ILUSTRASI KASUS
1.7 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
2
iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika tidak bekerja
otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju
esofagus disebabkan esofageal sfingter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa
tersebut didasarkan pada gejala-gejala.
Esofagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan enzim
yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esofagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala
dan pada beberapa kasus esofagus mengalami kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan
enzim mengalir kembali ketika esofageal sfingter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut
mengalir kembali menuju esofagus, hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika
seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah dan
keasaman isi di dalam lambung lebih tinggi dan otot sfingter tidak mungkin untuk bekerja
sebagaimana mestinya.
B. Etiologi
3
sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esofagus dan lambung. Selain itu
juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esofagus bagian bawah yang inkompeten,
relaksasi dari sfingter esofagus bagian bawah yang bersifat sementara, terrganggunya
ekspulsi dari refluks lambung dari esofagus, ataupun hernia hiatus.
C. Patogenesis
1. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
4
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada
kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses
refluks ini adalah trancient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada
hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan
dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya
sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan
tonus LES.
2. Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan
kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus), makin besar kemungkinan terjadinya
esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang
normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.
5
- Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
- Sel-sel esofagus memiliki kemampuan untuk mentranspor ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat
transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan aspirin
meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim
pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori
dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barretts esofagus dan
adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis.
Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan
predominan antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala
GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.
pylori dengan korpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan
sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala
GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada
pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant
gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi
asam lambung.
6
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat
mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori
dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux
turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid
reflux adalah bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini,
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
D. Anamnesis
Gejala klinis yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat ringannya
keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris.
Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barretts esofagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan
makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan
sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara
7
serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesofageal high
pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya
teofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
Pada pasien GERD pemeriksaan fisik tidak banyak membantu.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
kerusakan
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD,
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu
pada stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, dan
pada hiatus hernia.
c. Pemantauan pH 24 jam
d. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam.
Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala
yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
9
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif.
Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.
F. Diagnosis Kerja
Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa penuh,
dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Batuk dan sesak serta mempunyai riwayat
astma. Pada penderita asma sekitar 40-70% mengalami gastroesofageal refluks. Maka
diagnosis kerjanya adalah GERD.
G. Diagnosis Banding
1. Akalasia
Akalasia (Kardiospasme, Esofageal aperistaltis, Megaesofagus) adalah suatu kelainan
yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Gastritis (radang lapisan lambung)
Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung.
3. Kanker esofagus
Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel karsinoma dan adenokarsinoma,
yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi
dimana saja di dalam kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada
kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plak),
atau jaringan yang tidak normal (fistula).
4. Ulkus Peptikum
Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan
lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam lambung dan getah
10
pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.
5. Esofagitis
Esofagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula disebabkan oleh
infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan trauma.
H. Pengobatan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target
penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala/keluhan,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi
frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam
modifikasi gaya hidup, yaitu :
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta
Medikamentosa
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal
diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah
rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya
sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
12
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih
condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui
sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih
jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun
efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala
serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
13
(sitoproteksi).
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H,
K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
I. Pencegahan
J. Prognosis
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya
respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis
bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
14
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara: Fakultas
Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta:
FKUI.
15
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta: FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis.
PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November
2009.
16