Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid (typhus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi


akut yang disebabkan oleh salmonella typhi.Demam paratifoid adalah penyakit
sejenis yang di sebabkan oleh salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda
kedua penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih
ringan. Kedua penyakit di atas di sebut tifoid. Terminologi lain yang sering
digunakan adalah typhoid fever,paratyphoid fever, typhus, dan paratyphus
abdominalis atau demam enterik(Widoyono, 2011)

Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara.Seperti penyakit


menular lainya, tifoid banyak di temukan di negara berkembang di mana higiene
pribadi dan sanitasi lingkunganya kurang baik.Prevalensi kasus bervariasi
tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan prilaku masyarakat.Angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang
meningggal karena penyakit ini.WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di
Asia. (widoyono 2011).

Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid.Diperkirakan terdapat


800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang di temukan sepanjang
tahun.Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak
berbeda jauh antar daerah.Serangan penyakit lebih bersifat sporadis dan bukan
epidemik.Dalam suatu daerah terjadi kasus yang berpencar pencar dan tidak
mengelompok.Sangat jarang di temukan beberapa kasus pada satu keluarga pada
saat yang bersamaan.(Widoyono, 2011).

Kejadian demam tifoid di indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,


yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Ditjen Bina Upaya
2

Kesehatan Masyarakat Departemen kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam


tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat
inap di rumah sakit di indonesia (41.081 kasus). (Djoko Widodo, 2014).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, hal tersebut yang
mendasari penulis untuk melakukan penelitian tentang faktor- faktor karakteristik
yang berhubungan dengan terjadinya demam tifoid pada anak di rumah sakit Haji
Medan tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : Adakah faktor-faktor


karakteristik yang berhubungan terjadinya demam tifoid di rumah sakit umum haji
Medan tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor


karakteristik yang berhubungan terjadinya demam tifoid pada anak di Rumah
Sakit Haji Umum Medan tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui adakah hubungan umur terhadap terjadinya demam tifoid


pada anak.
2. Untuk mengetahui adakah hubungan jenis kelamin terhadap terjadinya demam
tifoid pada anak.
3. Untuk mengetahui adakah hubungan status gizi terhadap terjadinya demam
tifoid pada anak.
3

1.4 Hipotesis Penelitian

Ha: Tidak ada hubungan antara umur, jenis kelamin dan status gizi terhadap
terjadinya demam tifoid pada anak di Rumah Sakit Haji Umum Medan tahun
2017

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dan


pengalaman dalam menyusun proposal penelitian sebagai dasar untuk
penelitian lebih lanjut serta sarana untuk menerapkan ilmu dan teori yang
telah diperoleh mengenai demam tifoid.

1.5.2 Manfaat Bagi Rumah Sakit

Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan rumah


sakit khususnya di ruang anak dengan penyakit demam tifoid anak.

1.5.3 Manfaat Bagi Dinas Kesehatan


Sebagai bahan masukan peningkatan program dan pelayanan esehatan
serta pencegahan penyakit khususnya demam tifoid
1.5.4 Manfaat Bagi Masyarakat
Masyarakat mendapat informasi tentang penyakit demam tifoid terutama
pada anak
1.5.5 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat di gunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan
informasi untuk penelitian tentang demam tifoid selanjutnya.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid (typhus abdominalis, enteric fever) ialah suatu penyakit


infeksisistemik bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella typhi.
(Sumarmo,2012).

Penyakit ini di tandai dengan panas yang berkepanjangan atau demam


dalam satu minggu atau lebih di sertai dengan gangguan saluran pencernaan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularan penyakit ini hampir selalu
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. (Rampengan,2013).

Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara.Seperti penyakit


menular lainya, tifoid banyak di temukan di negara berkembang di mana higiene
pribadi dan sanitasi lingkunganya kurang baik.Prevalensi kasus bervariasi
tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan prilaku masyarakat.Angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang
meningggal karena penyakit ini.WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di
Asia. (widoyono, 2011).

Menurut Depkes RI tahun 2010, berdasarkan profil kesehatan indonesia


penderita demam tifoid dan paratifoid yang di rawat inap di rumah sakit sebanyak
41.081 kasus dan 279 diantaranya meninggal dunia.(profil kesehatan,2010)

Sampai saat ini, demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan, hal ini
di sebabkan oleh kesehatan lingkungan yang kurang memadai.Walaupun
pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi masalah, namun masalah
diagnostik kadang-kadang menjadi masalah terutama ditempat dimana tidak dapat
dilakukan pemeriksaan kuman maupun pemeriksaan laboratorium. mengingat hal
tersebut, pengenalan gejala klinis menjadi sangat penting untuk membantu
diagnosis. (Rampengan,2013)
5

2.2 Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid di sebabkan oleh infeksi kuman salmonella typhy,


merupakan kuman gram negatif, motil,bersifat aerobik, bergerak dengan rambut
getar dan bersifat tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali
pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih rendah, serta mati pada
suhu 70 C ataupun oleh antiseptik. Sampai saat ini, diketahui bahwa kuman ini
hanya menyerang manusia. (Rampengan 2013 & Nasronudin2007).

Salmonella typhy mempunyai tiga antigen yang penting untuk


pemeriksaan laboratorium, yaitu: (penyakit tropis, widoyono, 2011)

1. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang


mempunyai komponen protein, lipopolisakarida (LPS) dan
lipid. Sering di sebut endotoksin.
2. Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae dan pili
dari kuman, berstruktur kimia protein.
3. Antigen Vi (Antigen Permukaan), pada selaput dinding kuman
untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein.
(Nasronudin, 2007)

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan


tiga pembentukan tiga macam antibodi yang lazim di sebut dengan aglutinin. Ada
tiga spesies utama, yaitu:
a. Salmonella Typhosan (satu serotip)
b. Salmonella Choleraesius (satu serotip)
c. Salmonella Entereditis (lebih dari 1500 serotip).

Mikroorganisme dapat di temukan pada tinja dan urin setelah satu minggu
demam (hari ke-8 demam). Jika penderita di obati denan benar, maka kuman tidak
akan di temukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih
terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja, maka
penderita dinyatakan sebagai carrier. Kuman salmonella bersembunyi dalam
6

kandung empedu orang dewasa, jika carrier tersebut mengonsumsi makanan


berlemak, maka cairan empedu akan di keluarkan ke dalam saluran pencernaan
untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman salmonella).
Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme di buang melalui tinja yang
berpotensi menjadi sumber penularan penyakit. (Penyakit Tropis, Widoyono,
2011)

Gambar 2.2.1. Bakteri salmonella typhi

Sumber: wanenoor.blogspot.co.id./2011/08/penyakit-typus-demam-tifoid-
dan.html#WGTtdSCyRoM

2.3 Penularan Demam Tifoid

Penularan demam tifoid adalah melalui fekal oral. Kuman berasal dari
tinja atau urin penderita yang mask ke dalam tubh manusia melalui air dan
makanan. Pernah di laporkan di beberapa negara bahwa penularan terjadi karna
masyarakat mengonsumsi kerang-kerangan yang airnya tercemar kuman.
Kontaminasi dapat juga terjadi pada sayuran mentah dan buah-buahan yang
pohonya di pupuk dengan kotoran manusia. Vektor berupa serangga (antara lain
lalat) juga berperan dalam penularan penyakit.
7

Gambar 2.3.1. penularan penyakit tifoid melalui mulut

Sumber:www.google.co.icpenyakittifus

2.4Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di


berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di
dunia ini sangat sukar di tentukan, sebab penyakit ini di kenal mempunyai gejala
dengan spektrum klinisnya sangat luas. (buku ajar penyakit infeksi dan pediatri
tropis, 2012)

Angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000
orang meninggal karena penyakit ini. WHO memperkirakan 70% kematian terjadi
di Asia. (widoyono, 2011)

Di Amerika serikat, pada tahun 1950 tercatat sebanyak 2.484 kasus


demam tifoid. Sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar
900/10.000 penduduk pertahun. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan tahun 2010, melaporkan dema tifoid menempati urutan
8

ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia(41.081 kasus). (widoyono 2011, Djoko Widodo 2014).

Di indonesia, insidens demam tifoid banyak di jumpai pada populasi yang


berusia 3-19 tahun. Di perkirakan insidensi demam tifoid pada tahun 1985 di
Indonesia sebagai berikut:

Umur 0-4 tahun :25,32%


Umur 5-9 tahun :35,59%
Umur 10-14 :39,09%

Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan
perempuan. Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan, sedangkan
dari kepustakaan barat di laporkan terutama pada musim panas. (Djoko Widodo
2014& Rampengan2013)

2.5 patogenesis Demam Tifoid

Masa inkubasi di hitung mulai saat pertama kali kuman masuk kemudia
tidur sebentar untuk kemudian menyerang tubuh kita, masa ini berlangsung
selama 7-12 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Salmonella thypi
didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi melalui
berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers(jari
tangan/kuku), Fomitus(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses. (Zulkoni, 2011)

Kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi yang masuk kedalam


tubuh manusia, sebagian dimusnahkan kedalam lambung, sebagian masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutamaIgM) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag.(Djoko, 2014)
9

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag danselanjutnya


dibawa ke Plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika.(Djoko, 2014)

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag


ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikoloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterinemia yang kedua kalinya
dengan di sertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksis sistemik. (Djoko,2014)

Di dalam hati, kuman masuk kedalam kantung empedu, berkembang biak,


dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkanmelalui feses dan sebagian lagi masuk kedalam
sirkulasi setelahmenembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofak telah terinvasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepada mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. (Djoko, 2014)

Di dalam Plague peyeri makrofak hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia


jaringan (S. Thypi intra makrofak menginduksi reaksi hipersensitivitastipe lambat,
hiperplasia organ dan nekrosis organ).Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar Plague peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakitkan perforasi. (Djoko, 2014)

a. Peran endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan. Diduga endotoksin dari Salmonella thypi menstimulasi makrofak
10

dalam hati, limfe, folikel limfosa usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofak inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vascular tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunoligik.
(Rampengan, 2013).
Endotoksin dapat menempel di sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan
gangguan organ lainya. (Djoko, 2014)

b. Respon imunologik
Pada demam tifoid terjadi respon humoral maupun seluler, baik ditingkat lokal
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana mekanisme
imunologis ini dalam menimbulkan kekebalan ataupun eliminasi terhadap
Salmonella thypi tidak diketahui secara pasti, diperkirakan bahwa imunitas lebih
berperan. (Sumarmo,2012).

2.6 Manifestasi Klinis Demam Tifoid


Manifestasi klinis dari anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
berfariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegangan
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada anak terutama pada penderita yang lebih muda, seperti tifoid
kongenital ataupun tifoid pada bayi bila hanya berpegang pada gejala atau tanda-
tanda klinis (Rampengan, 2013)
Masa inkubasi rata-rata berfariasi 10-14 hari, inkubasi terpendek 3 hari
dan terlama 60 hari, dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai koleransi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status
imunologis penderita. (Rampengan, 2013)

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,anoreksia, mual, muntah, diare,
11

konstipasi.Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat


(meningkat perlahan- lahan terutama sore ke malam hari). (Djoko Widodo, 2014)

Setelah minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin
disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. (Rampengan, 2013)

Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbuldapat dikelompokkan: (1) Demam satu minggu atau
lebih (2) Gangguan saluran pencernaan (3) Gangguan kesadaran.(Rampengan,
2013)

(1.) Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi.Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari.Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam.Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
(2.) Gangguan pada saluran pencernaan.
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap.Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden).Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus).Hati dan limpa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
(3.) Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen.Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Disamping gejala-gejala yang ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala


lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-
bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya ditemukan
12

dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak


besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis (Rusepno,2007)

Gejala lain yang dapat di jumpai yaitu: bradikardi, pendengaran menurun,


tifoid tongue, roseola, tidak enak di perut(abdominal tenderness), kembung,
hepatomegali, splenomegali. (Nasronudin,2007)

2.7 Diagnosis Banding Demam Tifoid

Bila terdapat demam tifoid yang lebih dari 1 minggu perlu


dipertimbangkan apakah selain tifus abdominalis, penyakit-penyakit sebagai
berikut parafoid A,B,dan C, influenza, malaria, tuberkulosis, dengue dan
pneumonia lobaris.(Rusepno, 2007).

Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosa banding.(Sumarmo, 2012)

2.8 Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid

Pemeriksaanlaboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis,


kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi
penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan
hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.(Henry, 2009)

1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi.Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi
dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan
limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit
normal atau menurun (trombositopenia). (Henry, 2009)
2. Urinalis
13

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) leukosit dan
eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. (Henry, 2009)
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT,SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis akut. (Henry, 2009)
4. Imunologi

a.Uji Widal

Uji widal di lakukan untuk deteksi terhadap kuman Salmonella typhi.Ada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dengan antibodi yang disebut aglutin. Antigen yang digunakanpada uji widal
adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah di matikan dan diolah di
laboratoriun. (Djoko, 2014)

Maksud uji widal adalah untuk menetukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu: (Djoko, 2014)

a. Aglutini O (dari tubuh kuman)


b. Aglitinin H (flagella kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di gunakan untuk
diagnosis demam tifoid.Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Nilai aglutinin: O dan H=1/80, 1/160, 1/320 batas ambang
1/160 dan 1/320 positif demam tifoid. (Djoko, 2014)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:

a. Pengobatan dini dengan antibiotik


b. Gangguan pembentukan antibodi dan pemberikan kortikosteroid
c. Waktu pengambilan darah
d. Daerah endemik atau non endemik
e. Riwayat vaksinasi
14

f. Reaksi anamnestik, yaitu peningata titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
g. Faktor tehnik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. (Djoko, 2014)

Pemeriksaan widal akan menunjukakan hasil siknifikan apabila dilakukan


secara serial perminggu, dengan adanya peningkatan titer sebanyak 4 kali. Nilai
titer yang dianggap positif demam tifoid tergantung dari tingkat endemisitas
daerah. Lapotan dari daerah menunjukakan nilai standar uji widal O positif yang
berbeda-beda, misalnya Jakarta: titer >1/180, Yogyakarta: titer > 1/160, Surabaya:
titer >1/160, Makasar: titer > 1/320, dan Manado: titer > 1/80. (Widoyono, 2011)

b. Pemeriksaan ELISA (Enzym Linkage Immunosorbent Assay)


pemeriksaan Elisa Salmonella Typhi IgG dan IgM merupakan uji
imunologik yang lebih baru, yang di anggap lebih sensitif dan spesifik di
bandingkan uji widal untuk mendeteksi demam tifoid/paratifoid. Sebagai tes cepat
(Rapid Test) hasilnya juga dapat segera diketahui. Diagnosis demam tifoid di
nyatakan 1: bila IgM positif menandakan infeksi akut, 2: jika IgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeeksi/ reinfeksi/daerah endemik. (Henry,
2009)
c.Uji Tubex
Merupakan uji semi/kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respon imun secara independen terhadap timnus dan merengsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap
antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap antigen O9 dapat
dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari 2-3 unuk
infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM
15

dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat digunakan sebagai modalitas
untuk mendeteksi infeksi lampau. (Djoko, 2009)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tiga macam komponen, meliputi:
a. Tabel berbentuk V, yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas.
b. Reagen A, yang mengandung partikel magnetic yang diselubungi dengan
antigen S.typhi O9
c. Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang
diselubungi antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9.
(Djoko, 2009)

Tabel 2.8.1 Interpretasi Hasil Uji Tubex (Djoko, 2009)


Skor Interpretasi
<2 Negatif tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid

3 Borderlinepengukuran tidak dapat


disimpulkan. Ulangi pengujian

4-5 Positif menunjukkan infeksi tifoid


aktif

<6 Positif indikasi kuat infeksi tifoid

5. Mikrobiologi
Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan
demam Tifoid/ parafoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu
bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2ml, darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan),
saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya
tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
16

(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari).Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah
darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. (Henry,
2009)

2.9 Penatalaksanaan Demam Tifoid


Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
A. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. (Djoko, 2014)
B. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
(Djoko, 2014)
C. Obat-obatan
1. Kloramfenikol: di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan pada aanak
adalah 100 mg/kgBB/hari di bagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari
atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedangkan pada kasus malnutrisi
atau penyakit, pengobatan dapat di perpanjang sampai 21 hari, 4 minggu
untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya
angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang di laprkan.
(Buku Infeksi Pediatri Tropis, 2012)
2. Tiamfenikol: dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol, deman turun setelah 5-6 hari. Akan tetapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia plastic lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis oral tiamfenikol yang
dianjurkan 50-100 mg/kgbb/hari, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6. (Djoko, 2014)
3. Kotrimoksazol: efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol, dosis oral yang di anjurkan adalah 30-40 mg/kgBB/hari.
Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat di gunakan untuk kasus resisten
terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baikdan kemungkinan
17

timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil di bandingkan kloramfenikol.


Kelemahanya adalah dapat menyebabkan skin rash(1-15%), sindrom steven
johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis
eritrosit. (Rampengan, 2013)
4. Ampisilin dan amoksisilin: Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan
demam bila di bandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk
mengobati karier. Kelemahanya dapat terjadi skin rash (3- 18%), dan
diare(11%).
Amoksisilin mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan ampisilin,
tetapi penyerapan oral lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali
lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan(2-5%) dan karier(0-
5%). Dosis yang di anjurkan adalah:
Ampisilin 100-200 mg/kg/BB/hari, selama 10-14 hari
Amoksisilin 100 mg/kg/BB/hari, selama 10-14 hari. (Rampengan, 2013 : 61)
5. Golongan Flurokuinolon : (Djoko, 2014 : 553)
- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
6. Kortikosteroid: hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat
menyebabkan perdarahan usus dan relaps. Akan tetapi, pada kasus berat
penggunaan kortikosteroid secara bermakna menurunkan angka kematian.
(Rampengan, 2013 : 62)

2.10 Komplikasi Demam Tifoid


Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian:

2.10.1 Komplikasi Intestinal:


a. Pedarahan Usus
18

Pada anak lebih jarang dilakukan pemeriksaan tinja dengan


benzidin.Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat
disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan. (Rusepno,
2007 : 595)
b. Perforasi usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang di rwat. Biasanya timbul pada
minggu ke tiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Gejala
umumnya nyeri perut yang hebat trutama di derah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut.(Djoko, 2014 : 554)
c. Peritonitis
Biasanya disertai perforasi tetapi dapat terjadi perforasi
usus.Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekanan.
(Rusepno, 2007)

2.10.2 Komplikasi Ekstara-intestinal.

Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu:


meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder,
yaitu bronkopneumonia.Dehidrasi dan asidosis dapat timbil akibat masuknya
makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi. (Rusepno,
2007)

2.11 Pencegahan Demam Tifoid

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan


demam tifoid. Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat
membantu. Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi,
berguna untuk mencegah penyakit. Secara lebih detail, srategi pencegahan demam
tifoid mencakup hal-hal berikut: (Widoyono,2011)

a. Penyediaan sumber air minum yang baik


b. Penyediaan jamban yang sehat
19

c. Sosialisasi budaya cuci tangan


d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e. Pemberantasan lalat
f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g. Imunisasi demam tifoid.

Vaksin yang digunakan ialah: (Rampengan, 2013)

a. Vaksin yang dibuat dari salmonella typhi yang dimatikan.


b. Vaksin yang dibuat dari strai salmonella typhi yang dilemahkan.
c. Vaksin polisakarida kapsular Vi

Vaksin terbuat dari salmonella typhi yang dimatikan pada pemberian oral
ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik. Sedangkan vaksin yang
terbuat dari salmonella typhi yang dilemahkan dari strain pada pemberian oral
memberikan perlindungan 87-95% selama 36 bulan, dengan efek samping 0-5%
berupa demam atau nyeri kepala. Vaksin yang terbuat dari kapsul yang
disuntikkan secara subkutan atau intaramuskular 0,5 mL dengan booster 2-3
bulan, dengan efek samping demam 0-1%, sakit kepala 1,5-3%, dan 7% berupa
pembengkakan dan kemerahan pada tempat suntikan. (Rampengan, 2013 : 62)

Imunisasi rutin dengan vaksin tipoid pada orang yang kontak dengan
penderita seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid
dinggap kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar
oleh carrier. Vaksin oral tifoid bias juga memberi perlindungan parsial terhadap
demam paratifoid, karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif
untuk demam paratifoid. (Widoyono, 2011: 46)

2.12 Faktor yang Mempengaruhi Demam Tifoid.


1. Usia

Usia mempunyai pengaruh terhadap terjadinya demam tifoid diperkirakan


insidens tahun 2005 di Indonesia 0-4 tahun : 25,32% , 5-9 tahun: 35,59%, 10-14
20

tahun: 39,0%.Didaerah endemis dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91%


kasus.Dan di negara berkembang kematian bisa mencapai >10%. (Rampengan,
2013)

2. Jenis Kelamin

Insidensi demam tifoid tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
(Rampengan, 2013)

3. Status Gizi

Dalam buku petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi (PSG) Anak , klasifikasi
status gizi dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu: Gizi lebih, gizi baik, gizi
sedang, gizi kurang, gizi buruk. Baku rujukan yang digunakan adalah World
Heatlh Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS) dengan
berat badan menurut umur.(suprariasa, 2004)

2.12.1 Tabel Klasifikasi Status Gizi

Kategori Cut Of Point

110 120 % Gizi Lebih

90 110 % Gizi Baik

80 90 % Gizi Sedang

70 80 % Gizi Kurang

<70 % Gizi Buruk

Sumber:Supariasa,2016
21

2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor-faktor yang mempengaruhi


terjadinya demam tifiod pada anak:

a. Umur Demam Tifoid Pada


b. Jenis kelamin Anak
c. Status gizi

Variabel Independen Variabel Dependen


22

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain/Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei yang bersifat analitik, dengan


pendekatan case control study yaitu penelitian yang dilakukan secara retrospektif.
Rancangan tersebut bergerak dari akibat (penyakit) ke sebab (paparan).
(Notoadmodjo, 2012)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Medan

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai dari bulan agustus 2017 sampai bulan Januari 2018

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi kasus (Januari -desember 2016) dalam penelitian ini adalah


semua pasien anak yang di rawat inap dan menderita demam tifoid di
Rumah Sakit Umum Haji Medan pada tahun 2017

3.3.2 Populasi Kontrol

Populasi kontrol adalah pasien anak yang di rawat inap di RSUH


Medan yang bukan menderita demam tifoid berjumlah 80 orang
(Januari -Desember 2017)
23

3.3.3 Sampel Penelitian

Sampel kasus adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap mewakili populasinya. Teknik penelitian ini
menggunakan teknik total sampling untuk sample kasus, dan untuk
kontrol pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling.
Dengan total sample sebanyak 80 orang kasus dan 80 orang kontrol.
Adapun kriteria yang di pakai dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan kriteria inklusi dan eklusi.

a. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian pada


populasi terjangkau.Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah:
Pasien anak demam tifoid yang menjalani rawat inap di
RS Haji Medan
Pasien anak demam tifoid yang berusia 7-14 tahun
Pasien anak dengan diagnosa demam tifoid yang
memiliki data-data pemeriksaan di RS Haji Medan.

b. Kriteria Ekslusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek


memenuhi kriteria inklusi harus di keluarkan dari studi. Yang
termasuk kriteria eksklusi adalah:
Pasien anak demam tifoid yang memiliki penyakit lainya
Pasien anak demam tifoid yang tidak memiliki data
pemeriksaan laboratorium di RS Haji Medan
24

3.4 Definisi Operasional


Tabel Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Nilai


Oprasional dan Cara
Pengukuran
Umur Umur adalah Rekam Dikategorikan Interval
lama waktu Medik menjadi:
hidup atau
ada sejak a. 0-6tahun
dilahirkan b. 7-14tahun

Jenis Jenis Rekam Dikategorikan atas: Nominal


Kelamin kelamin sifat Medik
laki-laki atau a. Laki-laki
perempuan b. Perempuan
(dalam
golongan
masyarakat)

Status Penlaian Rekam Medis a. Gizi baik Ordinal


Gizi asupan gizi b. Gizi kurang/buruk
anak.

3.5 Metode Pengumpulan Data


Untuk mengumpulkan data, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada
pempinan rumah sakit. Setelah mendapat izin peneliti malaksanakan proses
pengumpulan data. Data yang diperoleh berupa data sekunder.
Data sekunder yang di perlukan dari rekam medis periode Januari-Desember
2016 berupa: umur, jenis kelamin, status gizi dari pasien anak yang di rawat inap
di Rumah Sakit Umum Haji Medan.

3.5 Teknik Pengolahan


Setelah pengumpulan data selesai, dilakukan pengolahan data :
1. Editing (Penyunting Data)
25

Langkah ini untuk memeriksa data yang diperoleh. Mencakup


kelengkapan data, kekeliruan pengisian, data sampel yang tidak
sesuai tidak lengkap.
2. Koding
Data yang diperoleh diberikan kode tertentu untuk mempermudah
pembacaan data.
3. Tabulasi
Setelah dilakukan koding, data yang terkumpul dimasukkan kedalam
tabel frekuensi sesuai dengan kategori masing-masing, sehingga
memudahkan untuk dianalisa.
4. Memasukkan data
Data yang telah diubah dalam bentuk kode kemudian dimasukkan ke
dalam program SPSS.
5. Cleaning
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program
SPSS guna menghindari kesalahan dalam memasukkan data.

3.6 Analisa Data


3.6.1 Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distibusi dan persentase dari
tiap variabel.Data hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk tabel.

3.6.2 Analisa Bivariat


Dalam analisis ini dilakukan pengujian statistik yaitu chi-square
dengan menggunakan Statistic Product and Service Solution 22 For
Windows.
Keputusan dari pengujian chi-square :

a. Jika p value (0,05), Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara


variabel independen dengan variabel dependen.
26

b. Jika p value > (0,05), Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan
antara antara variabel independen dengan variabel dependen.

Untuk mengetahui seberapa besar keeratan variabel independen pada


variabel dependen dihitung dengan nilai Odd Ratio (OR). Selanjutnya juga
diperoleh nilai besar resiko (OR) paparan terhadap kasus dengan menggunakan
tabel 2x2 sebagai berikut:

3.2 Tabel silang kasus kontrol di lihat dari faktor resiko

Kasus Kontrol Jumlah

Faktor Resiko + A B a+b

Faktor Resiko - C D c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d


27

DAFTAR PUSTAKA

Bibhat K. Mandal,2008.Penyakit Infeksi. Jakarta:Erlangga

Hasan, Rusepno, 2007. Ilmu Kesehatan Anak.Edition 2.Info Medika Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta: 593-598

Mubin Halim,2007.Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam, Diagnosis Dan


Terapi. Ed.2, Jakarta, EGC

Nasronudin,2007.Penyakit Infeksi Di Indonesia. Surabaya Airlangga University


Press

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta

Rampengan, 2013.Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC,53-64.

Santosi Henry,2010,Artikel Ilmiah Kajian Rasionalitas Penggunaan


Antibiotikpada Kasus Demam Tifoid yang dirawat di RSUD DR.Kariadi
Semarang.Fakultas Kedokteran Diponegoro

Soedarto,2007.Kedokteran Tropis. Surabaya.AUP(Airlangga University Press

Sumarmo S. Soedarmo P, Garna H , Sri Rezeki S, 2012,Buku Ajar Infeksi


&Pediatri Tropis.IDAI, Jakarta:2012:338-346.

Supariasa Dewa Nyoman, 2013. Penilaian Status Gizi. Jakarta

Surapsari Juwita,2008. Safitri Amalia. Penyakit Infeksi. Jakarta:Erlangga.

Widodo Djoko,2009.Demam tifoid. In: Sudoyo Aru W, Setyohadi Bambang, Alwi


Idrus,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III,Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:2797-
2805

Widodo Djoko, 2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta:549-552
28

Widoyono, 2011.Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,Pencegahan &

Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga, :41-46.

wanenoor.blogspot.co.id./2011/08/penyakit-typus-demam-tifoid-
dan.html#WGTtdSCyRoM di unggah 23 juli 2016

Anda mungkin juga menyukai