Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah sekitarnya.
Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat
sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.

Infark Miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Infark miokard akut dengan
elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum
sindrom koroner akut yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan
IMA dengan elevasi ST.

2.2 Faktor Resiko

2.2.1 Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang menetap.
JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah sistolik normal dibawah 120 mmHg dan tekanan
darah diastolik dibawah 80 mmHg. Hipertensi dikategorikan menjadi dua grade yaitu dengan
katergori hipertensi grade 1 dan hipertensi grade 2.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik (mmHg) Diastolik
(mmHg)
Normal <120 DAN <80
Pre Hipertensi 120-139 DAN 81-89
Hipertensi Grade 1 140-159 ATAU 90-99
Hipertensi Grade 2 >160 ATAU >100

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap


pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel
kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaan oksigen untuk miokardium berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena
hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia.

b. Hiperlipidemia
Hiperlidemia merupakan meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah. Secara klinis,
hiperlipidemia dinyatakan sebagai hiperkolesterolemia, hipertrigliserida atau keduanya yang
merupakan akumulasi berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan
metabolisme ataupun kelainan transportasi lemak. Kolesterol merupakan prasyarat terjadi
penyakit jantung koroner. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh
arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami
aterosklerosis. Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah.
Hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol.
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya faktor
resiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang berusia 30 tahun
atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30 tahun. Kadar kolesterol di atas
200 mg/dL merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia
berkaitan erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol
mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali
dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun, hiperkolesterolemia
mengungguli faktor resiko hipertensi, obesitas dan faktor lainnya.

c. Merokok
Penelitian Framingham dalam Prof T.B. Anwar (2004), mendapatkan kematian
mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada
bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih dari pada bukan perokok. Hal ini
disebabkan meningkatnya beban miokardium yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya
konsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh
darah, mengubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi
karboksi-Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol
makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar dibandingkan
lakilaki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan resiko
diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah
terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.

d. Overweight dan Obesitas

Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner.


Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2
dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral atau obesitas abdominal adalah obesitas
dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan
kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan
darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II.
Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat
badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular
accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan
tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik.
e. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin atau
keduanya .Diabetes melitus merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan
perbandingan dua kali lebih tinggi dibanding non diabetes melitus. Diabetes melitus bukan
merupakan faktor tunggal risiko penyakit jantung koroner namun obesitas, hipertensi, dan
hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan metabolisme karbohidrat. Dengan
tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah menjadi salah satu faktor
meningkatnya aterosklerosis.
Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan kadar gula
darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan cenderung mengalami
aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih
berat pada penderita diabetes dari pada nondiabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak
penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain
merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya
abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis
(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Laki-laki yang
menderita DM risiko penyakit jantung koroner 50% lebih tinggi daripada orang normal,
sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat.

e. Stres

Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung
koroner. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stres dan
terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stres dan abnormalitas metabolisme lipid. Stres
juga merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan
kecepatan denyut jantung dan menimbulkan vasokonstriksi.

f. Kurangnya Aktivitas Fisik

Pada penelitian observasional dalam buku Cardiology (Bender et al, 2011),


menunjukkan ada hubungan kuat antara aktivitas fisik dengan penyakit koroner. Hal tersebut
ditunjukkan dengan tingkatan aktivitas fisik seseorang, semakin banyak seseorang melakukan
aktivitas fisik semakin rendah risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Menurut penelitian
Supriyono (2008), latihan fisik dapat meningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah
dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. Olahraga secara teratur akan menurunkan
tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar
kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, dan memperbaiki sirkulasi
koroner.

2.2.2 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang


serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Seluruh jenis penyakit jantung koroner
termasuk STEMI yang terjadi pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse
event.
b. Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan kejadiannya lebih
awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar daripada wanita dan
kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada wanita. Studi lain
menyebutkan wanita mengalami kejadian infark miokardium pertama kali 9 tahun lebih lama
daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokardium pertama ini diperkirakan dari berbagai
faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita
agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama
rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan esterogen.

c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga langsung yang
berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independen. Agregasi penyakit jantung koroner keluarga menandakan adanya predisposisi
genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset penyakit jantung koroner pada keluarga dekat. Faktor familial dan
genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis penyakit jantung koroner, hal
tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis, pentalaksanaan dan
pencegahan penyakit jantung koroner.
d. Ras

Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung daripada ras AfricanAmerican.
Kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian,
tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan pada usia muda dari pada usia
lebih tua. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang
tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang
rendah pada ras Afro-Karibia.

2.3 Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
karena berbagai faktor resiko, antara lain : faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin), rokok, diet aterogenik, kadar gula darah berlebih, dan
oksidasi LDL-C. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel dan menghasilkan respon
inflamasi. Terjadi pula respon angiotensin II, yang menyebabkan vasokonstriksi atau
vasospasme, dan menyetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor
koagulasi.
Kerusakan endotel memicu terjadinya reaksi inflamasi, sehingga terjadi respon
protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerotik. Plak atherosklerotik
yang terbentuk dapat menjadi tidak stabil dan mengalami ruptur dan menyebabkan Sindroma
Koroner Akut.
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arterikoroner, sehingga
pasokan oksigen terhambat.
Penelitian menunjukkan plak atherosklerotik cenderung mudah mengalami ruptur jika
fibrous cap tipis dan mengandung inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik
pada STEMI terdiri atas fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Reaksi koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotelyang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjaditrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroneryang terlibat akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombositdan fibrin. Infark miokard
akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),


dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator


kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner
perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan
tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara
bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang
abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan
diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran
nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama
12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering
dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan
dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis
sindrom koroner akut.

Diagnosis Sindrom Koroner Akut menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai penyakit jantung koroner atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau intervensi koroner perkutan
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko
rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri
atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan sindrom
koroner akut, maka terminologi angina dalam makalah ini lebih mengarah pada keluhan nyeri
dada tipikal. Selain untuk tujuan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk indikasi
kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan
berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau
riwayat penyakit serebrovaskular.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,


komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap Sindrom Koroner Akut. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks,
nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding Sindrom Koroner Akut.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien


STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala
IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua
kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.11
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG
sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.

2.5.3 Pemeriksaan elektrokardiogram.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di
ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sebaiknya rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap
keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru,
elevasi segmen ST yang persisten (20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen
ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia 40 tahun adalah 0,2 mV, pada pria usia <40
tahun adalah 0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah 0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah 0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang 0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang disadapan V7-V9 adalah 0,5 mV. Depresi segmen ST
yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,
dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-
V6). Pasien sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan
LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Tabel 2.2. Lokasi Infark Miokard berdasarkan EKG

Lokasi Infark Lokasi Elevasi Segmen Arteri Kororner


Miokard Akut ST
Anterior V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal
Anteroseptal V1,V2,V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal, cabang LAD-septal
Anterior I,aVL,V2-V6 Arteri koroner kiri proksimal LAD
ekstensif
Anterolateral I,aVL,V3,V4,V5,V6 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal dan/cabang sirkumfleks
Inferior II,III,aVF Arteri koroner kanan (paling sering)
cabang desenden posterior dan/ cabang
arteri koroner kiri sirkumfleks
Lateral I,aVL,V5,V6 Arteri koroner kiri cabang LAD-
diagonal dan/cabang sirkumfleks
Septum V1,V2 Arteri koroner kiri cabang LAD-septal
Posterior V7,V8,V9 Arteri koroner kanan/sirkumfleks
Ventrikel V3R-V4R Arteri koroner kanan bagian proksimal
Kanan

2.6 Penatalaksanaan STEMI

2.6.1 Perawatan Gawat Darurat

Dalam keadaan gawat darurat, sangat dibutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam
mendiagnosa STEMI. Durasi yang diperlukan sejak pasien mengalami gejala hingga
mendapat penatalaksanaan sebisa mungkin dipersingkat. Berikut adalah durasi yang
dianjurkan untuk mencapai output terbaik1:

a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10 menit.
Kontak medis pertama adalah saat pasien pertama kali diperiksa oleh tenaga
kesehatan sebelum tiba di rumah sakit1.
b. Waktu dari kontak medis pertama hinga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis 30 menit
b. Untuk IKP primer 90 menit (60 menit jika pasien datang dengan
onset kurang dari 2 jam atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)1
Adapun terapi medikamentosa awal yang diberikan adalah MONACO (Morfin,
Oksigen, Nitrat, dan Clopidogrel). Terapi MONACO tidak harus diberikan seluruhnya atau
secara bersamaan. Berikut adalah penjelasan terapi awal pada pasien dengan kemungkinan
sindrom koroner akut atau sindrom koroner akut sebelum adanya hasil pemeriksaan EKG
ataupun marka jantung1 :

1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen bagi pasien dengan saturasi oksigen arteri kurang dari 95% atau
semua pasien dengan SKA dalam 6 jam pertama
3. Aspirin 160-320 mg pada semua pasien yang tidak diketahui status intoleransinya
terhadap aspirin
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate). Ticagrelor 180 mg dengan
dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari atau clopidogrel 300 mg dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari.
5. Nitrogliserin untuk pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di
unit gawat darurat. Pemberian nitrogloserin dapat diulang sebanyak tiga kali
apabila nyeri tidak berkurang dalam 5 menit. Isosorbid dinitrat dapat digunakan
sebagai pengganti nitrogliserin.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat diberikan bila pasien tidak responsif dengan
pemberian tiga dosis nitrogliserin1.

2.6.2.Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi diindikasikan bila dijumpai adanya bukti klinis maupun EKG yang
menunjukkan adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan ketika gejala telah ada lebih
dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Mulai terapi
reperfusi sesegera mungkin baik dengan Intervensi Perkutan Primer atau farmakologis.
Sebisa mungkin terapi reperfusi pilihan adalah Intervensi Perkutan Primer. Akan tetapi bila
tidak ada rumah sakit yang mampu melakukan Intervensi Perkutan Primer atau rumah sakit
tersebut membutuhkan waktu lebih dari 2 jam untuk dicapai, maka pilihan jatuh pada terapi
farmakologis berupa fibrinolitik. Setelah fibrinolitik diberikan dan keadaan pasien
memungkinkan, pasien dapat dikirim ke fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan
Intervensi Perkutan Primer

2.6.3. Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP Primer)

Intervensi Perkutan Primer berupa stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti


balon. Intervensi Perkutan Primer secara rutin tidak disarankan pada arteri yang telah
tersumbat total selama lebih dari 24 jam setelah onset gejala pada pasien stabil tanpa iskemia,
baik telah maupun belum diberikan fibrinolitik.
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan farmakoterapi
periprosedural berupa terapi antiplatelet ganda (Aspirin dan penghambat reseptor ADP) dan
antikoagulan intravena.

Aspirin dapat dikonsumsi oral dengan dosis 160-320 mg. Sementara penghambat
reseptor ADP dapat digunakan Ticagrelor (loading dose 180 mg dengan dosis pemeliharaan
90 mg dua kali sehari) atau Clopidogrel (loading dose 600 mg diikuti dengan 150 mg per
hari) bila Ticagrelor tidak tersedia atau dijumpai kontraindikasi pada pasien1.

Adapun antikoagulan inravena yang dapat digunakan adalah heparin yang tidak
terfraksi dan enoksaparin.

2.6.4. Terapi Fibrinolitik

Terapi ini dimulai di ruang gawat darurat. Terapi fibrinolitik disarankan untuk
diberikan dalam 12 jam sejak onset gejala pada pasien apabila IKP primer tidak dapat
dilakukan oleh yang berpengalaman dalam 2 jam sejak kontak medis pertama. Sementara
pada pasien yang datang kurang dari 2 jam sejak onset gejala dengan infark yang besar dan
resiko perdarahan yang rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan untuk diberikan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit1.

Pada pasien STEMI dengan fibrinolitik direkomendasikan pemberian antikoagulan


hingga tindakan revaskularisasi dilakukan atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari.
Agen yang dipilih untuk terapi fibrinolitik adalah agen yang spesifik terhadap fibrin yaitu
tenekteplase, alteplase, dan reteplase. Aspirin oral intravena harus diberikan. Clopidogrel
juga diindikasikan sebagai tambahan untuk aspirin1.

Semua pasien yang telah diberikan terapi fibrinolitik dikirim ke pelayanan kesehatan
dengan fasilitas IKP. Adapun pasein yang gagal dengan fibrinolisis, dimana dijumpai resolusi
segmen ST yang kurang dari 50% setelah 1 jam disertai tidak hilangnya nyeri dada,
diindikasikan untuk dilakukan IKP rescue1.

Angiografi emergensi untuk revaskularisasi diindikasikan pada pasien dengan gagal


jantung/pasien syok setalah diberikan terapi fibrinolitik inisial. Sementara pada pasien yang
berhasil dengan terapi fibrinolitik, diindikasikan untuk mendapatkan angiografi untuk
revaskularisasi pada arteri yang mengalami infark. Waktu yang optimal untuk dilakukannya
angiografi pada pasien stabil yang berhasil lisis adalah 3-24 jam1.

Berikut adalah langkah pemberian fibrinolisis pada STEMI:

1. Lakukan penilaian pada waktu sejak onset gejala apakah kurang dari atau
lebih dari 12 jam. Lakukan penilaian resiko dan kontraindikasi fibrinolisis.
Nilai pula waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan pasien ke pusat
kesehatan yang dilengkapi dengan fasilitas Intervensi Perkutan Primer.
2. Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk
pasien.
a. Keadaan dimana terapi fibrinolisis lebih baik:
Pasien datang kurang dari 3 jam setelah onset gejala dan dijumpai
halangan untuk strategi invasif.
Apabila strategi invasif tidak dapat dilakukan seperti cath lab
sedang tidak dapat dipakai, adanya kesulitan saat mengakses
vaskular, atau fasilitas dengan IKP tidak dapat dicapai dalam waktu
kurang dari 2 jam.
Adanya halangan untuk strategi invasif seperti masalah
transportasi, waktu antara door-to-balloon dan door-to-needle lebih
dari 60 menit
Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
lebih dari 90 menit

b. Keadaan dimana strategi invasif lebih baik:


Cath lab tersedia dan waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau
door-to-balloon kurang dari 90 menit atau waktu antara door-to-
balloon dan door-to-needle lebih dari 60 menit
Adanya resiko tinggi STEMI (Killip 3, syok kardiogenik)
Adanya indikasi kontra untuk fibrinolisis
Pasien datang >3 jam semenjak onset gejala
Diagnosis STEMI masih meragukan

2.6.5 Terapi Jangka Panjang

Berikut terapi yang disarankan pada pasien yang telah pulih dari STEMI:

a. Kendalikan faktor resiko seperti hipertensi, diabetes melitus dan merokok.


b. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah yaitu 75-100 mg
c. DAPT hinggs 12 bulan setelah STEMI
d. Beta blocker oral pada pasien gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
e. Periksa profil lipid puasa
f. Statin dosis tinggi
g. ACE-I pada pasien dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri,
diabetes, atyau infak anterior sejak 24 jam. ARB dapat dijadikan alternatif
ACE-I.
h. Berikan antagonis aldosteron bila fraksi ejeksi 40
% atau terdapat gagl ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau
hiperkalemia.

2.7 Komplikasi
a. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular
yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri
yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk.
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
c. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit
arteri koroner multivesel.
d. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena
jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.

e. Aritmia paska STEMI


Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.

f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien STEMI dan
tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik
ventrikel pada pasien STEMI.

g. Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya dalam 24
jam pertama.
h. Fibrilasi atrium
i. Aritmia supraventrikular
j. Asistol ventrikel
k. Bradiaritmia dan Blok
l. Komplikasi Mekanik : Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur
dinding ventrikel.

2.8 Prognosis
Resiko terjadinya mortalitas pada STEMI dapat diperkirakan berdasarkan skor TIMI
dimana semakin tinggi skor TIMI maka angka mortalitas semakin tinggi. Berikut adalah
indikator untuk penilaian skor TIMI pada STEMI:

a. Riwayat DM, hipertensi atau riwayat nyeri dada (1 poin)


b. Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin)
c. Heart Rate lebih dari 100 kali per menit (2 poin)
d. Killip class II-IV (2 poin)
e. Berat badan kurang dari 68 Kg (1 poin)
f. Usia 75 tahun (3 poin)
g. Usia 65-74 tahun (2 poin)
h. Usia kurang dari 65 tahun (0 poin)

Anda mungkin juga menyukai