Anda di halaman 1dari 25

Cut Nyak Dien Biografi Foto Pahlawan Nasional Indonesia

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan Indonesia sebelum kebangkitan nasional. Cut
Nyak dien lahir di Lampadang, Aceh pada tahun 1985. Meninggal di Sumedang pada 6
November 1908. Dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga pada usia 12 tahun. Suami Cut
Nyak Dien gugur dalam pertempuran di Gletarum pada Juni 1878. Cut Nyak Dien bersumpah
tidak akan menerima pinangan dari laki-laki manapun kecuali laki-laki tersebut bersedia
membantu Cut Nyak Dien untuk balas dendam atas kematian suaminya, Teuku Ibrahim.

Pada tahun 1880, Akhirnya cut Nyak Dien menikah lagi dengan seorang laki-laki yang
bernama Teuku Umar, ia adalah seorang pejuang yang cukup disegani oleh Belanda. Mulai
sekitar September 1893 Maret 1896 Cut Nyak Dien selalu berjuang bersama sang suami.

Untuk mendapatkan senjata dan berbagai peralatan perang lainnya. Teuku umar berpura pura
bekerja sama dengan belanda. Sedangkan istrinya, Cut Nyak Din berjuang secara langsung
melawan belanda di Wilayah kampung halaman Teuku Umar. Setelah belanda mengetahui
bahwa Teuku Umar berpura pura, Teuku umar bergabung lagi dengan para pejuang

Teuku Umar gugur dalam pertempuan di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Meskipun suaminya telah meninggal dunia, CUt Nyak Dien tetap melanjutkan perjuangannya
melawan Belanda dengan bergerilya. Cut Nyak Dien tidak pernah mau berdamai dengan
pihak belanda yang disebutnya sebagi kafir-kafir. Pejuangan cut nyak din dengan bergerilya
sangatlah berat karena ia harus keluar masuk hutan. Hal ini menyebabkan ia dan para
pasukannya pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Cut Nyak Dien kemudian menderita
sakit encok dan mata mengalami rabun. Para pengawal merasa kasihan melihat kondisi Cut
Nyak din. Akhirnya mereka membuat kesepatan dengan belanda. Mereka nyatakan bahwa
Cut nyak dien boleh ditangkap asal diperlakukan sebagai manusia terhormat dan bukan
sebagai penjahat perang. Meskipun status cut nyak din sebagai tawanan, namun ia masih
sering didatangi oleh para tamu. Belanda yang curiga melihat tingkah laku Cut Nyak din
mengasingkannya ke Sumedang pada tanggal 11 Desember 1905.

Cut Nyak dien meninggal di pengasingan. Ia dikenal sebagai pejuang wanita yang berhati
baja dan ibu bagi rakyat aceh. Atas jasa jasanya, Cut Nyak Dien diberi gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No.
106/1964.

1. Ageng Tirtayasa dari Banten


Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan
Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar
Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar
Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai
sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi

dul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa
(terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda
ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda
membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de
Saint Martin.
Silsilah Sultan Ageng Tirtayasa
.Sultan Ageng Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin
.Sultan Abul Ma'ali bin
.Sultan Abul Mafakhir bin
.Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin
.Sultan Maulana Yusuf bin
.Sultan Maulana Hasanuddin bin
.Sultan Syarif Hidayatullah @ Sunan Gunung Jati Cirebon

2.Pangeran Antasari

Pangeran Antasari
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
Pangeran Antassarie
Gusti Inu Kartapati
Memerintah 14 Maret 1862 - 11 Oktober 1862
Lahir 1809
Martapura, Banjar
Meninggal 11 Oktober 1862 (umur 53 tahun)[1]
Bayan Begok, Kalimantan Tengah

Pendahulu Sultan Hidayatullah Khalilullah

Pengganti Sultan Muhammad Seman

Selir Ratu Antasari


Nyai Fatimah
Wangsa Dinasti Banjarmasin
Ayah Pangeran Masud bin Pangeran Amir
Ibu Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan, 1797[2] atau 1809[3] meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara,
Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan
Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman
Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh
puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran
Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) dan Ratu Zaleha.
Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di
Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa
wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang
Pati Jaya Raja.
Silsilah
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah
Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah.[4] Ibunya
Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang
bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi
meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan.
Pangeran Antsari memiliki 3 putera dan 8 puteri. [5]
Pangeran Antasari menjadi Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga
merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung,
Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang
Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti
(Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan
rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat
yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk
mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar
bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan
dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan
suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad
melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan
Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu
bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan
dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai
Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan
pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh
bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di
Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun
dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-
tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam
usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar
yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan
rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan
pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak,
tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali
Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23
Maret 1968.[7] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk
Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari
kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan
mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000

3. Sultan Agung dari Mataram


Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu
Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Kerta (Plered,
Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3
November 1975.
Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran
Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu
Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya
dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian
masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri
utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas
Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati
Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi
Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma"
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624,
ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan
Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga
Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar
tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari
pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan
populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari.
Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram,
namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna
grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian,
patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh
Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru
di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang
dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga
berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616
di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada
tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai
Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk
menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru
Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang
semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran
Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai
pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625,
bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun
menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya
yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan
Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita
akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda
di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu
Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang
sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618
Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun
demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum
ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun
dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai
berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram
menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1]
[2]
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat
pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu
oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut
ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati
Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja
(cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di
benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia
mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran
Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa
kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya.
Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan
kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di
Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil
membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah
penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi
korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba
menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan
VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis
saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak
untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil
ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan
Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri
Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan
menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka
yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran
Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada
tahun 1636.
Akhir kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung,
putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan
Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri
Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan
Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa
Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil
ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun
1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di
Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya
dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang
adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan
perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya
bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender
Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di
pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan
rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik,
berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan
yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan
satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa
Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang
sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung
Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya.
Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar
Amangkurat I

4. Teungku Chik di Tiro

Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman


Lahir 1836
Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh

Meninggal Januari 1891


Aneuk Galong, Kesultanan Aceh

Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia

Agama Islam
Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad
Saman (Tiro, Pidie, 1836 Aneuk Galong, Januari 1891), adalah seorang pahlawan nasional
dari Aceh.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836,
bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah
Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain
itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai
tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup
berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama
dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal
dengan Perang Sabil.
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-
wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun
1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong
dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim
makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya
Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka

5. Cut Nyak Dhien

Lahir 1848
Lampadang, Kesultanan Aceh

Meninggal 6 November 1908


Sumedang, Hindia Belanda

Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia


Agama Islam

Pasangan Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

Anak Cut Gambang

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan
Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku
Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah
tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya
menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang
Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien
meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari
Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak
Dhien merupakan keturunan Minangkabau[2][4]. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][4], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.
Perlawanan saat Perang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin
Johan Harmen Rudolf Khler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal
8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Khler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien
yang melihat hal ini berteriak:
Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah
mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi
budak Belanda?[2]
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di
garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Khler tewas tertembak pada
April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut
Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah
VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada
tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan
Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak
yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,
Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang
Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk
menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut
Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1]
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan
operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2]
Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang
Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1]
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya.[2]
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang
bertugas.[1] Unit "Marchausse" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal
ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan
unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan
masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa
orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda
menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari
1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak
Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya
dan berkata:
Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah
syahid[1]
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta
sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong
Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang
melindungi Dien sampai kematiannya.[1] Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun,
sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan
musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[5][6] Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan
ibunya.[1]
Masa tua dan kematian
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan.[6] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei
1964.[1][2]
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda.[6] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer.[6] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung
sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain
itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang
makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang
dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[6]
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka
melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena
pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[6]
Apresiasi
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien
pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai
Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar
dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan
merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam
majalah anak-anak Ananda.
Pengabadian
Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat
gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya

6. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan
nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir)
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang
berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara
Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat
dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan
itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu
juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den
Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan
ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Makam
Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu
ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon
atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah
Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu
sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang
Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang
artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki
Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto,
Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah
Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini
hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku

7. Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat
tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal
dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het
Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Makassar.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.[1]
Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain
pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada
akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667
bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu
Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan
tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan
perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga
akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada
tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan
dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
8. Tuanku Imam Bonjol

Pemimpin Padri
Masa jabatan
k.1821 k.1837

Penguasa monarki
Pagaruyung

Lahir 1772
Bonjol

Meninggal 6 November 1864


Minahasa

Kebangsaan Minangkabau

Agama Islam

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada
tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa
gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang
sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi
kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).[3] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang
karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian
ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. [4] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi
yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama
berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[4]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[5] yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa
pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam
daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel
Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura).
Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan
dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan
Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada
serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka
juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan dan pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,
dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[6] sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan,
nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6
November 2001.

9. Iskandar Muda dari Aceh


Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590[1] Banda Aceh, Aceh, 27
September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang
berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.[2] Aceh mencapai kejayaannya pada masa
kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan
reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.[1]
Keluarga dan masa kecil
Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang
terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam.
Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut
takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari
Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat)
Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]
Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali
(Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu
Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan
masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636,
merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat
yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari
setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi
angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut
Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di
pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran
penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu,
dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi
pusat ilmu pengetahuan.
Kontrol di dalam negeri
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah
Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan
lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa
desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum).
Ulbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang
dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini
djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.
Hubungan dengan bangsa asing
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-
hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas
kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh
and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada
Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits pendiri dinasti Oranje juga pernah mengirim
surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia
dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar
Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka
beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam
beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran
Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah
sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga
mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka
hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah
itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang
untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan
nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah
bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana
Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga
mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di
sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kutipan
Mate aneuk meupat jierat, Mate hukom ho tamita yang artinya: mati anak ada makamnya,
mati hukum ke mana hendak dicari," katanya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada
anandanya Meurah Pupok yang berzinah dengan isteri seorang perwira

10. I Gusti Ketut Jelantik

I Gusti Ketut Jelantik (??? - 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam Perang Jagaraga
yang terjadi di Bali pada tahun 1849. Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial
Hindia Belanda ingin menghapuskan hak tawan karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi
raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di perairannya beserta
seluruh isinya. Ucapannya yang terkenal ketika itu ialah "Apapun tidak akan terjadi. Selama
aku hidup aku tidak akan mangakui kekuasaan Belanda di negeri ini". Perang ini berakhir
sebagai suatu puputan, seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya bertarung mempertahankan
daerahnya sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung
Batur, Kintamani. Pada saat inilah beliau gugur.
Kliping

TOKOH - TOKOH
SEBELUM KEBANGKITAN NASIONAL

DI SUSUN
OLEH :

~ ANNISA TRIANDINI
~ ZIVANNA LATISHA SIAGIAN

KELAS : V

SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 313 KALIBA


KEC. WALENRANG,KAB. LUWU
TA. 2016/2017

Anda mungkin juga menyukai