Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Pengertian.

Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatanan
tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi dari sindrom insufiensi vena dimana pada
sindrom ini aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju
tungkai yang kemudian mengalami kongesti.

Bentuk ringan dari insufisiensi vena hanya menunjukkan keluhan berupa perasaan yang
tidak nyaman, menggangu atau penampilan secara kosmetik tidak enak, namun pada penyakit
vena berat dapat menyebabkan respon sistemuk berat yang dapat menyebabkan kehilangan
tungkai atau berakibat kematian.

Keadaan insufisiensi vena kronis akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan


kronis kulit dan jaringan lunak yang dimulai dengan bengkak ringan. Perjalanan sindrom ini
akhirnya akan menghasilkan perubahan warna kulit, dermatitis stasis, selulitis kronis atau
rekuren, infark kulit, ulkus, dan degenerasi ganas. Komplikasi berat yang dapat muncul sebagai
akibat dati insufisiensi vena dapat berupa ulkus pada tungkai yang kronis dan sulit menyembuh,
phlebitis berulang, dan perdarahan yang berasal varises, dan hal ini dapat diatasi dengan
penanganan dan koreksi pada insufisiensi vena itu sendiri.

Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang bersumber dari varises vena
friabel, tapi kematian yang diakibat oleh varises vena paling dekat dihubungkan dengan adanya
troboemboli vena sekunder. Pasien dengan varises vena mempunyai risiko tinggi mengalami
trobosis vena profunda (deep vein thrombosis,DVT) karena menyebabkan gagguan aliran darah
menjadi aliran darah statis yang sering menyebabkan phlebitis superfisial kemudian berlanjut
menjadi perforasi pembuluh darah vena termasuk pembluluh darah venaprofunda. Pada
penatalaksaan penderita dengan varises vena perlu diperhatikan kemungkinan adanya DVT
karena adanya tromboemboli yang tidak diketahui dan tidak diterapi akan meningkatkan
terjadinya mortalitas sekitar 30-60%.
Varises vena baru mungkin dapat muncul setelah adanya episode DVT yang tidak
diketahui yang menyebabkan kerusakan pada katup vena. Pada pasien ini adanya faktor risiko
yang mendasari untuk terjadinya tromboemboli dan memiliki risiko tinggi untuk terjadi
rekurensi.

Klasifikasi vena varikosa yaitu :


a. Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri vena superficial ekstremitas bawah
b. Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena profunda dan disertai
dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis, mencakp edema, perubahan
kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.

1.2 Anatomi Fisiologi

Vena Safena Magna (VSM) berawal dari sisi medial kaki merupakan bagian dari
lengkung vena dan mendapat percabangan dari vena profunda pada kaki yang kemudian berjalan
keatas sepanjang sisi anterior malleolus medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi
anteromedial betis sampai lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari betis
bagian atas sampai pelipatan paha VSM ditutupi oleh sebuah fasia tipis dimana fasia ini
berfungsi untuk mencegah agar vena ini tidak berdilatasi secara berlebihan. NormalnyaVSM
memiliki ukuran normal 3-4 mm pada pertengahan paha.

Sepanjang perjalanannya sejumlah vena peforata mungkin menghubungkan


antara VSM dengan sistem vena profunda pada regio femoral, tibia posterior, gstrocnemius, dan
vena soleal. Antara pergelangan kaki dan lutut terdapat Cockett perforator, yang merupakan
kelompok vena perforata yang menghubungkan sistem vena profunda dengan lengkung vena
posterior yang memberikan percabangan ke v. Safena Magna dari bawah pergelangan kaki dan
berakhir di VSM di bawah lutut.

Selain vena perforata pada beberapa vena superfisial juga memberikan cabang ke VSM. Sedikit
di bawah Safenofemoral Junction (SFJ), VSM menerima percabangan dari cabang kutaneus
lateral dan medial femoral, vena iliaka sirkumfleksa eksterna, vena episgatrika superfisialis, dan
vena pudenda interna. Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan bermanifestasi pada paha
bagian bawah dan btis bagian atas. Akhir dari perjalanan VSM berakhir di vena femoralis
bercabangan ini disebut dengan Safenofemoral junction. pada pertemuan antara vena safena
magna dengan vena femoralis terdapat katup terakhir dari VSM.

1.3 Etiologi

Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstriksi yaitu faktor lingkungan
bergabung menciptakan spektrum yang luas dari penyakit vena. Penyebab terbanyak dari varises
vena adalah oleh karena peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita
pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi kelemahan pada
dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini
juga didapatkan distensi abnormal vena di lengan dan tangan.

Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya kegagalan katup primer,
namun faktor genetik spesifik yang bertanggung jawab terhadap terjadi varises masih belum
diketahui. Pada penderita yang memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat
dimana v. Safena Magna bergabung dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki risiko dua
kali lipat. Pada penderita kembar monozigot, sekitar 75 % kasus terjadi pada pasangan
kembarnya. angka prevalensi varises vena pada wanita sebesar 43 % sedangakan pada laki-laki
sebesar 19 %.

Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dalam vena hal ini akan menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena
sekunder dalam sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan vena
superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi perpindahan tekanan
tinggi dalam vena dalam ke sistem vena superfisialis dan kondisi ini secara progresif menjadi
ireeversibel dalam waktu singkat.

Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena, hal ini dikarenakan pada
wanita secara periodik terjadi distensi dinding dan katup vena akibat pengaruh peningkatan
hormon progrestron. Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita varises karena pengaruh
faktor hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kehamilan. Hormon ini akan
meningkatkan kemampuan distensi dinding vena dan melunakkan daun katup vena. pada saat
bersamaan, vena harus mengakomodasikan peningkatan volume darah sirkulasi. Pada akhir
kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat dari uterus yang membesar. penekanan
pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan hipertensi vena dan distensi vena tungkai
sekunder. berdasarkan mekanisme tersebut varises vena pada kehamilan mungkin akan
menghilang setelah proses kelahiran. pengobatan pada varises yang sudah ada sebelum
kehamilan akan menekan pembentukan varises pada vena yang lain selama kehamilan.

Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua terjadi atropi pada
lamina elastis dari pembuluh darah vena dan terjadi degenerasi lapisan otot polos meninggalkan
kelemahan pada vena sehingga meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.

Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya obstruksi. Obstruksi
akan menciptakan jalur baypass yang penting dalam aliran darah vena ke sirkulasi sentral, maka
dalam keadaan vena yang mengalami varises tidah dianjurkan untuk di ablasi.

1.4 Tanda Dan Gejala

Tegang, kram otot, sampai kelelahan otot tungkai bawah.


Edema tumit dan rasa berat tungkai dapat pula terjadi, sering terjadi kram di malam hari.
Terjadi peningkatan kepekaan terhadap cedera dan infeksi.
Apabila terjadi obstruksi vena dalam pada varises, pasien akan menunjukkan tanda dan gejala
insufisiensi vena kronis; edema, nyeri, pigmentasi, dan ulserasi.

Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit, lebih ringan pada
pertengahan dan menjadi berat lagi seiring berjalannya waktu.Gejala yang muncul umunya
berupa kaki terasa berat, nyeri sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram pada malam hari,
edema, perubahan kulit dan kesemutan. Nyeri biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-
menerus dan memberat setelah berdiri terlalu lama.

Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena membaik bila beraktifitas seperti berjalan atau
dengan mengangkat tungkai, sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila
berjalan dan tungkai diangkat.

1.5 Faktor Pemicu

Beberapa faktor pemicu terjadinya varises, antara lain:

Peningkatan tekanan pembuluh darah vena permukaan (vena superfisialis) oleh berbagai
sebab.

Obesitas (kegemukan)

Berdiri lama (terutama para pekerja yang dituntut berdiri lama)

Faktor hormonal

Kehamilan

Obat-obat kontrasepsi (KB)

Faktor keturunan (genetik)

1.6 Patofisiologi

Keterangan: Biasanya kerusakan diakibatkan kerena adanya suatu hambatan aliran darah dan
tekanan hidrostatik yang terlalu besar.
Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan darah vena naik keatas
dan masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian
dialirkan ke pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena profunda
yang kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superficial terletak
suprafasial, sedangkan vena vena profunda terletak di dalam fasia dan otot. Vena perforate
mengijinkan adanya aliran darah dari ven asuperfisial ke vena profunda.

Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas melawan
gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu mekanisme pompa otot.
Pompa ini akan meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan sebesar 5
atm tidak akan menimbulakan distensi pada vena profunda dan selain itu karena vena profunda
terletak di dalam fasia yang mencegah distensi berlebihan. Tekanan dalam vena superficial
normalnya sangat rendah, apabila mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan
menyebabkan distensi dan perunbahan bentuk menjadi berkelok-kelok.

Keadaan lain yang meyebabkan vena berdilatasi dapat dilihat pada pasien dengan dialisis
shunt dan pada pasien dengan arterivena malformation spontan. Pada pasien tersebut terjadi
peningkatan tekanan dalam pembuluh darah vena yang memberikan respon terhadap vena
menjadi melebar dan berkelok-kelok. Pada pasien dengan kelainan herediter berupa kelemahan
pada dinding pembuluh darah vena, tekanan vena normal pada pasien ini akan menyebabkan
distensi vena pembuluh vena paling sering dan vena menjadi berkelok-kelok.

Peningkatan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena
dengan adanya refluks yang melewati katup vena yang inkompeten baik terjadi pada vena
profunda maupun pada vena superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga
dapat disesbabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena. Penyebab obstruksi ini dapat oleh
karena thrombosis intravascular atau akibat adanya penekanan dari luar pembuluh darah. Pada
pasien dengan varises oleh karena obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi pada varisesnya karena
segera menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.

Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena peningkatan
tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin
dapat memicu kegagalan katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan
katup karena thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam
pembuluh darah , pembuluh vena ini akan mengalami dilatasi yang kemudian terus membesar
sampai katup vena satu sama lain tidak dapat saling betemu.

Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup
lainnya. Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam system vena superfisial akan
menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang bersifat local. Setelah beberapa katup vena
mengalami kegagalan, fungsi vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan
mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah vena akan mengalir
karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.

Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena adanya perubahan
hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah dan katupnya menjadi lebih lunak dan
lentur, namun bila terbentuk bvarises selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut
untuk menyingkir adanya kemungkinan disebabkan oleh keadaan DVT akut.

Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena dan
volume darah vena yang melewati katup yang inkompeten. Sayangnya penampilan dan ukuran
dari varies yang terlihat tidak mencerminkan keadaan volume atau tekanan vena yang
sesungguhnya. Vena yang terletak dibawah fasia atau terletak subkutan dapat mengangkut darah
dalam jumlah besar tanpa terlihat ke permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu
besar akhirnya dapat menyebabkan dilatasi yang berlebihan.
1.7 Gejala Dan Keluhan

Berdasarkan berat ringannya penyakit dan keluhan, varises terbagi menjadi 4 stadium, yakni:

Stadium I : Pada stadium ini keluhan biasanya tidak spesifik. Pada umumnya ditandai dengan
keluhan tungkai, diantaranya: gatal, rasa terbakar, kaki mudah capek, kesemutan, rasa pegal.

Stadium II: Pada stadium ini ditandai dengan warna kebiruan yang lebih nyata pada pembuluh
darah vena (fleboekstasia).

Stadium III: Pembuluh darah vena nampak melebar dan berkelok-kelok. Keluhan pada tungkai
makin nyata dan makin kerap dialami.

Stadium IV: Pada stadium ini ditandai dengan timbulnya berbagai penyulit (komplikasi), antara
lain: dermatitis, tromboplebitis, selulitis, luka (ulkus), perdarahan varises, dan gangguan
pembuluh darah vena lainnya.

Pada dasarnya pilihan pengobatan varises terdiri dari pengobatan tanpa operasi, pada stadium I
dan II, serta pengobatan dengan operasi terutama pada stadium III dan IV.

1.8 Pemeriksaan klinis (diagnostic)

Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan:

a. Test trendelenberg

b. Test myer

c. Test perthes

d. Test Doppler

e. Radiologi (phlebografi, morfometri, phlethysmografi)

Selain itu ada beberapa macam pemeriksaan klinis lainya, berikut dijabarkan beserta
penjelasannya.

1.9 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik system vena penuh dengan kesulitan karena sebagian besar sistem vena
profunda tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan
perkusi. Pada sebagian besar area tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus
mencerminkan keadaan sistem vena profunda secara tidak langsung.

Pemeriksaan vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan
pemeriksaan menggunakan Doppler. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dibuatkan peta
mengenai gambaran keadaan vena yang di terjemahkan ke dalam bentuk gambar. Gambar ini
akan memberikan informasi mengenai penatalaksaan selanjutnya.

a. Inspeksi

Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region
perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat
adanya ulserasi, telangiektasi, sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises
vena prominent, jaringan parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi sklerotan sebelumnya.
Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan pengukuran dan didokumentasikan berupa
pencitraan. Vena normalnya terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran
vena superfisial yang terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu
kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang tipis vena akan terlihat lebih jelas.

Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada sisi medial
pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan gejala seperti perubahan struktur kulit. Ulkus dapat
terjadi dan sulit untuk sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini
disebabkan oleh adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan
gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi lateral.

b. Palpasi

Palpasi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh permukaan kulit
dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak
terlihat ke permukaan kulit. Palpasi membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan
abnormal. Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya kelainan vena
superfisial. Penekanan yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena
profunda.

Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan SVM kemudian
dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan
cabang kolateral dari VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk
meinail keadaan VSP. Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan
proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan menghitung indeks ankle-brachial.
Nyeri pada saat palpasi kemungkinan adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena.
Empat puluh persen DVT didapatkan pada palpasi vena superfisialis yang mengalami
thrombosis.

c. Perkusi

Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan
mengetok vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di
bagian proksimal. Katup yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan
adanya gelombang tersebut.

Manuver Perthes

Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrograde
dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam system vena yang mengalami varises
menunjukkan suatu jalur bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena
apabila aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting untuk menjaga
volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga tidak memerlukan terapi pembedahan
maupun skeroterapi.

Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose tourniquet atau diikat di
bagian proksimal tungkai yang mengalami varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk
menekan vena superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri sambil
menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi aktif. Pada keadaan normal
aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varises menjadi
berkurang, namun adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial
menjadi lebih lebar dan distesi.

Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien diposisikan
dengan tungkai diangkat (test Linton) dengan tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena
profunda ditemukan apabila setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke
ukuran semula.

Tes Trendelenburg

Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks vena
superficial dengan pasien dengan inkopetensi katup vena profunda. Tes ini dilakukan dengan
cara mengangkat tungkai dimana sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang
mengalami varises kolaps. Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak
dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah kolaps tetap kolaps atau
melebar secara perlahan-lahan berarti adanya suatu inkopenten pada vena superfisal, namun
apabila vena tersebut terisi atau melebar dengan cepat adannya inkopensi pada katup vena yang
lebih tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.

Auskultasi menggunakan Doppler

Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah aliran darah vena
yang mengalmi varises, baik itu aliran retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana.
Probe dari dopple ini diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi
lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah dari katup vena yang
kemudian menyebabkan adanya perubahan suara yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan
dari penekanan vena tadi akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup
berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat penekanan dilepaskan,
akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari Doppler.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium saat ini tidak bermanfaat dalam menegakkan diagnosis atau
terapi varises vena.

Pemeriksaan Imaging

Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan


seluruh area yang mengalami obstruksi dan refluks dalam system vena superficial dan system
vena profunda. Pemeriksaan yang dapat dialkukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan
USG color-flow dupleks. USG dupleks merupakan pemeriksaan imaging standar yang digunakan
untuk diagnosis sindrom insufisiensi vasirses dan untuk perencanaan terapi serta pemetaan
preoperasi. Color-flow USG (USG tripleks) digunakan untuk mengetahui keadaan aliran darah
dalam vena menggunakan pewarnaan yang berbeda. Pemeriksaan yang paling sensitive dan
spesifik yaitu menggunakan Magnetic Resonance venography (MRV) digunakan untuk
pemeriksaan kelainan pada sistem vena profunda dan vena superficial pada tungkai bawah dan
pelvis. MRV juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan nyeri dan
edema pada tungkai. Venografi dengan kontras merupakan teknik pemeriksaan invasive. Saat ini
venografi sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan USG dupleks sebagai
pemeriksaan rutin penyakit vena. Sekitar 15 % pasien yang dilakukan pemeriksaan venografi
ditemukan adanya DVT dan pembentukan trombosisi baru setelah pemberian kontras.

1.10 Penatalaksanaan

Terapi Non Operatif

1. Kaus Kaki Kompresi (Stocking)

Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik pasien
dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade
II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang
menggunakan kaus kaki ini selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada
kaki. Kekurangan menggunakan kaos kaki ini adalah dari segi harga yang relatif mahal,
kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik. Pada penelitian randomize
controlled trial compression menggunakan stoking (grade I dan II) dibandingkan dengan kontrol
penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan mengurangi keluhan dan
gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada perbedaan terhadap pembentukan varises vena.

2. Skleroterapi

Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan kedalam pembuluh darah


yang abnormal sehingga terjadi destruksi endotel yang diikuti dengan pembentukan jaringan
fibrotik. Sklerotan yang digunakan saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol,
iodine gliserin, dan sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena safena paling
umum digunakan saat ini adalah sodium tetradecyl sulphate dan polidacanol. Kedua bahan ini
dipilih karena sedikit menimbulkan reaksi alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan
hemosiderin) yang rendah, dan jarang menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi
ekstravasasi ke jaringan.

Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi safenofemoral junction sangat


pupuler dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an, terapi kombinasi ini diberikan setelah
dilakukan pembedahan konvensional untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi.
Sebuah penelitian yang membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi SFJ
dibandingkan kombinas ligasi SFJ dengan stripping didapatkan angka rekurensi klinis dan
rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan
skleroterapi.

Sklerotan dibagi berdasarkan jenis substansinya yaitu yang berbentuk foam dan benbentuk
liquid. Pada sklerotan jenis foam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis
liquid yaitu dosis yang lebih sedikit, lebih efektif dan menimbulkan komplikasi yang lebih
rendah. Pada sebuah penelitian non-randomised membandingkan antara sklerotan jenis foam
dengan liquid didapatkan angka oklusi pembuluh darah yang lebih tinggi (67 % dengan 17 %
dalam 1 tahun) dan angka gejala klinis yang lebih rendah (8,1 % dan 25 %) pada pasien yang
menggunakan sklerotan foam. Tidak ada komplikasi ditemukan pada penelitian ini. Penelitian
randomized trial lebih lanjut yang membandingkan antara polidocalol foam dengan polidocanol
liquid didapatkan dalam terapi VSM inkompen (diameter < 8 mm) didapatkan keberhasilan
dalam mengablasi refluks VSM lebih tinggi pada polidocanol jenis foam ( 84% lawan 14 %).

Terapi Minimal Invasif

1. Radiofrekuensi ablasi (RF)

Radiofrekuensi adalah teknik ablasi vena menggunakan kateter radiofrekuensi yang


diletakkan di dalam vena untuk menghangatkan dinding pembuluh darah dan jaringan sekitar
pembuluh darah. Pemanasan ini menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan
penutupan vena. Kateter dimasukkan sampai ujung aktif kateter berada sedikit sebelah distal SFJ
yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG. Ujung kateter menempel pada endotel vena,
kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan melalui kateter logam untuk memanaskan
pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Jumlah energy yang diberikan dimonitor melalui sensor
termal yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini berfungsi mngatur suhu yang sesui
agar ablasi endotel terjadi.

Penelitian multi-center didapat 85 % VSM mengalami obliterasi pada 2 tahun. Dua penelitian
randomized-controlled trial yang membandingkan ablasi radiofrekuensi dengan pembedahan
konvensional. Penelitian pertama Lurie et al melaporkan hasil dari EVOLVeS Study yang
merupakan percobaan multi-center dengan 81 pasien yang dilakukan radiofrekuensi ablasi atau
ligasi SFJ, Stripping VSM dan phlebectomy. Hasil yang didapat 81 % oklusi VSM pada
kelompok RF ablasi dengan lama waktu perwatan lebih singkat dari pada kelompok pembedahan
( 74 SD 10 mnt Vs 89 SD 12 mnt), lebih cepat pada RF ablasi (1,39 Vs 6,65 hari kerja).
Walaupun komplikasi yang sitimbulkan pada RF ablasi lebih sedikit, komplikasi pasca terapi
berupa parestesia lebih banyak pada kelompok RF ablasi ( 16% dibandingkan 6 % pada
kelompok pembedahan, tetapi tidak signifikan). Interpretasi hasil study EVOLVeS sulit
dilakukan karena berbagai variasi teknik anestesi dan prosedur yang dilakukan pada berbagai
Center. Selain itu jumlah sample yang kecil tidak cukup kuat untuk menampilkan signifikansi
perbedaan antara teknik yang dilakukan.

Penelitian kedua , Rautio randomized pada 28 pasien yang mendapatkan RF ablasi atau
pembedahan konvensional. Kedua kelompok ini dilakukan di bawah anestesi umum. Hasil yang
didapat penurunan rata-rata VCSS (venous clinical severity score). Pada RF ablasi didapat score
VCSS 5,1 (SD=1,5) dan pada pembedahan didapat 4,4 (SD=1), nyeri pasca pembedahan secara
signifikan lebih rendah pada RF ablasi dibandingkan kelompok pembedahan konvensional,
komplikasi parestesia didapatkan 13 % pada kelompok RF dan 23 % pada pembedahan,
Thomboplebitis sistemik didapat 20 % pada kelompok RF. Biaya pengobatan lebih besar pada
kelompo RF ablasi dibandingkan dengan kelompok pembedahan konvensional.

Pada beberapa penelitian individual didapatkan komplikasi yang lebih rendah pada RF ablasi.
Safena neuritis 3-49%, kulit terbakar 2-7 %, hematoma dan phlebitis. DVT dilaporkan sekitar 1
% dan 0,3 % terjadi emboli pulmonum.

2. Endovenous Laser Therapy (EVLT)

Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah dengan Endovenous laset
therapy (EVLT). Keuntungan yang didapat menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat
dilakukan pada pasien poliklinis di bawah anestesi local. EVLT yang secara luas digunakan
menggunakan daya sebesar 10 14 watt. Prosedurnya EVLT menggunakan fibre laser yang
dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah control USG.

Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local perivena dengan jalan
memberikan infiltrasi di sekitar pembuluh darah pepanjang VSM. Tujuannya selain memberikan
efek analgesia juga memberikan efek penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan
fibred an berperan sebagai heat sink mencegah kerusakan jaringan local.

EVLT tidak menyebabkan vena segera menjadi mengecil bila dibandingkan dengan apabila
dilakukan FR ablation, tetapi vena akan mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak
tampak setelah 6 bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan endotel,
nekrosis koagulatif, penyempitan dan thrombosis vena.

Pada sebuah penelitian observasional, VSM mengecil 94 99 % dengan perbaikan


penampilan varises superficial dan menurunkan gejala yang timbul. Dilaporkan oleh Min et al,
sekitar 500 pasien yang di follow-up selam 3 tahun didapatkan abalsi VSM sebesar 98 % pada 1
bulan dan 93 % pada 2 tahun.

Komplikasi utama yang muncul seperti bruising (24 %) dan thomboplebitis (5%), tetapi
tidak didapatkan adanya DVT, perasaan terbakar atau parestesia. Debandingkan dengan RF
abalaton absennya komplikasi DVT adalah kemungkinan karena duarsi terapi yang lebih singkat,
kontak dengan kateter trombogenik yang lebih singkat, dan suhu yang digunakan lebih tinggi.

Terapi Pembedahan

1. Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)

Teknik yang digunakan adalah teknik Stab-avulsion dengan menghilangkan segmen varises
yang pendek dan vena retikular dengan jalan melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan
kaitan khusus yang dibuat untuk tujuan ini, prosedur ini dapat digunakan untuk menghilangkan
kelompok varises residual setelah dilakukan sphenectomy.

Mikroinsisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil atau jarum yang
berukuran besar. Selanjutnya kaitan phlebectomu dimasukkan ke dalam dan vena dicapai melalui
mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan kemusian dilakukan traksi pada vena, bagian vena yang
panjang dipisahkan dari perlekatan sekitarnya.. bila vena tidak dapat ditarik apat dilakukan
insuisi di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai keseluruhan vena.
2. Saphenectomy

Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik menggunakan peralatan
stripping internal dan teknik invaginasi dengan jalan membalik pembuluh darah dan menariknya
menggunakan traksi endovenous, teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada
struktur di sekitarnya.Gambar 5-6. Untuk menghilangkan VSM, sebuah insisi dibuat 2-3 cm
sebelah medial lipatan paha untuk melihat SFJ.

Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari SFJ harus diidentifikasi
dan dilakukan ligasi untuk memilinimalkan terjadinya rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan
Junction, peralatan stripping dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level
cruris selnajutnya alat strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm ataiu lebih kecil)
sekitar 1 cm dari tuberosity tibia pada lutut. Kemudia head stripper dipasangkan pada lipatan
paha dan dikunci pada ujung proksimal vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke
dalam lumen vena sepanjang pembuluh darah sampai pintu keluar yang dibuat sebelumnya di
bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang berisi efinefrin atau dilakukan ligasi
untuk tujuan hemostasis setelah dilakukan stripping.

Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena tingginya insiden komplikaasi
yang terjasi setelah dilakukan stripping, komplikasi ini meliputi kerusakan pada nervus safena,
yang berlokasi sangat dekat dengan vena pada regio lutut.

Komplikasi banyak terjadi pada bila VSP dikeluarkan, karena anatomi dan risiko terjadinya
cedera pada vena poplitea dan nerevus peroneal lebih besar. Safenopopliteal junction harus
diidentifikasi dengan pemeriksaan dupleks USG sebelum dilakukan deseksi, dan visualisasi dari
Safeno popleteal jungtion secara langsung yang adekuat sangat pentingdilakukan. Setelah
dilakukan ligasi dan pemisahan junction, sebiauh peralatan stripping dimasukkan ke dalam vena
sampai distal cruris dan dikeluarkan melalui pintu yang dibuat dengan insisi (2 -4 mm).
Selanjutnya stripper dikunci di proksimal vena dan dilakukan invaginasi dan ditarik dari daerah
lutut sampai daerah pergelngan kaki.
Modifikasi Teknik Pembedahan

1. Ambulatory Conservative Haemodynamic Management (ACHM or CHIVA)

Conservative haemodynamic surgery for varicose veins (CHIVA) adalah sebuah teknik
pembedahan fisiologis meliputi identifikasi mengugunakan ultrasound dupleks dan ligasi refluk.
Vena perforata dan vena safena dipersiapkan dan tidak dilakukan tindakan phlebektomi.
Walaupun terdapat peningkatan hemodinamik dan morbilitas yang rendah namun agka rekurensi
masih cukup tingg sebesar 35 % pada 3 tahun. Namun pada sebuah studi yang membandingkan
antara ligasi SFJ, stripping, dan phlebektomi dilaporkan hasil yang sama pada 3 tahun tapi
dengan kerusakan pada nervus cutaneus yang lebih sedikit pada kelompok CHIVA. Prosedur ini
belum secara luas digunakan karena teknik yang relatif lebih rumit.

2. Transilluminated Powered Phlebectomy Ablation of Varicosities (TriVexe)

Phelebektomi dengan transiluuminasi merupakan metode unutk ablasi varises yang lebih
cepat dan reliabel. Teknik memungkinkan dilakukan insisi dan menimbulkan komplikasi yang
lebih sedikit. Beberapa studi melaporkan peningkatan biaya operasi, peningkatan insiden
terjadinya hematome, dan parestesia pada pasien dengan TriVex. Walupun demikian teknik ini
mungkin bermanfaan pada pembedahan dengan varises yang rekuren dimana didapatkan jaringan
parut perivaskular dan kekkakuan pembuluh vena yang menurunkan efikasi bila dilakukan stab
avulsion konvensional

3. Subfascial Endoscopic Perforator Ligation (SEPS) and The Linton Procedure

Peran dari vena perforata dalam etiologi varises vena masih kontroversi. Bagaimanapun
ukuran dan persentase vena perforata yang mengalami inkompenten di sisi medial cruris
menunjukkna hubungan dengan severitas penyakit insufisiensi vena kronis. Beberapa ahli bedah
vaskurel berpendapat ligasi pada vena perforata merupakan tindakan yang tidak rutin dilakukan.

Bila ligasi vena perforata diperlukan untuk mengisolasi vena perforata yang inkompeten,
tindakan ligasi endoskopi lebih disarankan dibandingkan dengan operasi terbuka untuk
menghindari masalah dengan penyembuhan luka operasi. Atau bila dilakukan operasi terbuka,
penentuan vena perforata melalui pemeriksaan ultraound mungkin dapat mengatasi masalah
penyembuhan luka operasi bila dibandingkan dengan prosedur Linton tradisional

4. External Valvular Stents

Penggunaan valvular stent eksternal diperkenalkan oleh Lane merupakan sebuah solusi yang
fisiologis dalam mengatasi refluks vena dengan mempertahankan VSM. Dia medriskripsikan
pada 1500 pasien walaupun ourcome data hanya tersedia pada 107 pasien saja menunjukkan
setelah folow-up selama 57 bulan , 90 % didapatakan dengan SFJ yang kompeten dengan rara-
rata penuruanan diameter VSM dari 7,6 menjasi 4,8 mm. Rekurensi secara klinis menurun.
Sayangnya pasien dengan VSM yang berdiameter 10-11 mm atau dengan varises yang berkelok-
kelok sepanjang VSF diekslusi dan teknik ini hanya dapat diaplikasikan pada 34 % pasien saja.
Pasien dengan valvuloplasty didapatkan tingkat morbiditas yang lebih rendah dibandingkan bila
dialakukan stripping. Komplikasi yang terjasi lebih jarang dan infeksi yang terjasi karena
pelepasa cuff hanya 0,3 % kasus. Teknik mungkin dapat dipilih pada pasien dengan varises vena
minor, namun belum ada penelitian yang membandingkan dengan teknik lain dan teknik ini
belum secara luas digunakan.

5. Endovenous Diathermy

Teknik ini telah dialakukan oleh beberapa ahli bedah pada than 1960-1970-an. Tidak ada
bukti keuntungan yang didapat dan ini meningkatkan ririko terjadinya cidera termal. Studi
terbaru dikatakan teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengablasi percangan VSM yang
inkompeten dengan tetap mempertahankan VSM setelah dilakuakan ligasi Safeno-femoral
walupun tidak ada folow up yang dilakuakan selanjutnya dan sebagian besar pasien memerlukan
terapi tambahan seperti skloroterapi.

1.10 Komplikasi

Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini
sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Inform konsen mengenai komplikasi
ini diperlukan sebelum dilakukan tindakan terapi. NHSLA melaporkan komplikasi akibat cedera
pada saraf pada 12 pasien dengan drop foot setelah dilakukan ligasi safeno-popliteal. Komplikasi
berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi
gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada
pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila
dilakukan pembedahan. Sebagian besar ahli bedah vaskuler melakukan profilaksisi agar tidak
terjadi komplikasi thomboemboli ini.
BAB II
LAPORAN KASUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Ilmu Bedah FKUI/ RSCM. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang
2. Sjamsuhidajat, R., De Jong Wim. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2005.
3. Tim FK-UI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III jilid 2. Jakarta. Media Aesculapius.
4. UniversitasGrace, Pierge A., 2006. At A Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
5. Yuwono, Hendro S., 2010. Ilmu Bedah Vaskular. Bandung : Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai