Konsep Ajaran Al-Mutazilah
Konsep Ajaran Al-Mutazilah
AL-MUTAZILAH:
SEJARAH TIMBUL, WASHIL BIN ATHA DAN
AJARAN-AJARANNYA SERTA AL-USHUL AL-KHAMSAH
Arman B
I. Pendahuluan
Dalam khazanah pemikiran Islam, sejarah telah mencatat bahwa terdapat lebih dari satu
aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat rasional, tradisonal dan
ada yang mengambil jalan tengah sebagai moderat. Kondisi demikian membawa hikmah bagi
sebagian umat Islam. Bagi mereka yang berpikiran rasional tentu akan mengambil argumentasi
pemikiran dan pemahaman berdasarkan teologi yang beraliran rasional tersebut, sementara bagi
mereka yang berpikiran tradisional atau moderat, cenderung akan menyesuaikan diri dengan
aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah
manusia dalam segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau
Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya.
Secara umum, aliran Mutazilah dapat dikatakan termasuk dalam golongan yang
beraliranrasional, mereka cenderung mengutamakan kemampuan rasio yang dianugerahkan
Tuhan kepada manusia. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan pada akal, sehingga
sebagian kalangan umat islam menilai bahwa mereka lebih mengedepankan rasio daripada
wahyu. Penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur'an secara lebih bebas
dibanding kebanyakan umat muslim, sehingga ajaran Mu'tazilah kurang diterima oleh
kebanyakan ulama Sunni. Bahkan, tidak sedikit orang islam yang menganggap golongan ini
sudah tersesat dari jalan yang lurus.
Pada perkembangannya, ajaran-ajaran Mutazilah semakin banyak dikaji karena menurut
sebagian kalangan, pemahaman ini memiliki andil besar dalam perkembangan pemikiran islam.
Lalu, bagaimana sejarah kemunculan aliran pemahaman ini? Apa saja ajaran-ajaran yang
diusungnya?. Tulisan ini secara umum akan membicarakan pemikiran al-Mutazilah, sejarah
kemunculan, perkembangan, dan Washil bin Atha serta al-ushul al-khamsah sebagai prinsip
ajarannya.
Ketika Hasan Al-Bashri[9] masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut,
salah seorang peserta diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin Atha mengeluarkan pendapat
sendiri yang mendahului gurunya.[10] Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara
dua posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian
berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan kepada
sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari apa yang ia katakana. Hasan
kemudian kemudian berujar pada kelompok yang masih setia padanya, Washil telah
memisahkan diri (itazala)[11] dari kita. Sejak saat itu, pengikut Washil dikenal sebagai
Mutazilah (golongan yang memisahkan diri).[12]
Menurut teori lain, Mutazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari
kata itazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian
politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Menurut beberapa
penulis sejarah, kata itazala dan Mutazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk
golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan
memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian
terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang erat
dengan Abu Husain.[13]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata itazala dan Mutazilah sebenarnya telah
dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil bin
Atha dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata itazala dan istilah Mutazilah yang
dipakai untuk menisbatkan pengikut Washil, baru mulai menjadi populer dan dikenal lebih luas
pasca kejadian ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.
D. Al-Ushul Al-Khamsah
Ciri khas paling khusus dari Mutazilah ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya
kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan dalam memberikan fatwa hukum terhadap
berbagai hal.[27] Hal ini disebabkan bahwa mereka sangat giat dalam mempelajari filsafat
Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka karena menjunjung tinggi cara berfikir logis.
Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa Mutazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan
sesudah itu baru al-Quran dan Hadits atau yang dikenal dengan taqdi>m al-aql ala> al-
nash. Hal ini berbeda dengan golongan Ahlusunnah wa al-Jama>ah yang cenderung
mendahulukan al-Quran dan Hadits baru kemudian akal pikiran, taqdi>m al-nash ala> al-
aql.[28]
Dalam penjelasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa karena ketidaksepahaman Washil
bin Atha dengan Hasan al-Bashri, maka pengikut Washil disebut dengan al-Mutazilah (orang
yang mengasingkan diri). Namun, ia sendiri dan para pengikutnya lebih senang menamakan diri
mereka sebagai ahl al-adl wa al-tauhi>d (kaum pendukung keadilan dan keesaan).[29] Dari
pendirian ini, tokoh-tokoh penganut aliran al-Mutazilah bersepakat pada lima ajaran resmi yang
harus diyakini tiap pengikut aliran ini.[30] Bahkan al-Khayya>th yang merupakan tokoh al-
Mutazilah abad k-3 H, seperti yang dikutip Nasir, [31] menegaskan:
:
.
.
Artinya :
seseorang tidak berhak dinamakan Mutazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.
Yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat diantara dua tempat dan amar maruf nahi
munkar. Apabila padanya telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan Mutazilah.
Kelima ajaran ini adalah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut paham ini.
Walaupun demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar
tersebut, mestilah terjadi perbedaan diantara tokoh-tokohnya. Hal ini menjadi wajar, mengingat
al-Mutazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia, sementara setiap akal
mesti memiliki telaah dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah permasalahan.
Doktrin al-Mutazilah dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer ini dikenal dengan istilah al-
ushu>l al-khamsah.
Pertama, Al-Tawhi>d, yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka, Paham-paham yang
membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau adanya yang kadim selain Tuhan dan
sebagainya, mereka tolak dengan kuat.[32] Golongan al-Mutazilah menganggap bahwa konsep
tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagaiAhl al-
Tauh}i>d (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka
menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy
al-Sifa>t.[33]
Dalam ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan
segalaaksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan, bukan bagian
juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[34] Selanjutnya, konsep ini
membawa pada paham penolakan terhadap antropomorfisme.[35] Bagi mereka, Tuhan tidak
boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau tangan. Karena itu,
ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat taja>sum), haruslah
ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybi>h dan al-
Tajsi>m yang gemanya menyusup kedalam Islam dari agama lain.
Penulis cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa sifat-
sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut
ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia
termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat
Allah tidaklah termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari
tauhidal-asma> wa al-shifa>t sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Justru dengan
meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua entitas, karena sebelum meniadakan
sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu,
sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada
wujudnya.
Kedua, Al-Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini meletakkan tanggung jawab
manusia atas perbuatan-perbuatannya.[36] Kalau al-Tawh}i>d mengandung keunikan Tuhan
dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatannya. Hanya
Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan
dengan paham keadilan. Paham keadilan inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional
al-Mutazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.[37]
Menurut al-Mutazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga Ia mesti
mempunyai tujuan kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana,
maka Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat mengasumsikan
demikian.[38] Lebih lanjut menurut mereka, bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak
masuk akal dan tak adil.[39] Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara
bebas dan independen dari semua campur tangan Ilahi.[40] Karena independensi manusia dalam
bertindak itulah, maka paham keadilan menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari
perbuatannya.
Ketiga, Al-Wad wa al-Wai>d, yaitu paham mengenai janji dan ancaman. Paham ini
mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak memberi pahala pada
orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara,
Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub
dalam QS. Ali Imra>n ayat 9,
Artinya:
Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali Imra>n: 9)[41]
Menurut al-Mutazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan
taat, maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum terlebih dahulu
melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan dalam
neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang didapatkannya lebih ringan daripada siksaan
yang diberikan oleh kaum kafir. Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[42]
Keempat, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa
besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir, tetapi posisi Muslim yang terletak diantara
keduanya. Tidak posisi surga, tidak pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan yang
terletak diantara keduanya.[43]
Kelima, Al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat
baik dan larangan untuk berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan
pembinaan moral. Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi
merupakan pengakuan yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik.[44] Menurut mereka,
kepatuhan merupakan suatu tiang dari esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun
yang mengabaikannya, maka dia bukan seorang yang percaya.[45] Orang yang masuk surga
adalah orang yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka
untuk membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-maruf wa al-nahy al-
munkar,sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan,
tetapi kalau terpaksa boleh dengan kekerasan.
Prinsip dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin
memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya dalam
memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan dengan etika
Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam mengkonfrontir sesuatu yang
bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.
III. Kesimpulan
Sejarah kemunculan aliran al-Mutazilah berawal ketika Washil bin Atha mengeluarkan
pendapat sendiri dalam masalah posisi pelaku dosa besar dalam sebuah majelis yang diasuh oleh
Hasan Al-Bashri. Aliran ini kemudian berkembang pesat di Bashrah dan Baghdad.
Aliran inisemakin meluas pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa Abbasiyah,
setelah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Namun, sejak peristiwa mihnah, paham ini
mengalami kemunduran karena buku-buku mereka tidak dibaca lagi. Tetapi, diawal abad ke-20
berbagai karya al-Mutazilah mulai dipelajari kembali sehingga pandangan terhadap aliran ini
menjadi lebih jernih dan sumbangsihnya terhadap kepentingan Islam semakin diketahui.
Pencetus ajaran al-Mutazilah adalah Abu> Huzaifah Wa>shil ibn Atha al-
Ghazza>l(80-131 H/699-749 M). Ia pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar
sejarah dan berbagai cabang ilmu. Pengikut ajaran-ajarannya dikenal dengan sebutan
Washiliyyah yang memiliki empat doktrin dasar. Yaitu, al-manzilah bayn al-
manzilatayn, kepercayaan kepadaQadar atau free will and free act (kebebasan berkehendak dan
bertindak), peniadaan sifat-sifat Tuhan, dan pandangan mengenai kelompok-kelompok yang
beroposisi dalam Perang Jama>ldan Perang Shiffi>n yang menurutnya, salah satu dari
kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah.
Prinsip utama ajaran dasar al-Mutazilah dikenal dengan istilah al-ushu>l al-khamsah.
Yaitu, Al-Tawhi>d, atau kemahaesaan Tuhan, Al-Adl, atau paham keadilan Tuhan, Al-Wad wa
al-Wai>d, atau paham mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn al-
Manzilatain,yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar, dan Al-Amr bi al-Maruf wa al-
Nahy an al-Munkar.
DAFTAR PUSTAKA
A Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan, 2002.
Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman Dan
Islam. Diterjemahkan Oleh Agus Fahri Husein. Cet. I. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Mujtahid, Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam. http://uin-
malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2649:sejarah-asal-usul-aliran-
teologi-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210 (Diakses tanggal 24 mei 2012).
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Cet. III. Bandung: Mizan,
2005.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1991.
Thahir, Lukman S. Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari Nalar Tradisi, Modernitas, Hingga
Nalar Kritis. Makassar: Pustaka Refleksi, 2012.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Yasid, Abu. Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Wahyu. Jakarta: Erlangga, Tanpa
Tahun.
[1] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2010), 3.
[2] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 979.
[3] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 163.
[4] Khawarij beranggapan bahwa orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan
mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara Murjiah tetap menganggap orang
mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 290.
[5] Philip K. Hitti, History of the Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 2002), 306.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 2005), 128.
[7] Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor Books, 1968), 120.
[8] Muhammad Ibn Abd Al-Karim Ah}mad Al-Syahrasta>ni, Al-Milal Wa Al-Nihal:
Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004), 90.
[9] Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728 M) adalah seorang ulama terkenal yang dipandang
sebagai wakil kesalehan warga Madinah. Lihat Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor
Books, 1968), 119.
[10] Lukman S. Thahir, Kritik Islam Rasional Harun Nasution: Dari Nalar Tradisi,
Modernitas, Hingga Nalar Kritis (Makassar: Pustaka Refleksi, 2012), 54.
[11] Versi lain mengatakan, itazala anna> (ia mengasingkan diri dari kami).
Lihat Nasution, Islam Rasional, 128.
[12] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 90.
[13] Nasution, Islam Rasional, 128.
[14] Nasir, Pemikiran Kalam, 165.
[15] Lihat Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 291.
[16] Mihnah adalah Pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka
akan khalq al-Quran. Al-Mutazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT
yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan.
Karena ia diciptakan, berarti ia adalah sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika ia kadim, maka
akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan itu hukumnya musyrik.
[17] Thahir, Kritik Islam, 57.
[18] Ibid, 58.
[19] Lihat Ensiklopedi, 292.
[20] Hitti, History, 306.
[21] Al-Syahrasta>ni, Al-Milal, 88.
http://salumoni.blogspot.com/2012/05/konsep-ajaran-al-mutazilah.html