Anda di halaman 1dari 29

Presentasi Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 47 TAHUN DENGAN OD LASERASI KORNEA


DAN KATARAK TRAUMATIK

Oleh:

Johannes Ephan B G99152086


Raisa Cleizera R G99152085
Ivan Nuh Rasyad G99162
Taranida Hanifah G99162
Firdausul Marifah G99

Pembimbing :
dr.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

BAB I

1
PENDAHULUAN

Trauma okular merupakan salah satu penyebab utama gangguan


1
penglihatan yang dapat dicegah. Setiap hari sekitar 2.000 pekerja di Amerika
Serikat mengalami cedera mata terkait pekerjaannya dan sekitar sepertiganya
perlu penanganan di ruang gawat darurat. Trauma paling banyak disebabkan
benda kecil yang terbawa angin atau alat seperti debu, butiran logam dan butiran
semen. Benda lain seperti kawat atau paku dapat menembus bola mata dan
menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen.2 Trauma okular dapat
dibagi menjadi trauma tajam, trauma tumpul, trauma kimia, trauma fisik, trauma
termal, extra ocular foreign body (EOFB) dan intra ocular foreign body (IOFB).3
Tipe dan luasnya kerusakan akibat trauma pada mata sangat tergantung
dari mekanisme dan kuatnya trauma yang terjadi. Dampak trauma mata dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar akibat hilangnya penglihatan, hilangnya
waktu kerja, dan kerugian dalam hal besarnya biaya yang dikeluarkan.4,5
Penanganan dini trauma okular secara tepat dapat mencegah terjadinya kebutaan
maupun penurunan fungsi penglihatan. Penanganan trauma okular secara
komprehensif dalam waktu kurang dari 6 jam dapat menghasilkan hasil yang lebih
baik. Trauma okular secara mekanik (tajam atau tumpul) dapat menyebabkan
ruptur dan terjadi pada 32% cedera mata.6 Sebanyak 25% ruptur pada mata
menyebabkan terjadinya penurununan visus menjadi tidak ada persepsi cahaya
dan hanya 10% yang memiliki visus lebih dari 20/40, sedangkan 80% lainnya
dengan visus kurang dari 20/200.7,8 Sekitar 30% trauma dapat mengenai lensa dan
menyebabkan terjadinya subluksasi, dislokasi, disrupsi kapsul lensa, kelemahan
zonula dan pembentukan katarak Metode untuk mengevaluasi visus pada katarak
traumatik dan katarak senile sama. 9

2
BAB II
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS
Nama : Tn AS
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Wanasari, Sragen
Tgl pemeriksaan : 26 Mei 2017
No. RM : 0138xxxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama :
Mata kanan kabur setelah terkena paku
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dirujuk dari RS Mata, Surakarta ke IGD RSDM dengan
keluhan mata kanan terkena paku sejak 11 jam SMRS. Pasien
mengeluhkan pandangan mata kanan menjadi kabur seketika setelah
terkena paku dan hanya dapat melihat dari jarak 1 meter. Pasien merasa
pandangan mata kanannya seperti diselimuti kabut, melihat silau, dan
terasa nyeri. Mata kanan juga merah, bengkak, dan nyerocos. Pasien
telah diberi obat tetes cendo floxa namun saat ini keluhan belum
membaik.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : disangkal

3
2. Riwayat kencing manis : disangkal
3. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
4. Riwayat trauma mata : disangkal
5. Riwayat kacamata : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat kencing manis : disangkal
3. Riwayat keluhan serupa : disangkal
D. Kesimpulan Anamnesis

OD OS

III. Proses Trauma - P


Lokalisasi Kornea - E

Sebab Benda tajam - M


E
Perjalanan Akut -
R
Komplikasi Katarak traumatik -
I
KSAAN FISIK
A. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Vital Sign
TD : 140/80 mmHg RR : 20 x/menit
HR : 86 x/menit T : 36.5 0C

C. Pemeriksaan subyektif
OD OS

A. Visus Sentralis

1. Visus sentralis jauh 1/300 6/10

a. pinhole Tidak maju Maju

4
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan

B. Visus Perifer

1. Konfrontasi tes Baik Baik

2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata OD OS

a. tanda radang Ada Tidak ada

b. luka Ada Tidak ada

c. parut Tidak ada Tidak ada

d. kelainan warna Ada Tidak ada

e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada

2. Supercilia

a. warna Hitam Hitam

b. tumbuhnya Normal Normal

c. kulit Sawo matang Sawo matang

d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal

3. Pasangan bola mata dalam


orbita

a. heteroforia Tidak ada Tidak ada

b. strabismus Tidak ada Tidak ada

c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada

d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada

5
e. enophtalmus Ada Tidak ada

4. Ukuran bola mata

a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada

b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada

c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada

d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada

5. Gerakan bola mata

a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat

b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat

c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat

d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat

e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat

f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat

6. Kelopak mata

a. pasangannya

1.) edema Ada Tidak ada

2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada

3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada

4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada

b. gerakannya

1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal

2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal

c. rima

1.) lebar 10 mm 10 mm

2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada

3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada

6
d. kulit

1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada

2.) warna Sawo matang Sawo matang

3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada

4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada

e. tepi kelopak mata

1.) enteropion Tidak ada Tidak ada

2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada

3.) koloboma Tidak ada Tidak ada

4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal

7. sekitar glandula lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

8. Sekitar saccus lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

9. Tekanan intraocular

a. palpasi Kesan normal Kesan normal

b. tonometri schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10. Konjungtiva

a. konjungtiva palpebra superior

1.) edema Ada Tidak ada

2.) hiperemi Ada Tidak ada

3.) sekret Ada Tidak ada

4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

7
b. konjungtiva palpebra inferior

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemi Ada Tidak ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

c. konjungtiva fornix

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemi Ada Tidak ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) benjolan Tidak ada Tidak ada

d. konjungtiva bulbi

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Ada Tidak ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.)injeksi konjungtiva Ada Tidak ada

5.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada

e. caruncula dan plika

semilunaris

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada

3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

11. Sclera

a. warna Kemerahan Putih

b. tanda radang Ada Tidak ada

c. penonjolan Tidak ada Tidak ada

12. Kornea

8
a. ukuran 11 mm 11 mm

b. limbus Kemerahan Jernih

c. permukaan Tidak rata Rata, mengkilap

d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

e. keratoskop ( placido ) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

f. fluorecsin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada

13. Kamera okuli anterior

a. kejernihan Kurang jernih Jernih

b. kedalaman Dangkal Dalam

14. Iris

a. warna Cokelat Cokelat

b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan

c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak

d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak

15. Pupil

a. ukuran 3 mm 3 mm

b. bentuk Bulat Bulat

c. letak Sentral Sentral

d. reaksi cahaya langsung Positif Positif

e. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

16. Lensa

a. ada/tidak Ada Ada

b. kejernihan Keruh Jernih

c. letak Sentral Sentral

e. shadow test -

9
17. Corpus vitreum

a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


b. Reflek fundus
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS

A. Visus sentralis jauh 1/300 6/10

B. Visus perifer

Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal

D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal

E. Pasangan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal


dalam orbita
F. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

G. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

H. Kelopak mata Enoftalmus Dalam batas normal

I. Sekitar saccus Dalam batas normal Dalam batas normal


lakrimalis
J. Sekitar glandula Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
K. Tekanan Dalam batas normal Dalam batas normal
intarokular
L. Konjungtiva Tampak hiperemis Dalam batas normal
palpebra
M. Konjungtiva bulbi Tampak hiperemis Dalam batas normal

N. Konjungtiva fornix Tampak hiperemis Dalam batas normal

10
O. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal

P. Kornea Laserasi Dalam batas normal

Q. Camera okuli Dangkal Dalam batas normal


anterior
R. Iris Kripte (+), warna coklat Bulat, warna coklat

S. Pupil Diameter 3 mm, bulat, Diameter 3 mm, bulat,


sentral sentral

T. Lensa Keruh Kesan normal

U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan

OD OS

V. DIAGNOSIS BANDING
1. OD laserasi kornea
2. OD ruptur kornea
3. OD katarak traumatik

VI. DIAGNOSIS
1. OD laserasi kornea dan katarak traumatik

11
VII. TERAPI
1. LFX ED 1 tetes/ 3 jam (OD)
2. Ciproflocacin tab 2 x 500 mg po
3. Na Diclofenac tab 2 x 50 mg po
VIII. PLANNING
1. (OD) jahit kornea dan ekstraksi katarak
2. Pemeriksaan Lab

IX. PROGNOSIS
OD OS

1. Ad vitam Bonam Bonam

2. Ad fungsionam Dubia Bonam

3. Ad sanam Dubia ad malam Bonam

4. Ad kosmetikum Bonam Bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Trauma Mata
Trauma dapat mengakibatkan spektrum yang luas dari jaringan lesi saraf,
dunia optik, dan adneksa, mulai dari yang relatif dangkal dengan visi mengancam.
Pemahaman tentang patofisiologi dan manajemen dari gangguan ini telah maju
pesat selama 30 tahun terakhir, dan itu sangat penting bahwa standarisasi sistem
klasifikasi terminologi dan penilaian akan digunakan oleh kedua dokter mata dan
nonophthalmologists ketika menggambarkan dan memberitahukan temuan klinis.
Sebuah sistem klasifikasi yang seragam memungkinkan dan memfasilitasi
pemberian perawatan pasien yang optimal serta lanjut analisis kemanjuran medis
dan bedah intervensi. Berdasarkan klasifikasi aspek klinis dari Brimingham Eye
Trauma Therminology (BETT), maka trauma pada mata dibedakan atas :

1. Trauma penetrasi sampai ke kornea ( partial thickness cornea wound ; a


closed globe injury)
2. Trauma penetrasi sampai ke bola mata (globe) ( full thickness corneal
wound ;an open globe injury)

Tabel. 1. Terminologi dan defenisi in BETT

Skema 1. klasifikasi trauma

13
Trauma open globe trauma closed globe

Zona open globe injury zona closed globe injury

Pada open globe injury, zona terbagi menjadi 3 , dimana zona I luka hanya
mengenai kornea. Zona I ini terjadi pada daerah kornea dan limbus. zona II , luka

14
meluas sampai ke 5mm anterior dari sclera. Zona III luka mencakup lebih dari 5
mm dari limbus. Pada kasus yang mencakup trauma perforasi,defek posterior
sering terjadi, biasanya tempat keluar digunakan untuk menentukan zona yang
terlibat.

Sedangkan pada closed globe injury , zona I , trauma hanya pada


konjungtiva bulbi, sclera, atau kornea. Zona II, trauma mencakup ke COA
(chamber anterior) termasuk lensa dan zonula. Zone III, trauma mencakup
struktur posterior termasuk vitreus, retina, nervus optikus, koroid, dan korpus
siliar. Ketika optalmologis ingin menilai zona dari strukur posterior, maka
digunakan standaralized B-scan ultrasonography untuk menggambarkan bagian
mana yang rusak. 10

B. Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea merupakan jaringan transparan dan avascular yang berukuran 11-
12 mm pada bidang horizontal dan 10-11 mm secara vertikal. Indeks bias kornea
adalah 1,376, meskipun, dalam kalibrasi keratometer, sebuah indeks bias 1,3375
digunakan untuk menjelaskan daya optik gabungan dari anterior dan lekukan
posterior kornea. Jari-jari rata-rata kelengkungan kornea sentral adalah 7.8 mm.
Kornea sehingga memberikan kontribusi 74%, atau 43,25 dioptri (D), dari
kekuatan 58.60 total dioptri pada orang normal. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi. Untuk nutrisi,
kornea bergantung kepada glukosa yang berdifusi melalui akuos humor dan
oksigen yang berdifusi dari tear film, namun pada kornea perifer, oksigen disuplai
dari sirkulasi limbus.
Kornea memiliki salah satu dari ujung saraf bebas yang paling peka dalam
tubuh. Dengan kesensitifan 100 kali dari kongjungtiva. Serabut saraf sensoris
memanjang dari nervus siliaris longus dari suatu pleksus subepitelial.
Neurotransmitter di kornea mencakup asetilkolin, katekolamin, substansi P,
calcitonin gene-related peptide, neuropeptida Y, peptide intestinal, galanin dan
metionin-enkefalin.

15
Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-
beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva
bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.1
a. Epitel Kornea
Epitel kornea trediri dari sel epitel skuamosa bertingkat dan
berkontribusi terhadap ketebalan kornea sekitar 5% (0,05mm). Lapisan
tear film dan epitel membuat permukaan kornea licin. Tight junction antara
sel epitel superficial mencegah penetrasi dari cairan air mata kedalam
stroma. Proliferasi yang berkelanjutan dari sel epitel basal perilimbus
(stem sel limbus) memberikan pertumbuhan untuk lapisan lainnya yang
akan berdiferensiasi menjadi lapisan superficial. Karena proses maturasi,
sel ini dibungkus oleh mikrovili pada permukaan yang paling jauh (yang
menyebabkan mereka terlihat gelap pada skening mikroskop electron dan
lebih terang pada mikrosop spekular) dan kemudian mengalami
deskuamasi kedalam air mata. Proses diferensiasi ini berlangsung sekitar
7-14 hari, sel epitel basal mensekresikan membrane basalis dengan
ketebalan 50nm yang terdiri dari kolagen tipe IV, laminin dan protein lain.

b. Stroma
Kondisi kornea yang optimal membutuhkan suatu permukaan yang
licin dengan taer film dan epitel yang sehat. Kejernihan kornea bergantung

16
kepada sel epitel yang kuat untuk menghasilkan suatu lapisan dengan
indeks bias yang seragam dan penyebaran cahaya yang minimal. Susunan
regular dari sel stroma dan makromolekul lainnya juga penting untuk
kejernihan kornea. Keratosit bervariasi dalam densitas dan ukuran
disepanjang stroma dan membentuk jaringan spiral 3 dimensi pada kornea.
Hal ini ditemukan sebagai fibroblast yang tipis antara lamella kolagen.
Fibroblast kornea ini secara kontinu mencerna dan menghasilkan molekul
stroma. Di bagian bawah lapisan aselular bowman, stroma kornea disusun
oleh matriks ekstrasel yang terbentuk dari kolagen dan proteoglikan.
Kolagen fibrillar tipe I dan V berhubungan dengan kolagen tipe IV.
Proteoglikan utama pada cornea adalah decorin (berhubungan dengan
dermatan sulfat) dan lumican (berhubungan dengan keratan sulfat).
Konsentrasi dan ratio dari proteoglikan bevariasi dari anterior sampai
posterior. Pada stroma bagian posterior lebih basah dibandingkan
dengan anterior (3,85 mgH2O/mg berat kering vs 3.04). protein larut air
lainnya yang berhubungan dengan lensa kristalin bisa dihasilkan oleh
keratosit atau terkandung dalam sel epitel untuk mengontrol komposisi
optic kornea. Kornea manusia memiliki elastisitas dan regangan yang kecil
yaitu 0,25% pada tekanan intra ocular yang normal.
Pola susunan fibril kolagen yang menempel pada matriks
ekstraselular berpengaruh terhadap kejernihan kornea. Pola ini berperan
dalam penguraian cahaya (difraksi) untuk mengurangi sebaran cahaya
pada gangguan destruktif. Scattering lebih besar pada bagian anterior yang
menghasilkan indeks bias yang lebih besar yang menurun dari 1,401 di
epitel menjadi 1,380 di stroma dan dibagian posterior 1,373. Kornea yang
transparan terjadi karena ukuran komponen kornea yang lebih kecil dari
panjang gelombang cahaya yang terlihat.
Tranparansi kornea juga bergantung pada komponen air dari stroma
kornea yang tetap sekitar 78%. Kondisi hidrasi kornea ini dikontrol oleh
epitel yang utuh, barrier endothel dan fungsi pompa endotel, yang
dihubungkan dengan suatu proses transport ion yang diatur oleh
temperature dependent enzyme seperti Na+, K+, ATP ase.

17
c. Membran Descemet
Membrane descemet merupakan struktur homogen dengan ketebalan
yang meningkat dari 3m saat lahir menjadi 10-12m saat dewasa. Terdiri
atas susunan filament kolagen halus yang membentuk jalinan 3 dimensi
d. Endotel
Endotel kornea merupakan epitel selapis gepeng. Sel-sel ini memiliki
organel untuk sekresi yang khas untuk sel yang terlibat dalam transport
aktif dan sintesis protein, dan memiliki organel yang mungkin
berhubungan dengan sintesis dan ketahanan membrane descemet. Endotel
dan epitel kornea bertanggung jawab mempertahankan kejernihan kornea.
Kedua lapisan tersebut sanggup mentranspor ion Natrium ke permukaan
apikalnya. Ion klorida dan air ikut secara pasif, dan mempertahankan
stroma kornea pada keadaan yang relative terhidrasi. Keadaan ini bersama
susunan serabut kolagen yang teratur dan sangat halus di stroma,
menyebabkan kornea menjadi transparan.
e. Biomekanik kornea
Kornea merupakan materi gabungan yang terdiri dari fibril-fibril
kolagen yang teregang dari limbus ke limbus di lamella yang tersusun
secara parallel dan menempel pada suatu matriks ekstraselular
glycosaminoglycan. Ketika kornea berada dalam kondisi dehidrasi,
ketegangan didistribusikan terutama ke lapisan posterior secara merata
melewati keseluruhan struktur. Ketika kornea sehat atau edema, lamella
anterior akan meregang. 10

C. Trauma pada kornea


Trauma kornea adalah segala bentuk perlukaan yang mengenai kornea,
yang menyebabkan kerusakan baik sebagian maupun keseluruhan lapisan kornea.
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan
kebutaan bahkan kehilangan mata, mulai dari erosi kornea, laserasi sampai
perforasi kornea. 11
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terlepasnya epitel kornea yang disebabkan
trauma tumpul ataupun tajam pada kornea. Defek pada epitel kornea memudahkan

18
kuman menyerang kornea sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder.
Erosi kornea sering kali diawali dengan trauma pada mata. Segera sesudah trauma
atau masuknya benda asing, penderita akan merasa sakit sekali, akibat erosi
merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata menjadi
berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh. Dapat
pula disertai dengan blefarospasme, yaitu kelopak mata menjadi kaku dan sulit
dibuka.
Kornea memiliki sifat penyembuhan yang luar biasa. Epitel yang berdekatan
dapat mengembang untuk mengisi daerah yang luka, biasanya dalam waktu 24-48
jam. Lesi yang murni pada epitel sering sembuh dengan cepat dan tanpa jaringan
parut, sementara lesi yang menembus hingga lapisan Bowman lebih cenderung
meninggalkan bekas luka permanen.
Penegakkan diagnosis pada kasus erosi kornea dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik terutama pada mata, serta pemeriksaan tambahan
seperti tes fluoresein. Kertas tes fluoresein dapat digunakan untuk mengetahui
adanya kerusakan pada kornea.
Laserasi kornea
Laserasi kornea adalah luka pada keseluruhan tebal dinding konea yang
disebabkan oleh benda tajam. Bila sampai terjadi robekan kornea, akan terjadi
pengeluaran isi bola mata dimulai dari lapisan yang paling depan. Keluarnya
bagian bola mata di sebut dengan prolaps. Bila yang keluar iris maka disebut
prolaps iris. Robekan kornea bila sembuh akan menimbulkan sikatrik yang
disebut Lekoma cornea, apabila iris ikut melekat kea rah cornea karena proses
penyembuhan disebut lekoma adheren. Synechia anterior yang terjadi dapat
menyebabkan aliran aquos terganggu, menyebabkan glaucoma sekunder.
Kenaikan TIO yang terjadi selama proses penyembuhan akan di teruskan ke
seluruh penjuru, karena bagian lekoma paling lemah, maka peningkatan TIO
menimbulkan penonjolan disebut stapyloma cornea. 11

D. Manifestasi Klinis
Trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola
mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan

19
yang menurun, laserasi kornea, tekanan bola mata rendah, bilik mata dangkal,
bentuk dan letak pupil yang berubah, terlihat ruptur pada kornea atau sklera,
terdapat jaringan yang prolaps seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca, atau
retina, katarak traumatik, dan konjungtiva kemosis.6
Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna kebiru-
biruan, karena jaringan ikat palpebra halus. Ekimosis yang tampak setelah trauma
menunjukkan bahwa traumanya kuat, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dari
bagian-bagian yang lebih dalam dari mata, juga perlu dibuat foto rontgen kepala.
Perdarahan yang timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktur dari
dasar tengkorak. Sebagian besar cedera tembus menyebabkan penurunan
penglihatan yang mencolok, tetapi cedera akibat partikel kecil berkecepatan tinggi
yang dihasilkan oleh tindakan menggerinda atau memalu mungkin hanya
menimbulkan nyeri ringan dan kekaburan penglihatan. Tanda-tanda lainnya
adalah kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva, kamera anterior yang dangkal
dengan atau tanpa dilatasi pupil yang eksentrik, hifema, atau perdarahan korpus
vitreus. Tekanan intraokuler mungkin rendah, normal, atau yang jarang sedikit
meninggi. 3,6

E. Penyembuhan Luka Kornea


Abrasi kornea merupakan suatu defek yang terasa nyeri tetapi
penyembuhannya cepat, terbatas pada epitel permukaan kornea, meskipun lapisan
Bowman dan stroma superfisial bisa terkena. Dalam waktu satu jam setelah
trauma, sel epitel parabasilar muai membelah dan bermigrasi ke seluruh
denudation area hingga mencapai sel yang bermigrasi lainnya, kemudian contact
inhibiton menghentikan migrasi lebih jauh. Secara terus menerus, sel basal di
sekitar bermitosis untuk menutup defek. Meskipun abrasi kornea yang luas
biasanya ditutup oleh sel epitel yang bermigrasi dalam waktu 24-48 jam,
penyembuhan yang lengkap, termasuk restorasi ketebalan epitel (4-6 lapis) dan
reformasi fibril, membutuhkan waktu 4-6 minggu. Sel epitel tidak stabil, karena
itu, beberapanya bermitosis aktif terus-menerus sehingga mampu untuk
menggantikan sel yang hilang. Jika lapisan tipis pada anterior kornea hilang
karena abrasi, bagian tersebut diisi oleh epitel, membentuk facet.

20
Penyembuhan stroma kornea avascular. Tidak sepeti jaringan lainnya,
penyembuhan pada stroma kornea terjadi karena fibrosis daripada proliferasi
fibrovaskular. Aspek avaskular kornea ini penting untuk keberhasilan keratoplasti
penetrasi seperti photorefractive keratectomy (PRK), laser in situ keratomileusis
(LASIK), laser epithelial keratomileusis (LASEK), dan prosedur operatif refratif
kornea lainnya.
Adanya luka kornea sentral, mengakibatkan neutrophil dibawa oleh air
mata ke bagian tersebut dan ke pinggir pembengkakan luka. tidak ada Factor
penyembuhan yang berasal dari pembuluh darah. Glikosaminoglikan, yang ada
didalam kornea merupakan sulfate keratin dan sulfat kondroitin, hancur di pinggir
luka. Fibroblast kornea teraktivasi, bahkan bermigrasi ke seluruh luka, di bawah
kolagen dan fibronektin. Arah fibroblast dan kolagen tidak sejajar dengan lamella
stroma. Sel-sel tersebut menuju anterior dan posterior luka yang selalu terlihat
mikroskopis sebagai bentuk irregular di stroma dan klinisnya opak. Jika pinggir
luka terpisah, gap tidak diisi lengkap oleh fibroblast yang berproliferasi, sehingga
menghasilkan suatu kawah yang terisi sebagian,

Epitelium dan endothelium merupakan bagian yang penting untuk


penyembuhan luka sentral. Jika epitelium tidak menutupi luka dalam waktu
beberapa hari, penyembuhan stroma di bawahnya akan terbatas dan luka akan

21
rapuh. Factor pertumbuhan dari epitelium merangsang dan meneruskan
penyembuhan. Sel endotel di atas luka menyebrang ke posterior kornea, beberapa
sel diganti melalui aktivitas mitosis. Endothelium membentang di bawah lapisan
tipis yang baru dari membrane Descemet. Jika batas interna luka tidak ditutupi
oleh membrane Descemet, fibroblast stroma berproliferasi terus-menerus ke ruang
anterior sebagai fibrous ingrowth, atau posterior luka mungkin terbuka permanen.
Kolagen fibrillar pertama diganti oleh kolagen yang lebih kuat pada pada akhir
bulan-bulan penyembuhan. Lapisan Bowman tidak berdegenerasi ketika luka
ataupun hancur. Pada ulkus, permukaan ditutupi oleh epitelium, tetapi sedikitnya
dari stroma yang hilang diganti dengan jaringan fibrosa. Modisikasi proses
penyembuhan ini karena penggunaan antimetabolite topical, seperti 5-fluorouracil
dan mitomycin C, meungkin dibutuhkan dalam situasi klinis tertentu. 10

F. Diagnosis
Diagnosis trauma tajam okuli dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, informasi yang
diperoleh dapat berupa mekanisme dan onset terjadinya trauma, bahan/benda
penyebab trauma dan pekerjaan untuk mengetahui penyebabnya. Anamnesis harus
mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera.
Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau
berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokuler apabila
terdapat kegiatan memahat, mengasah atau adanya ledakan. Cedera pada anak
dengan riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang di derita, harus dicurigai
adanya penganiayaan pada anak. Riwayat kejadian harus diarah secara khusus
pada detail terjadinya trauma, riwayat pembedahan okuler sebelumnya, riwayat
penyakit sebelumnya dan energi.12
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman
penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi
cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferan. Periksa motilitas
mata dan sensasi kulit periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek ada
bagian tepi tulang orbita.12,13 Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk
melihat kedalam cedera di segmen anterior bola mata. Tes fluoresein dapat

22
digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan dengan jelas.
Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mnegetahui tekanan bola mata.
Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop indirek penting
untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing intraokuler. Bila benda
asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan tes seidel untuk mengetahui
adanya cairan yang keluar dari mata. Tes ini dilakukan dengan cara memberi
anestesi pada mata yang akan di periksa, kemudian diuji pada strip fluorescein
steril. Penguji menggunakan slit lamp dengan filter kobalt biru, sehingga akan
terlihat perubahan warna strip akibat perubahan pH bila ada pengeluaran cairan
mata.
Pemeriksaan ct-scan dan USG B-scan digunakan untuk mengetahui posisi
benda asing. MRI kontraindikasi untuk kecurigaan trauma akibat benda logam.
Electroretinography (ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenarasi
pada retina dan sering digunakan pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan
pemeriksa. Bila dalam inspeksi terlihat ruptur bola mata, atau adanya
kecenderungan ruptur bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata
dilindungi dengan pelindung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke spesialis mata. 12
G. Tatalaksana
Penatalaksanaan laserasi berdasarkan beratnya laserasi dan komplikasi:

1. Laserasi kornea kecil


Tidak membutuhkan penjahitan karena bisa menyembuh sempurna atau
dengan bantuan lensa kontak yang seperti perban lembut.
2. Laserasi kornea ukuran medium
Biasanya membutuhkan jahitan terutama jika COA datar. COA yang datar
dapat kembali berubah semula secara spontan jika kornea telah dijahit, jika
tidak, harus dikembalikan dengan solusio garam seimbang. Bandage contanct
lens post operatif juga berguna selama beberapa hari untuk meyakinkan
bahwa COA tetap dalam.
3. Laserasi kornea dengan inkarserasi iris
Manajemen tergantung dari durasi dan luasnya inkarserasi. Kebocoran kecil
dari inkarserasi yang baru terjadi dapat digantikan oleh konstriksi pupil
dengan intrakamera Miochol. Inkarserasi iris yang besar harus di absisi
terutama jika iris terlihat non-viabel.

23
4. Laserasi tanpa prolaps jaringan
Jika bola mata ditembus dari depan tanpa adanyabukti prolaps intraocular dan
jika lukanya bersih dan kelihatan bebas dari kontaminasi,biasanya dapat
diperbaiki dengan jahitan interrupted menggunakan benang silk ataucatgut.
Bekuan darah dapat dibersihkan dengan mudah dari bilik depan dengan
irigasikemudian bilik di bentuk kembali setelah kornea diperbaiki dengan
injeksi dari larutansalin atau air. Midriatik sebaiknya diberikan dan larutan
antibiotic harus dimasukkan kedalam kantung konjungtiva lalu pinggir mata
diplester. Pasien harus tirah baring untuk beberapa hari dan antibiotik
sistemik diberikan untuk mengurangi infeksi intraocular.
5. Laserasi dengan prolaps
Jika sebagian kecil dari iris prolaps melalui luka, maka harusdipegang
dengan forsep dan dipotong tepat pada batas luka. Jaringan uvea dalam
jumlahyang sedikit juga dapat dibuang dengan cara yang sama.Luka harus
ditutup dengan carayang sama seperti menutup luka pada laserasi tanpa
prolaps. Jika jaringan uveamengalami cedera, maka ophtalmia simpatetik
kemungkinan akan muncul.Jika lukanya luas dan kehilangan isi intraocular
berat sehingga prognosis fungsi mataburuk, maka eviserasi dan enukleasi
diindikasikan sebagai prosedur pembedahan utama.
6. Laserasi kornea dengan kerusakan lensa
Diterapi dengan menjahit laserasi dan memindahkan lensa dengan
phacoemulsification atau dengan vitreus cutter jika vitreus terlibat. Laserasi
sklera anterior yang tidak melewati bagian posterior terhadap insersi otot
ekstraokular mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada lesi yang lebih
posterior dan melibatkan retina. Luka pada sklera anterior dapat berhubungan
dengan komplikasi serius seperti prolaps uvea dan inkarserasi vitreus.
Inkarserasi vitreus meskipun dengan manajemen yang tepat, dapat
menimbulkan traksi vitreoretina dan ablasio retina. Setiap usaha harus
dikerjakan untuk reposit jaringan uvea viabel yang terekspos dan memotong
vitreus yang prolaps. 11

24
H. Prognosis
Prognosis berhubungan dengan sejumlah faktor seperti visus awal, tipe
dan luasnya luka, adanya atau tidak adanya ablasio retina, atau benda
asing. Secara umum, semakin posterior penetrasi dan semakin besar laserasi atau
ruptur, prognosis semakin buruk. Trauma yang disebabkan oleh objek besar yang
menyebabkan laserasi kornea tapi menyisakan badan vitreus, sklera dan retina
yang tidak luka mempunyai prognosis penglihatan yang baik dibandingkan
laserasi kecil yang melibatkan bagian posteror. Trauma tembus akibat benda asing
yg bersifat inert pun mempunyai prognosis yang baik. Trauma tembus akibat
benda asing yang sifatnya reaktif magnetik lebih mudah dikeluarkan dan
prognosisnya lebih baik. Pada luka penetrasi, 50-75% mata akan mencapai visus
akhir 5/200 atau lebih baik. 11

25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma okular merupakan salah satu penyebab utama gangguan
penglihatan. Pada kasus ini trauma menyebabkan ruptur kornea dan katarak
traumatik. Tindakan yang segera dibutuhkan pada kasus untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut. Prognosis tergantung pada beberapa faktor seperti
mekanisme cedera, visus preoperatif, waktu antara cedera dan operasi, relative
afferent pupillary defect (RAPD), ukuran dan lokasi luka.

B. Saran
Menghindari memegang mata yang sakit dengan tangan atau bahan yang
tidak bersih.
Pasien disarankan untuk banyak beristirahat untuk memulihkan daya tahan
tubuh sampai kondisi mata kembali normal.
Pencegahan pada trauma mata dilakukan dengan menggunakan alat
perlindungan diri (APD) mata. Untuk di tempat yang banyak benda

26
berterbangan (misal, debu, serpihan besi, gandum), perlu menggunakan
kacamata pelindung

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Djelantik AAAS, Andayani A, Widiana IGR. The Relation of Onset of


Trauma and Visual Acuity on Traumatic Patient. JOI. 2010; 7(3):85-90.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Workplace Safety and Health
Topics: Eye Safety [internet]. USA: CDC; 2015. [diakses pada 12 Mei
2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/niosh /topics/eye/
3. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Prosedur standar diagnostik dan pengobatan/ tindakan di bagian I.P. Mata
FKUI/RSCM. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000.
4. Prather TG. Eye safety on the farm [internet]. Tennessee: The University
of Tinnessee; 2015. [diakses pada 12 Mei 2015]. Tersedia dari:
http://bioengr.ag.utk.edu/extension/extpr og/safety/PPE/eyesafety.pdf
5. Tana L. Hubungan Antara Faktor Trauma Tumpul Pada Mata Dengan
Katarak Pada Petani Di Empat Desa Kecamatan Teluk Jambe Barat
Kabupaten Karawang. Media Litbang Kesehatan. 2010; 20(3):124-130.
6. Kuhn F, Maisiak R, Mann L, et al. The Ocular Trauma Score
(OTS): Prognosticating the final vision of the seriously injured eye. In:
Kuhn F, Pieramici D (eds), Ocular Trauma: Principles and Practice. New
York: Thieme; 2002. hlm. 1422.
7. Kuhn F. Ocular traumatology. Berlin: Springer; 2008. hlm. 15184.
8. Pelayes DE, Kuhn F. Management of the Ruptured Eye. European
Ophthalmic Review. 2009; 3(1):48-50.
9. Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD, et al. Epidemiology of blinding
trauma in the United States eye injury registry. Ophthalmic Epidemiol.
2006; 13(1):209216.
10. American Academy of Ophtalmology, section 8 External Disease and
Cornea, 2011-2012
11.Lindsey JL, Hamill MB. Scleral and Corneoscleral Injuries. In : Kuhn
F,Pieramici DJ (eds). Ocular Trauma. New York: Thieme Medical
Publisher,Inc;2002
12. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. FK-UI, Jakarta: 2004;
192-8.

28
13. Chew, Chris. Trauma. Dalam : James. Lecture Notes : Oftalmologi.
Jakarta: Erlangga. 2006; 176 85.

29

Anda mungkin juga menyukai