Anda di halaman 1dari 14

PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH DAN INOVASI PUPUK UNTUK MENDUKUNG

PERTANIAN ORGANIK

Ali Jamil, Ladiyani R Widowati, dan Wiwik Hartatik

Balai Penelitian Tanah


Jalan Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor
ladiyaniwidowati@gmail.com

ABSTRAK

Sistem pertanian organik adalah pembangunan pertanian yang didekati dengan sustainable agricultural development
at low productivity, dimana input yang dipergunakan bersifat alami tidak mengijinkan penggunaan pupuk, pestisida
kimia sintetis, serta rekayasa genetika untuk bibitnya. Pengembangan sistem ini sesuai untuk tanah dengan tingkat
kesuburan sedang hingga tinggi, karena bila berkesuburan rendah untuk membangun dan mempertahankan pada
tingkat kesuburan tanah minimal sedang dibutuhkan input yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Mengingat
keberlangsungan sistem pertanian organik tergantung kepada keseimbangan hara, yang memperhatikan berapa input
yang masuk dan keluar agar produktivitas tanah dan tanaman dicapai pada produktivitas optimum dengan input
alami. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2003 telah melakukan penelitian berkaitan dengan
rekomendasi takaran pupuk organik yang optimum, bahan pengkaya sumber hara pelengkap, pengelolaan bahan
organik yang sustain, penggunaan pupuk hayati dan dekomposer, serta inovasi produk pupuk dan pembenah tanah
mendukung sistem pertanian organik. Keberlangsungan pertanian organik pada lahan sayuran dataran tinggi telah
pula dimonitor dengan mengukur aktivitas mikroba (C-mic, N-mic, respirasi), jumlah populasi mikroba, kadar enzym
dan juga fauna tanah sebagai indikator kesehatan tanah. Dapat dinyatakan bahwa sistem pertanian organik adalah
sistem yang memperhatikan pengelolaan secara holistik, dengan input yang termonitor, produk yang sehat serta
kelestarian sumberdaya lahan yang terjaga.
Kata kunci: Pertanian organik, keseimbangan hara, produk sehat, input, output

PENDAHULUAN

Sebagai negara agraris, Indonesia dikarunia lahan dan faktor pendukung berupa sinar matahari
secara terus menerus sepanjang tahun serta mempunyai curah hujan yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber air pertanian selain air sungai. Pembangunan pertanian dapat dilaksanakan melalui dua
pendekatan (1) Sustainable agricultual development at high productivity dan (2) sustainable agricultural
development at low productivity. Pendekatan pertama dilaksanakan pada budidaya pertanian modern yang
mengandalkan input tinggi dari luar (off farm) berupa pupuk dan pestisida yang diaplikasikan pada varietas-
varietas tanaman berpotensi hasil tinggi yang merupakan implementasi dari konsep revolusi hijau (green
revolution). Pendekatan ini telah diadopsi oleh petani Indonesia dengan baik sejalan dengan penerapan
program pemerintah Bimas/Inmas sejak tahun 1970-an yang secara langsung membimbing petani dan
menyediakan sarana produksi pertanian yang dibutuhkan.
Sebaliknya pada pendekatan kedua, sustainable agricultural development at low productivity,
dalam prakteknya sangat mengandalkan input rendah dari alam dan in situ (on farm) yang dapat didaur
ulang dengan tujuan menghasilkan produk pangan yang sehat, aman dan berkualitas serta
mempertahankan produktivitas dan kesuburan lahan pertanian dalam jangka panjang. Sejalan dengan
pendekatan ini, konsep budidaya pertanian organik, menekankan pada upaya-upaya membangun dan

1
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

mengelola kesuburan tanah secara alami dalam jangka panjang dengan menggunakan bahan-bahan alami
yang dapat didaur ulang sebagai bentuk dari konservasi energi untuk pelestarian lingkungan. Dalam sitem
produksinya, budidaya pertanian organik menganut sistem tertutup (closed systems) dan meminimalkan
penggunaan input luar dari bahan-bahan agrokimia sintetis seperti pupuk dan pestisida. Budidaya
pertanian organik (organic farming) ini sering pula dinamakan biological agriculture, biodynamic
agriculture.
Secara umum sistem pertanian organik dapat dilihat sebagai suatu pendekatan sistem pertanian
holistik/terpadu antara komponen usahatani tanaman pangan, hortikultura atau perkebunan, pengelolaan
hara tanah, ternak, konservasi tanah dan air, dan pengelolaan hama terpadu secara biologis. Komponen
teknologi yang diterapkan merupakan teknologi ramah lingkungan untuk mencapai sistem pertanian yang
lestari dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan kesuburan tanah jangka panjang. Sistem pertanian
organik didefinisikan sebagai kegiatan usahatani secara menyeluruh sejak proses produksi sampai proses
pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa
penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan
bergizi (IFOAM, 2002).
Ketentuan yang diisyaratkan dalam sistem budidaya pertanian organik antara lain adalah memilih
lahan yang bebas bahan agrokimia (pupuk dan pestisida), menyediakan pupuk organik dari bahan yang
aman, benih yang bukan merupakan hasil rekayasa genetika atau GMO, pengelolaan tanaman dengan
rotasi serta aplikasi pestisida nabati dan agensia hayati untuk perlindungan tanaman.
Standar tingkat kesuburan tanah tidak diuraikan di dalam Peraturan Menteri Pertanian : No.
64/Permentan/OT.140/5/2013 maupun lampirannya. Di dalam peraturan tersebut yang diatur adalah
investigasi sejarah penggunaan lahan bila akan alih fungsi dari sistem pertanian konvensional menjadi
sistem pertanian organik, jenis bahan penyubur, dekomposer dan penambah mineral tanah.
Sistem pertanian organik sangat mengandalkan kepada siklus karbon, dimana kadar C-organik
menjadi penting karena input yang diijinkan dalam sistem ini harus yang bersifat alami. Agar dihasilkan
produksi pangan organik yang optimum dan berkelanjutan tentunya membutuhkan tanah sebagai media
tanam yang mempunyai berkesuburan sedang hingga sangat subur, selanjutnya diikuti oleh pengelolaan
yang benar. Suatu tanah dikatakan subur bila mempunyai kadar C-organik, P-tersedia/P-potensial, KTK
(kapasitas tukar kation), dan kejenuhan basa dari sedang hingga tinggi.
Indonesia yang terletak di katulistiwa dikarunia sinar matahari yang cukup sepanjang tahun
sehingga suhu cukup tinggi dengan rata-rata 25C, dan curah hujan yang cukup tinggi menghasilkan
kelembaban lebih dari 70%, kondisi ini mendukung proses dekomposisi secara fisik dan biologi sangat aktif.
Iklim tersebut mendukung pertumbuhan dan aktivitas fauna tanah dalam memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi. Selain itu pula curah hujan yang sedang hingga tinggi menyebabkan terjadinya
pencucian hara dari lapisan tanah olah ke lapisan yang lebih dalam ataupun terbawa ke badan air. Apabila
kecepatan dekomposisi ataupun mineralisasi bahan organik tanah sangat cepat dibandingkan dengan
asupannya, maka dengan waktu kadar bahan organik akan menurun. Serta apabila serapan hara dari dalam
tanah oleh tanaman lebih tinggi dari jumlah asupan, hal inipun menyebabkan terjadinya penambangan
hara. Perhitungan neraca hara diperlukan mengingat keberlangsungan sistem pertanian organik harus tetap
terjaga.
Dengan diketahuinya neraca hara dari sistem pertanian organik, maka dibutuhkan bahan input
alami berupa bahan mineral, pupuk hayati dan pupuk organik yang berkualitas. Peneliti Balai Penelitian
Tanah-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2003 telah melakukan penelitian dan
menghasilkan pupuk dan pembenah tanah alami yang bermanfaat dalam menjaga kesimbangan hara

2
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

seperti pupuk organik granul dan curah, tithoganik, organomineral fosfat, biochar, pugam, pupuk hayati
smart, nodulin, dan Bio-char.
Mengingat sistem pertanian organik mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kelestarian
lingkungan pertanian, kesehatan manusia, serta secara ekonomi tergolong menjanjikan maka dalam tulisan
ini akan menguraikan tentang pengelolaan hara dan neracanya, serta inovasi teknologi pupuk mendukung
sistem pertanian organik.

POTENSI DAN PERKEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA

Potensi lahan pertanian di Indonesia adalah 70 juta ha, tetapi yang efektif untuk produksi pertanian
seluas 45 juta ha. Dari luasan tersebut, luasan produk pangan utama dihasilkan dari lahan sawah seluas 8,1
juta ha dan di lahan kering 15,6 juta ha yang dominan dikelola secara konvensional. Pengembangan
budidaya pertanian organik masih terbuka luas, tetapi yang menjadi pembatas adalah syarat
pengelolaannya. Pengelolaan lahan untuk pertanian organik diatur dalam SNI 01-6729-2002 tentang Sistem
Pangan Organik dan Permentan No. 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Persyaratan Pertanian Organik.
Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan
kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian
organik menekankan penggunaan praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan
setempat, dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi
lokal. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan, bila memungkinkan, cara-cara kultural, biologis dan
mekanis, yang merupakan kebalikan dari penggunaan bahan-bahan sintetis, untuk memenuhi fungsi
spesifik dalam sistem. Suatu sistem produksi pangan organik dirancang untuk :
(a) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan;
(b) meningkatkan aktivitas biologis tanah;
(c) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang;
(d) mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan
sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui;
Di dalam SNI 01-6729-2002 diperbolehkan menggunakan bahan masukan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 2. Sebanyak 39 jenis dapat dikelompokkan menjadi (1) mineral alami; (2) bahan organik;
(3) pupuk hayati; (4) dekomposer; (5) pembenah tanah; dan (6) pestisida nabati.
Bila mengacu pada persyaratan budidaya pertanian organik, tidak semua lahan pertanian existing
tersebut dapat dipergunakan sebagai areal pertanaman pangan organik. Sistem pertanian pangan organik
mensyaratkan dalam pengelolaan pangan secara holistik, dengan memperhatikan semua input secara
termonitor, tanpa masukan pupuk dan pestisida buatan, dan tindak menggunakan bibit hasil rekayasa
genetika. Input utama yakni sumber air pengairan harus termonitor dan terjaga kualitasnya, harus
diketahui sejarah penggunaan lahan dalam penggunaan agrokimia dan pestisida sebelumnya, jenis dan
kualitas pupuk kandang/organik harus baik, serta memperhatikan pengelolaan lahan seperti rotasi tanaman
untuk pencegahan hama penyakit.
Pada tahun 2012 luas lahan pertanian 213.023,55 ha terdiri dari luas area pertanian organik yang
disertifikasi (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, dijamin PAMOR dan tanpa sertifikasi
(Ariesusanty et al., 2013). Sejak didata dari 2007, peningkatan luas areal pertanian organik dari 2007 karena
dimulainya pendokumentasian dan wawancara mendalam pada lembaga sertifikasi, dukungan oleh
pemerintah karena disahkannya lembaga-lembaga sertifikasi pertanian organik nasional. Tahun 2010
menjadi puncak dalam lima tahun terakhir ini, seiring dengan program Go-Organik 2010 oleh pemerintah.

3
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

Gambar 1. Pertumbuhan luas lahan pertanian organik di Indonesia dengan tahun

Budidaya komoditas organik menyebar di seluruh Indonesia. Sebaran ini berkaitan dengan jenis
komoditasnya. Pada tahun 2012, lahan budidaya organik terluas didominasi di pulau Sulawesi dengan
luasan sekitar 125.000 ha dengan komoditas utama kopi dan mete. Untuk luasan di pulau lainnnya rata-rata
di bawah 3.000 ha. Sedangkan untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija dan sayuran, luasan
proporsinya lebih sedikit. Dari luasan tersebut, sebagian besar didominasi produk perkebunan, kemudian
disusul oleh luas areal padi organik 1261,21 ha, buah-buahan 510,03 ha, sayuran 233,00 ha, dan
ikan+udang seluas 94 ha.

TINGKAT KESUBURAN YANG DAPAT DIPERGUNAKAN UNTUK PERTANAMAN ORGANIK

Kualitas tanah (soil quality atau soil health) didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk
menunjukkan fungsi kritikal sebagai medium utama untuk pertumbuhan tanaman, mempertahankan
produktivitas tanaman, mempertahankan kualitas lingkungan, dan menyediakan lingkungan yang sehat
bagi tanaman, hewan dan manusia (Mitchell et al., 2000).
Sistem pertanian organik adalah holistik dan terbaik adalah sistem tertutup. Bila mengacu pada
syarat ini, maka tanah-tanah yang sesuai untuk sistem pertanian organik adalah tanah yang mempunyai
tingkat kesuburan tanah yang sedang hingga sangat subur. Suatu tanah dinyatakan subur secara kimia bila
mempunyai kadar KTK, C-organik, P-tersedia, kejenuhan basa dari sedang hingga tinggi. Tanah yang subur
secara fisik adalah tanah dengan rasio komposisi kadar mineral tanah : bahan organik tanah : air : udara
yang ideal seperti tertera pada Gambar 2.

4
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

Gambar 2. Komposisi ideal tanah mineral

Selama beberapa dekade para peneliti dari berbagai negara dan petani maju berusaha untuk
membuat suatu rumusan tentang minimum data set untuk penilaian kualitas tanah yang terdiri dari
komponen fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat digunakan sebagai indikator kuantitatif dalam
penetapan kriteria tanah sehat (Soil Health).
Kriteria tersebut di atas bertujuan untuk membuat pengelompokkan atau kelas kualitas tanah pada
tanah-tanah dari yang sangat subur sampai yang sangat tidak subur (terdegradasi), sehingga kelas yang
tersusun dapat digunakan secara cepat oleh para pengguna dalam menentukan komoditas, teknologi dan
pola usahataninya.
Komponen kriteria tersebut belum terdapat angka nilai atau kadar tertentu. Tetapi sebagai
gambaran bahwa kriteria fisika, kimia, dan bilogi tanah minimum masuk kelas sedang hingga tinggi.
Pertumbuhan tanaman membutuhkan lingkungan perakaran yang baik yang dapat berkembang optimal
yang dicerminkan dari bobot isi, kedalaman perakaran, dan stabilitas agregat. Ketersediaan air untuk
tumbuh dan dapat menyerap hara dengan baik digambarkan oleh kapasitas menahan air. Kemudian sifat
kimia tanah yang penting adalah pH, elektrokonduktivitas, dan kapasitas tukar kation (KTK), yang akan
menggambarkan dinamika hara dalam tanah. Nilai pH berkaitan dengan [H+], elektrokonduktivitas
berkaitan dangan kadar garam (anion dan kation), dan KTK adalah indikator kemampuan suatu tanah untuk
memegang dan melepaskan hara dalam tanah. Komponen kimia selanjutnya adalah mineralisasi N, nilai ini
berkaitan dengan kapasitas tanah untuk mensuplai N tanah dari penguraian bahan organik yang ada dalam
tanah dalam satu satuan waktu, kemampuan mensuplai N sangat berhubungan antara kadar bahan organik
tanah, jumlah populasi mikroba pangurai, dan tekstur tanah. Selain N, unsur hara yang menjadi komponen
kimia adalah K dan Ca dapat tukar, dimana ketersediaan kedua unsur ditentukan berdasarkan rasio
(K/(Ca+Mg), sementara itu proporsi Ca:Mg idealnya dalah 4:1. Di dalam metabolisme tanaman unsur hara
tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas produk organik.

5
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

Tabel 1. Indikator kuantitatif dan penerapan kriteria tanah sehat (soil health).

Komponen
Fisika Kimia Biologi
- Bobot isi - pH - C-mic
- Kedalaman Perakaran - Elektrokonduktivitas (Microbial biomass carbon)
- Laju air infiltrasi - Kapasita Tukar Kation - N-mic
- Kapasitas menahan air - Bahan organik (Microbial biomass nitrogen)
- Stabilitas aggregate - Mineralisasi N - Cacing
- K dapat ditukar - Enzim
- Ca dapat ditukar - Hama penyakit
- Respirasi mikroba tanah

Komponen biologi tanah yang menjadi indikator tanah yang baik untuk budidaya organik adalah
nilai C-mic dan N-mic. Nilai C-mic N-mic memberikan gambaran tentang aktivitas mikroba tanah yang
diukur dari pelepasan CO2 dan N, serta dipergunakan sebagai indikator perubahan sifat tanah akibat dari
perubahan penggunaan lahan dan stres lingkungan dalam sistem pertanian. Demikian juga hasil
pengukuran respirasi mikroba tanah, akan menggambarkan aktivitas total populasi mikroba. Suatu sistem
tanah dinamis akan memiliki nilai C-mic, N-mic dan respirasi yang tinggi. Demikian pula hasil pengukuran
populasi cacing perunit volume tanah dan enzim (hidrogenase dan fosfatase) menunjukkan suatu tanah
subur secara biologi atau tidak. Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik, maka indikator disease
suppresivenes harus mempunyai nilai yang rendah.
Hasil observasi terhadap perbandingan sifat tanah antara sistem pertanian organik, sistem
pertanian konvensional, dan semi organik adalah nilai C-mic dan N-mic yang lebih tinggi, populasi cacing
tanah, populasi bakteri dan fungi, aktivitas dehidrogenase dan respirasi yang lebih baik (Hartatik et al.,
2009). Begitu pula hasil observasi Moeskops et al., 2012, memperoleh hasil pengukuran aktivitas enzim (B-
glucosidase, dehydrogenase), kadar PLFA, dan indeks kualitas tanah yang lebih tinggi pada sistem pertanian
organik di Cisarua dibanding dengan sistem pertanaman konvensional.

PENGELOLAAN LAHAN UNTUK SISTEM PERTANIAN ORGANIK

Pengelolaan hara tanah dari sumberdaya alam yang tidak tergantikan adalah sangat penting.
Keberlanjutan produktivitas lahan dipengaruhi oleh keseimbangan hara antara kebutuhan tanaman
(output) dan masukan (input), serta kehilangan hara (erosi). Dalam penghitungan keseimbangan hara dapat
didekati dengan persamaan Short Term dan Long Term keseimbangan hara (Widowati et al., 2011) sebagai
contoh adalah penghitungan keseimbangan N sebagai berikut:
Short term N-balance = (Ninitial + Nmin + Navailable_manure + Nfert) (Nuptake_marketable + Nuptake_residue + Nharvest)
Long term N-balance = (Ninitial + Ntotal_manure + Nfert) (Nuptake_marketable + Nuptake_residue + Nend)
Komponen penghitungan meliputi N initial atau N awal, N tersedia atau termineralisasi dari pukan,
N total dari pukan, N dari sumber lainnya, N diambil tanaman yang dipasarkan, N residu dalam tanaman, N
tanah saat panen terakhir. Dalam persamaan terebut, jumlah N yang hilang adalah minimalis.
Untuk mengawal penerapan keseimbangan hara dan uji tanah secara cepat pada sistem pertanian
organik di lapang, Balitbangtan telah menghasilkan PUTS (Perangkat uji Tanah Sawah), PUTK (Perangkat Uji
Tanah Kering) dan PUPO (Perangkat Uji Pupuk Organik). Bila pertanian organik telah merambah ke lahan
ekosistem rawa maka dapat dipergunakan PUTR (Perangkat Uji Tanah Rawa). PUTS dapat dipergunakan

6
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

untuk mengukur kadar N, P, K, dan pH tanah secara kuantitatif, disertai dengan rekomendasinya.
Rekomendasi yang tercantum adalah dalam bentuk pupuk anorganik lalu dapat dikonversi ke suplai hara
dalam bentuk organik. PUTK dapat dipergunakan untuk mengukur kadar hara P, K, pH, Kebutuhan Kapur,
dan C-organik tanah, serta dilengkapi dengan rekomendasi pupuk untuk tanaman padi gogo, jagung,
kedelai, dan akan dilengkapi dengan rekomendasi sayuran dataran tinggi. PUPO dapat dipergunakan untuk
mengukur kualitas pupuk organik curah yang akan dipergunakan pada budidaya organik.
Sayuran
Budidaya sayuran organik masih didominasi oleh sayuran dataran tinggi, selain variasi sayuran lebih
banyak juga bernilai ekonomi tinggi. Diantara jenis budidaya tanaman, budidaya sayuran adalah yang
membutuhkan tenaga yang cukup karena siklus hidup yang pendek, mempunyai jenis varietas yang banyak,
dan bersifat mudah rusak (rotten). Pada kebun organik yang sudah lebih dari dua tahun, bedengan untuk
menanam sudah kuat sehingga untuk konservasi tanah sudah mantap. Tingkat erosi rendah dan sifat fisik
tanah sudah baik. Yang memerlukan perhatian besar adalah pengelolaan hara dan tanaman. Pengelolaan
hara pada sistem pertanian organik yakni: merotasi sisa bahan organik, pemanfaatan residu tanaman dan
pangkasan tanaman dengan pengomposan progresif, menggunakan pupuk organik insitu (pukan),
pemanfaatan tumbuhan alami sekitar kebun organik seperti kirinyu dan tithonia, pengkayaan pupuk
organik dengan abu sekam, fosfat alam, pupuk hayati, dan rotasi tanaman dengan penutup lahan
penambat N mucuna. Adapun hasil evaluasi penggunaanya telah dilakukan oleh tim Peneliti Balai Penelitian
Tanah seperti uraian di bawah ini.
Pemanfaatan limbah sisa tanaman dan tanaman lain seperti tithonia dan kirinyu yang banyak
terdapat di sekitar kebun sayuran mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, karena mempunyai
kadar hara yang hampir setara dengan dengan kompos kotoran ternak. Apabila dikombinasikan dengan
kotoran ternak yang telah dikomposkan dapat memberikan hasil sayuran yang optimal pada takaran 20-25
t/ha. Perubahan kualitas tanah yang dikelola sesuai budidaya pertanian organik memperlihatkan perbedaan
yang nyata dibandingkan dengan tanah awal pada parameter biologi tanah yaitu nilai C-mic, jumlah total
mikroba, serta jumlah mikroba fungsional seperti bakteri penambat N dan bakteri selulolitik.
Perubahan sifat-sifat biologi tanah akibat pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos lebih
nyata dibandingkan sifat kimia tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di beberapa negara dan
penelitian Hartatik et al., 2006, yang menunjukkan bahwa nilai C-mic (biomassa karbon mikroorganisme)
merupakan parameter indikator kualitas tanah yang jauh lebih peka dibandingkan sifat kimia tanah (seperti
C-organik total) maupun sifat fisik tanah dan mempunyai korelasi yang erat dengan sifat biologi tanah
lainnya. Tanah yang dikelola menurut budidaya pertanian organik menunjukkan peningkatan kandungan
biomassa mikroba (C-mic), jumlah total mikroba, serta jumlah mikro fungsional seperti bakteri penambat N
dan bakteri selulolitik dibandingkan tanah awal.
Dalam budidaya produk organik sayuran dataran tinggi, penggunaan pupuk hayati di PERMATA Hati
Farm hasil pengamatan Hartatik et al., 2005-2006, meningkatkan respirasi tanah sebesar 0,58 CO2/100
g/hari atau meningkat sebesar 20,5%. Pengkayaan pupuk organik (pukan ayam 25 t/ha) dengan abu sekam
(sumber K) dan fosfat alam (sumber P) serta diberi pupuk hayati memberikan nilai C-mic tertinggi yaitu
sebesar 980,59 ppm dan meningkatkan produksi brokoli sebesar 1,25 t/ha (17%) dibandingkan perlakuan
pukan ayam 25 t/ha (praktek petani) saja. Hasil pengkayaan pupuk organik pukan kambing (25 t/ha) dengan
abu sekam dan fosfat alam meningkatkan produksi pakcoy 1,06 t/ha (11%), dan meningkatkan produksi
wortel 5,74 t/ha (27%) dibandingkan perlakuan pukan ayam 25 t/ha saja.

7
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

Selain pengelolaan hara, pengelolaan tanaman difokuskan kepada rotasi tanaman. Rotasi tanaman
memperhatikan aspek kesehatan tanah (memutus rantai hidup hama dan penyakit), serapan/kebutuhan
hara, umur panen, dan nilai ekonomi. Rotasi tanaman yang telah dilakukan di kebun organik yakni jenis
tanaman berbuah-berdaun-berumbi atau sebaliknya, serta menghidari penanaman tanaman sayuran satu
famili yang berturutan. Neraca hara N, P, dan K pada berbagai perlakuan pemberian pupuk organik
menunjukkan neraca positif atau terjadi pengkayaan hara, kecuali neraca N yang negatif pada pemberian
tithonia, sisa tanaman dan sampah kota pada musim tanam pertama (Setyorini et al., 2004). Hasil
pengukuran neraca hara (2005-2006), di perkebunan organik di Permata Hati Farm diperoleh neraca hara
N, P, dan K yang positif dengan perlakuan kompos pukan kambing diperkaya abu sekam + fosfat alam (Tabel
2). Sementara hasil penelitian di Masada Farm 2006, perlakuan pukan kambing + abu sekam + fosfat alam +
kompos tithonia juga menghasilkan neraca hara N, P, dan K yang positif.
Padi sawah
Budidaya padi organik hanya mengandalkan bahan organik sebagai sumber hara untuk
pertumbuhannya. Oleh karena itu kualitas pupuk organik sangat penting dalam pemilihan input pupuk yang
akan diberikan. Jerami padi merupakan sumber bahan organik utama di lahan sawah, namun karena
kandungan hara dalam dalam jerami hanya didominasi oleh kalium, maka diperlukan sumber lain seperti
pupuk kandang (ayam, kambing, sapi) atau sumber lain seperti azolla dan turi mini untuk melengkapi
kebutuhan hara tanaman. Diantara perlakuan jenis pukan dan dosis pukan yang dicoba, ternyata pukan
ayam memberikan sumbangan hara N, P, K yang lebih dibandingkan pukan kambing dan sapi untuk padi
Menthik Wangi yang ditanam di Sragen (Hartatik et al., 2009). Perlakuan pukan ayam, sapi dan kambing
dosis 20 t/ha saja hanya cukup memenuhi kebutuhan hara N dan P sedangkan K masih kurang. Dengan
ditambah dengan masing-masing 1 t/ha azolla, jerami/tithonia sudah mencukupi kebutuhan hara padi.
Untuk perlakuan pukan dosis 10 t/ha+arang sekam 300 kg/ha terjadi neraca hara K dan K negatif.
Perhitungan neraca hara padi orgnaik yang dipupuk tiga jenis pukan (ayam, kambing, sapi)
dikombinasikan dengan jerami dan arang sekam menunjukkan neraca positif untuk N dan P pada dosis
tinggi dan neraca negatif untuk hara K. Hal ini berarti input pupuk K yang diberikan belum cukup memenuhi
kebutuhan hara K tanaman padi, sehingga tanaman mengambil cadangan hara dari dalam tanah. Sebagai
gambaran, untuk tanah Vertisol seperti di Sragen dan Ngawi, mempunyai cadangan K yang tinggi, tetapi
bila pertanaman padi organik ditanam pada tanah seperti Inceptisol ataupun Ultisol yang rendah cadangan
K, maka dengan waktu akan terjadi defisiensi K. Dosis pukan yang dianjurkan untuk pertanaman padi
organik adalah 15-20 t/h dan jerami 5 t/ha.

Tabel 2. Neraca hara N, P, dan K untuk pertanaman Brokoli-Pakcoy dan Wortel-Selada pada sistem pertanian organik

Neraca hara brokoli-pakcoy Neraca hara wortel-selada


Perlakuan N P K N P K
..........kg/ha........ ........kg/ha........
Pukan kambing+abu sekam+PH 26 24 8 35 26 12
Pukan ayam+abu sekam+PH 16 25 -1 30 30 6
Pukan kambing+abu sekam+Tithonia+pH 32 26 23 39 28 5
Pukan ayam+sekam+Tithonia+pH 30 28 15 32 33 11
Pukan kambing+abu sekam 12 23 9 37 26 10
Pukan ayam+abu sekam 6 24 7 24 28 0
Neraca = Input-Output
Asumsi : Seluruh pupuk organik dan pengkaya termineralisasi kadar N, P dan K dalam satu periode tanam

8
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

Tabel 3. Neraca hara N, P, dan K untuk pertanaman padi

Neraca Hara
Perlakuan N P K
..........kg/ha........
Pukan kambing 20 t/ha 8 17 -14
Pukan sapi 20 t/ha 37 22 -11
Pukan ayam 20 t/ha 18 30 3
Pukan kambing 15 t/ha + jerami 5 t/ha 3 12 -4
Puka sapi 15 t/ha + jerami 5 t/ha 25 17 -32
Pukan ayam 15 t/ha + jerami 5 t/ha 16 21 2
Pukan kambing 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha -16 21 -17
Pukan sapi 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha -22 27 -26
Pukan ayam 20 t/ha + arang sekam 300 kg/ha -5 37 -8
Neraca = Input-Output
Asumsi : Seluruh pupuk organik dan pengkaya termineralisasi kadar N, P, dan K dalam satu periode tanam

Perkebunan

Data tentang budidaya tanaman perkebunan secara organik masih lebih sedikit dibandingkan
dengan budidaya tanaman sayuran dan padi. Budidaya tanaman perkebunan seperti kopi, teh, kelapa, sagu
dan mete umumnya tumbuh secara alami di alam bebas dan tanpa penambahan pupuk anorganik dan
pestisida buatan. Tetapi ada juga yang dibudidayakan dengan berusaha mengaplikasikan pupuk organik
untuk tanaman kopi di Kabupaten Bener-Meriah, Aceh. Rekomendasi untuk tanaman kopi berumur 3-10
tahun adalah pupuk kandang dan kompos limbah kulit kopi diberikan masing-masing 10 kg/pohon dan 20
kg/pohon (Yufniati et al., 2007). Dari penggunaan tersebut, menunjukkan pertumbuhan tanaman kopi lebih
baik dan pupuk organik tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Produktivitas tanaman perkebunan di Indonesia rata-rata untuk kopi, kakao, dan mete berturutan
adalah 745, 850, dan 364 kg/ha. Jika diasumsikan tanaman ini tidak dipupuk maka akan mengandalkan
serapan dari dalam tanah. Sebagai ilustrasi, untuk tanaman kopi dengan produksi sebesar 745 kg/ha, maka
serapan hara untuk N, P, dan K adalah 16,90; 1,7; dan 17,73 kg/ha. Dengan kata lain terjadi nilai
keseimbangan hara yang negatif. Sejumlah hara tersebut diambil dari dalam tanah tanpa ada pengembalian
atau penambahan, dengan waktu unsur hara di tempat tersebut akan terkuras. Bila dilakukan pemupukkan
10 t pupuk kandang/th/ha, maka diperkirakan dapat menyumbangkan hara sebesar 22 kg N/ha; 4,5 kg
P/ha, 15,75 g K/ha, dimana jumlah asupan K ini masih rendah dari total serapan hara kopi pertahun.
Sehingga direkomendasikan untuk menambahkan pupuk kandang 15-20 t/ha yang diperkaya dengan
mikroba penambat N.

KUALITAS PUPUK ORGANIK DAN PEREDARANNYA

Hasil identifikasi kompos organik oleh Setyorini et al., 2004, menunjukkan bahwa kompos yang
terbuat dari berbagai jenis limbah kotoran ternak (sapi, kambing, ayam) dan sisa tanaman (limah pasar,
tithonia, kirinyu, sisa tanaman) kadar haranya dari masing-masing bahan organik tersebut sangat bervariasi
dan masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Seperti hasil pengamatan Widowati et al., 2012, juga
memperoleh hasil yang sama, dimana karakteristik setiap jenis bahan organik mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing (Tabel 4). Dalam periode 100 hari inkubasi, jumlah pelepasan hara N juga

9
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

bervariasi tergantung kepada komposisi struktural, kadar C, N, dan C/N rasio. Pelepasan N tercepat dari
residu brokoli, diikuti pukan ayam, dan residu kubis, sedangkan yang sulit melepaskan N adalah jerami padi
bahkan terjadi imobilisasi N. Sedangkan untuk unsur hara lainnya masih memerlukan pengamatan yang
lebih mendalam, akan tetapi dapat diasumsikan bila penguraian bahan organik adalah bersinergi satu sama
lain, maka ketersediaan P dan K diprediksi adalah sama kecepatan ketersediannya dengan N tetapi berbeda
dalam kuantitasnya. Semua jenis kompos organik tersebut mempunyai kesesuaian untuk dipergunakan
sebagai sumber pupuk organik dalam budidaya pertanian organik. Penambahan pupuk organik, terutama
yang berasal dari kotoran ternak meningkatkan kadungan asam humat dan fulfat pada tanah serta aktivitas
mikroorganisme yang diukur melalui pelepasan CO2.
Pupuk organik sebenarnya telah ada dan dipergunakan sejak sebelum revolusi hijau. Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan pangan, maka produksi pangan nasional harus
ditingkatkan. Pada periode revolusi hijau tersebut hanya menekankan penggunaan pupuk anorganik N, P,
dan K tanpa memperhatikan penggunaan bahan organik. Setelah mengalami produksi yang leveling off
dimana penambahan pupuk anorganik tidak diikuti oleh peningkatan produksi maka penggunaan
bahan/pupuk organik mulai digalakkan oleh pemerintah dan dikombinasikan dengan istilah Pengelolaan
Hara Terpadu. Selanjutnya dengan berkembangnya kesadaran tentang kesehatan pangan dan kelestarian
sumberdaya lahan maka pemerintah mencanangkan Go Organik 2010, yakni penggunaan pupuk organik
baik pada sistem pertanian konvensional dan apalagi pada budidaya organik. Produsen pupuk mulai melirik
untuk memproduksi pupuk organik. Dalam upaya mendukung program pemerintah dalam menggalakkan
penggunaan pupuk organik dan membantu monitoring kualitas pupuk, Balai Penelitian Tanah-Balitbangtan,
pada tahun 2009 (Hartatik et al., 2009)melakukan sampling pupuk organik padat baik remah maupun
granul yang terdapat di pasaran di Jawa Barat. Dari 33 contoh pupuk organik yang sudah memiliki nomor
pendaftaran dari Kementarian Pertanian hanya dua contoh atau 6,1%. Pupuk yang memiliki label ada 20
contoh atau 60,6% contoh. Dari ke 33 contoh, kesesuaian mutu pupuk yang berdasarkan persyaratan
Permentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 untuk parameter pH 94%; kadar air 18,2%; C-organik 52%; N
97%; P2O5 91%; Fe 45%; As 85%; Pb 97%; K, Mn, Cu, Zn, B, Cd, Co, Mo, dan Hg 100%. Dapat dinyatakan
bahwa tidak ada satupun pupuk yang sesuai dengan Permentan untuk seluruh parameter. Ini adalah
gambaran sebaran kualitas pupuk organik yang ada saat ini.

Tabel 4. Bahan organik (DM), C-organik (Corg), N-total (Ntot) dan kadar mineral N (semua didasarkan dalam bahan
kering), C/N rasio dan komposisi struktural menggunakan metoda Stevenson fractionation yang dimodifikasi
(dalam kurung standar deviasi; n = 3) dari organik material yang digunakan dalam penelitian inkubasi

Sumber bahan DM C Ntotal Mineral N C/N Fraksi (% dari bahan organik)


organik (%) (%) (%) g/kg Larut air Hemicellulose Cellulose Lignin
Jerami 40 39,4 0,71 0,018 55,6 20,6 (2,15) 29,0 (3,77) 35,5 (3,65) 14,8 (2,07)
Residu Kubis 20 39,1 2,50 0,043 15,6 26,2 (2,64) 24,5 (0,67) 38,6 (2,13) 10,7 (0,80)
Residu brokoli 18 39,1 2,84 0,289 13,8 23,9 (2,81) 31,9 (0,79) 29,1 (1,00) 15,1 (0,87)
Kompos Tithonia 46 35,8 2,80 0,039 11,0 11,7 (1,89) 34,2 (7,64) 23,9 (3,84) 30,2 (1,92)
Pukan kambing 68 14,3 1,25 0,010 11,4 1,9 (0,03) 48,1 (0,57) 8,0 (0,30) 42,0 (0,14)
Pukan sapi 45 17,8 1,14 1,986 15,6 1,3 (0,20) 47,7 (0,16) 6,7 (0,12) 44,4 (1,60)
Pukan ayam 74 27,5 2,61 0,056 10,6 16,1 (3,37) 27,5 (4,62) 38,8 (3,10) 17,6 (1,77)
Sumber : Widowati et al., 2012

10
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

Tabel 5. Rata-rata net N termineralisasi selama 100 hari periode inkubasi, dan nilai relatif net N mineralisasi

N total Rata-rata Nmin Rata-rata %N Nmin


Organik sources
(kg/ha) (kg N/ha) (% of total N)
Jerami 85 -11 -12,9 a*
Residu kubis 150 36 24,1 bc
Residu brokoli 153 104 68,1 d
Kompos tithonia 449 12 2,6 ab
Pukan kambing 255 42 16,6 b
Pukan sapi 154 26 17,1 b
Pukan ayam 579 274 47,3 cd

30 t bahan organik baru yang ditambahkan


Sumber: Widowati et al., 2012

INOVASI DAN TEKNOLOGI PUPUK UNTUK SISTEM PERTANIAN ORGANIK

Teknologi dalam pembuatan pupuk dan jenisnya terus berkembang seiring dengan permintaan
pasar. Pupuk organik baik padat maupun cair telah ada aturannya sehingga menjadi penting dalam
pembuatannya mengikuti peraturan yang berlaku yakni Permentan No 70 tahun 2011 (Tabel 6.). Dalam
aturan pupuk organik yang menjadi kunci utama dalah kadar C, N, dan rasio C/N, serta kadar hara dari
bahan organik, mengingat pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah diharapkan akan
menyumbangkan sejumlah carbon dan hara (walaupun sedikit) memberikan dampak positif lainnya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menghasilkan beberapa produk pupuk
organik (dekomposer, hayati, dan pupuk organik padat) dan pembenah tanah dengan kualitas yang baik.
Sampai dengan tahun 2014, terdapat produk pupuk dan dekomposer yang sudah dilisensi (Tabel 7) dan
belum dilisensi. Beberapa produk yang mempunyai potensi dan belum dilisensi adalah Tithoganik,
Organomineral fosfat, mikroenkapsulasi mikroba hayati, dekomposer, Biochar dan lainnya.
Tithoganik adalah pupuk organik berasal dari tithonia yang diperkaya, sehingga mempunyai kadar
hara yang lebih lengkap dari dari bahan dasarnya, dan kualitas mengacu kepada permentan. Organomineral
fosfat adalah pupuk organik P dari P-alam yang dibuat ukurannya mendekati sub-mikron dengan tujuan
meningkatkan kecepatan ketersedian P dan yang diperkaya dengan pupuk kadang sebagai sumber C,
humat dan fulfat. Dalam upaya untuk meningkatkan daya simpan pupuk hayati sedang dilakukan penelitian
mikroenkapsulasi mikroba hayati, karena pupuk hayati mempunyai periode aktif yang pendek 3-6 bulan.
Selanjutnya untuk membenahi tanah agar lebih sehat dan mempunyai kesuburan fisik dan kimia yang
meningkat, penggunaan Bio-char dengan komponen utama arang aktif dapat dimanfaatkan agar efisiensi
pupuk meningkat serta memberikan kondisi perakaran yang lebih baik.

11
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

Tabel 6. Syarat mutu pupuk organik Permentan 70 tahun 2011

No Parameter Satuan Standar mutu


Granul/Pelet Remah/Curah
Murni Diperkaya mikroba Murni Diperkaya mikroba
1. C organik % Min 15 Min 15 Min 15 Min 15
2. C / N rasio 15 25 15 25 15 25 15 25
3. Bahan ikutan % maks 2 maks 2 maks 2 maks 2
(plastik,kaca, kerikil)
4. Kadar Air *) % 8 20 10 25 15 25 15 25
5. Logam berat: ppm maks 10 maks 10 maks 10 maks 10
- As ppm maks 1 maks 1 maks1 maks 1
- Hg ppm maks 50 maks 50 maks 50 maks 50
- Pb ppm maks 2 maks 2 maks 2 maks 2
- Cd
6. pH - 49 49 49 49
7. Hara makro % min 4
(N + P2O5 + K2O)
8. Mikroba kontaminan:
2 2 2 2
- E. coli, MPN/g maks 10 maks 10 maks 10 maks 10
2 2 2 2
- Salmonella sp MPN/g maks 10 maks 10 maks 10 maks 10
9. Mikroba fungsional:
3 3
- Penambat N cfu/g - min 10 - min 10
3 3
- Pelarut P cfu/g min 10 min 10
10. Ukuran butiran 2-5 mm % min 80 min 80 - -
11. Hara mikro :
- Fe total atau ppm maks 9000 maks 9000 maks 9000 maks 9000
- Fe tersedia ppm maks 500 maks 500 maks 500 maks 500
- Mn ppm maks 5000 maks 5000 maks 5000 maks 5000
- Zn ppm maks 5000 maks 5000 maks 5000 maks 5000
12 Unsur lain :
- La ppm 0 0 0 0
- Ce ppm 0 0 0 0

Tabel 7. Berbagai jenis produk Balitbangtan 2012-2014 mendukung budidaya pertanian organik yang telah dilisensikan

No. Produk Manfaat Inventor Lisensor


1 M-Dec Perombak bahan organik Balittanah PT. Nusa Palapa Gemilang
2 DSA Perombak bahan organik Balittanah PT. Bintang Timur Pasifik
3 Nodulin Pupuk hayati kacang-kacangan Balittanah PT. Nusa Palapa Gemilang
4 Bio Nutrient Pupuk hayati tanaman pangan & Balittanah PT. Nusa Palapa Gemilang
hortikultura
5 SMARt Pupuk hayati padi Balittanah PT. Bio Industri Nusantara
6 Potensida Pupuk hayati padi Balittanah PT. Petrosida Gresik
7 SMESh/ Biobus Pupuk hayati kedelai Balittanah PT. Bio Industri Nusantara
8 Biotara Pupuk hayati padi rawa & Balittra PT. Pupuk Kalimantan Timur
perombak bahan organik
9 Biosure Pupuk hayati & peningkat Balittra PT. Pupuk Kalimantan Timur
produktivitas lahan rawa
10 Agrimeth Pupukhayatipadi, kedelai, cabe Balittanah Dalamtahanlisensi

12
Ali Jamil et al. : Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Inovasi Pupuk untuk Mendukung Pertanian Organik

PENUTUP

Sistem pertanian organik merupakan industri pertanian yang termasuk sustainable agricultural
development at low productivity. Meskipun demikian, seiring dengan peningkatan pendapatan dan
kesadaran masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk organik, merupakan peluang dan tantangan
untuk pengembangannya. Pengelolaan hara yang baik dan ditambah dengan saprodi yang berkualitas
adalah pendukung dalam pengelolaan lahan pertanian organik agar dapat berproduksi dengan optimum
dan berkelanjutan. Pengawalan dan monitoring kualitas lahan pertanian organik harus dilakukan dengan
menggunakan teknologi yang telah tersedia, karena sumberdaya lahan adalah sumberdaya yang tidak
dapat diperbaharui.

DAFTAR PUSTAKA

Ariesusanty L, S Nuryati, R Wangsa. 2013. Statistik Pertanian Organik Indonesia 2012. Aliansi Organis Indonesia. ISBN
978-602-95923-4-4. 70 hlm.
Hartatik W, D Setyorini, LR Widowati, Sri Widati. 2005. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pengelolaan Hara
pada Budidaya Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hartatik W, D Setyorini, Sri Widati, J Purwani, A Miswan. 2006. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pengelolaan
Hara pada Budidaya Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengambangan
Pertanian.
Hartatik W, Edi Santosa, Sri Widati. 2009. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Pupuk Organik dan Organisme Tanah untuk
Meningkatkan Kualitas Tanah dan Efisiensi Pupuk dan produktivitas Tanaman Padi dan Sayuran >20% dalam
Sistem Pertanian Organik. Satker Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organic Agiculture World Wide Statistic and Future
Prospects. The World Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH.
Mitchell J, M Gaskel, R Smith, C Fauche, ST Koike. 2000. Soil management and soil quality for organic crop. Vegetable
Research and Information Center. Agriculture and Natural Resourches Publication 7248. The University of
California.
Moeskops B, D Buchan, Sukristiyonubowo, S De Neve, B De Gusseme, LR Widowati, D Setyorini, S Sleutel. 2012. Soil
quality indicatora for intensive vegetable production systems in Java, Indonesia. Ecologycal Indicator 18:218-226.
Peraturan Menteri Pertanian. 2013. Sistem Pertanian Organik. No. 64/Permentan/OT.140/5/2013. Kemeterian
Pertanian. 2013.
Setyorini D, W Hartatik, LR Widowati, Sri Widati. 2004. Laporan Akhir Dipa: Penelitian Teknologi Pertanian Organik di
Lahan Kering. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif.
Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Yufniati ZA, Idawanni, F Ferayanti. 2007. Teknologi pupuk organik pada budidaya kopi di Kabupaten Bener-Meriah.
http://nad.litbang.deptan.go.id/ind/files/kopi.pdf . (Penyuluh pada BPTP NAD).
Widowati LR, De Neve S, Sukristyonubowo, D Setyorini, Kasno A, Sipahutar IA, Sukristyohastomo D. 2011. Nitrogen
balances and nitrogen use efficiency of intensive vegetable rotations on Andisols in Central Java, Indonesia.
Nutrient Cycling in Agro-ecosystems, 91, 131-143.
Widowati LR, Sleutel S, D Setyorini, Sukristyonubowo, De Neve S. 2012. Nitrogen mineralization from amended and
unamended intensively managed tropical Andisols and Inceptisols. Soil Research 50: 136-144.

13
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Bogor, 18 19 Juni 2014

DISKUSI

Aris (PT. Agrinos Jakarta)


Saran: Jalan Pantura di Jawa tidak cocok untuk pengembangan pertanian organik terutama untuk padi, karena irigasi dan
drainasenya yang kurang bak. Hal ini karena perbedaan pH air dan pH tanah di daerah tersebut yang sangat
menyolok. Bagaimana cara untuk mengatasinya.

Jawab: Kondisi tanah di daerah Pantura memang buruk dan melewati ambang batas sehingga untuk mengatasinya perlu
adanya kerjasama beberapa institusi. Ada beberapa cara untuk mengatasi air irigasi yang kadar garamnya tinggi,
misal dengan dicampur air tawar, aplikasi varietas yang tahan dan toleran terhadap kadar garam tinggi dan
remediasi dengan bahan organik.

14

Anda mungkin juga menyukai