Anda di halaman 1dari 15

mini project tb paru

1. 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan salah


satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional,
maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta
kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama
merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) kematian
karena TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per
tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan
komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009a). Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara
22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit TB tertinggi. Menurut Global
Tuberculosis Control Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru TB.
Estimasi insidensi TB 228 kasus baru per 100,000 populasi. Estimasi angka insidensi
hapusan dahak baru yang positif adalah 102 kasus per 100,000 populasi pada 2007
(WHO, 2009a). Berdasarkan kalkulasi disability-adjusted life-year (DALY) WHO, TB
menyumbang 6.3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan 3.2
persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID, 2008). Pengobatan kasus TB
merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan
rantai penularan. Pada 1994 WHO meluncurkan strategi pengendalian TB untuk
diimplementasikan secara internasional, disebut DOTS (Direct Observed Treatment
Short-course). Lima elemen strategi DOTS sebagai berikut (WHO, 2009b): (1)
Komitmen politis yang berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan mikroskopis
dahak yang berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk semua kasus TB
dengan manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4)
Keteraturan penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; (5) Sistem pencatatan dan
2. 2. pelaporan yang memungkinkan penilaian hasil pada semua pasien dan penilaian
kinerja keseluruhan program. Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua
sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun 1991, yaitu
deteksi kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus
pada tahun 2000 (WHO, 2009a). Meskipun demikian kecepatan kemajuan saat ini
diperkirakan tidak cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas TB
dari Millenium Development Goals (MDG) menjadi separoh pada tahun 2015 (Dye et al.,
2005). Karena itu diperlukan kontinuitas implementasi strategi DOTS agar program itu
dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan target indikator- indikator keberhasilan
program hingga tahun 2015. Pada 2006 WHO menetapkan strategi baru untuk
menghentikan TB. Strategi itu bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB,
menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium Development
Goal (MDG) pada tahun 2015. Strategi baru WHO ditetapkan berdasarkan pencapaian
DOTS, serta menjawab tantangan baru bagi keberhasilan penanggulangan TB. Enam
elemen strategi WHO untuk menghentikan TB untuk 2006-2015 (WHO, 2009c): (1)
Perluasan dan peningkatan DOTS berkualitas tinggi; (2) Mengatasi TB/HIV, MDR-TB
dan tantangan lainnya; (3) Penguatan sistem kesehatan; (4) Pelibatan semua pemberi
pelayanan kesehatan; (5) Pemberdayaan pasien dan komunitas; (6) Mendorong dan
meningkatkan penelitian (WHO, 2009c). Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu
fungsi manajemen yang vital untuk menilai keberhasilan pelaksanan program
penanggulangan TB. Pemantauan yang dilakukan secara berkala dan kontinu berguna
untuk mendeteksi masalah secara dini dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan, agar dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Selain itu evaluasi
berguna untuk menilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya
telah tercapai pada akhir suatu periode waktu. Evaluasi dilakukan setelah suatu periode
waktu tertentu, biasanya setiap 6 bulan hingga 1 tahun. Dalam mengukur keberhasilan
tersebut diperlukan indikator dan standar. Hasil evaluasi berguna 2
3. 3. untuk kepentingan perencanaan program dan perbaikan kebijakan program
penanggulangan TB. Berdasarkan data laporan L2BP Puskesmas Dumai Kota bulan
Januari Desember 2013, didapatkan data bahwa cakupan CDR (Case Detection Rate)
belum mencapai target yang ditetapkan (70%) yakni hanya sebesar (54,88%) (Laporan
L2BP Puskesmas Dumai Kota,2013) 3 B. RUMUSAN MASALAH Dengan latar
belakang tersebut sebuah studi evauasi telah dilakukan untuk menjawab masalah
penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh mana tujuan dan target penemuan kasus tuberkulosis
(TB) yang telah ditetapkan melalui strategi DOTS telah tercapai di Puskesmas Dumai
Kota?; 2. Apakah faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung program
peneuman kasus TB dengan sistem DOTS di Puskesmas Dumai Kota? 3. Apa saja
kegiatan yang dapat dilakukan untuk memechkan masalah rendahnya cakupan CDR
(Case Detection Rate) di wilayah Puskesmas Dumai Kota? C. TUJUAN KEGIATAN 1.
Tujuan Umum Mengevaluasi pencapaian tujuan dan target program penemuan kasus TB
berdasarkan sistem dots di Puskesmas Dumai Kota.
4. 4. 4 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi faktor yang menghambat dan faktor yang
mendukung program penemuan kasus TB berdasarkan sistem dots di Puskesmas Dumai
Kota. b. Memberikan saran/ rekomendasi untuk perbaikan implementasi strategi DOTS
dan penelitian lanjutan c. Mampu menyusun rencana kegiatan/ plan of action pemecahan
suatu masalah. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Penulis Kegiatan ini diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih mendalam tentang program penanganan
TB berdasarkan sistem DOTS, mampu menganalisis hambatan-hambatan yang timbul
serta alternatif pemecahan masalah pelaksanaan penemuan kasus tuberkulosis
berdasarkan sistem dots di wilayah kerja Puskemas Dumai Kota. 2. Bagi Puskesmas
Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi perumusan
kebijakan program kesehatan di Puskemas Dumai Kota. 3. Bagi Masyarakat
Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang penyakit tuberkulosis dan pentingnya
mendapatkan pengobatan sampai tuntas, meningkatkan peran serta masyrakat dalam
pencapaian masyarakat bebas tuberkulosis.
5. 5. 5 E. METODOLOGI Dalam pelaksanaan mini project ini dilakukan bebrapa langkah
atau tahapan. Langkah awal dilakukan dengan menentukan suatu topik masalah dari
upaya kesehatan di Puskesmas yang masih perlu ditingkatkan atau diperbaiki. Dari suatu
topik masalah ini kemudian dianalisis dengan mengumpulkan data yang diperlukan. Data
yang diambil merupakan data primer maupun data skunder Puskemas Dumai Kota. Data
primer diproleh dari penenggung jawab program dan petugas pelaksana P2PL Puskemas
Dumai Kota. Data skunder diperoleh dari data laporan evaluasi P2PL Puskemas Dumai
Kota Januari Desember 2013. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif
dengan metode pendekatan sistem dengan melihat fungsi manajemen yang bertujuan
mengetahui permasalahan secara menyeluruh. Identifikasi masalah dilakukan dengan
pembuatan fish bone yang kemudian dikonfirmasi dengan pelaksanaan penemuan kasus
TB berdasarkan sistem DOTS untuk menentukan penyebab masalah yang paling
mungkin. Pemecahan masalah dilakukan dengan metode kriteria Matriks untuk kemudian
ditentukan alternatif pemecahan masalahnya yang selanjutnya dijabarkan dalam PoA
(Pleaning of Action).
6. 6. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis adalah
penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya2. Patogenesis tuberkulosis paru ada 2, yaitu tuberkulosis primer dan
tuberkulosis post primer. Pada tuberkulosis primer, penularan tuberkulosis paru terjadi
karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara.
Bila partikel infeksius ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas
atau paru-paru. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan
membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut afek primer. Dari afek
primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan
diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer +
limfangitis lokal + limfadenitis regional disebut kompleks primer. Kuman yang dorman
pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post-primer). 6 B. Penularan Sumber
penularan adalah penderita dengan TB BTA positif, yang dapat menularkan TB kepada
orang disekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu
7. 7. batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei
(percikan dahak). Sekali batuk dapat dikeluarkan 3000 droplet. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi
dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam 7 dalam keadaan yang gelap dan
lembab. 2,7 Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah itu
kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah dan sistem limfe. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut. Karena proses terjadinya infeksi oleh kuman TB biasanya secara inhalasi,
maka TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan organ
lainnya. 2,7 Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya
ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
8. 8. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan 8 perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 2 Adapun resiko menjadi sakit TB hanya sekitar
10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang)
akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula. 2 Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman diwilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali
atas peningkatan jumlah kasus TB. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi
yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama 1950 1960. 6,8
9. 9. 9 C. Penemuan dan Gejala Klinis Pasien TB Kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat. Strategi penemuan pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan
secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit
pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien
TB. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan
gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 2
10. 10. 10 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS) 2: S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di
rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan Biakan Peran biakan dan identifikasi
M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien
yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas
memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat
dimanfaatkan dalam beberapa situasi 2: 1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien
kronis
11. 11. 11 2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak. 3. Petugas kesehatan yang
menangani pasien dengan kekebalan ganda. Pemeriksaan Tes Resistensi Tes resistensi
tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan,
identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan
pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini
bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga
kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah. 2 D. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. 2 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur
diagnostik untuk suspek TB paru.
12. 12. 12 Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru 2 Diagnosis TB
ekstra paru.
13. 13. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan
diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada
metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya
uji mikrobiologi, patologi anatomi, 13 serologi, foto toraks dan lain-lain 2 E. Pengobatan
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2 komponen, yaitu
komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen diagnosis meliputi
deteksi penderita di poliklinik dan penegakkan diagnosis secara laboratorium, sedangkan
komponen pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan tepat serta pengawasan
menelan obat setiap hari terutama pada fase awal. 9 Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Paduan obat anti
tuberkulosis yang dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO berupa OAT jangka
pendek yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu
fase
14. 14. awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun perincian OAT program adalah 14
sebagai berikut 2,9 Tabel 2.1 Regimen Terapi OAT 2,4,9,10,11 No. Kategori OAT
Keterangan 1. I 2HRZE/4H3R3 - Penderita baru BTA (+) - Penderita baru BTA (-)/Ro
(+) yang sakit berat - Pendeerita ekstra paru berat 2. II 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3 -
Kambuh (relaps) BTA (+) - Gagal (failure) BTA (+) 3. III 2HRZ/4H3R3 - Penderita baru
BTA (-)/Ro (+) - Penderita ekstra paru ringan 4. IV - H seumur hidup - Obat yang masih
sensitif + Quinolon - Penderita dengan TB kronis - Penderita dengan MDR - TB 5.
Sisipan HRZE - Bila penderita oleh K I dan K II pada akhir fase awal/intensif masih BTA
(+) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat
agar dicapai kesembuhan dan mencegah resistensi serta
15. 15. mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly 15
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 2 Program Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT 13,14 : Kategori 1 :
2HRZE/4H3R3 Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3
Dosis Kategori 1 BB Penderita (Kg) TAHAP INTENSIF SELAMA 2 BULAN TAHAP
LANJUTAN SELAMA 4 BULAN TIAP HARI TABLET 4 FDC
R150+H75+Z400+E275 TIAP HARI TABLET 2 FDC R150+H75 3 X SEMINGGU
TABLET 2 FDC R150+H150 30 -37 38 -54 55 -70 >71 2 tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet 2
tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet
16. 16. 16 Dosis Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3) BERAT BADAN TAHAP
INTENSIF SELAMA 3 BULAN TAHAP LANJUTAN 3 X SEMINGGU SELAMA 5
BULAN TIAP HARI 2 BULAN TIAP HARI 1 BULAN 30 -37 38 -54 55 -70 >71 2 tab 4
FDC + 2 ml Strepto 3 tab 4 FDC + 3 ml Strepto 4 tab 4 FDC + 4 ml Strepto 5 tab 4 FDC
+ 5 ml Strepto 2 Tab 4 FDC 3 Tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC 5 Tab 4 FDC 2 Tab 4 FDC + 2
Tab Etambutol 3 Tab 4 FDC + 3 Tab Etambutol 4 Tab 4 FDC + 4 Tab Etambutol 5 Tab 4
FDC + 5 Tab Etambutol Tabel 2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 10,12 Nama
Obat Efek Samping 1. Isoniazid (INH) Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut
kering, nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan methemoglobinemia 2. Rifampisin
Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri
17. 17. 17 epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi imunitas 3. Etambutol Neuritis
optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah, disuria, malaise dan demam 4. Pirazinamid
Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah, disuria, malaise dan demam 5.
Streptomisin Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal Sebagian besar
penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian
kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan efek
samping obat dapat dilakukan dengan cara : Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda
efek samping Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita
mengambil OAT. Efek samping OAT dapat dibedakan menjadi efek samping berat dan
efek samping ringan. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit
serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus
segera dirujuk ke UPK spesialistik. Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan
sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan
obat-obatan simptomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk
beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini pengobatan OAT dapat diteruskan.
18. 18. 18 Tabel 2.3 Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya 2 Pemantauan
kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. 2
19. 19. Penilaian hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan kepada: sembuh,
pengobatan lengkap, gagal, defaulted (lalai berobat), meninggal, dan 19 pindah (transfer
out). 2 Sembuh : Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya Pengobatan Lengkap : Adalah pasien yang telah
menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan
sembuh atau gagal. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Default
(Putus berobat) : Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai. Meninggal : Adalah pasien yang meninggal dalam
masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke
unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Pengelolaan Logistik Pengelolaan logistik Penanggulangan Tuberkulosis merupakan
serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, monitoring dan evaluasi. 2 1). Jenis logistik program nasional
penanggulangan tuberkulosis
20. 20. Logistik penanggulangan tuberkulosis terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dan logistik lainnya. UPK dalam hal ini puskesmas menghitung
kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai dasar 20 permintaan ke
Kabupaten/Kota. 2 a. Logistik OAT 2. Program menyediakan paket OAT dewasa dan
anak, untuk paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu : OAT dalam
bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) terdiri dari
paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam blister, dan tiap blister
berisi 28 tablet. OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2,
dan sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus
untuk pengatasi efek samping KDT. b. Logistik non OAT 2 Alat Laboratorium terdiri
dari: Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan pengering, lampu
spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas pembersih lensa mikroskop, kertas
saring, dan lain lain. Bahan diagnostik terdiri dari: Reagensia Ziehl Neelsen, eter
alkohol, minyak imersi, lysol, tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
21. 21. Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta 21
bahan KIE. 2). Pengelolaan obat anti tuberkulosis a. Perencanaan Kebutuhan Obat
Rencana kebutuhan Obat Anti Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan
perencanaan dari bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan
terpadu dengan perencanaan obat program lainnya yang berpedoman pada 2 : Jumlah
penemuan pasien pada tahun sebelumnya, Perkiraan jumlah penemuan pasien yang
direncanakan, Buffer-stock (tiap kategori OAT), Sisa stock OAT yang ada, Perkiraan
waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi kebutuhan dalam
kurun waktu perencanaan) F. Pedoman kerja Puskesmas dalam P2TB paru 4 a.
Penatalaksanaan P2TBC 1. Penemuan penderita. 2. Pengobatan b. Peningkatan sumber
daya manusia
22. 22. 22 Pelatihan tenaga yang terkait dengan program P2TBC c. Monitoring dan evaluasi
1. Supervisi 2. Pertemuan monitoring : Evaluasi pengobatan melalui evaluasi klinik dan
bakteriologik d. Promosi Advokasi, kemitraan dan penyuluhan. G. Pemantauan dan
Evaluasi Program P2TB Keberhasilan pelaksanaan program pemantauan dilaksanakan
secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama,
biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan
target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut
diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan
program. 2 Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi,
dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya
masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),
proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan
23. 23. dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas
pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan
evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang 23 dilaksanakan
dengan baik dan benar. 2 Dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, salah
satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud
mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan
untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans harus valid
(akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis.
Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku. Formulir-formulir yang
dipergunakan dalam pencatatan TB di Unit Pelayanan Kesehatan/UPK (Puskesmas,
Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam melaksanakan pencatatan
antara lain 2 : Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05). Kartu
pengobatan pasien TB (TB.01). Kartu identitas pasien TB (TB.02). Register TB UPK
(TB.03 UPK) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
24. 24. 24 Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10). Register
Laboratorium TB (TB.04). Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan
TB digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2
yaitu: Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR). 2 Disamping itu ada beberapa
indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu 2 : Angka
Penjaringan Suspek Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang
diperiksa dahaknya Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB
paru Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi Angka Kesembuhan Angka Kesalahan Laboratorium Untuk
mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan (marker of
progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat
25. 25. tertentu seperti: sahih (valid), sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), dapat 25
dipercaya (realiable), dapat diukur (measureable), dapat dicapai (achievable) Analisa
dapat dilakukan dengan membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat
besarnya perbedaan, dan melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.
26. 26. OUTPUT OUTCOME 26 BAB III ANALISIS MASALAH A. KERANGKA
BERPIKIR PENDEKATAN MASALAH Pemecahan masalah menggunakan kerangka
pemikiran pendekatan sistem sebagai berikut : LINGKUNGAN : OUT Fisik,
Kependudukan, Sosial Budaya, Ekonomi dan Kebijakan INPUT : Man Money Method
Material machine PROSES : P1 P1 P3 Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan sistem
(Hartoyo, 2009) Masalah adalah kesenjangan antara harapan atau tujuan yang ingin
dicapai dengan kenyataan yang sesungguhnya sehingga menimbulkan rasa tidak puas.
Permasalahan yang timbul terdapat pada outcome dimana hasil kegiatan tidak sesuai
Standar Pelayanan Minimal. Dengan demikian didapatkan ciri-ciri masalah sebagai
berikut : Menyatakan hubungan dua atau lebih variabel Dapat diukur Dapat diatasi
(Hartoyo, 2009) Urutan dalam siklus pemecahan masalah adalah sebagai berikut :
27. 27. 27 1. Identifikasi/ invetarisasi masalah Menetapkan keadaan sepesifik yang
diharapkan, yang ingin dicapai, menetapkan indikator tertentu sebagai dasar pengukuran
kinerja, misalnya SPM. Langkah berikutnya, mempelajari keadaan yang terjadi dengan
menghitung atau mengukur hasil pencapaian. Yang terakhir membandingkan kedaan
nyata yang terjadi, dengan keadaan tertentu yang diinginkan atau indikator tertentu yang
sudah ditetapkan. 2. Penentuan prioritas masalah Penyusunan peringkat masalah lebih
baik dilakukan oleh banyak orang dari pada satu orang saja. Bebrapa metode yang dapat
digunakan antaralain : Hanlon, Delbeq, CARL, Pareto, dll. 3. Penentuan penyebab
masalah Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan dengan
curah pendapat. Penentuan penyebab masalah hendaknya tidak menyimpang dari masalah
tersebut. 4. Memilih penyebab yang paling mungkin Penyebab masalah paling mungkin
harus dipilih dari sebab-sebab yang didukung oleh data atau konfirmasi. 5. Menentukan
alternatif pemecahan masalah Seringkali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan
mudah dari penyebab yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat
langsung pada alternatif pemecahan masalah. 6. Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan pemecahan
terpilih. Apabila dikemukakan beberapa alternatif maka digunakan Hanlo kualitatif untuk
menentukan pemecahan terbaik. 7. Penyusunan rencana penerapan Rencana penerapan
pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA (Plan Of Action atau Rencana Kegiatan)
8. Monitoring dan Evaluasi
28. 28. Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan masalah yang
sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah itu sendiri,
apakah permasalahan sudah dapat dipecahkan. 3.Penentuan Penyebab Masalah 28
1.IDENTIFIKASI MASALAH Priorita Masalah 4. Memilih Penyebab yang Paling
Mungkin 7.Monitoring & Evaluasi 6.Penetapanpemecahan masalah terpilih
5.Menentukan Alternatif Pemecahan Masalah Gambar 2. Diagram Analisis Masalah
(Hartoyo, 2009) B. KEGIATAN YANG BERMASALAH 2.Penentuan Pada laporan
P2PL Puskesmas Dumai Kota bulan Januari Desember 2013 didapatkan cakupan
pencapaian CDR (Case Detection Rate) TB paru belum mencapai 70% target yang
ditetapkan. Masalah ini selanjutnya akan dilakukan analisis untuk menentukan
kemungkinan penyebab masalah dengan metode pendekatan sistem (Input,
Proses,Lingkungan, dan Output) yang akan dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Dumai
Kota yang memiliki 5 kelurahan.
29. 29. 29 C. ANALISIS MASALAH Analisi masalah berdasarkan pendekatan sistem pada
rendahnya cakupan CDR di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota adalah sebagai berikut
: 1. Analisi Penyebab Masalah a. Analisi Input Kemungkinan penyebb masalah melalui
pendekatan input meliputi 5M (Man, Money, Method, Material, Machine ) yang akan
dibahas seebagai berikut : Tabel 2 Analisis Input INPUT KELEBIHAN KEKURANGAN
Man 1. 1. Adanya perawat dan bidan yang mendapat pelatihan P2 TB 1. Pelatihan P2TB
belum diperoleh secara merata oleh tenaga kesehatan 2. Jumlah tenaga pelaksana P2 TB
masih kurang (termasuk analis laboratorium) 3. Kurang terlibatnya kader posyandu 4.
Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak Money 1. Adanya dana yang diturunkan
untuk petugas program P2 TB 1. Dana yang diturunkan untuk kegiatan P2TB masih
kurang Method 1. Terdapat pedoman dari Depkes RI mengenai pelaksanaan program
P2TB yang digunakan sebagai acuan melaksanakan kegiatan 1. terdapat perbedaan
persepsi petugas dan pelaksana dalam meninterpretasi pedoman kegiatan program P2TB
2. Kerjasama antara institusi pemerintah dan swasta, atau institusi pemerintah Material
1.Belum terdapatnya PHN Kit 2.Kelengkapan peralatan laboratorium yang masih
30. 30. 30 kurang Machine ketidaklengkapan antara data-base pencatatan dan pelaporan yang
tersedia pada komputer DKK dan data pencatatan dan pelaporan manual. b. Analisi
Proses Tabel 3 Analisi Proses Penyebab Masalah PROSES KELEBIHAN
KEKURANGAN P1 (Perencanaan) 1. Terdapat pedoman P2TB Depkes RI sebagai acuan
2. Terdapat data dan sasaran yang disajikan Puskesmas dan Dinkes Kota Dumai sebagai
acuan menyusun rencana kegiatan 1. Belum terdapatnya sistem perencanaan P2TB sesuai
pedoman 2. Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk
menjaring kasus TB 3. Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang
seragam di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk semua kota,
kabupaten dan kecamatan P2 (Pelaksanaan & Penggerakan) 1. Adanya kegiatan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat meliputi posyandu, pos kesehatan desa,
puskesmas pembantu yang berjalan rutin dan lancar 2. Kegiatan home visite berjalan
rutin setiap bulan 1. Kompleksitas kasus yang dihadapi menyebabkan follow up tidak
maksimal. 2. Miskomunikasi dengan pihak UPK lain (RS, klinik,dll) 3. penjaringan
terlalu longgar (terlalu sensitif)
31. 31. 31 P3 (Pengawasan Penilaian & Pengendalian) 1. Evaluasi & feedback bulanan
dilakukan secara rutin oleh Kepala Puskesmas & koordinator program 2. Pelaporan
disampaikan secara rutin ke Dinkes Kota Dumai & diperoleh feedback yang baik 1.
Kurang ketatnya fungsi pengawasan, penilaian & pengendalian oleh oleh koordinator
program. c. Analisis Lingkungan Tabel 4 Analisis Lingkungan LINGKUNGAN
KELEBIHAN KEKURANGAN Kelurahan Terdapat kader Posyandu disetiap kelurahan
1. Kurangnya pengetahuan dan keaktifan kader 2. Kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan (khususnya masalah TB paru) 3. Tidak adanya kerjasama lintas
sektoral seperti kelurahan, PKK,UPK swasta, dll. d. Outcome Hasil kegiatan cakupan
penemuan kasus TB paru sesuai Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Depkes
RI di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota bulan Januari Desember 2013 belum
mencapai target 70%.
32. 32. 32 2. Rumusan Kemungkinan Penyebab Masalah Berdasarkan analisis input, proses
dan lingungan di atas, rumusan kemungkinan penyebab masalah tidak tercapainya target
CDR (Case Detection Rate) TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota adalah
sebagai berikut. a. Pelatihan P2TB belum diperoleh secara merata oleh tenaga kesehatan
b. Jumlah tenaga pelaksana P2 TB masih kurang (termasuk analis laboratorium) c.
Kurang terlibatnya kader posyandu d. Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak e.
Dana yang diturunkan untuk kegiatan P2TB masih kurang f. terdapat perbedaan persepsi
petugas dan pelaksana dalam meninterpretasi pedoman kegiatan program P2TB g.
Kerjasama antara institusi pemerintah dan swasta, atau institusi pemerintah h. Belum
terdapatnya PHN Kit dan Kelengkapan peralatan laboratorium yang masih kurang i.
Ketidaklengkapan antara data-base pencatatan dan pelaporan yang tersedia pada
komputer DKK dan data pencatatan dan pelaporan manual. j. Belum terdapatnya sistem
perencanaan P2TB sesuai pedoman k. Program TB hanya mengandalkan Passive Case
Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB l. Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA
positif TB yang seragam di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk
semua kota, kabupaten dan kecamatan m. Kompleksitas kasus yang dihadapi
menyebabkan follow up tidak maksimal. n. Tidak terjalinnya komunikasi yang baik
dengan pihak UPK lain (RS, klinik,dll) o. penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif) p.
Kurang ketatnya fungsi pengawasan, penilaian & pengendalian oleh oleh koordinator
program q. Kurangnya pengetahuan dan keaktifan kader
33. 33. r. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan (khususnya 33 masalah TB
paru) s. Tidak adanya kerjasama lintas sektoral seperti kelurahan, PKK,UPK swasta, dll.
Dari rumusan kemungkinan masalah seperti di atas, dapat digambarkan dalam diagram
fish bone sebagai berikut
34. 34. 34 P1 P2 P3 Tercapainya Target CDR TB paru 70% INPUT MAN 1. Pelatihan P2TB
belum diperoleh secara merata oleh tenaga kesehatan 2. Jumlah tenaga pelaksana P2 TB
masih kurang (termasuk analis laboratorium) 3. Kurang terlibatnya kader posyandu 4.
Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak MONEY Dana yang diturunkan untuk
kegiatan P2TB masih kurang METHODE 1. terdapat perbedaan persepsi petugas dan
pelaksana dalam meninterpretasi pedoman kegiatan program P2TB 2. Kerjasama antara
institusi pemerintah dan swasta, atau institusi pemerintah MATERIAL Belum
terdapatnya PHN Kit & Kelengkapan peralatan laboratorium yang masih MACHINE :
ketidaklengkapan antara data-base pencatatan dan pelaporan yang tersedia pada komputer
DKK dan data pencatatan dan pelaporan manual. PROSES LINGKUNGAN 1.
Kurangnya pengetahuan dan keaktifan kader 2. Kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan (khususnya masalah TB paru) 3. Tidak adanya kerjasama lintas
sektoral seperti kelurahan, PKK,UPK swasta, dll 1. Belum terdapatnya sistem
perencanaan P2TB 2. Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF)
untuk menjaring kasus TB 3. Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang
seragam di seluruh Indonesia, 1. Kompleksitas kasus yang dihadapi menyebabkan follow
up tidak maksimal. 2. Miskomunikasi dengan pihak UPK lain (RS, klinik,dll) 3.
penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif) Kurang ketatnya fungsi pengawasan,
penilaian & pengendalia n oleh oleh koordinator program.
35. 35. 35 3. Penyebab Masalah Paling Mungkin Setelah melakukan konfirmasi kepada
petugas P2TB dan karyawan Puskesmas Dumai Kota, maka berdasarkan analisis
penyebab masalah di atas didapatkan penyebab masalah yang paling mungkin yaitu : a.
Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (Passive Case
Finding, PCF); b. Dana yang diturunkan untuk kegiatan P2TB masih kurang c.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan (khususnya masalah TB paru) d.
Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun telah diberikan mukolitik-
ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan obat anti-
tuberkulosis/ OAT yang tidak standar) e. Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu
longgar (terlalu sensitif) f. Belum terdapat komitmen yang kuat dari pihak manajemen
UPK (pimpinan RS) dan tenaga medis (dokter umum dan spesialis) serta paramedis dan
seluruh petugas terkait dalam penanggulangan TB dengan strategi DOTS.
36. 36. 36 BAB IV PEMECAHAN MASALAH A. ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH Setelah diperoleh daftar penyebab maalah paling mungkin, langkah
selanjutnya adalah membuat alternatif pemecahan masalahsebagai berikut Tabbel 5
Daftar Alternatif Pemecahan Masalah No . MASALAH PEMECAHAN MASALAH 1.
Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (Passive Case
Finding, PCF) Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan melalui ACF (Actife Case
Finding) dan Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibu-ibu PKK 2. Dana yang
diturunkan untuk kegiatan P2TB masih kurang Kemitraan dan dukungan Pemerintah
Daerah (Kota dan Kabupaten) kurang dalam pembiayaan program pengendalian TB 3.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan (khususnya masalah TB paru)
Membuat advokasi disertai dengan data/ informasi yang baru tentang pencapaian
program penanggulangan TB di daerah untuk meyakinkan para pengambil keputusan
anggaran pada Pemda dan DPRD 4. Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak,
meskipun telah diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang telah
diobati sebelumnya dengan obat anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar) Perlu dicari
prosedur alternatif pemeriksaan dahak yang bisa dilakukan di tingkat primer. 5.
penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif) Menggerakkan partisipasi masyarakat untuk
meningkatkan penjaringan kasus TB. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat
ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB untuk
37. 37. meningkatkan penjaringan kasus di tingkat akar rumput. 37 6. Belum terdapat
komitmen yang kuat dari pihak manajemen UPK (pimpinan RS) dan tenaga medis
(dokter umum dan spesialis) serta paramedis dan seluruh petugas terkait dalam
penanggulangan TB dengan strategi DOTS. Disarankan agar dibuat jejaring eskternal
antara DKK sebagai regulator dan UPK (RS, dokter umum, spesialis) sebagai penyedia
pelayanan kesehatan, ikatan profesi misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta
puskesmas sebagai unit pelayanan primer serta membuat nota kesepakatan. B.
PRIORITAS PEMECAHAN MASALAH Setelah menemukan alternatif pemecahan
masalah, maka selanjutnya dilakukan penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah.
Penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Kriteria Matriks. Untuk mencari penyelesaian masalah sebaiknaya memenuhi
kriteria sebagai berikut : 1. Efektifitas program, Yaitu menunjuk pada kemampuan
program mengatasi penyebab masalah yang ditemukan. Makin tinggi kemampuan, makin
efektif cara penyelesaian tersebut. 2. Efesiensi program, Yaitu menunjuk pada pemakaian
sumber daya, bila cara penyelesaian dengan biaya (cost) yang kecil, maka cara tersebut
disebut efesien Untuk mengukur efektifitas pemecahan masalah, terdapat bebrapa
pedoman, yaitu : 1. Berdasarkan besarnya pennyebab maalah/ Magnitude Semakin besar
atau semakin banyak penyebab masalah yang dapat diselesaikan, maka semakin efektif.
Kriteria ini bernilai 1-5, semakin banyak penyebab masalah yang dapat diselesaikan,
maka semakin besar nilainya. (semakin mendekati 5). 2. Berdasarkan pentingnya cara
pemecahan masalah/ Importancy.
38. 38. Semakin penting cara penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah maka
semakin efektif. Kriteria ini bernilai 1-5, semakin penting cara penyelesaian dalam
mengatasi masalah maka nilainya semakin mendekati 5. 38 3. Berdasarkan sensitifitas
cara penyelesaian masalah/ Vulnerability Semakin sensitif cara penyelesaian masalah
maka semakin efektif. Kriteria ini bernilai 1-5, semakin sensitif cara penyelesaian dalam
mengatasai masalah maka nilainya semakin mendekati nilai 5. 4. Berdasakan biaya dalam
menyelesaikan maslah/ Cost Kriteria ini bernilai 1-5, nilai mnedekati 1 bila biaya
(sumber daya) yang digunakan semakin kecil. Sebaliknya mendekati nilai 5 bila biaya
(sumber daya) maikn besar. Berdasarkan penjelasan di atas, matriks prioritas
penyelesaian masalah untuk mengatasi maslah tidak tercapainya target CDR TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota adalah sebagai berikut. Tabel 6 Matriks Prioritas
Pemecahan Masalah Tidak Tercapainya Target CDR TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Dumai Kota 2013 No. Prioritas pemecahan Masalah Nilai Kriteria Hasil
Akhir (MxIxV)/C Prioritas M I C V 1. Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan
melalui ACF (Actife Case Finding) dan Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/
ibu-ibu PKK 4 3 1 5 60 2. Membuat advokasi disertai dengan data/ informasi yang baru
tentang pencapaian program penanggulangan TB di daerah untuk meyakinkan para
pengambil keputusan anggaran pada Pemda dan DPRD 3 3 1 4 36
39. 39. 39 3. Meningkatkan pengadaan penyuluhan tentang masalah TB Paru dan membuat
media promosi deteksi dini TB Paru 4 4 1 5 80 4. Perlu dicari prosedur alternatif
pemeriksaan dahak yang bisa dilakukan di tingkat primer. 2 2 1 4 16 5. Menggerakkan
partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat ditingkatkan
perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB 5 5 1 4 100 6. Disarankan
agar dibuat jejaring eskternal antara DKK sebagai regulator dan UPK (RS, dokter umum,
spesialis) sebagai penyedia pelayanan kesehatan, ikatan profesi misalnya Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), serta puskesmas sebagai unit pelayanan primer serta membuat nota
kesepakatan. 3 3 2 2 6 Setelah melakukan penentuan prioritas alternatif pemecahan
masalah dengan menggunakan metode Kriteria Matriks, maka didapatkan urutan prioritas
alternatif pemecahan penyebab masalah tidak tercapainya target CDR TB Paru di wilayah
kerja Puskesmas Dumai Kota. Berdasarkan prioritas alternatif pemecahan masalah
tersebut didapatkan urutan alternatif pemecahan masalah sebagai berikut : 1.
Menggerakkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat
ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB
40. 40. 2. Meningkatkan pengadaan penyuluhan tentang masalah TB Paru dan membuat
media promosi deteksi dini TB Paru 40 C. RENCANA TINDAK LANJUT KEGIATAN
Setelah menentukan alternatif pemecahan masalah, kemudian dibuat tabel rencana atau
Plan Of Action yang meliputi kegiatan, tujuan, sasaran, waktu, dana, lokasi, pelaksana,
metode dan tolak ukur yang sesuai dengan masalah yang ditemukan.
41. 41. 41 Tabel 7 Rencana Kegiatan Peningkatan Targert CDR TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Dumai Kota No. Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Dana Lokasi Pelaksana
Metode Tolak ukur 1. Menggerakkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, status
Posyandu Mandiri dapat ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus
Penanggulangan TB untuk meningkatkan penjaringan kasus TB Seluruh elemen
masyarakat dan seluruh posyandu di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota Agustus s/d
desember 2014 -Dana PKM -posyandu balita -posyandu usila -posbindu -sekolah -
kelurahan -dokter -bidan -perawat -diskusi/ tanya jawab -terdapat petugas posyandu,
kader dan masyarakat yang aktif san mau berkerjasama. Meningkatkan pengadaan
penyuluhan tentang masalah TB Paru dan membuat media promosi deteksi dini TB Paru
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB Paru dan meningkatkan
kesadaran masyarakat. Seluruh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota
Agustus s/d desember 2014 -Dana PKM -Spon sorship -posyandu balita -posyandu usila -
posbindu -sekolah -kelurahan -dokter -bidan -perawat -ceramah -diskusi/ tanya jawab -
terdapat media promosi yang dipajang atau dibagikan di PKM, posyandu, dan
masyarakat.
42. 42. 42 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN Program pengendalian
TB dengan strategi DOTS telah berjalan di wilayah kerja Puskesmas Dumai Kota,. Tetapi
pelaksanaan program pencapaian cakupan CDR TB paru dengan sistem DOTS tersebut
belum mencapai target yang diharapkan. Penyebab utama adalah partisipasi masyarakat,
dokter, RS, dan tenaga kesehatan lainnya yang masih sangat rendah dalam penemuan dan
diagnosis kasus TB. Penyebab lainnya adalah Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan (Passive Case Finding, PCF) serta rendahnya pengetahuan
dan kesdaran masyarakat tentang panyakit TB Paru. Setelah melakukan penentuan
prioritas alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan metode Kriteria Matriks,
maka didapatkan urutan perioritas alternatif pemecahan penyebab masalah tidak
tercapainya target CDR TB Paru di wilayah kerja Puskemas Dumai Kota : 1.
Menggerakkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat
ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus 2. Meningkatkan pengadaan
penyuluhan tentang masalah TB Paru dan membuat media promosi deteksi dini TB Paru
Dengan adanya alternatif pemecahan masalah di atas, diharapkan mampu meningkatkan
pencapaian target CDR TB Paru di wilayah kerja Puskemas Dumai Kota. 2. SARAN 1.
Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan melalui ACF (Actife Case Finding) dan
Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibu-ibu PKK dll. 2. Meningkatkan
pengadaan penyuluhan tentang masalah TB Paru dan membuat media promosi deteksi
dini TB Paru
43. 43. 3. Menggerakkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri
dapat ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB 4.
Membuat advokasi disertai dengan data/ informasi yang baru tentang pencapaian
program penanggulangan TB di daerah untuk meyakinkan para pengambil keputusan
anggaran pada Pemda dan DPRD 5. Disarankan agar dibuat jejaring eskternal antara
DKK sebagai regulator dan UPK (RS, dokter umum, spesialis) sebagai penyedia
pelayanan kesehatan, ikatan profesi misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta
puskesmas sebagai unit pelayanan primer serta membuat nota kesepakatan. 43
44. 44. 44 DAFTAR PUSTAKA 1. Chin, James. Tuberkulosis Dalam: Manual
Pemberantasan Penyakit Menular. ed. 17. Editor Penterjemah: I Nyoman Kandun.
American Public Health Association. 2000. 2. Depkes RI. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2008. 3.
Makmur, Suwandi. DOTS (Direct Observed Treatment Shortcourse) Sebuah Strategi
Pemberantasan Tuberkulosis. Dalam: Tuberkulosis Tinjauan Multidisiplin. Edisi I.
Editor: Isa M, Soefyani A, Juwono O dan Budiarti L.Y. Pusat Studi Tuberkulosis FK
Unlam. Banjarmasin, 2001 4. Depkes RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan
Penanggulangannya. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997 5. Wayan, I. Promosi
Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
Jakarta. 2000. 6. Depkes RI. Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis
Paru di Indonesia. Prosedur Tetap Penanggulangan TB Paru Nasional Secara Terpadu.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006 7. Depkes RI. Proyek Kesehatan Keluarga dan
Gizi. ARRIME Pedoman Manajemen Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
2002.

Anda mungkin juga menyukai