Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I : Pendahuluan 2
BAB II : Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi rektum 3
2.2 Epidemiologi kanker rektum 7
2.3 Etiologi 8
2.4 Patofisiologi kanker rektum 8
2.5 Faktor resiko 9
2.6 Deteksi dini 10
2.7 Diagnosis klinis 11
2.8 Penatalaksanaan 18
2.9 Prognosis 23
BAB III : Kesimpulan 25
DAFTAR PUSTAKA 26

1
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma kolon dan rektum menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling
sering terjadi di dunia. Di seluruh dunia, 9,5% pria penderita kanker terkena kanker
kolorektal, sedangkan wanita mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. 1 Eropa
merupakan salah satu negara maju dengan angka insidens kanker kolorektal yang tinggi. Pada
tahun 2004 terdapat 1.711.000 kematian karena kanker dan kanker kolorektal menduduki
peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.2-4
Insidens karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia
terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapatkan angka 1,8 per 100.000
penduduk.3,5
Karsinoma rekti atau kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat
sebagai penyakit mematikan di dunia. Diagnosis karsinoma rekti pada umumnya tidak sulit,
namun kenyataannya penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan
kuratif seringkali tidak dapat dilakukan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini menderita
karsinoma rekti sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50%.
Pemeriksaan colok dubur merupakan sarana diagnosis yang paling tepat, dimana 90%
diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur, namun kenyataannya pada
penelitian hanya 13% dokter puskesmas dan dokter umum yang melakukan colok dubur pada
penderita dengan keluhan BAB berdarah.3,6
Tingginya angka kematian akibat karsinoma rekti mendorong upaya
untuk menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan
melakukan deteksi karsinoma rekti secara dini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riwanto
dkk bahwa angka kemungkinan untuk bertahan hidup dalam 5 tahun pada pasien dengan
karsinoma rekti stadium dini adalah sebesar 58,9-78,8%, dan angka ini akan berkurang
seiring dengan meningkatnya stadium yaitu hanya sebesar 7% saja pada karsinoma rekti
stadium akhir.7
Untuk itu, tujuan dari penulisan referat ini adalah menambah pengetahuan mengenai
karsinoma rekti sehingga dokter muda dapat mengetahui penyakit ini dan menangani sesuai
dengan kompetensinya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi rektum


Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai ke garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
spinkter. Bagian spinkter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator
ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebra sakrum ke-3
sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar antara
10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian
terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), serta lapisan serosa.8,9
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media dan
inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis superior) merupakan kelanjutan dari
arteri mesentrika inferior, arteri ini memiliki 2 cabang yaitu dekstra dan sinistra. Arteri
hemoroidalis media (arteri rektalis media) merupakan cabang dari anterior arteri iliaka
interna dan arteri hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri
pudenda interna.3,8
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan ke
arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis dan
menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup, sehingga tekanan dalam rongga perut atau
intraabdominal sangat menentukan tekanan di dalam vena tersebut. Vena hemoroidalis
inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, untuk kemudian melalui vena iliaka
interna dan menuju sistem vena kava.3
Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang berfungsi
mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis berasal dari
sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur
aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari
pembedahan pada pasien-pasien dengan karsinoma rekti, yaitu berupa disfungsi ereksi dan
tidak bisa mengontrol buang air kecil atau miksi.9
Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah ruangan yang
berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini

3
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena
tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi
tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air
akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi
dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan
anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk
menunda BAB.
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari
(involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh adanya
kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna
yang terdiri dari otot rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N.Pudendus yang merupakan
bagian dari saraf somatik, sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita
(volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung-ujung serabut saraf
rektum terangsang ketika dinding rektum teregang oleh massa feses. Sensasi rektum ini
berperan penting pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rektum merupakan
bagian penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat
volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan
mengosongkan isinya ke dalam rektum. Studi statistika tentang fisiologi rektum ini
mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rektum yaitu : (1) Simple contraction yang terjadi
sebanyak 5-10 siklus/menit ; (2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan
amplitudo diatas 100 cmH2O ;dan (3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi
amplitudo tinggi. Distensi dari rektum menstimulasi reseptor regang pada dinding rektum,
lantai pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rektum
mengirim sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang
terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum sehingga
feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna
mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan
sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara volunter, terjadilah

4
defekasi. Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh
kontraksi otot-otot kuadratus lumborum, muskulus rektus abdominis, muskulus obliqus
interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafragma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi
sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Area anorektal membuat sudut 90 0 antara
ampulla rekti dan kanalis analis sehingga akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan
meningkat sekitar 1300 - 1400 sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan
dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke
kanalis analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di
bawah pengaruh kesadaran (volunter). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan
tertutup, rektum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di
dalamnya. Mekanisme volunter dari proses defekasi ini diatur oleh susunan saraf pusat.
Setelah proses evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna
dan muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi
sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus
ototnya dan menutup kanalis analis.

Gambar 1. Anatomi rektum

5
Gambar 2. Vaskularisasi arteri rektum

Gambar 3. Vaskularisasi vena pada rektum


2.2 Epidemiologi kanker rektum

6
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas.1,11 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan
tingkat mortalitas lebih dari 50%. Dari 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker
kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita
kanker.1
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru,
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab, Israel.2,12
Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini terjadi di
kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak (98%), jenis lainnya
yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%).10
Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda.
Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara barat, perbandingan insiden pria : wanita
= 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia
lanjut.13 Pada tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada kasus kanker
yang dialami oleh pasien pria setelah kanker paru pada urutan pertama, sedangkan pada
pasien wanita kanker kolorektal berada pada urutan ketiga setelah kanker payudara dan
kanker leher rahim.12 Histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa
adenokarsinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid
karsinoma, dan 0,08% berupa sarkoma, sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat
di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon
transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%).
Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker kolorektal di
RS. AWS Samarinda berjumlah 160 orang, hasil penelitian mengenai jenis kelamin sampel,
jumlah pria lebih banyak yaitu 81 orang dan wanita 65 orang, dan untuk jenis terbanyak
didapatkan hasil Adeno Ca (130 orang), Mucinous Ca (4 orang), Signet ring cell Ca (4
orang), Lymphoma (4 orang), Carcinoid cell Ca (2 orang), Sarcoma (2 orang) serta
berdasarkan usia sampel, didapatkan terbanyak pada usia 31-40 tahun.14

2.3 Etiologi

7
Etiologi karsinoma rektum sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui
penyebabnya. Faktor predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi
imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya
yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi
tinggi protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.
Diet rendah serat, tinggi karbohidrat, mengakibatkan perubahan pada flora feses
dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian
dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat.
Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.15

2.4 Patofisiologi Kanker Rektum


Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi setiap
6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu
proses differensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen
adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol.
Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya
mutasi yang akan mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah
terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.
Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

Gambar 4. Patofisiologi kanker rektum


2.5 Faktor resiko

8
Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa faktor resiko
telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum. Beberapa faktor resiko yang
berperan antara lain:2, 16-19
1. Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).
2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit crohn dan kolitis ulseratif.
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal.
4. Riwayat menderita polip, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker payudara.
5. Umur di atas 40 tahun. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan
usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari
kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Sebanyak 55%
kanker terdapat pada usia 65 tahun
6. Diet tinggi lemak rendah serat. Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori,
daging dan diet rendah serat kemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal
pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal.
7. Gaya hidup. Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko
tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali
untuk menderita adenoma yang berukuran besar.

Gambar 5. Familial Adenomatous Polyposis, Kolitis ulseratif, Chrons Disease


2.6 Deteksi dini

9
Karsinoma rekti seringkali asimptomatis dan ditemukan dalam keadaan sudah
stadium lanjut. Komite kesehatan dan penelitian Amerika merekomendasikan
skrining pada populasi-populasi dengan kriteria tertentu,sebagai berikut:

Kategori Metode Screening Umur untuk mulai screening


Risiko

Risiko rata- 1. Tes feses darah tahunan 50 tahun


rata
2. Sigmoidoskopi fleksibel tiap 5 tahun

3. Tes feses darah tahunan dengan


sigmoidoskopi fleksibel tiap 5 tahun

4. Barium enema double kontras tiap 5 tahun

5. Kolonoskopi tiap 10 tahun

Riwayat Pilihan metode: 40 tahun atau 10 tahun sebelum


keluarga umur anggota keluarga yang
1. Kolonoskopi tiap 10 tahun
termuda didiagnosa karsinoma
2. Double kontras barium tiap 5 tahun

Herediter Kolonoskopi setiap satu hingga tiga tahun, 21 tahun


nonpoliposis konsultasi dan tes genetika
Kanker Usus
Besar

Familial Sigmoidoskopi fleksibel atau kolonoskopi Pubertas


adenomatous setiap satu atau dua tahun, Konsultasi
poliposis genetik

Kolitis Kolonoskopi dengan biopsi untuk displasia Tujuh hingga delapan tahun
Ulseratif setiap satu atau dua tahun setelah didiagnosis dari
pankolitis, 12 hingga 15 tahun
setelah didiagnosis dengan
kolitis sisi kiri.

2.7 Diagnosis Klinis


1. Anamnesa
10
Anamnesa keluhan utama dan riwayat penyakit memegang peranan yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Berikut ini merupakan gejala yang seringkali
dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma rekti:
1. Diare palsu atau spurious diarrhea
Diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuen tetapi hanya sedikit yang keluar
disertai dengan lendir dan darah serta adanya rasa tidak puas setelah BAB. Terjadinya
diare palsu oleh karena adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa
rektum, berupa suatu massa tumor, dimana tumor akan merangsang keinginan untuk
defekasi, tetapi yang keluar hanya sedikit disertai hasil sekresi kelenjar berupa mukus
dan darah oleh karena rapuhnya massa tumor.
2. BAB berlendir
BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi adanya proses
keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan hal ini jarang didapatkan pada
penderita hemoroid.
3. Feses pipih seperti kotoran kambing
Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung dari bentuk
makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium dini dimana tumor masih kecil
dan tidak berbentuk anuler, jarang ditemukan perubahan bentuk feses.
4. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan pada dasarnya akan terjadi pada semua penderita dengan
keganasan, terutama pada stadium lanjut. Penderita dengan keganasan akan
mengalami perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi tumor dengan
host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak akan
menyebabkan keseimbangan energi-protein menjadi negatif sehingga diikuti dengan
penurunan berat badan. Pada karsinoma rekti dapat terjadi obstruksi parsial sehingga
penderita akan mengeluhkan perut terasa kembung dan nafsu makan menurun.
Penurunan berat badan yang terjadi biasanya ringan.

5. Perdarahan bercampur tinja


Perdarahan pada keganasan kolorektal terjadi karena adanya proses inflamasi pada
massa tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan bercampur dengan tinja dan berwarna
kehitaman jika massa tumor terdapat pada kolon proksimal, sedangkan darah yang
keluar akan berwarna merah segar jika lokasi massa tumor pada kolon distal.2,22,15

11
Berikut ini adalah perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma kolon
kiri dan kanan:
Kolon kanan Kolon kiri Rektum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena penyusupan Karena obstruksi Tenesmus
Defekasi Diare Konstipasi progresif Tenesmi terus-menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada feses Samar Samar atau makroskopis Makroskopis
Feses Normal Normal Perubahan bentuk
Dispepsia Sering Jarang Jarang
Memburuknya KU Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat

Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal


Kolon kanan Anemia dan kelemahan
Darah samar di feses
Dispepsia
Perasaan tidak enak di perut kanan bawah
Massa di perut kanan bawah
Kolon kiri Perubahan pola defekasi
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Rektum Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi masih ada perasaan tidak puas atau penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor pada rektosigmoidoskopi

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti pembesaran KGB atau
hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui :1,7
Adanya tumor rektum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen
Perlengketan dengan jaringan sekitar
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara patologi
anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95%
12
dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,
adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.2
2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-92
3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di jaringan.18,22,23
4. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur).
Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal. Pemeriksaan
dengan rektal touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa
akan teraba keras dan menggaung.17
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

Gambar 6. Colok dubur pada karsinoma rekti


a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap
cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi
yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada
lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi
karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli,
dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan
primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
5. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium, dimasukkan
melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen.

13
Gambar 7. Foto rontgen dengan barium enema
6. Endoskopi
a. Sigmoidoskopi yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui
rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan metode yang
direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan
risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan
pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena
meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan
dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.18

Gambar 8. Sigmoidoskopi
b.Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang
dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon
14
non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostik.18

Gambar 7. Kolonoskopi
7. Virtual colonoscopy (CT colonography)
Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,menggunakan X-ray
dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga dimensi dari seluruh usus besar dan
rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.14
8. Imaging Teknik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari teknik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik
ini bukan merupakan screening tes.18
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon preoperatif.
CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan
organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien
dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena
sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.

15
b.MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan
pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CTscan. Karena
sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk
mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
c. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60%
untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor
seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan
pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi
dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.

4. Klasifikasi karsinoma rektum


1. Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum,
yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar ke
bagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A
rectal cancer.
3. Stadium II

16
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum ke jaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi
tidak menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru,
atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer.

Gambar 8. Stadium kanker rektum stadium I-IV


2. Berdasarkan sistem TNM
Modified Dukes Classification System (American Joint Committee on Cancer 1997)
TNM Stadium Modified Dukes Stadium Deskripsi
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submukosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propia
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenterik
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenterik
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
2.8 Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum. Tiga terapi
standar yang digunakan antara lain adalah:
1.Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga masih
dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang
sebelum dioperasi pasien diberi presurgical treatment berupa radiasi dan kemoterapi.
Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant
chemotherapy, dan terapi ini biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rektum
17
stadium 2 dan 3. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun
sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih
membutuhkan kemoterapi atau radiasi pasca pembedahan untuk membunuh sel
kanker yang tertinggal. Adapun jenis pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika tumor ditemukan
dalam bentuk polip, maka operasinya disebut polypectomy. Eksisi lokal melalui
rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan
dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk
menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas
pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3 atas rektum.
Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan reseksi rektum rendah
(Low Anterior Resection/LAR), sehingga tidak perlu kolostomi. Rektum terbagi atas
3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang berada di lokasi 1/3 atas dan
tengah (5 s/d 15 cm dari garis dentate) dapat dilakukan restorative anterior resection
kanker 1/3 distal rektum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor
dan garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan jenis
operasi.

Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan


operasi Low anterior resection akan terjadi pada kanker rektum dengan jarak bawah
rektum normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan
bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman untuk dilakukan operasi
Restorative resection. Colonal anastomosis diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan
Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat diterapkan
pada kanker rektum letak bawah, dimana teknik stapler tidak dapat digunakan. Local
excision dapat diterapkan untuk mengobati kanker rektum dini yang terbukti belum
memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat
dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau
transsacral. Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat
18
mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah terjadi
metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk mengamati
keterlibatan kelenjar pararektal.

Gambar 9. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis; D, j pouch


construction creating a reservoir.

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan


menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal
rendah.

c. Abdominal perineal resection (Miles procedure)

Untuk masa tumor <5 cm dari anokutan. Pengangkatan


kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk
pengangkatan seluruh rektum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur.
Prosedur ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan
kolostomi permanen. Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan
amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini
anus turut dikeluarkan. Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles,
rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf
pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limf retroperitoneal. Kemudian

19
melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum
melalui abdomen.

Gambar 10.

Abdominoperineal resection with colostomy

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rektum


1. Indikasi
o Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
o T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
o Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
o Ukuran kurang dari 3-4 cm

2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi

20
2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor sebelum
dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan sebagai preoperative treatment.
Peran lainnya radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk kasus tumor lokal
yang telah diangkat melalui pembedahan dan untuk penanganan kasus metastase jauh.
Jika radioterapi pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan menurunkan angka
kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase jauh, radiasi telah terbukti dapat
mengurangi efek dari metastase tersebut terutama pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan
internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium
dari kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana
radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan
21
untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi
jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy,
implantradiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat
mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop,
bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.
Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang
relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan
internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.24, 25
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang
tidak terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami
kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat dalam atau
tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi standar kemoterapi tersebut
adalah fluorouracil (5-FU) yang dikombinasikan dengan leucovorin dalam waktu 6-12
bulan. Obat lain yaitu levamisole dapat menjadi pengganti leucovorin jika tidak
tersedia. Protokol kemoterapi ini telah terbukti menurunkan angka kekambuhan
sebesar 15% dan menurunkan angkakematian sebesar 10%.2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk
rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa
tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat
jelek jika terdeteksi adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker
terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun.
Pasien yang telah ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien
ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos thorax, barium enema,
liver scan, MRI, dan CT scan.17 Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan
kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu

22
atau beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana
tumor primer telah diangkat.2
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam
mendeteksi rekurensi.2
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan
kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya
neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk
mendeteksi adanya metachronous tumor, suture line rekurensi atau kolorektal
adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga
tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan
interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh
untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam
mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka
MRI lebih membantu diagnosa daripada CT scan.2

2.9 Prognosis
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting. Grade histologi secara
signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien dengan well
differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang lebih baik
dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat
sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang
berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor
yang berada di kolon.2
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%

23
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan
lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi. Penyakit dapat kambuh
pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor,
lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh batas-batas negatif tumor.7

BAB III
KESIMPULAN

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia. Di
seluruh dunia 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai
24
adalah tipe adenomatous (90-95%). Etiologi karsinoma rektum sama seperti kanker lainnya yang masih
belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis
familial, defisiensi imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan kolitis. Dari anamnesis dapat
muncul keluhan diare palsu atau spurious diarrhea, BAB berlendir, feses pipih seperti
kotoran kambing, penurunan berat badan dan perdarahan bercampur tinja.
Skreening awal untuk mengarahkan diagnosa karsinoma rektum penting untuk meningkatkan angka
harapan hidup. Hal yang perlu dilakukan untuk skreening awal adalah pemeriksaan darah samar pada feses,
sigmoidoskopi, kolonoskopi dan dobel kontras barium enema.
Penatalaksanaan berupa pembedahan atau operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila
sudah dijumpai penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk mencegah obstruksi,
perforasi dan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan. Gaya hidup penyebab kolorektal. 2006. Available at:


http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2. Accessed on February 13th,
2015.

25
2. Casciato DA. Manual of Clinical Oncology 5th ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004. p 201
3. Riwanto I, Hamami AH. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Syamsuhidajat R, Jong WD, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah 3rd ed. Jakarta: EGC;
2010. p. 762-4, 774-84.
4. WHO. The Impact of Cancer. 2006. Available at:
http://www.who.int/ncd_surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/Rep
orterFullView.aspx?id=5. Accessed on February 13th, 2015.
5. Departemen Kesehatan. Deteksi Dini Kanker Usus Besar. 2006. Available at:
http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm. Accessed on
February 13th, 2015.
6. Samiadji, S. Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam
Diagnosis Karsinoma Rekti. Tesis. Semarang: FK UNDIP. 1995.
7. Elizabeth, Cirincione. Rectal Cancer. Available at: www.emedicine.com. Accessed on
February 13th, 2015.
8. Tim pengajar anatomi. 2001. Situs Abdominis. Surabaya: laboratorium anatomi
histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
9. Snell RS. Clinical Anatomy 7 th ed. USA: Lippincott Williams &Wilkins; 2004.
10. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. A population based study of
colorectal cancer histology in United States 1998-2001. American Cancer Society
2006; 107(5 suppl).
11. Kastomo DR, Soemardi A. Tindakan Bedah pada Keganasan Kolorektal Stadium
Lanjut. Maj Kedokt Indo 2005 Juli; Vol 55 No 7, p 499-500.
12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention 2003; Vol. 4, No. 4.
13. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. AnnOncol 2005
Mar; 16(3):481-8.
14. Mukhtar, S. 2010. Colo-rectal Cancer in A. Wahab S jahranie
General Hospital Samarinda, East Borneo. Samarinda.
15. Price, S. dan Wilson, L. Gangguan Usus Besar. In: Hartanto H, editor. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 1 Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.p. 464-7.
16. Suyono S. In : Boedi Darmojo R, Pranarka K, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam II 3th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p 24.

26
17. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran
2006; 153: 40.
18. Schwartz SI, 2005. Schwartzs Principles of Surgery 8th Ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.
19. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. The New England Journal
of Medicine, 2003 March 6; 348:919-932.
20. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS,
Colditz GA, Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable
consumption and incidence of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst 2001 Jun
6; 93(11):879.
21. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette
smoking increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2001
Jul; 10(7):725-31.
22. Hassan, Isaac. 2006. Rectal carcinoma. Available at: www.emedicine.com. Accessed
on February 13th, 2015.
23. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reducemortality? A
reanalysis of systematic review data. Am J Gastroenterol 2006 Feb; 101(2): 380-4.
24. Beaumont hospitals. 2006. Colorectal Cancer. Available at:
http://www.beaumonthospitals.com/pls/portal30/site.Webpkg.page?xpageid=P07164.
Accessed on February 13th, 2015.
25. Henry F. 2006. What is Radiation Therapy?. Available at:
http://www.Henryford.com/body.cfm?id=39201. Accessed on February 13th, 2015.

27

Anda mungkin juga menyukai