Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi ....................................................................................................... 5

2. Anatomi kandung empedu ......................................................................... 5

3. Fisiologi ..................................................................................................... 6

4. Epidemiologi .............................................................................................. 11

5. Patogenesis ................................................................................................. 14

6. Patofisiologi ............................................................................................... 15

7. Manifestasi klinis ....................................................................................... 18

8. Tatalaksana ................................................................................................ 23

9. Pemeriksaan penunjang ............................................................................. 26

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 29


BAB I
PENDAHULUAN

Insiden kolelithiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di


Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (1). Penyakit
batu empedu (cholelithiasis) sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (2). Dalam Third
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III), prevalensi
cholelithiasis di Amerika Serikat pada usia pasien 30-69 tahun adalah 7,9% pria
dan 16,6% wanita, dengan peningkatan yang progresif setelah 20 tahun.
Sedangkan Asia merupakan benua dengan angka kejadian cholelithiasis rendah,
yaitu antara 3% hingga 15% , dan sangat rendah pada benua Afrika, yaitu kurang
dari 5% (3).
Kolelithiasis merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung
empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat
menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (1,4). Peningkatan insiden
kolelithiasis dapat dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut 4 Fs : forty
(usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile
(paritas), fatty (obesitas) (5). Oleh karena angka kejadian yang tinggi tersebut,
maka dibutuhkan suatu pengetahuan sehingga seorang tenaga medis dapat
mendiagnosis, tatalaksana dan mencegah komplikasi kolelithiasis dengan tepat,
sehingga dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran
empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam
jiwa (1,5).

2. Anatomi Kandung Empedu

Gambar1.1.Anatomikandungempedudansaluranbilier
(sumber:www.pennstatehershey.adam.com)

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir


yang terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara
lobus kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 12 cm, dengan
kapasitas normal sekitar 35-50 ml (6).
Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan
kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar

3
menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah
bagian sempit dari kandung empedu (6,7).
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral,
tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati
oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi
akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti
kantong yang disebut kantong Hartmann (1).
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm
dengan diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup
berbentuk spiral yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut
mengatur cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan
tetapi dapat menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus
bergabung dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris
komunis (1,6).
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus
kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang
memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke
dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus
koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas
dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak di sebelah
medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter
oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga terpisah (1,6,7).
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus
yang terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus
merupakan cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang
dari arteri duktus hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali
dapat muncul dari arteri gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari

4
segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan
ujung hepar) (6)

1.2GambarAnatomikandungempedu(Paulsen,F.2013)

3. Fisiologi
A. Fisiologi saluran empedu
Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir
(wadah) dari cairan empedu sedangkan fungsi primer dari kandung
empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium (7).
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000
ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan
dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan

5
berkontraksi, sfingter akan mengalami relaksasi kemudian empedu
mengalir ke dalam duodenum. Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat
disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran empedu
lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur
oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus (1,6).
Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi
penting yaitu :
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan
dan absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan
dua hal antara lain: asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang
dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan
beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara
lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh
sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon
kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke
duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang
menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding
kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga
membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang
menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum.
Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh
serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus
dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu
pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap

6
perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam
makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi
bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan,
normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam (8).
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen
terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam
lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang
dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan (1,9)

B. Pengosongan kandung empedu


Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan
pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali
dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum. Hormon kemudian masuk kedalam peredaran darah,
menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan
ampula mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus
halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak (9).
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal :
a. Hormonal : Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah
sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga
hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang
paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b. Neurogen : i) Stimulasi vagal yang berhubungan dengan
fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan
refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi

7
dari kandung empedu. ii) Rangsangan langsung dari
makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai
sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan 14 dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun
sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan
inti batu (6).

C. Komposisi cairan empedu

Komponen Dari Hepar Dari Vesica Fellea


Air 97.5 gm % 95 gm%
Garam Empedu 1.1 gm % 6 gm%
Bilirubin 0.04 gm% 0.3 gm%
Kolesterol 0.1 gm % 0.3-0.9 gm%
Asam Lemak 0.12 gm % 0.3-0.12 gm%
Lechitin 0.04 gm % 0.3 gm %
Tabel 1.1 Komposisi cairan empedu (10)

a. Garam Empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam


empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat
dan Asam Cholat. 15 Fungsi garam empedu adalah :
i. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak
yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak
yang besar dapat dipecah menjadi partikel kecil untuk
dapat dicerna lebih lanjut.
ii. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid,
kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak. Garam
empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja
kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu
dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh
mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan

8
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi
garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari
ilium. Sehingga apabila terjadi gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka
absorbsi garam empedu akan terganggu (8).
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi
heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan
empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat
oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain
(konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. Salah
satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu,
normalnya antara 600-1200 ml/hari (10).
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk
sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari
kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan
absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung
dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi
volumenya 80- 90% (11).

4. Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka
kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia
Tenggara (1). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam
kelompok risiko tinggi yang disebut 4 Fs : forty (usia diatas 40 tahun
lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty
(obesitas) (5).

9
Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi
sebelumnya telah mengindentifikasi jenis kelamin perempuan,
bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu,
etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu empedu (12).
a. Umur
Frekuensi batu empedu akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4
hingga 9 kali lipat. Lin dkk menjelaskan bahwa usia tua memiliki
paparan panjang untuk banyak faktor kronis seperti hiperlipidemia,
konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan penurunan
motilitas kandung empedu dan terbentuknya batu empedu (13).
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.
Jenis batu juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya
terutama jenis batu kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi
empedu) namun dengan bertambahnya usia cenderung menjadi batu
pigmen. Selanjutnya gejala dan komplikasi akan meningkat dengan
bertambahnya usia hal tersebut sering dilakukan tindakan
kolesistektomi (4).

b. Jenis Kelamin dan Paritas


Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki
dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa
menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan
14 % laki-laki (11).
Pada wanita usia reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali
lebih tinggi dari pada laki-laki. Alasan untuk ini belum dijelaskan
secara penuh. Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu
di kandung empedu (14).
Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau
lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita multipara memiliki
prevalensi lebih tinggi dari GSD dari yang nulipara. Perbedaan gender
dan seringnya batu empedu terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan
dengan latar belakang hormonal. Peningkatan kadar estrogen diketahui

10
untuk meningkatkan ekskresi kolesterol dalam empedu dengan
menyebabkan supersaturasi kolesterol. Selama kehamilan, selain
peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan kandung empedu
menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu empedu
(13,14).

c. Genetik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga,
genetika, diet, dan kebiasaan budaya memiliki peran utama dalam
timbulnya batu empedu. Analisis pasangan kembar dari The Swedish
Twin Registry menunjukkan faktor genetik 25% merupakan faktor
risiko terjadinya batu empedu. Dimana ABCG8 D19H genotipe
heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya batu
empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan
penyerapan kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum,
dan sintesis kolesterol di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan
resistensi insulin. Penelitian barubaru ini didapatkan fakta bahwa,
kerentanan seseorang terhadap terjadinya batu empedu dipengaruhi oleh
Mucin gene polymorphisms atau FGFR4 polymorphism. The mucin-
like protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs3758650
dianggap sebagai penanda genetik untuk memprediksi terjadinya
penyakit batu empedu (15).

d. Obesitas
Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait
dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati
dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan
meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan
pembentukan batu empedu (13).
Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting
dari kolelitiasis (14).
Orang dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi
kolesterol dalam empedu. Pada saat yang sama, jumlah yang dihasilkan

11
kolesterol berbanding lurus 19 dengan kelebihan berat badan (16).
Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko
kolelitiasis pada pria. Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus
berat badan lebih terkait dengan risiko yang lebih besar (12).

e. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada
studi yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma
metabolik berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu
dihubungan dengan usia dan jenis kelamin (16).
Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat dilaporkan
bahwa usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan
kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat
dengan terjadinya batu empedu (13).
Penurunan level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah
satu risiko terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal
dari HDL C. Penurunan konsentrasi HDL C dikaitkan dengan
resistensi insulin. Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan
kadar Trigliserida (TG) menyebabkan penurunan kontraksi dari
kandung empedu yang berakibat pembentukan batu empedu (17).

f. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) dikaitkan dengan terjadinya batu empedu
masih kontroversi. Beberapa studi di barat dilaporkan bahwa DM
berkaitan dengan batu empedu dimana hiperglikemi umumnya terdapat
pada grup batu empedu pada analisis univariat tetapi tidak terdapat pada
grup batu empedu dengan multi 20 logistik regresi. Penelitian pada
tikus dengan hiperinsulinemia terdapat spesifik spesifik FOXO1 protein
yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam
bile (18).
Hiperglikemia menghambat sekresi bile dari hati dan dapat
menggangu kontraksi dari kantung empedu serta menpunyai efek
terhadap molititas dari kandung empedu hal ini dapat meningkatkan
risiko terjadinya batu empedu (12).

12
5. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan
bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui
dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan
susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam
kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus (19).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan
batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap,
menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat
menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari
empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang
dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu (10).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus,
batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial
atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu
terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau

13
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus
sistikus (1).

6. Patofisiologi
A. Patofisiologi batu empedu
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1)
pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau
pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang
terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen.
Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan
asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut
dalam media yang mengandung air. Empedu \ dipertahankan dalam
bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau
kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan
keadaan yang litogenik (11).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus
atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi
kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi
yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel
yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai
sebagai benih pengkristalan (9).
B. Klasifikasi kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (1,12).
a. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung
lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah
kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu,
2007). Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui

14
dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter,
besar, dan permukaannya halus. Empedu yang disupersaturasi
dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 %
kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini
merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling
sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi
jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam
daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung
pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat
dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan
kolesterol (9).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam
empat tahap :
i. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
ii. Pembentukan nidus.
iii. Kristalisasi/presipitasi.
iv. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar
kolesterol dan senyawa lain yang membentuk
matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu
yang mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
i. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah
dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh
adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran
empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim
Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan

15
dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi
kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian
yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat
antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen
cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk
di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi
(8).
ii. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat
hitam yang tak terekstraksi ( 1). Batu pigmen hitam
adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati.
Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
25 polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya
batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu
yang steril (7).
c. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana
mengandung 20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran
kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis.
batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar
dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama
dengan batu kolesterol (11)

7. Manifestasi Klinis
A. Batu kandung empedu (Kolesistolitiasis)
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak
memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala
nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik

16
berulang ataupun dispepsia, mual (1). Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua penderita dengan batu kandung
empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-benar
mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5
tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi
rutin dalam semua penderita dengan batu empedu asimtomatik
(9).
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca prandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu
empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (20).
c. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu
empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan
abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan
atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun
didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi
atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke
ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan
penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari.

17
Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan
pada kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy sign
(penderita berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan).
Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus.
Kebanyakan penderita akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik (11; 20).
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala
kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri
hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah
epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan
(Murphy sign). Penderita dapat berkeringat banyak dan
berguling ke kanankiri saat tidur. Nausea dan muntah sering
terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kembali terulang (7).
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut,
tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata.
Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri
ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk,
batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung
empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat
menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah
infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus
sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat
sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu
dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan
peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau
menyebakan ruptur dinding kandung empedu (21).
B. Batu saluran empedu (Koledokolitiasis)
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di
epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti
demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul
serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan

18
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias
Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold,
berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan
mental atau penurunan kesadaran sampai koma (21).
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat
serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin
mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan
bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan adanya
obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode
parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu
empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum
diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat
menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu
empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif (11).

Gambar1.3.Cholelithiasis(sumber:www.pennstatehershey.adam.com)

8. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak (1).

19
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (1,21).
Pilihan penatalaksanaan antara lain (1,7)

Gambar1.4Cholesistotomy(sumber:www.pennstatehershey.adam.com)

A. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
penderita dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang
terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum
untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.

B. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada
tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan
secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang
dengan cara ini karena memperkecil risiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan

20
mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan
kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita dengan
kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena
semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada penderita dengan kolesistitis akut dan
penderita dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, penderita dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun
dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat
terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (11).
C. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang
dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan
hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini
dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang
dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini sukses.
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
peratif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu
kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten (9).
D. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut
kolesterol yang poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam
kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah
terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada penderita-

21
penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (9).
E. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.
Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada penderita yang telah benar-benar dipertimbangkan
untuk menjalani terapi ini (9,21).
F. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal
bahkan di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai
prosedur yang bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya
kritis (1).
G. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui
mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat
kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah
selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter
dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran
akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah
berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran
empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat
(9).
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

22
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

23
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan

24
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
b. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam

usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan

25
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus
oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
b. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
9. Pemeriksaan penunjang
Dalam menegakkan diagnosis kolellithiasis dapat dilakukann beberapa
pemeriksaan yaitu:
A. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan pemeriksaan yang banyak digunakan
untuk mendeteksi batu empedu. USG memiliki sensitivitas 95%
dalam mendiagnosis batu kandung empedu yang berdiameter
1,5mm atau lebih. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang
oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum
rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa. Pelebaran saluran empedu
merupakan tabung (tubulus) yang anekoik (cairan) dengan dinding
hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi.
Kadang-kadang berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang
tidak terdapat pada vena porta. Pada dinding bawah
bagian posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic
enhancement).
Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus choledochus
melebar atau tidak, maka pemeriksaan dilakukan setelah penderita
diberi makan lemak terlebih dahulu. Pada keadaan obstruksi
duktus choledochus, maka setelah fatty meal tersebut akan
terlihat lebih lebar; sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada

26
usia tua, di mana elastisitas dinding saluran sudah berkurang, maka
diameternya akan menjadi lebih kecil. Prosedur ini akan
memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa
pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam
keadaan distensi.
B. Computed Tomography (CT)
Berguna untuk mendeteksi atau mengeksklusikan batu empedu,
terutama batu yang sudah terkalsifikasi, namun lebih kurang
sensitif dibandingkan dengan USG dan membutuhkan paparan
terhadap radiasi.
C. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
Cholangiopancreatography (MRCP)
Lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran
empedu yang terdilatasi.
D. Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Lebih untuk mendeteksi batu pada saluran empedu

Gambar1.5EndoscopicRetrogradeCholangiopancreatography(ERCP)
(Williams,2013)

27
E. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin
serum terjadi akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Tes
laboratorium sangat membantu, tetapi memberikan hasil yang tidak
spesifik untuk diagnosis cholelithiasis. Karena pasien dengan
cholelithiasis tidak menimbulkan gejala atau sering asimptomatik
sehingga hasil tes laboratorium normal berarti tidak ditemukan
kelainan. Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah yaitu
bilirubin, tes fungsi hati, dan enzim pankreatik. Hasil yang
diperoleh, diantaranya :
i. Meningkatnya serum kolesterol.
ii. Meningkatnya fosfolipid.
iii. Menurunnya ester kolesterol.
iv. Meningkatnya protrombin serum time
Tes fungsi hati: meningkatnya bilirubin total lebih dari 3mg/dL,
transaminase (serum glumatic-pyruvic transaminase dan serum
glutamic-oxaloacetic transaminase) meningkat pada pasien
choledocholithiasis dengan komplikasi cholangitis, pankreatitis
atau keduanya (22).
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica

28
BAB III
KESIMPULAN

Insiden kolelithiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian


di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (1).
Kolelithiasis merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung
empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat
menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (1,4). Peningkatan insiden
kolelithiasis dapat dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut 4 Fs : forty
(usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile
(paritas), fatty (obesitas) (5).
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Alternatif pilihan
terapi untuk kolelithiasis adalah kolesistektomi terbuka, kolesistektomi
laparoscopy, disolusi medis, disolusi kontak, kolesistotomi, ESWL atau ERCP
(1,7).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2004. Luka. Dalam: Buku-ajar ilmu


bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC h: 67-8, 70-1
2. Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid
1. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3. Greenberger, Norton J, 2009. Current Diagnosis & Treatment
Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. USA: McGraw-Hill. pp. 537-
46
4. Stinton LM, Shaffer EA (2012). Epidemiology of gallbladder disease. Gut
and Liver, 6 (2): 172-187. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. pdf Diakses
Desember 2016
5. Reeves, C ,dkk., 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Salemba
Medika. Jakarta
6. Tank PW (2013). Grants dissector. Edisi ke 15. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
7. Doherty GM, Way LW. Liver and porta; venosus system. In: Doherty GM,
Way LW. Current surgical diagnosis and treatment, 11th edition. Singapore:
Mc Graw Hill 2003:565-94
8. Jackson PG, Evans STR (2012). Biliary system. Dalam: Townsend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL (eds). Sabiston textbook of surgery:
The biological basis of modern surgical practice. Edisi ke 19. Philadelphia:
Elsevier Inc, pp: 1476-1514.
9. Wittenburg H. Hereditary liver disease: gallstones. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2010;24(5):747-756.
10. Guyton AC, Hall JE (2008). Textbook of medical physiology. 11th edition.
Alih bahasa Irawati, Ramadhani D, Indriyani F, Dany F, Nuryanto I, Rianti
SSP, Resmisari T, et al. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Chen LY, Qiao QH, Zhang SC, Chen YH, Chao GQ, Fang LZ (2012).
Metabolic syndrome and gallstone disease. World Journal of

30
Gastroenterology, 18 (31): 4215-4220. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. pdf
Diakses Desember 2016.
12. Liu CM, Tung TH, Chou P, Chen VTK, Hsu CT, Chien WS, Lin YT et al
(2006). Clinical correlation of gallstone disease in Chinese population
Taiwan: Experience at Cheng Hsin General Hospital. World J Gastroenterol,
12 (8): 1281-1286. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. pdf Diakses Desember
2016.
13. Ko CW, Beresford SAA, Schulte SJ, Lee SP (2008). Insulin resistance and
incident gallbladder disease in pregnancy. Clin Gastroenterol Hepatol, 6 (1):
76-81. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. pdf Diakses Desember 2016.
14. Lesmana LA (2009). Penyakit batu empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke 5. Jilid I. Jakarta:
15. Beckingham, I.J. (2001). ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary
System Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal V. 322, 13
Januari 2001. http://www.pubmedcentral.articlerender.artid diakses
Desember 2016
16. Portincasa P, Ciaula AD, Bonfrate L, Wang DQ. Therapy of gallstone
disease: what it was, what it is, what it will be. World J Gastrointest
Pharmacol Ther. 2012;3(2):7-20.
17. Bellows CF, Berger DH, Crass RA. Management of gallstones. Am Fam
Physician. 2005;72(4):637-642.
18. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J
Long Term Eff Med Implants. 2005;15(3):329-338.
19. Brown LM, Rogers SJ, Cello JP, Brasel KJ, Inadomi JM. Cost-effective
treatment of patients with symptomatic cholelithiasis and possible common
bile duct stones. J Am Coll Surg. 2011;212(6):1049-1060.e1-e7.
20. Mori T, Sugiyama M, Atomi Y. Gallstone disease: Management of
intrahepatic stones. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006;20(6):1117-
1137.
21. Chang JH, Lee IS, Lim YS, et al. Role of magnetic resonance
cholangiopancreatography for choledocholithiasis: analysis of patients with
negative MRCP. Scand J Gastroenterol. 2012;47(2):217-224.
22. Tandan M, Reddy DN. Extracorporeal shock wave lithotripsy for pancreatic
and large common bile duct stones. World J Gastroenterol.

31
2011;17(39):4365-4371.

32

Anda mungkin juga menyukai