Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Uveitis difus atau panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus
uvealis atau dengan kata lain panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang
predominan dimana inflamasi merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau
koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan
karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial
postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik
secara khas tidak ada. 1
Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka
kejadian panuveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya panuveitis
diakibatkan oleh toxoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk panuveitis pada umumnya
oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus. Sedangkan pada wanita banyak
disebabkan oleh toxoplasmosis.1
Lokasi anatomi
Lokasi anatomi panuveitis pada dasarnya merupakan seluruh traktus uvealis yang
merupakan gabungan dari uveitis anterior, uveitis intermediet, dan uveitis posterior, yaitu
meliputi:
a) Uveitis anterior
- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris
- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata
b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer
c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus. 1,2
Gambar 1. Lokasi Panuevitis (gabungan dari lokasi uveitis anterior, intermediet, dan posterior) 2
Gambar 4. Hipopion.
Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar.
Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum.
Apabila debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang
normal maka dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis
sekunder.
Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama
terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di
dalam lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada
perbedaan distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun
fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter
melihat adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan
oftalmoskop.5
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel
di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinekia posterior dan anterior. Sel radang lebih
besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan
dengan slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering
menampakan kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin
menyatu, sering menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis,
yaitu terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.4,5
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam
waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut
makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi
pelepasan membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang
jarang terjadi.
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis
posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik.5
Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.
Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis,
sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti
korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis
viral, limfoma, atau sarkoidosis.6
Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang
menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah
menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi
radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan
vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai
uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.
Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom samaran,
seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur
ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi
rubella.5,6
Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk
toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom
samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada
segmen posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis
diferensial adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis,
endoftalmitis candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis
meningococcus.6
Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis
retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau
kriptokosis.
Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,
kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset
uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen
posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan
infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.4,5
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi
dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,
fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan
hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis
anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui.
Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan.
Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi
pasien dengan uveitis.7
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan
antara lain:
1. Pemeriksaan subyektif mata
a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam
pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.
b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan
c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal.
2. Pemeriksaan obyektif mata
Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering
ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat
menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang
terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)
c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi
dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.
d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.
e. Pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung
mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara
langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:
- Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan
beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.
- Pupil dalam kondisi miosis.
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp
a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau
benda asing.
b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea
c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah
putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan
ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar,
kotor, dan penuh lemak (gambaran granula mutton-fat).
d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera
okuli anterior tampak kotor.
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
- 0 tidak ditemukan
- +1 ditemukan dalam jumlah sedikit
- +2ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
- +3 iris dan lensa terlihat berkabut
- +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi).
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan
hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan
laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus
unilateral untuk pertama kali dan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak
ditemukan penanda yang khas
b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens,
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.
2.7 TATALAKSANA
Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi
setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada
ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih,
atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan
kepada pasien. Penanganan panuveitis secara garis besar bertujuan untuk mencegah
komplikasi penglihatan, mengurangi keluhan pasien, dan mentatalaksana penyakit yang
mendasari.8
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau
sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
2. Obat sikloplegia
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi
pupil. Selain itu, juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek
maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka
akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek
samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan mulut kering.
- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan
midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek
ini dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada
uveitis dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol
dan kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada
pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan
siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis
setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia
dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choiceyang sering
digunakan pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien
yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan
homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).
2.8 KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada panuveitis yaitu:8
1. Glaukoma sekunder
Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea
antara lain:
a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat
peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea
menyempit dan mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi
peningkatan volume pada kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan
tekanan intraocular.
b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di
beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi
tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat
menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di
belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.
c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel
radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior
meningkat dan terjadi glaukoma.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus
optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.
3. Katarak komplikata
Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada
fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis
visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya.
4. Ablasio retina
5. Edema kistoid macular.
6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Huang JJ, Gaudio PA. Ocular inflammatory disease and uveitis manual: diagnosis
and treatment. Philladelphia: Wolters Kluwer; 2010.p. 70-5.
2. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan dan asbury : oftamologi umum. Ed ke-17. Jakarta:
EGC; 2014.h. 62-7; 151-60.
3. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis and treatment of uveitis. Michigan: Saunders WB;
2002.p. 82-90.
4. Bonfioli AA et al. Intermediate uveitis. Semin ophthalmol 2005; 20: 147.
5. Nussenblatt RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals and clinical practice. 4 th ed. Los
Angeles: Elsevier Health Science; 2010.p. 35-40; 69-90.
6. Kuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Clinical Approach to Uveitis.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American Academy Ophtalmology. Singapura.
7. Ilyas Sidarta. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan
Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2002.h. 110-20.
8. Janigian, Robert H. Uveitis, evaluation and treatment. 2010. Diunduh pada 27
Agustus 2017 dari www.emedicine.medscape.com