Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal
ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek
peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah
satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek
batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia.
Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs
(penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan
pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga
sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai
syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana (peniadaan diri).
Banyak pendapat yang mengatakan berbeda tentang asal mula kemunculan istilah
tasawuf dalam islam secara tepatnya, baik secara hakikat keberadaan tasawuf pada diri Nabi dan
Sahabat, Hingga muncul gerakan golongan sufi yakni orang-orang yang menghindari dari hal-hal
yang berbau duniawi hanya untuk menuju ridlo ALLAH.
Penyelidikan ahli-ahli pengetahuan tentang asal-usul dan pengambilan tasawuf islami,
yang menganjurkan hidup kerohanian itu, sampai sekarang masih saja belum selesai.
ada beberapa pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks kebudayaan-kebudayaan luar
Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada didunia Islam
benar-benar terpengaruh oleh konteks kebudayaan tersebut atau tidak.
Tasawuf yang kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari sumber-sumber
perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun
dikalangan non-muslim. Mereka yang menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah
paham yang bersumber dari agama-agama lain. Berbagai pendapat telah dikemukakan,
setengahnya mengatakan bahwa sumber pengambilannya adalah semata-mata agama islam Al-
Quran dan Al-Hadits. Dan banyak pula orientalis Barat berpendapat bahwa pokok
pengambilannya ialah ajaran Persia, Hindu, Agama Nasrani atau filsafat Yunani.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Tasawuf?
2. Bagaimana sejarah kemunculan Tasawuf?
3. Bagaimana Kontak Kebudayaan Hindu-Budha, Persia, Yunani dan Arab terhadap Ilmu
Tasawuf?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Tasawuf
2. Untuk mengetahui sejarah kemunculan Tasawuf
3. Untuk memahami Kontak Kebudayaan Hindu-Budha, Persia, Yunani dan Arab terhadap
Ilmu Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasawuf

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ada berbagai pengertian mengenai tasawuf diantaranya
yaitu:
2.1.1 Secara Etimologi (Bahasa)
Berasal dan kata Al-Shuffah yaitu sekelompok sahabat Nabi yang mengasingkan dirinya
disuatu tempat terpencil disamping masjid nabi. Sebagian ulama lain mengatakan berasal dari
kata Shafa (suci bersih) yakni sekelompok orang yang menyucikan hati dan jiwanya karena
Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari cahaya hikmah,
tauhid, dan kesatuan dengan Allah.
Terdapat juga yang mengatakal berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol)
Mereka di sebut sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat
dan bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol
lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah lambang dan kesederhanaan
pada saat itu. Berbeda dengan orang kaya saat itu yang memakai kain sutra. Mereka hidup
sederhana dan miskin tetapi berhati mulia, saat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam
agama), mereka hidup sangat wara (menjaga din dan berbuat dosa dan maksiat).

2.1.2 Secara Teriminologi


Menurut Al - Juroiri berpendapat tentang tasawuf: Memasuki kedalam akhlak yang
bersifat sunni dan keluar dari akhlak (Budi Pekerti) yang rendah. Sedangkan Menurut Al-
Junaidi Tasawuf membersihkan hati dan apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk,
berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat
kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat
kerohanian, dan bergantung pada ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal.
Tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan
kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah AWT untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat denganNya. Sebagian
ahli hakikat ada yang mengatakan, bahwa arti tasawuf ialah berakhlak mulia dengan segala
perangai athaifatush shufiyah dan bertawasul dengan segala sifat mereka, sehingga merpererat
hubungan sesama mereka dan mereka dekat dengan Allah. Adapun Ayat Al-quran sebagai
landasan Ilmu Tasawuf Adalah sebagai berikut:

Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q.
S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).

Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2.
Al-Baqarah, A. 186).

Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang di
bisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof,
A. 16).

Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).

2.2 Sejarah Kemunculan Tasawuf

Menurut Ibnu Al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, secara garis besar kehidupan kerohanian dalam
islam terbagi menjadi dua, yaitu zuhud dan Tasawuf. Diakui bahwa keduanya merupakan istilah
baru, sebab belum ada pada zaman Rasulullah Muhammad saw, dan tidak terdapat dalam Al-
Quran keculai zuhud yang disebut sekali dalam surah yusuf (12) ayat 20.
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur
Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi SAW diberi panggilan sahabat. Panggilan
ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya yaitu masa
sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabiin, dan seterusnya
disebut tabiit tabiin.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III hijriyah, oleh abu
Hasyim al-Kufy (w 250) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan
oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyimal-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam
zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia adalah pertama kali diberi nama al-
sufy.
Menurut literatur yang lain dijelaskan bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah
ada dalam kehidupan Nabi SAW, sahabat, dan tabiin. Sebutan yang populer bagi tokoh agama
sebelumnya adalah zahid, abid, dan nasik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di
kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah.
Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zahid
yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini
lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan
mengabaikan kenikmatan duniawi.
Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam
sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah tahun 728M.
ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah mempertebal takut dan harap kepada
Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari , mengadakan gerakan
pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim.
Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan
beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah
mulai mengurangi makna (ju), menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud ).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai
karakter sebagai berikut:
1.) Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang dilator
belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis( belum berwujud dalam
sistematika dan teori tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.
2.) Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-
prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam
ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah
dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada
kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu
mengarah pada tujuan moral.
3.) Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan
Rabiah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap adhab- Nya
maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya
dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
4.) Akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabiah al- Adawiyah
ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf,
atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih
sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari, dan nasik (bukan sufi) (Abu alo- Wafa, 1970).
Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak memasukkan Hasan al-
Basri dan Rabiah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd
yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon
harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi.
Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ansyaiin wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.
Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang
kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan
merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-
individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah
dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan
memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke
sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan
sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zahid sudah
sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode
pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculan berbagai teori tentang jenjang-
jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqamat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh
seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai
berkembang pembahasan tentang al-marifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat
fana dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhasibi
(w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan penulis lainya.
Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah
budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam
langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya
memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran
tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang
diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini,
dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour
dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profesi tersamar ini mereka lakukan dengan gaya
murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal.
Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H)
yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan
khawf al-raja, rabiah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta
Maruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.
Nampak setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang
interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya
penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum
khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa
itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus
menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian
itu melahirkan ajaran uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan
sebagai gerakan sempalan, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap uzlah
kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya
merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi.
Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka
membangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia
spiritual yang penuh dengan cinta.
Ketiga tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan
moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas
faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruh al-din yang menyebabkan
terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa tesebut, karena dominannya posisi agama
dalam agama, para zuhudan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga
memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang
ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain
yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan
kelompok sufi berfaham ittihad.
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah
tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf
yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk
menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat
Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai
imbangan dan legalitas al-fana.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi
membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran
mistik dengan syariah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan
tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi
dengan al-Taarruf li Mazhahib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risalah.
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H)
dengan konsepsinya marifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtl (w.
578 H) dengan doktrin al-Isyrkiyah atau illuminasi.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh
monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang
menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru,
mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang
ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan
ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam
kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan
dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan
jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang
berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu.
Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-
pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan
tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang
ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.

Gerakan tasawuf tidak muncul pada masa Nabi SAW, akan tetapi baru muncul paska era
Shahabat dan Tabi'in, karena saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat
masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan
secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan
hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum
ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabiin pada hakikatnya
sudah sufi yakni sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin
mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena
umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan
untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang
yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)

2.3 Kontak Kebudayaan Hindu Budha,Persia, Yunani dan Arab Terhadap Tasawuf

Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah. dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian
lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran Islam.
Al-Quran dan al Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya Al-Quran
antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai
(mahahbah) (LihatQS.Al-Maidah.5:54): perintah agar manusia senantiasa bertaubat.
membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah (Lihat QS. ibahrim, 8). petunjuk bahwa
manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (lihat QS. aI-
Baqarah. 2: 110). Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya (Lihat
QS an-Nur. 35).
Selanjutnya al-Quran rnengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak
oleh kehidupan dunia dan harta benda (Lihat QS. al-Hadid, al-Fathir, 5), dan senantiasa bersikap
sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT. (Lihat QS. Ali- lmran, 3).
Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang
menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama masehi. unsur Yunani,
unsur Hindu Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akadernik bisa saja diterima, namun secara
akidah perlu kehati-hatian.
Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam
tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam.
bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam.
Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh
agarna-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf,.karena
para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka
itu. Dengan demikian adanya unsur luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan
rnasalah akademik bukan masalah akidah lslamiah.
Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif. Kita mengakui
bahwa Islam sebagai agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan
sosial. Dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang
terdapat dalam berbagai ajaran tersebut.
Dalam huhungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau
memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal dari luar Islam itu.
2.3.1 Kontak Kebudayaan Hindu Budha
Tasawuf dan kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada
paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan lain), cara pelepasan dari dunia
versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat syufiyah, yaitu al-Fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang
nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha
mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Paham
fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana.
Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta
Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam
sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan
hidup sebagai darwish.
Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka
yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu
ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman
Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah
belum ada kesimpulan seperti itu.

2.3.2 Kontak Kebudayaan Persia


Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik,
pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang
menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah
kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal dengan ahli-
ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut
agama Manu dan Mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan
Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan
sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang
penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah
menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
Kebanyakan ahli tasawuf muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor
pertama timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat
Nabi Muhammad dan para sahabatnyapun telah mempraktikkannya.
Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan Al-Quran dan As-
Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran
pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya filsafat yunani,
hindu, Persia, dan sebagainya.

2.3.3 Kontak kebudayan Yunani


Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam pada akhir Daulah
Umayyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan
filsafat Yunani. Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian
orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang
terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang
bercorak filsafat.
Mungkin saja ajaran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya,
perkataan, Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah
baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat. Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan
menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita Seribu Satu Malam berasal dari Yahudi.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab
peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak
masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih
masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat
Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi
asal-mula tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup kedalam
tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan terhadap keberbedaan benda-benda
(ghairiyat) dari Allah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil di dapat oleh sufi yang terkenal
dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan
keganjilan yang dibawakan oleh Al-Hallaj, Aku Yang Maha besar, atau ungkapan Abu Yazid
Al-Busthami, Maha Suci Aku. Karena mengaku Mahasuci, merasa tidak perlu lagi syariat
Islam. Dengan Alasan inilah maka hal tersebut juga dikatakan sebagai nihilisme syariat.
Ungkapan Neo-Platonisme, Kenalilah dirimu dengan dirimu, diambil oleh para sufi
menjadi ungkapan, siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Hal ini
bias jadi mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak
dapat disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof),
seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat.

2.3.4 Kontak Kebudayan Arab


Untuk melihat bagaimana tasawuf dari dunia Islam, pelacakan terhadap sejarah
munculnya tasawuf dapat di jadikan dasar argumentasi munculnya tasawuf di dunia Islam. Untuk
itulah, berikut ini di ketengahkan sejarah tumbuh dan berkembangnya Tasawuf di dunia Islam.
Namun, mengingat kehadiran Islam bermula dari daratan Arab maka uraian tentang sejarah
Tasawuf ini bermula dari tanah Arab.
Melacak sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai
dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya, perlu diteliti sejak zaman Rasulullah. Memang pada masa
Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah tasawuf itu belum ada.
Selama Rasulullah hidup hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu
diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktik ibadah
tasawuf. Sikap zuhud misalnya, telah banyak ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum munculnya agama
Islam ditanah Arab.
Oleh sebab itu, untuk meihat sejarah tasawuf, perlu dilihat perkembangan peradaban
Islam sejak zaman Rasulullah. Sebab pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada
dirinya sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan sudah
tumbuh sejak Islam datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup dalam suasana
kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai
sumber pertama bagi kehidupan rohani.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Tasawuf berasal dan kata Al-Shuffah yaitu sekelompok sahabat Nabi yang mengasingkan
dirinya disuatu tempat terpencil disamping masjid nabi. Sebagian ulama lain mengatakan
berasal dari kata Shafa (suci bersih) yakni sekelompok orang yang menyucikan hati dan
jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari
cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah.
Zaman Nabi SAW tidak ada tasawuf, akan tetapi sikap perangainya serta dari para
sahabat telah menunjukkan sifat Tasawuf. Tasawuf muncul sekitar abad I Hijriah yakni ditandai
dengan lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf,
Akan tetapi ajaran Tasawuf dikenal sejak pertengahan abad III Hijriah, diketahui dari Abu
Hasyim al-Kufy (w 250) yang meletakkan al-sufi dibelakang namanya.
Tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan dan moral
keagamaan yang banyak di atur dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi terdapat beberapa
pro dan kontra yang menyebutkan bahwa terdapat kontak kebudayaan selain islam yang
berpengaruh terhadap Tasawuf, diantaranya:
1.) Tasawuf dan kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir, Paham
fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana.
2.) kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal
dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan
zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq.
3.) Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam, tasawuf yang terkena
pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang
bercorak filsafat.
4.) Sikap zuhud telah banyak ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Kalau
dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum munculnya agama
Islam ditanah Arab.
3.2 SARAN

Makalah yang kami tulis masih banyak kekurangan, baik segi penulisannya maupun isi
yang terkandung di dalamnya, Penyusun sadar makalah ini belum sempurna, sebagaimana kata
pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak. Oleh karena itu kami berharap kepada dosen
pembimbing dan pembaca atas saran demi terwujudnya makalah yang lebih sempurna

Anda mungkin juga menyukai