OLEH :
Fuji Febrianti ( C 111 12 034)
PEMBIMBING:
dr. Murdani
KONSULEN:
dr. Abdul Wahab, Sp.An
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik di Departemen Ilmu Anestesi, Perawatan
Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Konsulen Pembimbing
Henti jantung tiba-tiba masih menjadi penyebab utama kematian di dalam dan di luar
rumah sakit. Upaya untuk melakukan resusitasi pada pasien yang telah mengalami henti
jantung telah menarik perhatian para ilmuwan dan klinisi dalam beberapa dekade terakhir.
Namun, kebanyakan pasien tidak berhasil saat dilakukan resusitasi. Berdasarkan laporan yang
telah dipublikasikan, tingkat kelangsungan hidup setelah dilakukan resusitasi kardiopulmonal
cukup tidak memuaskan, berkisar antara 1% sampai <20% pada henti jantung non trauma di
luar rumah sakit dan <40% pada pasien henti jantung di rumah sakit. Dari jumlah tersebut,
10% sampai 50% memiliki fungsi neurologis yang buruk. Anehnya, prinsip fisiologis yang
mendasari proses resusitasi kardiopulmonal (CPR) masih belum dimengerti sepenuhnya dan
sering menimbulkan kontroversi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pendekatan henti
jantung saat ini memiliki kecacatan, sehingga tingkat keberlangsungan hidup berkurang
sekitar 7% pada henti jantung di luar rumah sakit dan <30% pada pasien henti jantung di
rumah sakit selam sekitar setengah abad ini.
Review artikel ini fokus pada kemajuan terbaru dalam CPR yang lebih ditekankan
pada cara terbaru untuk mendapatkan perfusi yang lebih baik ke organ jantung dan otak. Ada
beberapa kemajuan signifikan dalam pemahaman kita mengenai fisiologi resusitasi dalam
kurun 2 dekade belakangan ini, dengan pandangan terbaru terhadap mekanisme yang
mengatur aliran darah ke organ vital, kesalahan umum dalam melakukan CPR yang sering
menurunkan efektivitas, cara meningkatkan sirkulasi selama proses CPR, dan pendekatan
terbaru untuk menurunkan kerusakan yang berkaitan dengan reperfusi. Adanya perdebatan
mengenai apa yang telah diketahui dan belum diketahui mengenai teori resusitasi, membuat
ini memberikan beberapa sudut pandang berbeda.
Jika penyebab henti jantung bersifat reversible, tujuan utama penanganan henti
jantung mendadak adalah mengembalikan penuh fungsi jantung dan otak. Penyebab tersering
henti jantung, seperti aritmia primer atau ischemia-induced arrhytmia, emboli paru,
perdarahan, trauma, overdosis obat-obatan, semua membutuhkan penanganan darurat untuk
meningkatkan sirkulasi kardioserebral. Tahap pertama yang penting dalam keberhasilan
resusitasi adalah mengembalikan aliran darah dengan tekanan aorta yang cukup. Memahami
fisiologi yang kompleks mengenai perfusi kardioserebral selama CPR sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas setelah henti jantung. Peningkatan aliran ke organ
vital sangat penting, namun karena kerusakan yang telah terjadi sehingga sulit untuk kembali
secara optimal setelah terjadi henti jantung.
Ada beberapa aspek dalam ilmu resusitasi dimana terdapat kesenjangan pengetahuan
dan tidak terpenuhinya alat yang membatasi kemampuan kita untuk secara konsisten
mengembalikan kehidupan setelah terjadinya henti jantung. Pertama, kita membutuhkan
aliran darah yang lebih besar dibandingkan jumlah minimal yang dihasilkan saat pijatan
jantung secara konvensional, suatu metode yang sering digunakan dan belum tergantikan
selama hampir setengah abad. Kedua, kita membutuhkan suatu alat yang dapat meningkatkan
kualitas CPR. Ketiga, kita butuh untuk menurunkan potensi terjadinya kerusakan otak yang
berkaitan dengan tekanan arteri dan vena yang simultan ke otak setiap kali di lakukan
kompresi dada. Keempat, untuk mencegah kerusakan reperfusi dalam beberapa detik hingga
menit pertama, terutama yang tidak mendapatkan aliran dalam jangka waktu yg lama.
Kelima, adanya kebutuhan mengenai perawatan post resusitasi dimana tidak begitu banyak
dibahas dalam artikel ini.
Dari beberapa hal tersebut, kami mencoba untuk menampilkan beberapa kemajuan
terkini dalam ilmu resusitasi yang mengarahkan ke hal yang kita butuhkan dan
mendiskusikan mengapa beberapa orang yang ragu percaya bahwa progresitas hingga saat ini
sangatlah kurang. Kami menyerahkan ke pembaca untuk memutuskan apakah telah ada
kemajuan, tak ada kemajuan, atau justru mengalamai kemunduran.
Figure 1. Gambaran kurva tekanan selama 0 supine cardiopulmonary resuscitation (CPR),
30 head-up CPR, dan 30 head-down CPR menunjukkan tekanan aorta (Ao), tekanan atrium kanan
(RA), tekanan intrakranial (ICP), dan tekanan perfusi cerebral (CerPP). Kurva tekanan dari studi pada
hewan yang dilakukan oleh Debaty et al
Fase Kompresi
Studi pre klinik dan klinik mendukung rekomendasi American Heart Association
(AHA) yang menyarankan kompresi dada dilakukan dengan kedalaman 5 cm. Ketika dada
dikompresi terlalu lambat, terlalu cepat, terlalu banyak, atau terlalu sedikit, akan berdampak
pada hasil klinis dari pasien. Biasanya, kompresi dada yang terputus-putus menimbulkan efek
yang berbahaya. Semestinya, tanpa kompresi dada tidak akan ada aliran darah yang berjalan.
Seringkali petugas gawat darurat berhenti melakukan kompresi dada selama lebih 1 menit
untuk intubasi, meraba nadi, auskultasi dada, atau mengecek ritme dasar. Dalam hal ini,
petugas gawat darurat sering lupa untuk melakukan CPR yang berkualitas. Kesalahan dasar
tersebut secara signifikan memberikan efek terhadap kondisi akhir pasien.
Sebuah analisis terbaru tentang kualitas CPR yang dilakukan sebuah institut kesehatan
nasional Resuscitation Outcomes Consortium Prehospital Resuscitation using an IMpedance
valve and Early versus Delayed (ROC PRIMED) menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan
tersebut biasa terjadi dan berbahaya. Saat ini, kompresi dilakukan dengan kecepatan dan
kedalaman diluar dari rentang yang direkomendasikan oleh guideline AHA. Sedikitnya
sepertiga subjek telah melakukan kompresi lebih dari 120 kali per menit, dan tingkat bertahan
hidup sangat rendah dengan jumlah kecepatan yang berlebih. Kami berpendapat bahwa pada
kecepatan yang tinggi saat kompresi, waktu pengisian diastol sangatlah sedikit, dan
kedalaman kompresi serta pengisian maksimal sulit tercapai. Dan yang terpenting, kurang
komplians dengan berpatokan pada protokol dan guideline AHA pada percobaan ini
berkaitan dengan hasil yang buruk. (Figure 2)
Figure 2. Hubungan antara kedalaman dan kecepatan dan kemungkinan bertahan hidup di
rumah sakit yang dilakukan oleh Institutes of Health Resuscitation Outcomes Consortium PRIMED.
Fase Dekompresi
Fisiologi dekompresi atau pengembangan dada saat fase CPR cukup kompleks.
Pentingnya fase ini selama melakukan CPR saat ini telah dimengerti lebih baik. Selama fase
dekompresi, jantung kembali terisi setelah mengalami kekosongan dari kompresi dada
sebelumnya. Proses pengisian kembali ini sangatlah tidak efektif selama CPR, khususnya
pada S-CPR dimana pengembangan dada yang pasif menjadi gaya yang mendorong darag
kembali ke jantung kanan. Efek ini lebih ditekankan pada pasien yang memiliki
ketidakmampuan pada proses pengembangan dada, misalnya pasien dengan fraktur tulang
iga. Sebagai tambahan untuk memicu venous return ke jantung, TIK diturunkan selama fase
dekompresi. Setiap kali dada mengembang, TIK menurun dengan tekanan yang sama saat
terjadi peningkatab TIK saat fase kompresi. Hal ini ditunjukkan pada Figure 1 (0 supine
tracings). Perubahan tersebut pada TIK selama fase kompresi dan dekompresi membantu
untuk menentukan level perfusi serebral selama CPR.
Adanya ruang kosong yang terabaikan dalam thorax selama pengembangan dada yang
pasif menarik darah kembali ke jantung dan udara ke paru-paru. Kondisi ini menarik darah
darah dari ruang extrathoracis ke ruang intrathoracis dan secara parsial mengisi kembali
jantung sebelum kompresi selanjutnya. Jika petugas gawat darurat tidak hati-hati saat
mendorong dada, sehingga mencegah terjadinya pengembangan dada yang maksimal setelah
tiap kompresi, kemudian tekanan intrathoracis menjadi lebih besar dibandingkan tekanan
atmosfer. Kesalahan dasar ini menurunkan pengisian kembali jantung dan penurunan TIK
yang terjadu dengan pengembangan dada penuh. Studi pada binatang menunjukkan bahwa
pengembangan dada yang tidak sempurna, atau pendorongan pada dada setelah gerakan
kompresi dada selesai, secara nyata menurunkan tekanan perfusi ke otak dan miokardium.
Sama halnya, kompresi dan dekompresi dada yang terlalu cepat (>120/menit) menurunkan
waktu venous return di bawah dari wakty yang dibutuhkan. Kesalahan dalam teknik ini
berdampak pada tingak bertahan hidup pasien.
Sebagai tambahan, VTP mempengaruhi TIK dan CerPP. Setiap napas tekanan positif
akan meningkatkan TIK, sehingga memicu terjadi peningkatan tahanan terhadap aliran darah.
Yang masih kurang dipahami pengaruh VTP adalah efek terhadap pertukaran CO2. NILAI
EtCo2 selama CPR dipercaya menggambarkan sirkulasi. Hipoventilasi merupakan hasil dari
penurunan klirens CO2. Studi pada binatang mengusulkan bahwa level PaCO2 yang tinggi
selama CPR cukup merugikan. Tanpa adanya autoregulasi, cukup kurang diketahui tentang
oeran PCO2 dalam mengatur perfusi serebral selama CPR.
Efek utama dari perubahan tersebut selama CPR setelah henti jantung masih kurang
dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, keseimbangan antara sirkulasi dan respirasi selama CPR
secara nyata sangatlah penting. Tidak ada satu strategi ventilasi yang dapat digunakan untuk
semua pasien atau untuk beberapa perbedaan metode CPR. Sayangnya, sulit untuk
mendapatkan data klinis prospektif yang berkaitan tentang hal ini mengenai henti jantung.
Lebih 20 tahun lalu, VTL, esensial untuk menyediakan O2 dan mengeluarkan CO2,
telah terbukti menjadi penting, namun tidak esensial seperti kompresi dada selama CPR. Jika
hanya kompresi, daripada kompresi dan pertolongan nafas mulut ke mulut, lebih mudah
untuk petugas untuk mengajarkan dan melakukan secara efektif. Namun, tidak ada studi acak
prospektif yang mendukung pendekatan hanya kompresi, dimana suatu laju ventilasi yang
berlebih diamati secara klinis. Seperti yang dijelaskan lebih di bawah, laju ventilasi yang
berlebih telah ditemukan berbahaya pada binatang. Berdasarkan studi pada binatang dan
konsensus para ahli, AHA merekomendasikan suatu perbandingan kompresi:ventilasi 30:2
untuk basic life support dan kompresi dada berkelanjutan pada laju 100 dengan ventilasi
setiap 10 kali kompresi untuk advanced life support. Volume tidal ventilasi harus mencukupi
600ml, dimana untuk kebanyakan orang dewasa mendekati 8ml/kg, untuk mengurangi
ketidaksesuaian ventilasi akibat CPR.
Baik ventilasi berlebih maupun hipoventilasi dapat menjadi berbahaya selama CPR. Setelah
mengobservasi pasien yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit yang mendapatkan
ventilasi rata-rata 37 kali per menit dalam suatu uji klinis alat CPR , dilakukan studi binatang,
yang menggambarkan bahwa laju ventilasi yang berlebih berkaitan dengan penurunan
bermakna dari tekanan perfusi serebral dan miokardial dan secara jelas meningkatkan
mortalitas. Dengan cara yang sama, setelah menit pertama CPR, tidak adanya periode VTP
menurunkan aliran darah melalui paru-paru yang berefek pada kolapsnya bronkiolus maupun
pembuluh darah pulmonal. Hal ini menyebabkan sangat menurunnya perfusi dan oksigenasi
otak.
Gasping terjadi pada beberapa pasien selama CPR, khususnya jika ada yang memicu
refleks gasping di batang otak. Gasping yang terjadi selama CPR dikaitkan hasil akhir yang
cukup menyenangkan. Gasping yang terakhir dikaitkan dengan perkembangan tekanan
negatif intrathoracis yang hal ini menyebabkan inspirasi udara, memicu venous return ke
jantung, dan menurunkan TIK, serta memfasilitasi peningkatan perfusi cerebral. Figure 3
menggambarkan, dalam sebuah model babi, pengaruh gasping pada henti jantung. Sebagai
contoh, seekor babi yang ditangani dengan active compression decompression (ACD) CPR
dan sebuah Impedance Threshold Device (ITD) ketika mulai gasping secara spontan selama
CPR. Seperti yang terlihat, setiap gasping menurunkan tekanan intrathoracis, menurunkan
TIK, dan meningkatkan aliran darah carotis, tekanan aorta, dan perhitungan CerPP. Secara
kontras, VTP meningkatkan TIK. Dalam studi tersebut, tekanan atrium kanan diukur, namun
aliran balik ke jantung kanan tidak diukur. Grafik ini membantu untuk menggambarkan
bagaimana gasping meningkatkan CerPP dengan memanfaatkan pompa thoracis untuk
meningkatkan perfusi. Mekanisme fisiologis dari manfaat yang berkaitan dengan gasping
hampir sama dengan fisiologi batuk. Keduanya bekerja dengan prinsip yang sama pada batuk
saat bagian inspirasi dimana tekanan intrathoracis menurun. Saat bagian ekspirasi pada batuk,
tekanan intrathoracis meningkat sebelum glotis membuka. Batuk saat CPR telah dilaporkan
mempertahankan sirkulasi dan kesadaran pada pasien ventrikel fibrilasi dalam beberapa
menit.
Figure 3. Merepresentasikan efek gasping selama resusitasi aktif kompresi dekompresi ditambah
impedance threshold device (on intrathoracic pressure (ITP), carotid artery blood flow (Flow), aortic
pressure (Ao), right atrial pressure (RA), intracranial pressure (ICP), and cerebral perfusion pressure
(CerPP). (Kurva tekanan dari percobaan pada hewan di laboratoium)
Keterbatasan S-CPR Konvensional
Berdasar pada hasil klinis sebelum dan di dalam rumah sakit, tingkat bertahan hidup
dengan fungsi neuruologis yang baik setelah henti jantung adalah <20% dan <40%. Rata-rata
tingkat bertahan hidup dengan fungsi otak yang baik hanya berkisar 6% di Amerika Utara
berdasarkan suatu penelitian. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, fisiologi yang
kompleks pada konvensional S-CPR menjadi tantangan untuk dilaksanakan, namun tanpa
kecepatan kompresi yang benar, kedalaman kompresi, rekoil dada penuh, kurang interuptus
saat CPR , teknik ventilasi yang wajar, akan memberikan hasil yang buruk. Beberapa
tantangab tersebut dapat diatasi dengan alat mekanik otomatis yang telah terlihat dapat
memberikan kompresi dada yang kualitasnya sama bahkan lebih tinggi dari manual CPR.
Akan tetapi, penggunaan alat CPR otomatis belum menunjukkan peningkatan tingkat
bertahan hidup.
Lebih dari beberapa dekade lalu, studi fisiologi S-CPR memperlihatkan beberapa
keterbatasan yang saling terkait, bahkan saat S-CPR dilakukan dengan cara yang benarpun.
Kemajuan terkini telah fokus kepada cara untuk memicu pengisian kembali jantung setiap
selesai dilakukan kompresi, karena S-CPR sendiri hanya memberikan 15% hingga 25% dari
cardiac output normal saat dilakukan secara sempurna. Pemahaman mengenai beberapa
keterbatasan S-CPR telah dihasilkan dalam berbagai penemuan yang berfokus pada
meningkatkan sirkulasi kardioserebral selama henti jantung.
Table 1. Survival for Patients Receiving Acceptable Quality of CPR (Rate 80120 per min, Depth 46 cm,
Fraction 50%a) in the National Institutes of Health Resuscitation Outcomes Consortium PRIMED Study
Sham Active Relative
(n = 827), n (%) (n = 848), n (%) P Increase (%)
Survival to hospital discharge 53/827 (6.4) 81/848 (9.6) 0.018 50
Discharge alive with mRS 3 34/827 (4.1) 61/484 (7.2) 0.0064 76
Witnessed arrest and discharge 25/421 (5.9) 50/419 (11.9) 0.0024 102 alive with mRS 3
Chest compressions performed without interruptions for at least 50% of every minute. CPR =
cardiopulmonary resuscitation; mRS = modified Rankin scale.
A
Dengan tingkat kompresi dada berlebihan atau kedalaman yang tidak sesuai, ITD
tidaklah efektif. Sebaliknya, ketika S-CPR dilakukan sesuai rekomendasi AHA, ada 50%
peningkatan yang signifikan dalam jumlah korban dengan fungsi neurologis yang baik (Tabel
1). Figure 5 menunjukkan pentingnya mematuhi pedoman AHA dan efektivitas ITD. Tingkat
tertinggi kelangsungan hidup dengan fungsi neurologis menguntungkan diamati dengan
penekanan yang dilakukan pada harga sekitar 100 per menit, kedalaman 5 cm, dan
penggunaan ITD. Dari perspektif fisiologis, penemuan penting interaksi antara tingkat
kompresi dada, kedalaman dan inspirasi impedansi membantu untuk menekankan manfaat
potensial dari IPR. Temuan ini juga menyoroti bagaimana sangat penting untuk tetap sesuai
dengan pedoman CPR saat melakukan CPR.
Figure 5. Rate of survival to hospital discharge with good neurologic function, defined as modified Rankin scale (mRS) score
3, based on the compression rate and compression depth for patients receiving an active (A) or sham (B) impedance threshold device
(ITD). Data were analyzed by Yannopoulos et al.30 using the National Institutes of Health Resuscitation Outcomes Consortium PRIMED
study database. The mRS is a recovery score from 0 to 6, where 0 is asymptomatic, 1 is no significant disability, 2 is slight disability, 3 is
moderate disability, 4 is moderately severe disability, 5 is severe disability, and 6 is death. 154
Table 2. One-Year Survival with Good Neurologic Function, Defined as CPC 2, for All Patients in the
ResQTrial3
S-CPR, n (%) ACD + ITD, n (%) P Relative Increase (%)
mITT (n = 1655) 48/794 (6.0) 74/822 (9.0) 0.030 49 ITT (n = 2470) 68/1171 (5.8) 96/1233 (7.8)
0.062 34
ACD active compression decompression; ITD = impedance threshold device; CPC = cerebral performance category; ITT = intention-to-treat population:
patients met initial inclusion criteria for the study; mITT= modified intention-to-treat population: patients met initial and final inclusion criteria for the study
including arrest of presumed cardiac etiology; S-CPR = standard cardiopulmonary resuscitation.
Figure 6. Representative tracings of tracheal, aortic, and intracranial pressures before and during the use of intrathoracic pressure regulation (IPR) therapy
during a porcine model of hypovolemic shock (A) and cardiac arrest (B). Pressure curves from a representative animal study in experiments described by
Debaty et al.157 ACD = active compression decompression; Ao = aortic pressure; CPR = cardiopulmonary resuscitation; ITD = impedance threshold device;
ITP = intrathoracic pressure; ITPR = intrathoracic pressure regulator device; RA = right atrial pressure.
Advanced Intrathoracic Pressure Regulation
Konsep tekan-tarik ventilasi telah diadopsi untuk meningkatkan sirkulasi dan
digunakan untuk pengobatan henti jantung dan shock. Sebuah perangkat telah dirancang
untuk memanfaatkan perubahan dalam tekanan intrathoracic untuk meningkatkan venous
return ke jantung dan mengedarkan lebih banyak darah ke otak dan jantung. Mereka bekerja
sebagai berikut: setelah tekanan positif nafas, pernafasan gas aktif ditarik dari paru-paru
untuk menghasilkan tekanan negatif intrathoracic selama phase ekspirasi seluruh. Tekanan
aliran udara dan hemodinamik yang berkaitan dengan teknologi ini denngan syok
hipovolemik dapat terlihat pada Figure 6A dan henti jantung pada Figure 6B. Pendekatan ini
telah diperiksakan pada binatang yang henti jantung dan pada pasien. Ketika pendekatan ini
dikombinasikan dengan S-CPR atau ACD CPR, aliran darah ke jantung dan otak meningkat.
Perangkat yang memberikan semacam terapi IPR, disebut Intrathoracic Pressure
Regulatir Device (ITPR), telah disetujui untuk digunakan pada pasien hipotensi oleh Food
and Drug Administration untuk meningkatkan peredaran darah yang adekuat.
Pada hewan, aliran darah otak meningkat oleh sekitar 50% dengan ACD + ITPR versus ACD
+ ITD. Pada manusia, menggunakan S-CPR ditambah ITPR secara signifikan meningkatkan
sirkulasi yang diukur oleh etco2 selama CPR dan secara signifikan meningkatkan
kemungkinan keberhasilan resusitasi dari 46% untuk 73%. Namun, penelitian ini adalah
pendekatan baru dalam masa kanak-kanak. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
apakah penggunaan ITPR dan perangkat serupa yang meningkatkan venous return selama
fase expirasi saat CPR yang akan menghasilkan peningkatan tingkat kelangsungan hidup
jangka panjang setelah henti jantung.
Head-Up CPR
Dengan Konvensi, CPR telah dilakukan untuk lebih dari setengah abad dengan pasien
dalam posisi telentang dengan seluruh tubuh pada garis yang sama horisontal ke lantai.
Kajian terbaru tentang posisi kepala dan tubuh selama CPR pada babi telah menunjukkan
bahwa ketinggian kepala selama CPR memiliki efek bermanfaat yang mendalam pada ICP,
CerPP, dan aliran darah otak ketika dibandingkan dengan posisi tradisional. Dengan tubuh
telentang dan horisontal, kompresi setiap dikaitkan dengan generasi arteri dan kompresi
gelombang otak bertekanan tinggi gelombang tekanan vena yang memberikan simultan.
Dengan pasien kepala atas, gravitasi saluran darah vena dari otak kembali ke jantung,
mengakibatkan lebih besar mengisi hati setelah setiap kompresi, TIK fase kompresi yang
lebih rendah dan penurunan substansial TIK, sehingga mengurangi impedansi untuk
meneruskan aliran otak.Sebaliknya, CPR dengan kaki dan kepala di bawah mengakibatkan
penurunan CerPP dengan peningkatan simultan TIK (Fig. 1). Seperti yang ditunjukkan dalam
studi henti jantung pada babi, ketinggian kepala mengakibatkan penurunan segera ICP dan
peningkatan CerPP. Efek dari perubahan dari horisontal 0 ke kepala 30 pada parameter
hemodinamik kunci selama ACD + ITD ditampilkan dalam figure 1. CPR head-up pada
akhirnya tergantung pada kemampuan untuk mempertahankan aliran maju yang memadai.
Manfaat ini diwujudkan hanya ketika ITD hadir; Bila ITD dihapus dari saluran napas dalam
studi ini, tekanan darah sistolik dan koroner dan CerPP menurun secara cepat. Saat ini, studi
klinis sangatlah kurang. Namun, wawasan baru yang diperoleh oleh studi hewan provokatif
ini menyarankan bahwa ketinggian kepala selama CPR dapat menyediakan perlindungan
yang lebih baik otak dan perfusi.
Bundel resusitasi
Satu pelajaran dari ratusan studi CPR yang berbeda yang dimulai pada awal 1960-an
adalah bahwa banyak perawatan yang diperlukan untuk sukses dalam pendekatan pengobatan
henti jantung. Strategi yang paling efektif telah dioptimalkan adalah sirkulasi selama CPR
dan mengurangi kerusakan postresusitasi. Bundel eesusitasi paling efektif saat ini meliputi
upaya untuk mempromosikan penggunaan luas pengamat CPR, defibrilasi akses publik,
highquality CPR oleh koor dan penyedia layanan dukungan lanjutan kehidupan, penggunaan
alat tambahan yang menurunkan tekanan negatif intrathoracic selama fase dekompresi CPR,
dan strategi yang mencakup revaskularisasi postresusitasi dan hipotermia terapeutik, atau
setidaknya pencegahan dari demam. Seperti pendekatan berbasis sistem untuk resusitasi
didasarkan pada pendekatan biofisik berkepanjangan untuk secara signifikan meningkatkan
kemungkinan untuk kelangsungan hidup dengan pemulihan fungsi neurologis setelah henti
jantung.
Saat ini, pendekatan paket perawatan pra-rumah sakit memiliki kelangsungan hidup
secara signifikan meningkatkan dengan fungsi neurologis yang baik untuk semua pasien
untuk setinggi 20% di beberapa kota dan negara. Perawatan disediakan oleh petugas terlatih
pra-rumah sakit dan ahli resusitasi rumah sakit. Peningkatan terbesar adalah pada pasien-
pasien yang datang dengan takikardia ventrikel dimana kelangsungan hidup dengan
pemulihan fungsi neurologis adalah sekitar 50%. Data ini mendukung perkembangan di
lapangan saat ini; mereka juga mencerminkan tantangan yang bertahan selama 80% pasien
yang tidak pernah bangun meskipun menerima konvensional CPR.
APAKAH CPR BERMANFAAT ?
Mengingat bahwa tingkat kelangsungan hidup setelah henti jantung tidak berubah
banyak selama setengah abad sejak kompresi dada manual CPR pertama disebutkan, wajar
untuk mempertanyakan apakah CPR adalah benar-benar bermanfaat. Pertanyaan ini ditanya
oleh Bardy, seorang ahli di Elektrofisiologi jantung, yang percaya bahwa awal dan efektif
defibrilasi, dan tidak CPR, apakah yang terpenting. Tidak ada keraguan bahwa defibrillator
penting untuk resusitasi pasien henti jantung yang datang dengan ritme yang dapat
didefibrilasi. Namun, tingkat insiden fibrilasi ventrikel telah menurun selama 20 tahun
belakangan ini dan sekarang dilaporkan yang datang dengan irama seperti itu hanya berkisar
antara 20% dan 35% pada henti jantung dalam rumah sakit. Mengingat bahwa kelangsungan
hidup rata-rata henti jantung tingkat nasional adalah < 10%, orang dapat berargumentasi
bahwa upaya untuk resusitasi pasien dalam serangan jantung sebagian besar sia-sia dan
bahwa jutaan dolar yang dihabiskan untuk pendidikan dan perawatan strategi harus
dihabiskan di tempat lain. Kami tidak akan menyelesaikan debat itu di sini, tapi ini jenis
tantangan dari Bardy dan yang lain adalah provokatif dan membantu untuk merangsang
potensi terobosan. Kami percaya bahwa pekerjaan awal yang dijelaskan dalam tinjauan ini
cara-cara baru untuk mengurangi cedera reperfusi darah, cara-cara baru untuk melindungi
otak dengan kepala-up CPR, dan agresif perawatan postresuscitation, termasuk akut
revaskularisasi untuk pasien di fibrilasi ventrikel refrakter, adalah langkah-langkah untuk
mengambil keputusan yang tepat. Kita berspekulasi bahwa selama 50 tahun berikutnya, ide-
ide baru akan diterjemahkan berarti perubahan dalam perawatan dan menjadikan tingkat
kelangsungan hidup untuk tingkat yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Waktu akan membuktikannya. Sementara itu, beberapa layanan medis darurat (EMS) sistem
telah melaporkan bahwa dengan menggabungkan cepat dan awal defibrilasi dengan
berkualitas tinggi CPR, ITD penggunaan, cedera reperfusi strategi perlindungan, dan terapi
hipotermia, tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan dengan fungsi neurologis
menguntungkan dapat mencapai sekitar 20% hari ini dan mereka dengan fibrilasi ventrikel ke
atas 50% kelangsungan-hidup di rumah sakit. Harga dengan fungsi neurologis
menguntungkan telah dilaporkan ke atas 35% , dan ini termasuk pasien dengan fibrilasi
ventrikel, aktivitas listrik biji dan asystole.
PERTIMBANGAN PEDIATRIK
Henti jantung pada populasi pediatrik menyajikan beberapa tantangan yang berbeda.
Tidak seperti orang dewasa, penyebab henti jantung pediatrik termasuk henti pernapasan atau
asfiksia akibat tenggelam, syok berkepanjangan apapun penyebabnya, termasuk trauma, dan
penyakit jantung yang biasanya bersifat kongenital.
Bradikardia berat atau asystole adalah penyimpangan irama jantung biasa untuk
diselesaikan. Ventrikel aritmia jauh kurang umum (< 10%) daripada di populasi orang
dewasa (> 25%) dan biasanya karena hipoksia miokard berkepanjangan. Seperti dengan
populasi orang dewasa, kelangsungan hidup henti jantung di luar rumah sakit secara
signifikan lebih buruk daripada di dalam rumah sakit.
Oleh konsensus AHA, panduan CPR anak ini berlaku untuk anak-anak dari 1 tahun
usia sampai pubertas untuk pasien yang paling pediatrik, usia 8 tahun berkorelasi dengan
perkiraan terdekat untuk orang dewasa , dari anatomi dan kemungkinan perspektif fisiologis
CPR. Pada pasien muda, kelangsungan hidup yang dilakukan CPR dalam rumah sakit lebih
baik daripada orang yang usia sekolah atau lebih tua. Beberapa faktor yang bertanggung
jawab dengan hali ini, walaupun telah disebutkan bahwa akibat aliran darah karena CPR.,
yang menyebabkan komplians rongga toraks yang lebih besar.
Sebagai orang dewasa, penggunaan hipotermia post CPR meningkat, tapi durasi yang
direkomendasikan dan efektivitasnya masih kontroversi untuk semua kelompok umur pada
anak. Hasil penelitian belum sepakat mendukung penggunaan tersebut utuk anak. Akan
tetapi, pada orang dewasa, kebanyakan ahli sepakat bahwa hipertemia, yang sering pada
pasien anak post CPR, harus dicegah dan ditangani secepatnya.
Penggunaan oksigenasi membran extracorporeal venoarterial sebagai terapi
penyelamatan pada populasi pediatrik untuk pengobatan henti jantung berkepanjangan telah
menunjukkan kegunaannya pada beberapa pasien, khususnya pada pasien pasca bedah
jantung.saat terjadi disfungsi kardiak.. Namun, pada orang dewasa, studi ini masih kurang
dimengerti.
Head position14 X X X