I. PENDAHULUAN
Epilepsi dapat didefinisikan menjadi 2 yaitu secara konseptual dan praktis (Fisher,
et al., 2017). Adapun etiologi yang masih dipakai hingga saat ini adalah idiopatik,
kriptogenik, simtomatis (Kusumastuti, et al., 2014). Selain itu, beberapa faktor risiko
menurut penelitian berperan dalam timbul bangkitan epilepsi yaitu trauma, non
penetrasi kepala, post operasi, tumor, kelainan serebrovaskular, dan autoimun (Rugg-
Runn & Smalls, 2015).
WHO menduga prevalensi total di dunia mencapai 50 juta orang menderita
epilepsi. Prevalensi di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju.
Popilasi epilepsi aktif (bangkitan tidak terkontrol atau memerlukan pengobatan)
diperkirakan 4-10 / 1000 penduduk / tahun sedangkan di negara berkembang mencapai
6 -10/ 1000 penduduk / tahun. Baik angka prevalensi dan insidensi lebih tinggi terjadi
pada negara berkembang dibandingkan negara maju (Kusumastuti, et al., 2014).
Secara garis besar pathogenesis didasari oleh perubahan Paroxysmal
Depolarisation Shift (PDS). Ini adalah patofisiologi dasar setiap bangkitan kejang.
Fenomena ini terjadi karena aksi potensial yang berulang tanpa diikuti oleh periode
refraktor sehingga terjadi depolarisasi prolong (Henry, 2012). Dimana ejang terjadi
ketika area saraf pada otak teraktivasi oleh elektritas yang tidak seperti biasa. Pada arti
lain ketidakseimbangan antara eksitasi dengan inhibitor memicu terjadi kejang
(Vaughan & Delanty, 2002).
Penegakan berdasarkan anamnesa yang detail, pemeriksaan fisik untuk
menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding, dan pemeriksaan penunjang sebagai
informasi tambahan. Akan tetapi sebelum itu pastikan adanya bangkitan epilepsi bukan
kejang yang disertai dengan gejala demam dan lain-lain, tentukan jenis bangkitan
epilepsi berdasarkan ILAE sesuai dengan kronologi, tentukan sindrom epilepsi
berdasarkan klasifikasi ILAE (Kusumastuti, et al., 2014).
Tatalaksana dalam penanganan epilepsi terbagi menjadi akut dengan metode
ABCD dan pengobatan sesuai dengan tipe epilepsi. Pemilihan obat antiepilepsi (OAE)
tidak boleh dilakukan dengan trial akan tetapi harus dipahami benar mekanisme kerja
2
A. Definisi
Epilepsi dapat didefinisikan menjadi 2 yaitu secara konseptual dan praktis. Definisi
konseptual epilepsi adalah kelainan otak ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi (aktivitas abnormal otak) terus-menerus dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologi, dan sosial. Sedangkan definisi praktis
epilepsi adalah suatu penyakit otak ditandai kondisi sebagai berikut (Fisher, et al.,
2017):
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi (tidak terdapat pencetus seperti
kejang demam, alkohol) dengan jarak waktu antar bangkitan >24jam
2. Minimal 2 bangkitan refleks (visual, auditorik, somatosensitif, somatomotor)
3. Satu bangkitan tanpa provokasi dengan kemungkinan terjadi bangkitan berulang
dalam 10 tahun kedepan
4. Tegak diagnosis sindrom epilepsi (Kusumastuti, et al., 2014)
B. Etiologi
Terdapat beberapa beberapa kemungkinan epilepsi dapat muncul antara lain
(Kusumastuti, et al., 2014):
1. Idiopatik
Pada otak tidak terdapat lesi struktural ataupun deficit neurologi. Hal ini
dimungkinan terdapat predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan
usia.
2. Kriptogenik
Hal ini dianggap simtomatis tetapi tidak diketahui penyebabnya.
3. Simtomatis
Bangkitan epilepsi yang disebabkan kelainan atau lesi struktural pada otak,
seperti cedera kepala, infeksi saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
4
Adapun faktor risiko yang mungkin dapat menimbulkan bangkitan epilepsi antara
lain (Rugg-Runn & Smalls, 2015) :
1. Post traumatik (149) dengan kondisi kehilangan kesadaran <30menit, amnesia <24
jam, defisit neurologi baik transien maupun fokal
2. Non-penetrasi trauma
3. Post operasi pada pembuluh darah otak. Kasus sering terjadi pada aneurisma arteri
serebral medial (38%), arteri anterior komunikan (21%), arteri karotis interna
(7.5%)
4. Tumor terkadang dapat menyebabkan kasus epilepsi. Berikut beberapa jenis tumor
dan lokasi tersering menyebabkan epilepsi (152)
5. Kelainan serebrovaskular sering terjadi pada usia lanjut (>60tahun) yang tidak lain
pada kasus stroke. Beberapa kasus memiliki angka yang bervariasi seperti stroke
episode pertama (2.8%), serebral infark (4.1%), intrakranial haemoragik (18.2%),
dan subarakhnoid haemoragik (27.8%)
6. Autoimun dapat diketahui dengan anamnesa antara lain resisten OAE, riwayat
pernyakit keluarga, riwayat neoplasia, infeksi saraf pusat
C. Epidemiologi
WHO menduga prevalensi total di dunia mencapai 50 juta orang menderita
epilepsi. Prevalensi di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju.
Popilasi epilepsi aktif (bangkitan tidak terkontrol atau memerlukan pengobatan)
diperkirakan 4-10 / 1000 penduduk / tahun sedangkan di negara berkembang mencapai
6 -10/ 1000 penduduk / tahun (Kusumastuti, et al., 2014).
Prevalensi tertinggi dilaporkan di negara Vietnam dengan 10,7 / 1000 penduduk
sedangkan yang terendah di negara Taiwan dengan 2,8 / 1000 penduduk. Prevalensi
epilepsi di usia lanjut negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju
dengan perbandingan 1-2 yaitu meningkat 1,5% pada usia 75 tahun. Kelompok studi
5
D. Patogenesis
Paroxysmal Depolarisation Shift (PDS) adalah patofisiologi dasar setiap bangkitan
kejang. Fenomena ini terjadi karena aksi potensial yang berulang tanpa diikuti oleh
periode refraktor sehingga terjadi depolarisasi prolong (Henry, 2012).
Kejang terjadi ketika area saraf pada otak teraktivasi oleh elektritas yang tidak
seperti biasa. Pada arti lain ketidakseimbangan antara eksitasi dengan inhibitor memicu
terjadi kejang (Vaughan & Delanty, 2002).
6
semakin banyak pula stimulus terjadi. Di samping itu, GABA reseptor dan sel glial
berperan sebagai reseptor inhibitor untuk menyeimbangkan stimulus (Vaughan &
Delanty, 2002).
E. Diagnosis
Penegakan diagnosis terdiri dari anamnesa yang mendetail, pemeriksaan fisik
terhadap diagnosis banding yang dicurigai dan disertai pemeriksaan penunjang untuk
penegakan jenis epilepsi. Terdapat beberapa langkah dalam menegakan diagnosis
antara lain (Kusumastuti, et al., 2014) :
1. Pastikan adanya bangkitan epilepsi bukan kejang yang disertai dengan gejala
demam dan lain-lain
2. Tentukan jenis bangkitan epilepsi berdasarkan ILAE sesuai dengan kronologi
3. Tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
Ketiga poin di atas dapat kita peroleh melalui anamnesa yang kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan lainnya (Kusumastuti, et al., 2014).
1. Anamnesa
Informasi berdasarkan allo anamnesa dari saksi mata mengenai hal-hal di
bawah ini :
a. Sebelum Bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan terjadi bangkitan seperti
perubahan perilaku, lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, sensitif.
9
b. Selama Bangkitan
1) Apakah terdapat aura sebelum bangkitan
2) Bentuk bangkitan seperti, deviasi mata, gerakan tubuh, gerakan salah satu
atau kedua ekstremitas, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat
3) Apakah terdapat >1 pola bangkitan
4) Apakah ada perubahan pola bangkitan dari bangkitan sebelumnya
5) Aktivitas ketika bangkitan seperti, tidur, terjaga
c. Setelah Bangkitan
Perasaan bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.
Selain poin di atas kita perlu pula menanyakan beberapa perihal lain antara lain :
d. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, psikologis, alkohol
e. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan
f. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE antara lain, jenis obat,
dosis, jadwal minum, kepatuhan, kadar OAE dalam plasma darah, dan
kombinasi OAE
g. Penyakit yang diderita pasien sekarang dan dahulu baik sistemik maupun
psikiatri
h. Riwayat epilepsi dalam keluarga
i. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
j. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam
k. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP dan lain-lain
2. Pemeriksaan Fisik
a. Fisik Umum
Bertujuan mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi
seperti, trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan
alkohol atau napza, kelainan kulit, tanda-tanda keganasan.
10
b. Neurologi
Bertujuan mencari tanda-tanda defisit neurologi fokal maupun difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan pasca bangkitan maka akan
muncul seperti paresis Todd, gangguan kesadaran pascaictal, dan afasia
pascaictal.
3. Pemeriksaan Penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan tambahan untuk menegakan diagnosis :
a. Elektro-ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini berguna dalam beberapa tujuan antara lain, membantu
menunjang diagnosis, jenis bangkitan dan klasifikasi sindrom, menentukan
prognosis, menentukan kebutuhan OAE. Sebagai gambaran berikut hasil EEG
b. Pencitraan Otak
Pemeriksaan ini bertujuan mendeteksi lesi epileptogenik di otak. MRI dan
CT-Scan diindikasikan kejang tanpa provokasi pertama kali di usia dewasa.
Terdapat beberapa pemeriksaan untuk pencitraan otak antara lain :
11
1) MRI dipilih untuk kasus elektif dan menghasilkan gambaran lesi struktural
dengan baik
2) CT-Scan dipilih untuk kasus kegawatdaruratan
3) Adapun pemeriksaan seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel
Photon Emission Computed Tomography (SPECT), dan Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat sebagai informasi tambahan apabila
disebabkan perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di
otak.
c. Laboratorium
Terdapat beberapa unsur pemeriksaan untuk menyingkirkan kecurigaan
penyebab bangkitan kejang antara lain :
1) Hematologis
Pemeriksaan ini mencangkup hemoglobin, leukosit dan hitung jenisnya,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah, fungsi hati, ureum kreatinin, dan
albumin
2) Kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan apabila bangkitan belum terkontrol untuk
melihat kepatuhan pasien apabila dosis sudah mencapai kadar maksimal.
d. Pemeriksaan lain-lain seperti pungsi lumbal dan EKG
F. Klasifikasi Epilepsi
Dahulu pengelompokan hanya berupa setiap bagian otak kemudian berkembang
dengan tujuan membedakan etiologi, terapi, dan prognosis pada setiap tipe epilepsi.
Adapun pengelompokan sindrom epilepsi yang sudah disetujui oleh ILAE 2010
adalah (Henry, 2012) :
15
G. Penatalaksanaan
1. Akut
Hal terpenting dalam penatalaksanaan awal kejang adalah langkah A-G sebagai
berikut :
16
a. Airway
Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dengan head
titl/chin lift ataupun jaw thrust dalam posisi supinasi. Selain itu untuk menjaga
agar tidak terjadi aspirasi pasien diposisikan lateral supinasi.
b. Breathing
Langkah ini dapat dilakukan dengan menilai look, listen, dan feel sebagai
berikut :
1) Usaha nafas
a) Jumlah nafas
b) Grunting
2) Efikasi nafas
a) Suara nafas
b) Kembang kepis dada
c) Monitoring saturasi oksigen
3) Efek nafas
a) Jumlah denyut nadi
b) Warna kulit
c. Circulation
Langkah ini untuk menilai adekuat fungsi jantung :
1) Ada atau tidak denyut nadi pasien pada perabaan arteri
2) Volume dinilai dengan cara palpasi pusat peredarahan darah seperti
femoris, brachial
3) Capillary refill harus kembali dalam hitungan <3 detik
d. Disability
Fungsi neurologi dapat dinilai dengan langkah sebagai berikut :
1) AVPU (Alert, Voice, Pain, Unresponsive) apabila memungkinkan
2) Diameter pupil dengan melakukan refleks cahaya, apabila kecil
dimungkinan ada trauma batang otak, keracunan opiat namun bila lebar
dimungkinan ada pengaruh obat seperti amfetamin, atropin, antidepresan.
17
2. Pengobatan
a. Mekanisme OAE
Sebelum memahami obat yang tepat dalam memberikan terapi pasien
dengan berbagai jenis epilepsi perlu dipahami mekanisme kerja obat (Rugg-
Runn & Smalls, 2015) :
1) Kanal Sodium
Kanal ini berperan sebagai proses depolarisasi membran sel saraf dan
konduksi aksi potensial antara permukaan sel saraf. Kanal ini merupakan 1
dari 3 proses aksi potensial (resting to open, open to inactivated, inactivated
to resting). Proses aksi potential tidak dapat mengalami depolarisasi
kembali sebelum beberapa kanal telah kembali dalam kondisi istirahat.
Mekanisme OAE ini dengan memblokade kanal sodium ketika fase istirahat
sehingga mengurangi repetitive neuronal firing. Blokade kanal sodium
merupakan sebagian besar mekanisme OAE seperti fenitoin, karbamazepin.
2) Kanal Kalsium
Kanal ini berperan pada setiap eksitabilitas listrik semua saraf dan
mengontrol pelepasa neurotransmiter pre-sinap ujung terminal saraf. Selain
itu terdapat beberapa aktivitas antara lain High-volatge-activated (HVA) ,
Low-volatge-activated (LVA), Transient-type. Ketiga proses ini sangat
berperan dalam keseimbangan. Blokade kanal kalsium merupakan sebagian
kecil mekanisme OAE seperti fenobarbital, gabapentin, ethosuximade,
zonisamide melalui blokade LVA.
3) Kanal Potassium
Kanal ini berperan pada proses repolarisasi sebagai regulator
keseimbangan input-output.
4) Neurotransmiter Inhibitor
GABA merupakan neurotransmiter dominan pada sistem saraf pusat
mamalia (>40%). Disintesis dari glutamate dengan enzim glutamic acid
decarboxylase. GABA dilepaskan ke saraf terminal dan sel glial melalui
19
protein transport GAT-1, GAT-2, GAT-3, BGT-1. GABA didaur ulang atau
disimpan dengan bantuan enzim mitocondrial GABA-transaminase.
Alangkah baiknya apabila tepat dalam memilih OAE sesuai jenis epilepsi
kemudian ditingkatkan secara perlahan dengan memonitoring efek samping
obat. Adapun dosis awal untuk anak kecil dan dewasa dapat dilihat pada
lampiran (Rugg-Runn & Smalls, 2015).
24