Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan-bahan pemanis alami bersumber dari produk hewani dan nabati.


Sumber bahan pemanis yang berasal dari produk nabati antara lain buah-buahan, tebu,
madu, nira siwalan, beet, nira kelapa yang mengandung pemanis dalam bentuk
glukosa, fruktosa, dan sukrosa, serealia dan kacang-kacangan yang mengandung
pemanis dalam jumlah kecil yaitu maltose. Sedangkan sumber bahan pemanis yang
berasal dari produk hewani yaitu susu yang mengandung pemanis dalam bentuk
laktosa (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
NIRA
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), nira adalah cairan yang keluar dari
bunga kelapa atau pohon penghasil nira lain seperti aren, siwalan dan lontar yang
disadap. Nira merupakan bahan baku pembuatan gula. Dalam keadaan segar nira
mempunyai rasa manis, berbau harum dan tidak berwarna. Selain bahan baku
pembuatan gula, nira dapat juga digunakan sebagai bahan makanan lain yaitu
minuman keras (tuak), asam cuka dan minuman segar. Nira dihasilkan oleh tanaman
yang berhijau daun dan digunakan dalam metabolisme dari tanaman. Nira pada
tanaman dapat berbentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa.
Dalam proses penyadapan nira ini perlu penanganan, baik sebelum
penyadapan maupun sesudah penyadapan. Hal ini karena nira merupakan cairan yang
mengandung kadar gula tertentu dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme seperti kapang, bakteri maupun khamir. Nira dihasilkan oleh
tanaman yang berhijau daun dan digunakan dalam metabolisme tanaman. Pada
beberapa jenis tanaman nira disimpan di dalam akar, batang, bunga dan buah. Nira
dalam tanaman dapat berbentuk sukrosa, glukosa, fruktosa (Syarief dan Irawati,1988).
Nira Tebu
Tebu (Saccharum officinarum Linn) merupakan tanaman sumber pemanis
yang paling terkenal kerena memiliki tingkat produksi pemanis (gula) yang paling
tinggi dan lebih terkenal dibandingkan dengan yang lain. Tanaman tebu yang sudah
cukup masak yaitu batang yang telah mempunyai rendemen yang tertinggi, biasanya
telah berumur antara 12-16 bulan. Batang tebu yang sudah ditebang tidak tahan lama
untuk disimpan karena kadar sukrosanya akan menurun dan kadar gula invertnya akan
bertambah, sehingga rendemen gula yang dihasilkan makin rendah pula. Nira mentah
yang diperoleh dari penggilingan tebu merupakan cairan berwarna coklat kehijau-
hijauan, proses pertama adalah putifikasi tujuan untuk menghilangkan atau
membuang zat-zat organik dan anorganik yang terdapat dalam nira mentah dengan
cara kimia dan fisik, dilakukan dalam beberapa tahap (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Nira tebu merupakan cairan yang keluar dari batang tebu setelah mengalami
proses penggilingan. Cairan ini merupakan bahan baku untuk pembuatan gula. Selain
itu dapat digunakan sebagai bahan makanan lain yaitu minuman keras (tuak), asam
cuka dan minuman segar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Menurut Setyamidjaja (1992), batang tebu mengandung nira dengan kadar
gula 20%, dimana bagian pangkal mengandung nira lebih banyak daripada bagian
ujung. Nira hasil penggilingan tebu merupakan cairan yang coklat kehijauan dan
mengandung 77-88% air, 8-21% sukrosa, 0.3-3.0% gula reduksi, 0.5-1.0% senyawa
organik bukan gula dan 0.2-0.6% senyawa anorganik (Goutuoro dan Wijandi, 1975).
Dikarenakan mengandung nutrisi yang cukup lengkap, maka nira tebu sering
dikontaminasi oleh Saccharomyces dan Acetobacter sehingga terjadi fermentasi nira
menghasilkan asam asetat (Lutony, 1993).
Gula putih berasal dari tanaman tebu disebut sebagai gula kristal atau gula
pasir atau gula tebu. Ekstrasi nira tebu adalah sebagai berikut. Hasil tebu dipotong
atau disobek-sobek menggunakan alat yang disebut crusher atau shredder dimana
alat tersebut selain untuk memotong tebu juga sedikit memeras nira tebu kira-kira
sebanyak 50%. Setelah itu tebu diperas lagi melalui three roller mill sampai nira
keluar seluruhnya. Tebu pada masa pertumbuhan memerlukan banyak air, sedangkan
pada waktu matang menghendaki keadaan yang kering (Muchtadi dan Sugiyono,
1992). Dalam nira tebu terkandung sukrosa nira yang dihasilkan masih mengandung
bahan-bahan yang sifatnya larut, tidal larut dan koloidal, sehingga nira harus
dijernihkan lebih dahulu.
Proses penjernihan tebu dilakukan dengan tiga cara yakni defekasi, sulfitasi
dan karbonitasi. Proses penjernihan dengan cara defekasi menggunakan bahan
penjernih utama berupa kapur. Kapur tersebut diberikan setelah pemanasan nira
mencapai suhu 60-90C. Gula tebu yang dihasilkan dari proses ini disebut sebagai
gula tanjung atau HS (hoofd suiker). Penjernihan dengan cara sulfikasi menggunakan
bahan penjernih berupa kapur tohor dan gas sulfite. Gas sulfite berfungsi untuk
menetralkan kelebihan kapur sehingga Ca-sulfit yang terbentuk akan lebih membantu
didalam mengefisienkan pembersihan atau penjernihan nira. Gula tebu yang
dihasilkan dengan sistem sulfitasi dikenal sebagai gula putih SHS (superieure hoofd
siuker).

Nira Siwalan
Tanaman Siwalan (Borassus sundaicus) merupakan tanaman asli Indonesia
yang banyak dijumpai di daerah-daerah kering, terutama di sekitar pantai. Produk
tanaman siwalan yang sekarang ini dimanfaatkan sebagai makanan atau minuman
adalah buah dan niranya. Nira siwalan diperoleh dari penyadapan tandan bunga jantan
dan betina pada pohon siwalan. Air nira ini dalam keadaan segar berasa manis, berbau
harum, dan tidak berwarna atau jernih. Rasanya yang manis disebabkan oleh
tingginya kadar gula. Nira juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari sukrosa,
glukosa, dan fruktosa. Nira siwalan dapat diolah menjadi tuak, gula merah, dan cuka.
Di pasaran, minuman siwalan memiliki pH 3,5-4,0 dengan kadar sukrosa 5,5%-12%,
kadar alkohol 0,5%-5%, dan total asam 0,05%-0,4% (Susanto, 1994).
Siwalan adalah tanaman berumah dua, yaitu bunga jantan dan bunga betina
terdapat pada pohon yang berlainan. Kedua jenis bunga tersebut dapat disadap. Pada
bunga jantan, yang disadap adalah bagian tangkai mayangnya sedangkan pada bunga
betina yang disadap adalah bagian tangkai mayangnya dan mayangnya (Anonymous,
1980).
Kandungan
Komponen
(%)
Kadar air 94,20
Sukrosa 4,70
Protein 0,30
Lemak 0,02
Abu 0,04
Sumber: Susanto (1994)
Nira siwalan yang baru disadap mempunyai daya simpan rendah karena
banyak mengandung senyawa organik yang mudah difermentasi mikroba menjadi
asam dan berwarna keruh, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai minuman
beralkohol dengan cara fermentasi secara spontan yaitu tuak, yang tampak dengan
timbulnya gelembung gas sampai rasanya masam dan beralkohol (Susanto,1994).
Minuman nira siwalan tidak dapat bertahan lama dan dalam waktu yang relatif singkat
karena mudah terjadi perubahan komposisi kimia pada minuman nira siwalan, yaitu
penurunan kadar sukrosa, peningkatan kadar alkohol dan selanjutnya dalam suasana
aerob akan diubah menjadi asam asetat (Dinas Perkebunan, 1980).
Reaksi yang terjadi pada waktu fermentasi menurut Prescott dan Dun (1959)
adalah sebagai berikut :
C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6
(sukrosa) (air) (glukosa)
Saccharomyces
2 C6H12O6 4 C2H5OH + CO2
(etil alkohol)
Acetobacter
4 C2H5OH + 4 O2 4 CH3COOH + 4 H2O
(asam asetat)
Rasa manis nira siwalan diakibatkan adanya sakarosa, glukosa, dan fruktosa.
Disamping itu terdapat zat-zat lain yaitu protein, lemak dan abu. Nira yang diperoleh
dari penyadapan banyak mengandung bahan organic sehingga merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. (Winarno dan Fardiaz, 1973)

MADU

Madu merupakan produk dari lebah madu atau tawon, baik lebah hutan (lebah
liar) maupun lebah yang sudah dibudidayakan misalnya Apis Indica dan Apis
Mellifica. Madu mengandung karbohidrat tinggi dan mengandung beberapa zat lain
yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh manusia. Nilai gizinya sangat tergantung
pada kandungan gula adalah fruktosa dan glukosa. Madu itu sendiri merupakan nectar
atau eksudat gula dari tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu yang diolah dan
disimpan dalam sarang madu (Warisno,1996).

Madu mengandung 15-19%, abu 1%, sukrosa 8%, fruktosa 41%, glukosa 35%.
Di samping itu, madu juga mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin B2,
antibiotika dan berbagai enzim pencernaan Enzim yang terdapat dalam madu adalah
enzim diastase, enzim invertase, katalase, peroksidase, dan lipase. Enzim diastase
(biasa disebut amylase) berfungsi mengubah pati dan dekstrin menjadi gula,
sedangkan enzim invertase berfungsi mengubah gula menjadi glukosa dan fruktosa,
dan enzim katalase berfungsi memecah peroksida (Warisno,1996).
Menurut Bhikuningputro dan Woelangsih (1975), produksi madu dimulai
setelah pollen bunga, nectar dan honeydew terkumpul dan disimpan dalam kantung
madu, kemudian campuran bahan tersebut diberikan pada lebah pekerja dalam sarang
untuk menyimpannya dalam ruang masing-masing yang bersisi enam yang terdapat
dalam rumahnya (sarang lebah) kemudian dalam ruang tesebutlah terjadi perubahan
dari nectar menjadi madu. Perubahan nektar menjadi madu pada hakekatnya terdiri
dari 2 proses, yaitu:
1. Proses Kimia
Dalam proses ini terjadi reaksi yang disebut invertasi dimana sukrosa diubah
menjadi glukosa dan fruktosa. Invertasi ini berlangsung secara katalis dengan
bantuan enzim yang terdapat dalam nectar dan di dalam saliva lebah sendiri
2.Proses Fisika
Dalam proses fisika, kadar air dalam nectar sudah mengalami invertasi ini
dikurangi dengan cara:
a. Manipulasi nectar oleh lebah sendiri sebelum menyimpannya dalam sel-sel
sarang. Biasanya nectar ini dimanipulir diantara mandibula dan proboscis yang
direntangkan sebagian dengan cara dimana nectar tersebut dibiarkan kena udara,
hingga sebagian airnya menguap. Proses ini dapat berlangsung selama 20 menit.
Dikatakan bahwa pada waktu ini enzim-enzim ditambahkan pada nectar hingga
proses invertasi dengan penguapan terjadi bersama-sama.
b. Penguapan sisa dari air dengan pengipasan sayap, oleh semua lebah di dalam
stup. Ini dilakukan setelah nectar itu dideposit ke dalam sel-sel madu. Proses ini
berakhir jika kadar air sudah sampai tertinggal 20% dan lebah mulai menutup
sel-sel yang penuh madu dengan selapis malam.
Madu mengandung unsur-unsur aromatik dari bunga-bunga yang
menyebabkan madu berbau harum dan berasa enak. Unsur-unsur yang penting lainnya
yang terdapat dalam madu adalah garam-garam mineral seperti: kalsium, phosphor,
besi, kalium, natrium, magnesium, chlorine, garam yodium, radium dan sulfur
(Bhikuningputro dan Woelangsih,1975). Madu memiliki pH sekitar 3,4-6,1. hal ini
karena dipengaruhi oleh asam-asam dalam madu seperti: asam malat, tertarat, sitrat,
laktat, dan oksalat dan asam-asam organik lainnya (Frida,1998).
Kualitas madu biasanya ditentukan oleh warna, aroma dan keadaannya. Madu
yang tidak berwarna termasuk madu kelas satu. Beberapa ahli menyatakan bahwa
madu yang berwarna gelap mengandung banyak mineral, terutama mineral Fe, Cu,
Mn. Oleh karena itu, madu yang berwarna gelap sebagai bahan makanan lebih baik
daripada madu yang berwarna putih (Warisno,1996). Menurut Djaja (2000),substansi
pemberi warna pada madu belum diketahui secara jelas. Warna madu dipengaruhi
oleh:
1. Reaksi antara gula reduksi dan protein
2. Reaksi antara logam-logam berat dan molekul-molekul organic
3. Oksidasi polifenol
4. Karotenoid atau flavonoid
5. Warna nektar yang dihisap oleh lebah

Madu memiliki densitas (pada suhu 20C) yang bervariasi dari 1.4404 sampai
1.3550. Densitas madu tersebut sangat dipengaruhi oleh kadar airnya (Belitz,1987).
Madu bersifat higroskopis dan viskositas madu bervariasi terhadap suhu dan jenis
madu. Sebagian besar madu bersifat Newtonian, walaupun ada beberapa jenis madu
yang besifat thixsotropic, seperti misalnya madu alfalfa. Rasa madu terutama
dipengaruhi oleh fruktosa, glukosa, asam glukonat dan prolin yang ada di dalam
madu tersebut. Aroma madu juga dipengaruhi oleh komponen-komponen gula, asam
amino, tannin, senyawa-senyawa volatile, senyawa alkaloid dalam madu, yang
bervariasi sesuai asal tanaman sumber madu tersebut (Frida,1998).
Untuk menjaga agar madu tidak rusak karena difermentasi oleh mikroba dan
menghambat kristalisasi madu tersebut, madu dapat diolah dengan cara pemanasan.
Suhu pemanasan yang ideal untuk madu adalah 60C selama 30 menit atau 77C
selama 2 menit diikuti pendinginan cepat hingga suhu madu tersebut mencapai 54C.
Suhu pemanasan yang tinggi dapt merusak madu. Suhu penyimpanan yang baik untuk
madu adalah sekitar 11C atau sekitar 21-27C di ruang kedap udara. Sebagian kecil
madu (15%) membeku pada suhu -1,41C tetapi 68% larutan madu baru membeku
setelah suhunya mencapai -5,78C (National Honey Board,2003).
Selama penyimpanan warna madu berubah menjadi lebih gelap, intensitas
aromanya menurun dan kandungan hidroksimetil furfuralnya meningkat. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah pH, lama dan suhu
penyimpanan. Tingkat kejernihan pada bahan pemanis, salah satunya ditentukan oleh
jumlah kotoran, kekeruhan (Winarno, 2004). Protein atau pektin bereaksi dengan
polifenol membentuk koloid yang menimbulkan kekeruhan. Untuk menghilangkan
kekeruhan dapat dipakai bahan penjernih. Proses purifikasi bertujuan untuk
menghilangkan atau membuang bahan (zat) organik dan anorganik dalam bahan
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Tabel Komposisi Madu
Komponen Satuan
Total gula % 76,8
- fruktosa/levulosa % 1,9
- dekstrosa (glukosa) % 34,02 - 34,48
- sukrosa % 40,5
Serat kasar % -
Dekstrin dan gum % 0-0,15
Garam mineral
- kalsium % 0,08 - 0,15
- sebagai abu mg/100gr 5
- fosfor mg/100gr 16
- besi mg/100gr 0,9
Protein % 0,3 - 1
Lemak % -
Air % 7,7 - 20
Vitamin
- Vitamin C mg/100gr 4
Sumber : Yahya, 2008
Alat :

- Gelas beaker
- Pipet tetes
- Refraktometer
- Kertas lensa

Bahan :

- Sirup
- Tebu
- Madu
- Nira siwalan
- Fruktosa
- Gula jawa
- Lump sugar
- Gula putih

Cara kerja :

KADAR GULA TOTAL

- Sirup
- Tebu - Gula jawa
- Madu - Lump sugar
- Nira siwalan - Gula putih
- Fruktosa

Pelarutan dari 10%


dari 50mL sampel

Penyiapan refraktometer

Pembilasan prisma
refraktometer dengan
akuades

Pengeringan dengan kertas lensa

Penetesan sampel pada


prisma refraktometer

Pembacaan skala refraktometer


Penyataan %kadar gula
dalam %brix

Hasil pengamatan

No Sampel %Brix
1 Sirup 70
2 Tebu 20
3 Madu 78
4 Gula Jawa 8
5 Nira siwalan 1
6 Lump sugar 9.2
7 Gula putih 9
8 Fruktosa 76

Pembahsan

Di dalam praktikum ini,dilakukan pengukuran kadar gula menggunakan


refraktometer. Kadar gula dinyatakan dalam %brix. Semakin besar kandungan gula total yang
ada pada suatu bahan maka nilai % brixnya juga akan semakin besar . Sampel yang diuji
adalah sirupm tebu, madu, nira siwalan, fruktosa, gula jawa, lump sugar, dan gula putih.
Sampel gula jawa, lump sugar, dan gula putih harus dilarutkan terlebih dahulu agar berbentuk
cair yang kemudian dapat diteteskan pada prisma refraktometer.

Pada hasil pengamatan, didapatkan hasil %brix pada sirup , tebu, madu, gula jawa,
nira siwalan, lump sugar,gula putih, dan fruktosa yang berturut-turut yaitu 70%; 20%; 78%;
8%; 1%; 9,2%; 9%; dan 76%. %Brix tertinggi terdapat pada madu (78%) dikarenakan
memiliki komponen gula pereduksi yang tinggi seperti fruktosa, glukosa , maltosa, dan
desktrin. Madu merupakan larutan konsentrat gula inert yang mengandung campuran yang
sangat kompleks yaitu tersusun atas karbohidrat, berbagai enzim, asam asam amino, asam
asam organik, mineral, penyusun aroma, pigmen, lilin, butiranbutiran pollen. Glukosa dan
fruktosa, dan senyawa - senyawa lain seperti asam asam organik, mineral, tepung sari
bunga, sukrosa, maltosa, malezitosa dan oligosakarida lainnya yang termasuk dekstrin
merupakan penyusun padatan terlarut dari madu. Semakin lama madu disimpan, maka kadar
gula yang terdapat pada madu juga semakin banyak hal ini disebabkan karena adanya
hidrolisa dari sukrosa, maltosa, dan dekstrin menjadi gula. Nira tebu memiliki nilai % brix
sebesar 20 %,. Nilai tersebut lebih tinggi dari nira siwalan(1%). Hal ini menunjukan bahwa
kandungan gula reduksi yang ada pada nira tebu cukup besar, namun masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan madu. Komponen karbohidrat yang paling dominan pada nira tebu
berupa sukrosa. Pada nira tebu terdapat enzim invertase yang dapat memecah sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa sehingga % brixnya meningkat. % Brix dari nira siwalan paling
rendah karena nira siwalan tersebut telah lama disimpan sehingga ditumbuhi mikroorganisme
sehingga gula reduksi yang terbentuk dari hasil hidrolisis sukrosa telah difermentasi oleh
mikroba (bakteri atau khamir) sehingga dihasilkan asam asetat dan alkohol. Hal inilah yang
menyebabkan % brixnya menurun.

Kesimpulan

Semakin besar kandungan padatan terlarut pada bahan (%Brix) maka semakin tinggi
kadar gula dalam bahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1980. Mengusahakan Gula Putih Siwalan Di Jatim. Jawa Timur:


Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I.
Dinas Perkebunan. 1980. Mengusahakan Gula Putih Siwalan di Jawa Timur.
Surabaya : Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Frida. 1998. Laporan Khusus Perlebahan dan Kendali Mutu 30 November 17
Desember 1998. Malang: Universitas Brawijaya.
Lutony, Tony Lukman. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta: PT Penebar
Swadaya.
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan. Bogor: PAU
Pangan dan Gizi IPB.
National Honey Board. 2003. A Reference Guide From National Honey

Suyitno. 1988. Pengujian Sifat Fisik Bahan Pangan. Yogyakarta : Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.
Syarief, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri
Pertanian. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa.
Warisno. 1996. Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius.
Winarno, F. G. dan Fardiaz. 1973. Dasar-Dasar Teknologi Pangan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Winarno.2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.

Anda mungkin juga menyukai