.

Tabel 3. Perbandingan antara DPL, FAST, dan CT Scan

DPL FAST CT Scan


Indikasi Menunjukan darah Menunjukan cairan Menunjukan
bila hipotensi bila hipotensi kerusakan organ bila
tensi normal
Keuntungan Deteksi dini Deteksi dini Lebih spesifik untuk
Semua pasien Semua oasien cedera
Cepat Non-invasive Sensitif 92-98%
98% sensitif Cepat : dapat diulang
Deteksi cedera usus 86-97% akurat
Tidak membutuhkan Tidak membutuhkan
transport transport
Kerugian Invasive Hasil bergantung Mahal dan memakan
Spesifitas rendah operator waktu
Distorsi karena udara Dibutuhkan transport
usus

j. Laparoskopi
Dengan menggunakan teknik modern minimally invasive surgery, cepatnya
perkembangan teknologi ini memberikan aplikasi dalam diagnostik dan terapeutik
pada berbagai bidang terutama juga dalam trauma abdomen. Laparoskopi dilakukan
pada penderita dengan hemodinamik stabil. Indikasi penggunaannya dalam trauma
abdomen masih diklarifikasikan dan laparoskopi memegang peranan baik dalam
trauma tembus dan trauma tumpul abdomen.10,11

Prosedur ini baik terutama untuk cedera pada diafragma. Keputusan untuk
dilakukan operasi atau pengobatan konservatif nonoperative pada trauma tumpul ( non
penetrans) dan trauma tajam(penetrans) abdomen memerlukan diagnosis yang
tepat,yang tidak selalu mungkin dengan teknik pencitraan, dimana ada bahaya besar
bahwa cedera pada diafragma atau usus mungkin terlewatkan. Untuk menghindari
kelalaian tersebut, laparatomi eksplorasi biasanya segera dilakukan, data
menunjukkan bahwa sampai 41% dari laparotomi eksplorasi ternyata non therapeutic
dan bisa, atau bisa saja, dihindari dengan laparoskopi.10,11

Laparoskopi diagnostik dengan opsi terapeutik hanya dilakukan pada


pasien-pasien yang stabil. Tiga trokar biasanya digunakan dan perut dieksplorasi
secara sistematis, dimulai dengan kuadran kanan atas dan searah jarum jam. Cedera
pada Hollow viskus dan luka pada diafragma dan mesenterium dapat dideteksi dan
dijahit dengan laparoskopi. Cedera organ parenkim bukan fokus utama laparoskopi,
tetapi dengan pendekatan laparoskopi, biasanya pasien yang stabil tidak lagi
mengalami pendarahan dan dapat ditutup dengan perekat jaringan dan tamponade
kolagen untuk mencegah perdarahan ulang. Penggunaan rutin laparoskopi dapat
mencapai sensitivitas 90-100% dalam trauma abdomen. Hal ini dapat mengurangi
jumlah laparotomi yang tidak perlu.10

Keuntungan yang paling penting adalah pengurangan tingkat morbiditas


laparotomi non terapi, memperpendek masa rawat inap, dan efektivitas dalam hal
biaya. Di masa depan, perkembangan-perkembangan baru dalam hal laparaskopi serta
miniaturisasi peralatan diharapkan dapat meningkatkan penggunaan teknik minimal
invasif dalam kasus-kasus trauma abdomen.10
Gambar algoritma pemeriksaan radiologis pada trauma abdomen

2.2.9 DIAGNOSIS

Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pada anamnesis, dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila
mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi,
atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi.

2.2.10 TATALAKSANA
Kunci sukses untuk penanganan trauma abdomen adalah adanya kecurigaan
yang besar untuk trauma abdomen (high index of suspicion) yaitu pemeriksa harus
menganggap bahwa ada kerusakan organ intra abdomen. Dan pemeriksa harus
menentukan apakah perlu intervensi operasi segera atau tidak. Untuk diketahui
bahwa lebih kurang 75 % -90 % luka tembak abdomen memerlukan tindakan operasi
segera, 25 % - 35 % untuk luka tusuk abdomen, dan hanya 15 % - 20 % untuk
trauma tumpul abdomen.

Penanganan pertama pada pasien trauma abdomen dimulai dengan primary


survey : A (Airway dengan kontrol servikal), B (Breathing), C (Circulation dengan
kontrol perdarahan), D (Disability), E (Exposure) kemudian dilanjutkan dengan
secondary survey

Pada primary survey dilakukan penilaian :

Airway dengan kontrol servikal : harus dievaluasi derajat patensinya, reflex


proteksi, benda asing sekresinya dan derajat cederanya dengan tetap
memperhitungkan ada tidaknya cedera cervical.

Breathing : yaitu menilai derajat pernafasan pasien berdasarkan frekuensi dan


kedalaman pernafasan atau adanya retraksi otot pernafasan.

Circulation dengan kontrol perdarahan : dinilai dengan menilai tingkat


kesadaran pasien, warna kulit, dan suhu tubuh. Pada pasien dengan shock hemoragik
pada mulanya akan gelisah dan koma jika perdarahan terus terjadi. Tanda vital
seperti denyut nadi, tekanan darah, frekuensi nafas tidak cukup sensitif dan spesifik
pada syok hemoragik.

Disability : penilaian awal dengan menilai defisit neurologi sebelum pemberian


sedatif. Penilaian berdasarkan GCS dan kekuatan 4 extremitas.

Exposure : pada pasien trauma harus dinilai ada tidaknya cedera lain yang dapat
meperberat morbiditas.
Nasogastric tube dipasang jika tidak ada kontraindikasi untuk dekompresi dan
menilai ada tidaknya darah. Jika pasien mengalami cedera maksilofacial maka
digunakan orofaringeal tube. Folley kateter dipasang dan urine diambil untuk
pemeriksaan hematuria mikroskopik. Jika ada kecurigaan cedera urethra atau
buli-buli pada fraktur pelvis maka dilakukan uretrogram retrograde sebelum
melakukan pemasangan kateter.

Secondary survey dilanjutkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan
permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan
pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau
hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen.
Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau pneumothoraks
sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan tanda shok dan
mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan intravena.
Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala
sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma. Setelah
melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi dengan secondary
survey untuk mengidentifikasi semua potensi yang memungkinkan menimbulkan
cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah satu protokol untuk menilai
adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif atau meragukan,
DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil. Pasien yang
mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas yang jelas pada
pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi pembedahan.
Penemuan yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti adanya cairan bebas
atau cedera organ padat pada sonogram atau CT-scan merupakan indikasi untuk
dilakukan intervensi pembedahan.
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai laparotomi.
Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi. Perhatian harus
ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian cairan dan darah,
penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada pasien dengan
adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai keuntungan untuk
dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya embolisasi; dan
beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk mengontrol perdarahan.
Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan demage-control procedures)
dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen sementara harus dilakukan operasi
kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan definitif.
Algoritma bertujuan untuk membantu klinisi dalam memberi petunjuk dalam
membuat keputusan. Pasien pasien dengan tanda tanda yang jelas untuk trauma
abdomen dengan atau tanpa haemoperitoneum masif tidak boleh ditunda dengan
pemeriksaan pemeriksaan lainnya dan harus dilakukan resusitasi dan laparatomi
segera. Sebaliknya pada pasien pasien dengan tanda tanda klinik muncul setelah
12 jam dan menderita trauma resiko rendah dengan pemeriksaan fisik yang tidak
jelas harus diobservasi atau harus diperiksa USG sebagai screening investigation,
untuk mencari cairan bebas dengan atau tanpa tanda tanda trauma pada organ.
Sedangkan pasien dengan tanda tanda klinik yang tertunda dengan trauma resiko
tinggi dan atau pemeriksaan fisik yang positif harus dilakukan pemeriksaan CT Scan
dan penanganan selanjutnya tergantung dari hasil CT Scan tersebut. Pasien pasien
dengan riwayat dan pemeriksaan klinis dengan trauma resiko rendah yaitu
pemeriksaan fisik yang tidak jelas dan mekanisme trauma resiko rendah , dengan
hemodinamik yang stabil harus diperiksa USG sebagai pemeriksaan awal yang
sederhana. Sedangkan pasien dengan trauma resiko rendah dengan gejala klinik yang
meragukan atau gejala klinik yang positif dengan hemodinamik stabil harus
diperiksa CT Scan . Sebaliknya jika hemodinamik tidak stabil harus dilakukan
laparatomi segera walaupun beberapa klinisi masih menganjurkan DPL (Diagnostic
Peritoneal Lavage) sebelumnya sebagai bukti adanya perdarahan intraabdominal.
b. Luka Tusuk
Manajemen trauma darurat berfokus pada golden hour, 60 menit pertama
setelah cedera apapun, ketika dampak terbesar pada morbiditas dan mortalitas dapat
diwujudkan. Hal ini terutama berlaku dalam trauma abdomen. Kematian dini
seringkali merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkontrol dari organ padat
atau cedera pembuluh darah, sehingga stabilisasi dini, diagnosis, dan intervensi
operatif dapat menyelamatkan nyawa. Penyebab kematian akhir termasuk sepsis,
perdarahan yang belum diakui, cedera okultisme (misalnya, ruptur diafragma dengan
herniasi isi perut), cedera organ berongga (usus, kandung empedu, dan kandung
kemih), dan pankreas atau cedera ginjal. Karena tingginya frekuensi laparotomi
negatif pada tindakan laparotomi rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih
selektif dalam memutuskan tindakan laparotomi pada luka tusuk abdomen.
Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan
peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk, darah
dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal
memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama 24-48 jam.
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu
apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk.
Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan laparotomi.
Ada tiga pertanyaan utama yang dibutuhkan dalam pendekatan algoritma untuk
luka tusuk dinding depan abdomen yaitu :

1). Apakah secara klinik membutuhkan operasi,

2). Apakah tidak terjadi kerusakan peritoneum,

3). Jika sudah terjadi , apakah terdapat kerusakan organ intraperitoneal

Tahap 1 : Indikasi operasi

1. Tanda vital yang tidak stabil merupakan alasan utama untuk operasi
emergency. Harus diingat bahwa luka tusuk pada dada bagian bawah dapat
mencederai organ organ intrathoraks seperti jantung dan paru, sehingga
hipotensi pada keadaan ini dapat saja bukan oleh kehilangan darah
intraperitoneal.
2. Eviserasi dari organ intraperitoneal membawa resiko 60 % terhadap cedera
organ intraabdomen
3. Tanda tanda peritonitis , keadaan ini tidak boleh ditunda denga pemeriksaan
lain.

Tahap 2 : Apakah ada peritoneum cedera (tembus)


Eksplorasi dari luka dinding abdomen ( local wound exploration ) dengan
memakai anastetik lokal bisa menentukan tembus tidaknya peritoneum.
Pemeriksaan yang negatif ( clearly negative ) pasien bisa dipulangkan
setelah perawatan luka. Pemeriksaan yang positif atau ragu ragu
menentukan untuk intervensi atau pemeriksaan lanjut.

Tahap 3 : Apakah ada cedera organ intraperitoneal

Local wound exploration positif harus dilakukan laparatomi . seluruh pasien


yang dicurigai atau sudah jelas tembus peritoneum dan tanda tanda vital
stabil dianjurkan untuk DPL. Saat ini , jika dicurigai trauma hepar dianjurkan
untuk pemeriksaan CT Scan. Laparaskopi juga banyak digunakan untuk
menilai cedera organ intraperitoneal.

c. Luka Tembak
Luka tembak pada dinding depan abdomen 80 85 % mengakibatkan tembus
peritoneum. Jika tembus peritoneum, maka trauma organ organ intraabdominal
terjadi 90 95 % dari pasien. Sama halnya dengan luka tusuk abdomen pertanyaan
apakah perlu operasi segera, apakah peritoneum telah tembus atau apakah ada
trauma organ intraabdomen, juga berlaku pada luka tembak abdomen. Indikasi untuk
laparatomi segera juga sama dengan luka tusuk yaitu jiak ada tanda tanda
peritonitis.

Indikasi untuk tembus atau tidaknya peritoneum sulit untuk luka tembak, Local
wound exploration kurang tepat untuk luka tembak sebab luasnya trauma jaringa
lokal. Biplanar X Rays dapat menentukan lokasi proyektil, dan luka masuk serta
keluar mengindikasikan kemungkinan proyektilnya. Sejauh ini, tanda tanda yang
jelas luka tembak dan kecurigaan kerusakan organ merupakan petunjuk untuk
laparatomi segera. Tidak ada tempat untuk penanganan konservatif luka tembak.

Indikasi Laparatomi
Intervensi bedah segera bagi organ yang terkena.

Hemodinamik yang tidak stabil.

Adanya tanda peritoneal(peritonitis) pada pemeriksaan fisik.

Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen.

Luka tembak menyeberang rongga peritoneum.

Eviscerasi omentum atau usus.

Pendarahan dari gaster, rectum atau traktus urogenitalis pada luka tusuk.

e. Follow up

Setelah laparatomy, pasien diberikan terapi non operatif dengan resusitasi cairan
dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik serial dan
jika adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan laparatomi.

Biasanya pasien diobservasi 12 48 jam sebelum dibenarkan pulang. Pasien


dibolehkan pulang jika:

Luka yang dialami bukan luka tembus dan;

Keadaan umum/ hemodinamik yang stabil setelah 12 48 jam.

Tidak ada indikasi untuk admisi.

Berespon baik terhadap terapi.


Damage Control Laparatomy :

Operasi damage control adalah salah satu kemajuan besar dalam teknik bedah
dalam 20 tahun terakhir. Prinsip - prinsip damage control lambat untuk dapat
diterima oleh ahli bedah di seluruh dunia, karena bertentangan dengan prinsip
standar praktek bedah yaitu bahwa operasi yang terbaik untuk pasien adalah
prosedur definitif. Kira kira 10 % dari trauma abdomen sangat berat dan usaha
untuk memperbaiki secara definitif tidak mungkin dilakukan pada laparatomi awal.

Pada pasien tersebut usaha ditujukan untuk mengontrol perdarahan dan


kebocoran gastrointestinal kemudian diikuti penutupan sementara dan direncanakan
untuk laparatomi ulang ( planned reoperation = planned relaparatomy ) setelah
keadaan pasien stabil. Keputusan untuk memutuskan cara ini ( damage control )
harus dilakukan pada awal prosedur operasi. Jika sudah terjadi hipotermi ( suhu
kurang dari 34o C ) , koagulopati ( kehilangan darah 3 5 liter ), asidosis ( pH
kurang dari 7,25 ) maka ahli bedah harus memutuskan apakah untuk bail out
( keluar segera) atau meneruskan operasi. Keputusan ini utamanya didasarkan pada
pengalaman dan penilaian ahli bedah tersebut.15
2.2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun yang
tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian dapat
terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya limpa
dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan, komplikasi
sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi.

Beberapa komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen. Yang paling


banyak adalah abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya infeksi luka (7%),
fistel enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi
dini meliputi perdarahan yang tetap berlanjut, coagulopati, dan sindrom
compartment abdomen. Komplikasi yang terakhir ini diterapi dengan membuka
abdomen dan menutup sementara. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi
obstruksi usus halus dan hernia insisional12. Komplikasi lainnya adalah,
Trombosis Vena

Emboli Pulmonar

Stress Ulserasi dan perdarahan

Pneumonia

Tekanan ulserasi

Atelektasis

Sepsis
Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan
perdarahan.

Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis,


dan syok.

Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.

Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)

2.2.12 PROGNOSIS

Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka


kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar
kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang
dapat dicegah.
Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang lebih
buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal.
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat
secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok
perdarahan irreversible dan exsangunasi. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam 24
jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera
pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma tembus
abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi.
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat berbeda
dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian karena trauma
tembus abdomen terjadi antara 1 6 jam dari saat datang di rumah sakit, diikuti
jumlah yang lebih kecil pada 6 24 jam setelah kedatangan. Sebaliknya, jumlah
tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72 jam setelah kedatangan
di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam pertama kedatangan. Kematian
karena trauma tembus abdomen lebih sering terjadi di instlasi gawat darurat (IGD)
atau ruang operasi dibandingkan dengan trauma tumpul abdomen yang terutama
terjadi di ICU.
Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi dan
sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya karena
komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic inflammatory
response syndrome), atau sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ
dysfunction syndrome).
Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen adalah
jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian dan dimulainya tindakan
operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan adanya cedera kepala.
BAB III

KESIMPULAN

Trauma abdomen menempati peringkat ketiga sebagai penyebab kematian akibat


trauma setelah cedera kepala dan cedera pada dada. Trauma abdomen yang tidak
diketahui / terlewatkan dari pengamatan masih tetap menjadi momok penyebab
kematian yang seharusnya bisa dicegah (preventable death). Kunci sukses untuk
penanganan trauma abdomen adalah adanya kecurigaan yang besar untuk trauma
abdomen (high index of suspicion) yaitu pemeriksa harus menganggap bahwa ada
kerusakan organ intra abdomen. Beberapa kemajuan dalam modalitas diagnostik
membantu dalam penegakan diagnosa pada trauma abdomen.
Penanganan berdasarkan algoritma sangat membantu klinisi dalam mengambil
keputusan saat mengahdapi penderita dengan trauma abdomen. Ultrasonography
sekarang secara rutin digunakan dalam penilaian awal pada penderita trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil maupun tidak stabil. Sedangkan peningkatan
resolusi CT scan dengan multislice dan heliks CT scanner memungkinkan untuk
mengidentifikasi yang lebih baik adanya cedera pada organ dengan peningkatan
kemampuan dalam hal derajat keparahan yang terjadi pada organ. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan kemungkinan pendekatan nonoperative lebih banyak
untuk pasien pasien tertentu dengan trauma tajam atau trauma tumpul abdomen.
Perkembangan laparoskopi sebagai alat skrining yang lebih invasive
menunjukkan kemajuan yang menjanjikan dalam diagnostik sekaligus terapeutik
pada penderita dengan trauma abdomen, dan dapat menurunkan morbiditas pada
kasus trauma abdomen serta lebih efektif dalam hal biaya dan penggunaan sumber
daya rumah sakit. Penanganan trauma abdomen yang tepat dan sesuai dengan
algoritma akan banyak membantu dalam menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas pada trauma abdomen.
Daftar Pustaka

1. Masloman AH, Rendy L, Wowiling PA, Sapan HB. Pola Pasien Trauma Di
Instalasi Rawat Darurat Bedah Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode
Januari 2013. e-CliniC. 2016;4(1).

2. Salim C. Sistem Penilaian trauma. Cermin Dunia Kedokteran. 2015;42(8).

3. Umboh IJ, Sapan HB, Lampus H. Hubungan penatalaksanaan operatif trauma


abdomen dan kejadian laparotomi negatif di RSUP Prof. Dr. RD Kandou
Manado. JURNAL BIOMEDIK. 2016;8(2).

4. Wijaya, Haryadi. Anatomi abdomen . Jakarta : EGC, 2008.

5. Reddy NB, Hanumantha PM, Reddy NN, Reddy CS. An epidemiological study
on pattern of thoraco-abdominal injuries sustained in fatal road traffic accidents
of Bangalore: Autopsy-based study. Journal of emergencies, trauma, and shock.
2014 Apr;7(2):116.

6. Nugraha, Firdaus Luke. Trauma Abdomen. FK Ukrida, 2010.

7. Modul Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat, 2008.

8. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter


Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.

9. Boutros SM, Nassef MA, Abdel-Ghany AF. Blunt abdominal trauma: The role
of focused abdominal sonography in assessment of organ injury and reducing
the need for CT. Alexandria Journal of Medicine. 2016 Mar 31;52(1):35-41.

10. Lee PC, Lo C, Wu JM, Lin KL, Lin HF, Ko WJ. Laparoscopy decreases the
laparotomy rate in hemodynamically stable patients with blunt abdominal
trauma. Surgical innovation. 2014 Apr;21(2):155-65.

11. Johnson JJ, Garwe T, Raines AR, Thurman JB, Carter S, Bender JS, Albrecht
RM. The use of laparoscopy in the diagnosis and treatment of blunt and
penetrating abdominal injuries: 10-year experience at a level 1 trauma center.
The American Journal of Surgery. 2013 Mar 31;205(3):317-21.

12. Mehta N, Babu S, Venugopal K. An experience with blunt abdominal trauma:


evaluation, management and outcome. Clinics and practice. 2014 Jun 18;4(2).
13. Stengel D, Rademacher G, Ekkernkamp A, Gthoff C, Mutze S. Emergency
ultrasoundbased algorithms for diagnosing blunt abdominal trauma. The
Cochrane Library. 2015 Jan 1.

14. Raza M, Abbas Y, Devi V, Prasad KV, Rizk KN, Nair PP. Non operative
management of abdominal traumaa 10 years review. World Journal of
Emergency Surgery. 2013 Apr 5;8(1):14.

15. Cirocchi R, Montedori A, Farinella E, Bonacini I, Tagliabue L, Abraha I.


Damage control surgery for abdominal trauma. The Cochrane Library. 2013 Jan
1.

Anda mungkin juga menyukai