Anda di halaman 1dari 3

Menyentuh Tubuh Teater

Saya mengibaratkan teater sebagai tubuh manusia dan itu barangkali dapat menjadikan
teater sebagai sesuatu yang lumrah dan akrab bagi kita.

Kita tahu bahwa tubuh kita bukanlah barang jadi. Ia senantiasa membutuhkan
pengelolaan, penghidupan sendiri, dari awal hingga akhir. Semenjak kita lahir hingga kita
tutup usia, bahkan ia terus bergulir: tumbuh dan berawal dari unsur renik lalu kembali ke
unsur renik secara biologis dan kimiawi. Berbagai penamaan, berbagai kepentingan,
berbagai makna, hingga berbagai material yang menerpa tubuh kerap mengalami
perubahan, perkembangan dari hari ke hari. Tak elak, tubuh tak pernah mengalami
keutuhan yang langgeng, ia fana, setidaknya sepanjang hirup nafas dan detak jantung
masih bisa kita rasakan hingga saat ini.

Kita tahu pula bahwa tubuh kita senantiasa dibangun oleh operasi organ-organ yang
bekerja secara bergantian, simultan, dan sangat jarang mengalami bentrokan dalam
operasi(gerak)nya ketika beraktivitas dengan tujuan tertentu. Ketika berjalan, tubuh
selalu menyelaraskan organ yang mendukungnya: kaki kiri dan tangan kanan di belakang,
kaki kanan dan tangan kiri di depan. Ketika makan, tangan mengangkat sendok, mulut
terbuka, dan mata menatap sambal yang berkilatan di dalam sebuah mangkuk. Kemudian,
meneteslah liur yang hangat dan kental itu sebelum kita mengecap kepedasan sambal.
Setiap operasi tubuh kita selalu bekerja bersama melalui tahapan yang teratur dan
bermotif.

Begitu pun tubuh teater. Ia bukan semacam barang hasil sulap. Teater dibangun,
digerakan, dioperasikan oleh berbagai organ, berbagai medium, berbagai latihan,
berbagai pola kerja, berbagai anasir sebagaimana tubuh kita dibangun. Perubahan-
perubahan terus terjadi di dalamnya, sebagaimana dinamika pencapaian tubuh teater terus
berkembang.

Tetapi, akan ada banyak yang ditinggalkan dalam perkembangan tubuh teater. Penjadian
teater yang sangat ditentukan oleh modal kala dan ruang itu sama halnya dengan
penjadian suatu organisme: banyak meninggalkan jejak, tidak kekal, dan nyaris hanya
selalu bisa dialami oleh mereka yang melakukannya pada saat itu. Juga, konon, karena
tak ada dua pertunjukan teater yang sama dalam lakon yang diulang pada ruang,
penonton, serta pemain yang sama: teater menampik kepentingan untuk menjadi abadi.

Tentu pula, di dalam teater ada banyak kepentingan sesuai dengan berbagai anasir tadi.
Tetapi, jelas pula bahwa berbagai kepentingan itu harus saling bertemu, menciptakan
keberbagaian yang erat dan kental. Tubuh teater tidak bekerja hanya atas kepentingan
satu bagian tertentu yang dominan. Ia terutama dioperasikan oleh keberbagaian yang
menjadi bagian di dalamnya. Boleh jadi, ketika mulai bersentuhan dengan teater, kita pun
mau tidak mau bersentuhan dan menjadi bagian dari keberbagaian itu.
Akan sangat tidak mudah ketika kita mulai menjalani keberbagaian sebagai akibat logis
dari teater jika teater hanya disikapi sebagai cara dan hasil kerja satu bagian. Cahaya
sebagai cara dan hasil kerja penata lampu. Set sebagai cara dan hasil kerja penata artistik.
Lagu sebagai cara dan hasil kerja penata musik. Tokoh hanya selesai sebagai cara dan
hasil kerja aktor. Pertunjukan hanya cara dan hasil kerja sutradara semata. Jika tak ada
hubungan yang mengikat di dalamnya dan setiap bagian berdiri sebagai kualitas mandiri
(tidak berbagi), sangat disayangkan jika hal itu bisa menjauhkan teater dari tubuhnya
sendiri pada akhirnya.

Grotowsky pernah melakukan eksperimen untuk mempertanyakan ulang mengenai


hubungan yang terjadi di dalam tubuh teater. Dia mempertanyakan tentang variabel-
variabel teater yang dapat dicopot (ditanggalkan) dari tubuh teater. Ia bertolak dari
kemiskinan dengan pengertian tidak memiliki sesuatu kecuali sesuatu, bukan saya
memiliki sesuatu selain memiliki sesuatu. Jawaban final dari pertanyaannya nyatalah
pemain, yang memainkan: yang bermain, yang melakukan permainan. Pemain dalam
kaitannya dengan penyempitan (pengurangan) bagian teater yang dipertanyakan
Grotowsky kemudian diperoleh sebagai kata/kerja/ kunci dari teater.

Bisakah teater dilakukan tanpa pemain? Tidak dan tidak akan pernah bisa. Operasi teater
akan selalu bertumpu pada pemain, manusia yang menjadi darah-tulang-daging tubuh
teater. Berangkat dari dan selesai di situlah teater. Perangkat-perangkat kerja teater
lainnya dapat dikatakan bisa menyusul. Tanpa pemain, peran tidak akan hadir. Tanpa
pemain, lampu tidak akan menyala. Tanpa pemain, lagu tidak akan berbunyi. Tanpa
pemain, tiket tidak akan tersebar. Tanpa pemain, ruang pertunjukan tidak akan riuh oleh
tepuk tangan.

Walhasil, tanpa pemain, teater tidak akan ada yang memainkan. Dan dalam setiap
permainan teater, setiap bagian yang ada lebih baik bersiap untuk menghadapi
keberbagaian, bersiap menjadi bagian dari kesatuan, dan bersiap bersilang sengketa
ketika berupaya mewujudkan teater sebagai tubuh yang utuh dan padu. Tetapi,
sebagaimana tubuh kita, senyata mungkin satu bagian tubuh terasa sakit, seketika itu
bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit yang sama dan tidak membiarkan sakit itu
berjangkit lebih lama pada seluruh tubuh teater. Dengan demikian, menyentuh tubuh
teater adalah menyentuh keberbagaian pemain sekaligus berupaya menjadi bagian dari
segenap pemain yang ada: menyentuh diri sendiri.

Penulis seorang pembelajar pada

ruang teater Komunitas Langit

Tulisan ini dipublikasikan pada Buletin Seni Komunitas Langit Guam


Dipublikasikan oleh: materiteater.blogspot.com
Sumber: http://darikamarpalingbelakang.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai