PENDAHULUAN
Infus albumin telah dipakai sejak puluhan tahun yang lalu sebagai salah satu
pilihan terapi dalam praktek medis. Tujuannya adalah mengatasi kondisi
hipoalbuminemia pada berbagai penyakit. Menurunnya kadar albumin dapat menjadi
penyebab terjadinya kelainan tetapi lebih banyak merupakan komplikasi penyakit
yang diderita sebelumnya. Banyaknya data yang membuktikan bahwa kadar albumin
darah berkaitan dengan prognosis membuat para ahli berkeyakinan untuk
memperbaiki hipoalbuminemia dengan infus albumin. Contoh yang paling nyata
adalah usaha untuk menaikkan kadar albumin pada pasien-pasien gawat atau kondisi
pra-bedah. Tetapi penggunaan yang begitu lama tidak melepaskan terapi albumin dari
pro dan kontra. Hal ini timbul akibat penelitian yang telah dipublikasi memberikan
hasil yang berbeda-beda. Debat ini semakin terpicu lagi semenjak dipublikasikannya
meta analisis yang berasal dari The Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers
pada tahun 1998 yang membuktikan bahwa pemberian albumin justru meningkatkan
kematian pada penderita dalam kondisi kritis. Selain itu harga albumin yang relatif
mahal menjadi salah satu pertimbangan agar pemberiannya sungguh-sungguh
memperhitungkan cost and benefit ratio.1,2
Hipoalbuminemia adalah masalah umum di antara orang dengan kondisi
medis akut dan kronis. Pada saat masuk rumah sakit, 20% dari pasien menderita
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh berbagai kondisi,
termasuk sindrom nefrotik , sirosis hati, gagal jantung , dan gizi buruk, namun
sebagian besar kasus hipoalbuminemia disebabkan oleh respon peradangan akut dan
kronis.1
Serum albumin adalah indikator prognostik penting. Di antara pasien yang
dirawat di rumah sakit, kadar albumin serum rendah berkorelasi dengan peningkatan
risiko morbiditas dan kematian. Presentasi, temuan pemeriksaan fisik, dan hasil
laboratorium yang berhubungan dengan hipoalbuminemia tergantung pada proses
penyakit yang mendasarinya. 1,2
1
Pada keadaan dimana kadar albumin dalam plasma menurun, transfusi
albumin menjadi salah satu pilihan tatalaksana yang telah dipakai sejak lama.3,4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh
manusia, yaitu sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Albumin terdiri dari
rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam
amino.5
Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan
asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips
sehingga bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan
terlarut sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju
degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan ektravaskular.
Cadangan total albumin sehat 70 kg) dimana 42% berada di kompartemen plasma dan
sisanya dalam kompartemen ektravaskular.6
Nilai serum berkisar 3,5-4,5 g / dL, dengan kandungan tubuh total 300-500 g.
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan 12-25
gram/hari. Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi
albumin. Akan tetapi laju produksi ini bervariasi tergantung keadaan penyakit dan
laju nutrisi karena albumin hanya dibentuk pada lingkungan osmotik, hormonal dan
nutrisional yang cocok. Tekanan osmotic koloid cairan interstisial yang membasahi
hepatosit merupakan regulator sintesis albumin yang penting.5,6
Degradasi albumin total pada dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14
gram/hari atau 5% dari pertukaran protein seluruh tubuh per hari. Albumin dipecah di
otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10% dan 10% sisanya
merembes ke dalam saluran cerna lewat dinding lambung. Produk degradasi akhir
berupa asam amino bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin lewat urine biasanya
minimal tidak melebihi 10-20 mg/hari karena hampir semua yang melewati
membrane glomerolus akan diserap kembali.5,6
3
Gambar 1. Rantai Albumin
B. Patofisiologi
Tingkat albumin serum tergantung pada laju sintesis, jumlah dikeluarkan dari
sel hati, distribusi dalam cairan tubuh, dan tingkat degradasi. Hipoalbuminemia hasil
dari gabungan dalam satu atau lebih dari proses-proses.7
1. Sintesis
Sintesis Albumin dimulai pada inti sel, di mana gen ditranskripsi menjadi
asam ribonukleat messenger (mRNA).. mRNA ini dikeluarkan ke dalam sitoplasma,
di mana ia terikat untuk ribosom, membentuk polysomes yang mensintesis
preproalbumin. Preproalbumin adalah molekul albumin dengan ekstensi 24 asam
amino pada ujung N. Perpanjangan asam amino memberikan sinyal penyisipan
preproalbumin ke dalam membran retikulum endoplasma. Setelah di dalam lumen
retikulum endoplasma, 18 terkemuka asam amino ekstensi ini dibelah, meninggalkan
proalbumin (albumin dengan ekstensi sisa 6 asam amino). Proalbumin adalah bentuk
intraselular utama albumin. Proalbumin diekspor ke aparatus Golgi, dimana
perpanjangan 6 asam amino akan dihapus sebelum sekresi albumin oleh hepatosit
tersebut. Setelah disintesis, albumin segera dikeluarkan, tetapi tidak disimpan dalam
hati. 7
2. Distribusi
Tracer studi dengan iodinasi albumin menunjukkan albumin intravaskuler
yang didistribusikan ke dalam ruang ekstravaskuler dari semua jaringan, dengan
mayoritas yang didistribusikan di kulit. Sekitar 30-40% (210 g) albumin dalam tubuh
4
ditemukan dalam kompartemen vaskular dari otot, kulit, hati, usus, dan jaringan lain.
Albumin memasuki ruang intravaskuler melalui 2 jalur. Pertama, albumin memasuki
ruang ini dengan memasuki sistem limfatik hati dan pindah ke saluran toraks. Kedua,
albumin lewat langsung dari hepatosit ke sinusoid setelah melintasi Ruang Disse. 7
Setelah 2 jam, 90% dari albumin dikeluarkan masih dalam ruang
intravaskuler. Waktu paruh albumin intravaskuler adalah 16 jam. Kehilangan harian
albumin dari ruang intravaskuler adalah sekitar 10%. Kondisi patologis tertentu,
seperti nephrosis, ascites, lymphedema, lymphangiectasia usus, dan edema, dapat
meningkatkan hilangnya albumin harian dari plasma. 7
Albumin didistribusikan ke volume interstisial hati, dan konsentrasi koloid
dalam volume kecil yang diyakini sebagai regulator osmotik untuk sintesis albumin.
Ini adalah pengatur utama dari sintesis albumin selama periode normal tanpa stres. 7
3. Degredasi
Degradasi albumin kurang dipahami. Setelah sekresi ke plasma, molekul
albumin masuk ke dalam ruang jaringan dan kembali ke plasma melalui saluran
toraks. Tagged studi menunjukkan albumin mungkin terdegradasi dalam endotelium
dari kapiler, sumsum tulang, dan sinus hati. Molekul Albumin tampaknya turun
secara acak, dengan tidak ada perbedaan antara molekul lama dan baru. 7
C. Epidemiologi
1. Frekuensi
Hipoalbuminemia lebih sering pada pasien yang lebih tua, pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan penyakit stadium lanjut (misalnya, kanker terminal),
dan kekurangan gizi anak-anak. 7
2. Mortalitas / Morbiditas
Serum albumin yang rendah merupakan prediktor penting dari morbiditas dan
mortalitas. Sebuah meta-analisis studi kohort menemukan bahwa, dengan setiap g
10 / L penurunan di albumin serum, mortalitas mengalami peningkatan sebesar 137%
dan morbiditas meningkat sebesar 89%. Pasien dengan kadar albumin serum kurang
dari 35 pada 3 bulan setelah pulang dari rumah sakit memiliki 2,6 kali lebih besar
kematian 5 tahun dibandingkan dengan serum albumin lebih besar dari 40. 7
5
Hipoalbuminemia juga telah dipelajari sebagai faktor prognostik penting di
antara subset dari pasien, seperti pasien dengan berat sepsis , luka bakar, dan enteritis
regional ( penyakit Crohn ). 7
Ada atau tidak hipoalbuminemia hanyalah penanda kekurangan protein yang
parah, yang itu sendiri merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan kematian
atau faktor risiko independen untuk kematian, dan masih tidak jelas. 7
6
3. Kehilangan protein pada kondisi Enteropati (Protein Losing enterophaty)
- Inflamatory bowel disease chrons disease and ulcerative colitis
- Chronic infectious diarrhea
- Chronic severe diarrhea of idiophatic cause systemic sclerosis,
polyarteritis nodosa
- Lymphatic obstruction lymphoma, infection
- Allergic gastroenterophaty
- Jejuna diverticulosis
- Tuberculosis of the bowel
- Amyloidosis
- Congestive heart failure with intestinal edema
- Common variable immunodeficiency (cvid)
4. Gangguan Sistem Urinarius (Urinnary losses)
- Nefrotic syndrome
- Diabetes mellitus
- Sickle cell anemia
- Inflammatory disease
a. Systemic lupus erytematus
b. Systemic sclerosis (schleroderma)
c. Vaskulitis
7
Metabolisme dan ekskresi: didegradasi oleh hati
Waktu paruh: tidak diketahui 10
4. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan pada reaksi alergi terhadap albumin, anemia berat, gagal
jantung kongestif, volume intravaskuler normal atau meningkat.
Gunakan secara hati-hati pada: penyakit hati atau ginjal, dehidrasi (perlu
mendapatkan tambahan cairan). 10
5. Efek samping:
SSP: sakit kepala
Kardiovaskuler: hipertensi, hipotensi, kelebihan cairan, edema pulmoner, takikardia
GI: mual, muntah, peningkatan salivasi
Derm: urtikaria, ruam
MS: nyeri punggung
Lain-lain: demam, menggigil, wajah kemerahan10
6. Interaksi:
Tidak ada obat yang signifikan 7, 10
captopril
enalapril
fosinopril
imidapril
lisinopril
moexipril
perindopril
quinapril
ramipril
benazepril
trandolapril
Tidak ada mekanisme interaksi yang spesifik dan signifikan, namun
berhubungan dengan vasodilatasi.
7. Rute dan dosis
Dosis sangat individual dan tergantung kondisi yang ditangani
8
IV (dewasa): 25 g, dapat diulang dalam 15 30 menit, tidak boleh lebih dari
125 g dalam 24 jam atau 250 g dalam 48 jam.
IV (anak-anak): 25 g atau 25 50% dari dosis dewasa
IV (bayi prematur): 1 g/kg sebagai larutan 25% yang diberikan sebelum
transfusi yang diperlukan. 10
8. Sedian 10
9
Tabel 1. Sediaan Albumin
10
1) Dosis albumin yang diberikan adalah 6-8 gram per 1 liter cairan asites yang
dikeluarkan.
2) Cara pemberian adalah 50% albumin diberikan dalam 1 jam pertama (maksimum
170 ml/jam) dan sisanya diberikan dalam waktu 6 jam berikutnya.
c. Sindroma hepatorenal tipe 1
1) Pada keadaan ini albumin diberikan bersama-sama dengan obat-obat vasoaktif
seperti noradrenalin, oktreotid, terlipressin atau ornipressin.
2) Cara pemberiannya adalah: Hari pertama: 1 gram albumin/kg BB. Hari kedua dan
seterusnya: 20-40 gram/hari kemudian dihentikan bila CVP (Central Venous
Pressure) >18 cm H2O.
11
albumin serum normal yang diberikan atau bila telah terjadi perdarahan, maka
perlu diberikan darah lengkap atau PRC. Status hidrasi harus dimonitor dan
dipertahankan dengan cairan tambahan.
Berikan albumin serum normal 5% tanpa diencerkan. Albumin serum 25%
dapat diberikan tanpa diencerkan atau diencerkan dengan NaCl 0,9% atau D5.
Infus harus selesai dalam 4 jam.
Kecepatan pemberian ditentukan berdasarkan konsentrasi larutan, volume
darah, indikasi, dan respon pasien. Pada pasien dengan volume darah normal,
albumin serum normal 5% sebaiknya diberikan 2 4 ml/menit dan albumin serum
normal 25% dengan kecepata 1 ml/menit. Kecepatan anak-anak biasanya -
kecepatan dewasa.
Syok dengan hipovolemi: albumin serum normal 5% atau 25% dapat
diberikan sesuai toleransi dan diulang dalam 15 30 menit bila perlu.
Luka bakar: kecepatan setelah 24 jam pertama harus ditetapkan kembali untuk
mempertahankan kadar albumin plasma 2,5 g/100 ml atau kadar protein serum
total 5,2 g/100 ml.
Hipoproteinemia: albumin serum normal 25% adalah larutan terpilih karena
konsentrasi protein yang tinggi. Kecepatannya tidak boleh lebih dari 3
ml/menit untuk larutan 25% atau 5 10 ml/menit untuk larutan 5% guna
mencegah kelebihan beban sirkulasi dan edema pulmoner. Terapi ini
menghasilkan peningkatan sementara protein plasma sampai hipoproteinemia
kembali normal.
13. Evaluasi 10
Efektivitas terapi ditunjukkan dengan:
Peningkatan tekanan darah dan volume darah bila digunakan untuk
menangani syok dan luka bakar.
Peningkatan pengeluaran urine yang mencerminkan mobilisasi cairan dari
jaringan ekstravaskuler.
Peningkatan protein plasma serum pada pasien-pasien dengan
hipoproteinemia.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Uhing MR. The albumin controversy. Clin Perinatol 2004; 31: 475-88
2. Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers. Human albumin administration in
critically ill patients: systematic review of randomised controlled trials. BMJ
1998; 317:235-40
3. Avindan B.The use of albumin in all patient with decompensated cirrhosis is not
justified. IMAJ 2005;7:118-20
4. Gines P, Arroyo V. Is there still a need for albumin infusions to treat patients with
liver disease? Gut 2000; 46:588-90
5. Peters TJ. The albumin molecule: Its structure and chemical properties. In: All
about albumin. Biochemistry, genetics, and medical applications. San Diego:
Academic Press; 1996.p. 9-75
6. Evans WT. Review article: Albumin as a drug-biological effects of albumin
unrelated to oncotic pressure. Aliment Pharmacol Ther 2002; 16(Suppl.5):6-11
7. Peralta, Ruben. 2010. Albumin. http://reference.medscape.com/refdrug-
srch/albuminar-alba-albumin-342425 (diakses tanggal 28 Agustus 2017).
8. Wilkinson P, Sherlock S. The effect of repeated albumin infusions in patients
with cirrhosis. Lancet 1962; ii:1125-9
9. 9.Lacey, DL. dan Little. 1995. Hypoalbuminemia Differential. Am J Med.
99(3);315
10. Deglin, Judith Hopfer, 2005. Pedoman Obat edisi 4. Jakarta: EGC.
11. Tan, Hoan Tjay & Kirana Rahardja - 2007 . Obat-obat penting khasiat,
penggunaan dan efek-efek sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo
13
12. Chalasani N, Gorski JC, Horlander JC, Craven R, Hoen H, et al. Effects of
albumin/furosemide mixtures on responses to furosemide in hypoalbuminemic
patients. J Am Soc Nephrol 2001; 12:1010-16
14