Anda di halaman 1dari 10

Konsep Ajaran al-Mu'tazilah

AL-MUTAZILAH:
SEJARAH TIMBUL, WASHIL BIN ATHA DAN
AJARAN-AJARANNYA SERTA AL-USHUL AL-KHAMSAH
Arman B

I. Pendahuluan
Dalam khazanah pemikiran Islam, sejarah telah mencatat bahwa terdapat lebih dari satu
aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat rasional, tradisonal dan
ada yang mengambil jalan tengah sebagai moderat. Kondisi demikian membawa hikmah bagi
sebagian umat Islam. Bagi mereka yang berpikiran rasional tentu akan mengambil argumentasi
pemikiran dan pemahaman berdasarkan teologi yang beraliran rasional tersebut, sementara bagi
mereka yang berpikiran tradisional atau moderat, cenderung akan menyesuaikan diri dengan
aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah
manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau
Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya.
Secara umum, aliran Mutazilah dapat dikatakan termasuk dalam golongan yang
beraliranrasional, mereka cenderung mengutamakan kemampuan rasio yang dianugerahkan
Tuhan kepada manusia. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan pada akal, sehingga
sebagian kalangan umat islam menilai bahwa mereka lebih mengedepankan rasio daripada
wahyu. Penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur'an secara lebih bebas
dibanding kebanyakan umat muslim, sehingga ajaran Mu'tazilah kurang diterima oleh
kebanyakan ulama Sunni. Bahkan, tidak sedikit orang islam yang menganggap golongan ini
sudah tersesat dari jalan yang lurus.
Pada perkembangannya, ajaran-ajaran Mutazilah semakin banyak dikaji karena menurut
sebagian kalangan, pemahaman ini memiliki andil besar dalam perkembangan pemikiran islam.
Lalu, bagaimana sejarah kemunculan aliran pemahaman ini? Apa saja ajaran-ajaran yang
diusungnya?. Tulisan ini secara umum akan membicarakan pemikiran al-Mutazilah, sejarah
kemunculan, perkembangan, dan Washil bin Atha serta al-ushul al-khamsah sebagai prinsip
ajarannya.

II. Al-Mutazilah dan Ajaran-ajarannya


Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun
individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Melalui
sejarah, manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu umat, bangsa
atau individu.[1] Sebelum menelusuri lebih jauh tentang perkembangan pemikiran al-Mutzailah,
perlu memahami sejarah munculnya aliran ini.

A. Sejarah Munculnya Aliran Al-Mutazilah


Secara sederhana, al-Mutazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam
kepada al-Quran dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-
Quran.[2] Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisya>m ibn Abd al-Mali>k dari
Bani Umayyah.[3] Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak memperoleh dukungan
dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka
yang rasionalis dan filosofis. Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah
Rasulullah dan para sahabat.
Sejarah kemunculan aliran al-Mutazilah dapat dikatakan berawal dari reaksi atas paham-
paham teologi yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan Murjiah[4] mengenai kedudukan
seorang mumin yang berdosa besar.[5] Menurut mereka, kata mukmin mengandung pujian,
sehingga pembuat dosa besar bukanlah orang yang terpuji. Tetapi sebaliknya, pembuat dosa
besar bukanlah kafir karena masih mengakui dua kalimat syahadat. Karena pembuat dosa besar
tidaklah kafir dan tidak juga mukmin, ia mempunyai posisi diantara keduanya (al-manzilah
bayna manzilatayn) dan boleh diberi predikat sebagai seorang muslim.[6] Menurut Fazlur
Rahman,[7] Doktrin posisi tengah dari pelaku dosa besar inilah yang memberikan nama
tekhnis Mutazilah, atau kaum netralis kepada gerakan baru tersebut, dan yang membedakannya
dengan kaum netralis politik yang lama.
Menurut tradisi sunni yang umumnya diterima, asal mula golongan ini memperoleh nama
Mutazilah berawal ketika suatu hari, pada saat diskusi seseorang datang menghadap pada Hasan
Al-Bashri seraya berkata padanya,
Wahai Imam! Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar
adalah kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia dikeluarkan dari
masyarakat islam. Kelompok ini adalah Waidiyyah, sub-golongan Khawarij. Pada sisi lain, ada
kelompok lain yang menangguhkan hukuman atas pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak
berpengaruh buruk kepada seseorang selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang bahwa
perbuatan-perbuatan tidak membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya, dosa tidak
berpengaruh buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama halnya ketaatan tidak berfaedah
kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murjiah. Menurutmu, mana yang
harus kita yakini?[8]

Ketika Hasan Al-Bashri[9] masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut,
salah seorang peserta diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin Atha mengeluarkan pendapat
sendiri yang mendahului gurunya.[10] Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara
dua posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian
berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan kepada
sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari apa yang ia katakana. Hasan
kemudian kemudian berujar pada kelompok yang masih setia padanya, Washil telah
memisahkan diri (itazala)[11] dari kita. Sejak saat itu, pengikut Washil dikenal sebagai
Mutazilah (golongan yang memisahkan diri).[12]
Menurut teori lain, Mutazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari
kata itazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian
politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Menurut beberapa
penulis sejarah, kata itazala dan Mutazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk
golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan
memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian
terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang erat
dengan Abu Husain.[13]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata itazala dan Mutazilah sebenarnya telah
dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil bin
Atha dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata itazala dan istilah Mutazilah yang
dipakai untuk menisbatkan pengikut Washil, baru mulai menjadi populer dan dikenal lebih luas
pasca kejadian ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.

B. Perkembangan Aliran Al-Mutazilah


Pada masa perkembangannya, berdasarkan wilayah pertumbuhan dan pergerakannya,
aliran al-Mutazilah terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, di Bashrah. Pada permulaan abad ke-2 H, dipimpin oleh Washil bin Atha dan
Amr bin Ubaid, lalu diperkuat oleh murid-muridnya seperti, Utsman al-Thawi>l, Hafsh bin
Salim, Hasan bin Sakwa>n, Kha>lik bin Sofwa>n, dan Ibrahi>m bin Yahya al-Mada>ni>.
Sedangkan pada permulaan abad ke-3 H, al-Mutazilah yang berkembang di Bashrah dipimpin
oleh Abu Hudzail al-Alla>f (w. 235 H), Ibrahim bin Saya>r an-Nazha>m, Abu Basyar al-
Mari>si>, Utsman al-Jahiz, Ibnu al-Muammar, dan Abu Ali alubai.
Kedua, di Baghdad. Dipimpin oleh Basyar bin al-Mutamar dibantu oleh Abu Musa> al-
Murda>n, Ahmad bin Abi Dawud, Jafar bin Mubasysyar, dan Jafar bin Ha>rib al-
Hamda>ni>.[14]
Seiring dengan berjalannya waktu, aliran ini semakin menyebar dan memperoleh
dukungan yang semakin luas terutama pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa
Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Bahkan kedudukan mereka semakin kokoh setelah al-
Makmun menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena al-Makmun
sejak kecilnya telah dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan
filsafat.[15] Seiring dengan semakin kuatnya posisi ini, mereka mulai memaksakan ajaran-ajaran
teologinya yang berpuncak pada peristiwa mihnah,[16] yakni pemeriksaan paham
pribadi(inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang yang tidak sependapat
dengan kebijakan ini, termasuk Ahmad bin Hambal kedalam penjara.[17]
Peristiwa ini justru menjadikan banyak kalangan antipati terhadap Mutazilah dan
akhirnya mulai ditinggalkan sehingga tidak memiliki kekuatan lagi. Keadaan ini semakin
bertambah buruk pada pemerintahan al-Mutawakkil yang membatalkan pemakaian mazhab al-
Mutazilah dan menggantinya dengan aliran Asyariyyah. Dari akhir abad ke-11 hingga awal
abad ke-20,[18] ajaran al-Mutazilah seakan tersisih dari panggung sejarah selama berabad-abad,
tergeser oleh paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>ah karena buku-buku mereka tidak dibaca lagi
di perguruan-perguruan islam. Namun, diawal abad ke-20 berbagai karya al-Mutazilah
ditemukan kembali dan dipelajari diperguruan-perguruan Islam, seperti Universitas al-Azhar.
Dengan demikian, pandangan terhadap aliran ini menjadi lebih jernih dan segi-segi positif dan
sumbangsihnya terhadap kepentingan Islam semakin diketahui.[19]

C. Washil bin Atha dan Ajaran-ajarannya


Washil bin Atha hidup pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di kota Madinah pada
tahun 80 H/699 M, dan wafat pada tahun 131 H/749 M, di Bashrah (Irak). Ia merupakan tokoh
terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme kondang yang disebut al-Mutazilah pada masa
Dinasti Bani Umayyah.[20] Nama aslinya adalah Abu> Huzaifah Wa>shil ibn Atha al-
Ghazza>l. Ia begitu dihargai dikalangan al-Mutazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil
pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama
pemerintahan Abd Al-Mali>k ibn Marwa>n dan Hisya>m ibn Abd Al-Mali>k.[21]
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa Washil merupakan pendiri dan pemuka dari aliran
al-Mutazilah, pengikut ajaran-ajaran yang dibawanya dikenal dengan sebutan Washiliyyah.
Sub-golongan Mutazilah ini pada prinsipnya memiliki empat doktrin dasar sebagai berikut:
Pertama, posisi diantara dua posisi bagi para pembuat dosa besar(al-manzilah bayn al-
manzilatayn). Asal doktrin ini adalah bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn Atha dengan
Hasan Al-Bashri dalam permasalahan posisi pelaku dosa besar (sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya).
Kedua, kepercayaan kepada Qadar. Menurut Washil, Tuhan itu bijaksana dan adil,
sehingga keburukan dan ketidakadilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa
berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia
perintahkan kepada mereka. Dia tidak bisa menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian
menghukumnya lantaran mereka tidak melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah
pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan
dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.[22]
Paham ini dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah, free will and free act (kebebasan
berkehendak dan bertindak). Dalam paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah
yang melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan. Dan
dalam mewujudkan hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu sendiri, bukan
Tuhan. Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas kehendak dan dayanya sendiri
sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat dipertahankan untuk menghukumnya dalam neraka.
Tetapi, sekiranya manusia berbuat jahat bukan atas kehendak dan daya upayanya sendiri,
melainkan atas kehendak dan daya yang bersumber dari luar dirinya, maka sungguh tidak adillah
Tuhan kalau menghukum pembuat kejahatan itu dalam neraka.[23]
Ketiga, peniadaan sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui, berkuasa, berkehendak dan
hidup. Telah disepakati secara universal bahwa eksistensi dua Tuhan yang kadim adalah sebuah
hal yang mustahil. Jadi, menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau sifat yang kadim
pada Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan.[24] Washil menolak adanya sifat Tuhan dalam
pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa ia menolak ayat-ayat
yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahma>n, al-Rahi>m, al-Qadi>r, dan
sebagainya sebagimana yang dipahami aliran teologi islam lain. Ia menerima kebenaran ayat-
ayat itu sama dengan kebenaran ayat-ayat lain, hanya saja penafsirannyalah yang berbeda
tentang ayat-ayat tersebut.[25] Menurutnya, Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat Maha
Mengetahui, baginya yang mengetahui itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya.[26]
Keempat, pandangan mengenai kelompok-kelompok yang beroposisi dalam Perang
Jama>l dan Perang Shiffi>n. menurut Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi
yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan sama
terhadap kasus Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya dan
mengenai mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu dari kelompok ini pasti
berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling menghujat satu sama lain, maka yang
satu pasti berdosa. Mengenai status kelompok yang berseteru tersebut, ia berpandangan bahwa
kesaksian mereka tidak dapat diterima. Konsekuensinya, kesaksian Ali, Thalhah dan Zubair,
sekalipun dalam hal-hal yang signifikan, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh jadi
bahwa Utsman dan Ali keduanya bersalah.

D. Al-Ushul Al-Khamsah
Ciri khas paling khusus dari Mutazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan dalam memberikan fatwa hukum terhadap
berbagai hal.[27] Hal ini disebabkan bahwa mereka sangat giat dalam mempelajari filsafat
Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka karena menjunjung tinggi cara berfikir logis.
Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa Mutazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan
sesudah itu baru al-Quran dan Hadits atau yang dikenal dengan taqdi>m al-aql ala> al-
nash. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlusunnah wa al-Jama>ah yang cenderung
mendahulukan al-Quran dan Hadits baru kemudian akal pikiran, taqdi>m al-nash ala> al-
aql.[28]
Dalam penjelasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa karena ketidaksepahaman Washil
bin Atha dengan Hasan al-Bashri, maka pengikut Washil disebut dengan al-Mutazilah (orang
yang mengasingkan diri). Namun, ia sendiri dan para pengikutnya lebih senang menamakan diri
mereka sebagai ahl al-adl wa al-tauhi>d (kaum pendukung keadilan dan keesaan).[29] Dari
pendirian ini, tokoh-tokoh penganut aliran al-Mutazilah bersepakat pada lima ajaran resmi yang
harus diyakini tiap pengikut aliran ini.[30] Bahkan al-Khayya>th yang merupakan tokoh al-
Mutazilah abad k-3 H, seperti yang dikutip Nasir, [31] menegaskan:

:

.

.

Artinya :
seseorang tidak berhak dinamakan Mutazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.
Yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat dan amar maruf nahi
munkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan Mutazilah.

Kelima ajaran ini adalah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut paham ini.
Walaupun demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar
tersebut, mestilah terjadi perbedaan diantara tokoh-tokohnya. Hal ini menjadi wajar, mengingat
al-Mutazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia, sementara setiap akal
mesti memiliki telaah dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah permasalahan.
Doktrin al-Mutazilah dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer ini dikenal dengan istilah al-
ushu>l al-khamsah.
Pertama, Al-Tawhi>d, yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka, Paham-paham yang
membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau adanya yang kadim selain Tuhan dan
sebagainya, mereka tolak dengan kuat.[32] Golongan al-Mutazilah menganggap bahwa konsep
tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagaiAhl al-
Tauh}i>d (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka
menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy
al-Sifa>t.[33]
Dalam ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan
segalaaksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan, bukan bagian
juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[34] Selanjutnya, konsep ini
membawa pada paham penolakan terhadap antropomorfisme.[35] Bagi mereka, Tuhan tidak
boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau tangan. Karena itu,
ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat taja>sum), haruslah
ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybi>h dan al-
Tajsi>m yang gemanya menyusup kedalam Islam dari agama lain.
Penulis cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa sifat-
sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut
ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia
termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat
Allah tidaklah termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari
tauhidal-asma> wa al-shifa>t sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Justru dengan
meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua entitas, karena sebelum meniadakan
sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu,
sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada
wujudnya.
Kedua, Al-Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini meletakkan tanggung jawab
manusia atas perbuatan-perbuatannya.[36] Kalau al-Tawh}i>d mengandung keunikan Tuhan
dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatannya. Hanya
Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan
dengan paham keadilan. Paham keadilan inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional
al-Mutazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.[37]
Menurut al-Mutazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga Ia mesti
mempunyai tujuan kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana,
maka Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat mengasumsikan
demikian.[38] Lebih lanjut menurut mereka, bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak
masuk akal dan tak adil.[39] Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara
bebas dan independen dari semua campur tangan Ilahi.[40] Karena independensi manusia dalam
bertindak itulah, maka paham keadilan menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari
perbuatannya.
Ketiga, Al-Wad wa al-Wai>d, yaitu paham mengenai janji dan ancaman. Paham ini
mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak memberi pahala pada
orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara,
Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub
dalam QS. Ali Imra>n ayat 9,



Artinya:
Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali Imra>n: 9)[41]

Menurut al-Mutazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan
taat, maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum terlebih dahulu
melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan dalam
neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang didapatkannya lebih ringan daripada siksaan
yang diberikan oleh kaum kafir. Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[42]
Keempat, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa
besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir, tetapi posisi Muslim yang terletak diantara
keduanya. Tidak posisi surga, tidak pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan yang
terletak diantara keduanya.[43]
Kelima, Al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat
baik dan larangan untuk berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan
pembinaan moral. Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi
merupakan pengakuan yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik.[44] Menurut mereka,
kepatuhan merupakan suatu tiang dari esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun
yang mengabaikannya, maka dia bukan seorang yang percaya.[45] Orang yang masuk surga
adalah orang yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka
untuk membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-maruf wa al-nahy al-
munkar,sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan,
tetapi kalau terpaksa boleh dengan kekerasan.
Prinsip dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin
memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya dalam
memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan dengan etika
Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam mengkonfrontir sesuatu yang
bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.

III. Kesimpulan
Sejarah kemunculan aliran al-Mutazilah berawal ketika Washil bin Atha mengeluarkan
pendapat sendiri dalam masalah posisi pelaku dosa besar dalam sebuah majelis yang diasuh oleh
Hasan Al-Bashri. Aliran ini kemudian berkembang pesat di Bashrah dan Baghdad.
Aliran inisemakin meluas pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa Abbasiyah,
setelah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Namun, sejak peristiwa mihnah, paham ini
mengalami kemunduran karena buku-buku mereka tidak dibaca lagi. Tetapi, diawal abad ke-20
berbagai karya al-Mutazilah mulai dipelajari kembali sehingga pandangan terhadap aliran ini
menjadi lebih jernih dan sumbangsihnya terhadap kepentingan Islam semakin diketahui.
Pencetus ajaran al-Mutazilah adalah Abu> Huzaifah Wa>shil ibn Atha al-
Ghazza>l(80-131 H/699-749 M). Ia pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar
sejarah dan berbagai cabang ilmu. Pengikut ajaran-ajarannya dikenal dengan sebutan
Washiliyyah yang memiliki empat doktrin dasar. Yaitu, al-manzilah bayn al-
manzilatayn, kepercayaan kepadaQadar atau free will and free act (kebebasan berkehendak dan
bertindak), peniadaan sifat-sifat Tuhan, dan pandangan mengenai kelompok-kelompok yang
beroposisi dalam Perang Jama>ldan Perang Shiffi>n yang menurutnya, salah satu dari
kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah.
Prinsip utama ajaran dasar al-Mutazilah dikenal dengan istilah al-ushu>l al-khamsah.
Yaitu, Al-Tawhi>d, atau kemahaesaan Tuhan, Al-Adl, atau paham keadilan Tuhan, Al-Wad wa
al-Wai>d, atau paham mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn al-
Manzilatain,yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar, dan Al-Amr bi al-Maruf wa al-
Nahy an al-Munkar.
DAFTAR PUSTAKA
A Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010.

Al-Syahrasta>ni, Muhammad Ibn Abd Al-Karim Ah}mad. Al-Milal Wa Al-Nihal: Aliran-aliran


Teologi dalam Islam. Penerjemah Syuaidi Asyari. Bandung: Mizan, 2004.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

Hitti, Philip K. History Of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan, 2002.

Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman Dan
Islam. Diterjemahkan Oleh Agus Fahri Husein. Cet. I. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Mujtahid, Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam. http://uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2649:sejarah-asal-usul-aliran-
teologi-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 (Diakses tanggal 24 mei 2012).

Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Cet. III. Bandung: Mizan,
2005.

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1991.

Rahman, Fazlur. Islam. New York: Anchor Books, 1968.


Syukur NC, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.

Thahir, Lukman S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga
Nalar Kritis. Makassar: Pustaka Refleksi, 2012.

Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Yasid, Abu. Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu. Jakarta: Erlangga, Tanpa
Tahun.
[1] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2010), 3.
[2] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 979.
[3] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 163.
[4] Khawarij beranggapan bahwa orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan
mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara Murjiah tetap menganggap orang
mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 290.
[5] Philip K. Hitti, History of the Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 2002), 306.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 2005), 128.
[7] Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor Books, 1968), 120.
[8] Muhammad Ibn Abd Al-Karim Ah}mad Al-Syahrasta>ni, Al-Milal Wa Al-Nihal:
Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004), 90.
[9] Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728 M) adalah seorang ulama terkenal yang dipandang
sebagai wakil kesalehan warga Madinah. Lihat Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor
Books, 1968), 119.
[10] Lukman S. Thahir, Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari Nalar Tradisi,
Modernitas, Hingga Nalar Kritis (Makassar: Pustaka Refleksi, 2012), 54.
[11] Versi lain mengatakan, itazala anna> (ia mengasingkan diri dari kami).
Lihat Nasution, Islam Rasional, 128.
[12] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 90.
[13] Nasution, Islam Rasional, 128.
[14] Nasir, Pemikiran Kalam, 165.
[15] Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 291.
[16] Mihnah adalah Pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka
akan khalq al-Quran. Al-Mutazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT
yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan.
Karena ia diciptakan, berarti ia adalah sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika ia kadim, maka
akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan itu hukumnya musyrik.
[17] Thahir, Kritik Islam, 57.
[18] Ibid, 58.
[19] Lihat Ensiklopedi, 292.
[20] Hitti, History, 306.
[21] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88.

[22] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88-89.


[23] Nasution, Islam Rasional, 130.
[24] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88.
[25] Nasution, Islam Rasional, 131.
[26] Ensiklopedi, 292.
[27] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 48.
[28] Nasir, Pemikiran Kalam, 167.
[29] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1991), 54.
[30] Nasution, Islam Rasional, 135.
[31] Nasir, Pemikiran Kalam, 168.
[32] Nasution, Islam Rasional, 135.
[33] Ensiklopedi, 292.
[34] Madkour, Aliran, 51.
[35] Pembadanan, penggambaran Allah SWT dengan hal-hal jismiyyah atai materialitas.
[36] Nasir, Pemikiran Kalam, 169.
[37] Nasution, Islam Rasional, 135-136.
[38] Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan
Wahyu (Jakarta: Erlangga, Tanpa Tahun), 48.
[39] Rahman, Islam 122.
[40] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik
Iman Dan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), 186.
[41] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), 63.
[42] Nasir, Pemikiran Kalam, 172.
[43] Nasution, Islam Rasional, 136.
[44] Ibid, 136.
[45] Izutsu, Konsep Kepercayaan, 186.

http://salumoni.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-al-mutazilah.html

Anda mungkin juga menyukai