Anda di halaman 1dari 10

Stroke pada Pasien SLE dan Sindrom Antibodi Antifosfolipid Chaves CJ

Pendahuluan
SLE merupakan penyakit inflamasi yang menyerang beberapa organ, termasuk
sistem saraf. Lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dan angka
prevalensinya 51 per 100.000 di AS. Keterlibatan sistem saraf sering terjadi pada
pasien SLE dengan insidensi berkisar antara 50% hingga 90%, dengan kejadian
CVD sebesar 5% hingga 20% dari pasien ini. Stroke iskemik, perdarahan serebri,
dan perdarahan subarachnoid telah dilaporkan pada pasien lupus.
Laporan terbaru, Brey et al menunjukkan adanya satu atau lebih gejala
neuropsikiatrik pada 80% dari 128 pasien dengan diagnosis lupus berdasarkan
kriteria American Rheumatism Association. Sefalgia, disfungsi kognitif,
polineuropati, dan gangguan psikiatris merupakan gejala neuropsikiatris yang
paling umum ditemui pada pasien ini, dimana stroke iskemik hanya terjadi pada 2%
kasus.
Meskipun relatif langka, stroke iskemik merupakan komplikasi mayor SLE,
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sebagian besar kasus terjadi
pada 5 tahun pertama diagnosis SLE dan selama fase aktif penyakit. Beberapa
mekanisme stroke telah diajukan pada pasien ini: koagulopati, kardioemboli,
vaskulitis, dan aterosklerosis prematur, dengan koagulopati dan kardioemboli
merupakan gejala paling sering.
Mekanisme stroke
Koagulopati Antibodi antifosfolipid (APL) merupakan bagian dari keluarga
immunoglobulin dengan isotipe dan mekanisme aksi yang berbeda. Antibodi ini
menghambat spesifisitas target untuk mengenali kombinasi fosfolipid yang
berbeda, protein terikat-fosfolipid, atau keduanya. pasien dengan kadar APL
signifikan yang mengalami trombosis atau janin mati didiagnosa mengalami
sindrom antibodi antifosfolipid (APS). Trombosis dapat mempengaruhi baik sistem
arteri maupun sistem vena. Saat ini, kriteria untuk klasifikasi pasien dengan APS
definit sudah ditemukan (kriteria Sapporo, tabel 1) dan dilaporkan memiliki
sensitivitas 71% dan spesifisitas 98%.
Sindrom ini dianggap sebagai penyakit primer bila tidak berhubungan
dengan penyakit autoimun, dan sekunder bila pasien mengalami SLE atau penyakit
mirip lupus. Hampir separuh dari pasien dengan APS mengalami penyakit primer.
APL dapat terjadi pada kondisi lain, seperti infeksi, keganasan, dan akibat paparan
beberapa obat, dan tampaknya tidak ada peningkatan resiko trombosis pada pasien
ini. Terkadang, APL dapat terdeteksi pada individu sehat dan terdeteksi juga
distribusi terkait musim pada pasien-pasien ini. Hasil positif jarang ditemui pada
musim panas, serupa dengan tren musiman pada penyakit traktus respiratorius dan
demam rematik, menandakan bahwa antibodi ini dapat disebabkan oleh infeksi.
APL yang paling sering diteliti sejauh ini adalah antibodi antikardiolipin
(seperti imunoglobulin G, imunoglobulin M, imunoglobulin A), dan antikoagulan
lupus. Antibodi antikardiolipin ditemukan pada pemeriksaan solid-phase
immunoassay, terutama ELISA, dengan kardiolipin sebagai antigennya. Akan
tetapi, selain mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin, pemeriksaan ini juga
mendeteksi antibodi terhadap protein plasma yang terikat pada kardiolipin,
terutama antibodi terhadap B2-glycoprotein 1 (B2GP1), yang disebut juga sebagai
apolipoprotein H. Penelitian lain menunjukkan bahwa keterlibatan B2GP1
membedakan dengan patogenesis antibodi antikardiolipin yang terjadi pada
penyakit autoimun dan APS dari keadaan nonpatogenik (contohnya, yang terjadi
pada kondisi infeksi atau paparan terhadap pengobatan tertentu), dan tidak
berhubungan dengan trombosis. Fosfolipid lain seperti fosfatidilserine,
fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin, dan asam fosfatidik, telah digunakan sebagai
antigen alternatif untuk mendeteksi APL, akan tetapi, superioritasnya terhadap
kardiolipin masih harus dikonfirmasi.
Deteksi antikoagulan lupus lebih melibatkan hal-hal berikut ini : 1)
menunjukkan abnormalitas pada uji koagulasi phospholipid-dependent in vitro; 2)
bukti bahwa abnormalitas tersebut dikarenakan inhibitor; dan 3) bukti bahwa
aktivitas inhibitor langsung terhadap fosfolipid. Dari beberapa uji skrining yang
tersedia untuk identifikasi antikoagulan lupus, uji aPTT tampaknya merupakan
yang paling sensitif. Selain identifikasi aPTT yang memanjang, bukti adanya
inhibitor biasanya didapatkan dengan adanya kegagalan koreksi aPTT bila plasma
pasien digabungkan dengan plasma normal. Prosedur neutralisasi platelet
merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk konfirmasi bahwa aktivitas
inhibitor terarah pada fosfolipid. Meskipun uji antikoagulan lupus dianggap dapat
mendeteksi antibodi terhadap fosfolipid anion, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa beberapa antikoagulan lupus bersifat spesifik terhadap protrombin yang
berikatan dengan fosfolipid atau B2GPI. Terkadang pasien dengan antikoagulan
lupus yang kuat dapat memiliki prothrombin time yang memanjang dan INR pada
batas bawah. Saat monitor antikoagulasi pada pasien ini, pengukuran kadar faktor
X chromogenik atau aktivitas prothrombin (faktor II) harus dilakukan
menggantikan INR.
Beberapa mekanisme potensial trombosis yang diinduksi APL telah
diajukan: aktivasi langsung sel endotelial, gangguan hemostasis koagulasi (seperti
hambatan aktivasi jalur protein C, protein S, dan antithrombin II, hambatan
fibrinolisis), dan aktivasi platelet dan respon imun sel T terhadap protein terikat
fosfolipid; Akan tetapi tidak ada patogenesis yang seragam. Pasien dengan APS
dapat mengalami TIA dan gangguan visual monokuler. Bila terjadi stroke,
umumnya bersifat iskemik, seringkali multipel, dengan beberapa pasien mengalami
demensia multi-infark. Sebagian besar kasus berawal dari arteri, namun dilaporkan
juga dari trombosis vena serebral. Stroke yang terjadi biasanya pada korteks
(gambar 1) atau subkorteks. Stroke kecil dalam dapat terjadi, namun biasanya tidak
melibatkan lokasi tertentu untuk lakuna. Infark umumnya terjadi sepanjang
distribusi cabang arteri mayor. Oklusi cabang atau pembuluh darah intra dan
ekstrakranial yang normal merupakan temuan yang paling sering pada arteri pasien
tersebut; akan tetapi, oklusi pembuluh darah besar juga dapat terjadi.
Imunoglobulin G antikardiolipin merupakan isotipe paling sering terdeteksi pada
iskemia serebri, seringkali dengan konsentrasi/kadar yang tinggi.

Emboli kardiogenik
Pada tahun 1924, Libman dan Sacks merupakan orang pertama yang menunjukkan
adanya endokarditis verukosa atipikal pada pasien dengan SLE dan menyatakan
bahwa hal tersebut adalah penyebab potensial untuk stroke pada pasien dengan SLE
tersebut. Sejak saat itu, beberapa penelitian telah menemukan angka kejadian
penyakit katup jantung yang tinggi pada pasien dengan lupus dan stroke, juga
menemukan adanya kemungkinan hubungan antara APL dan lesi katup. Seringkali,
terjadi multiple stroke.
Penumpukan imunoglobulin dan komplemen pada katup jantung pasien
SLE dianggap menyebabkan terbentuknya vegetasi Libman-Sacks, penebalan
katup, dan regurgitasi. Katup mitral merupakan katup yang paling sering terkena,
diikuti dengan katup aorta. Stenosis katup jarang terjadi. Keterlibatan katup
biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Transesophageal echocardiography
merupakan metode paling sensitif untuk mendeteksi keterlibatan katup.

Vaskulitis.
Pada tahun 1903, Osler menjelaskan pasien pertama dengan lipus dan iskemi
serebri berulang. Ia menduga bahwa vaskulitis merupakan penyebab paling
mungkin dari gejala neurologis fokal yang dialami pasien, berdasarkan fakta bahwa
perubahan vaskulitik terjadi pada kulit pasien lupus. Akan tetapi, vaskulitis sejati
telah terbukti merupakan temuan patologis yang langka pada serebri. Pada tahun
1968, Johnson dan Richardson melaporkan temuan neuropatologis pada 24 pasien
dengan lupus dan menemukan bahwa sel inflamasi perivaskuler hanya pada tiga
pasien. Peneliti ini menunjukkan bahwa tidak ada sel inflamasi yang ditemukan di
dalam dinding pembuluh darah pada ketiga pasien ini, dan oleh karena itu,
vaskulitis sejati tidak dapat dikonfirmasi. Beberapa tahun kemudian, Devinsky et
al, menemukan bahwa tidak ada bukti vaskulitis SSP pada satupun dari 50 pasien
dengan lupus yang diotopsi. Meskipun angka kejadian vaskulitis aktif yang rendah
dapat dihubungkan dengan penggunaan steroid, namun lesi seperti vaskulitis yang
sembuh juga jarang terlihat. Temuan ini menerangkan bahwa mekanisme lain harus
diinvestigasi lebih lanjut pada pasien lupus dan disfungsi SSP sebelum
mengasumsikan bahwa vaskulitis merupakan mekanisme yang mendasari.
Aterosklerosis prematur dan hipertensi arterial.
Hipertensi arterial dan penggunaan jangka panjang telah diduga sebagai penyebab
sekunder CVD pada pasien dengan SLE. Pada penelitian Kitagawa et al, hipertensi
arterial merupakan faktor resiko predisposisi paling penting untuk stroke pada
pasien SLE. Pada pasien ini, hipertensi arterial berhubungan erat dengan
keterlibatan renal. Perkembangan aterosklerosis koroner telah ditemukan pada
pasien SLE dan penggunaan steroid jangka panjang; akan tetapi, efeknya terhadap
arteri serebralis masih belum diketahui.

Tatalaksana
Pilihan tataaksana terbaik untuk mencegah stroke pada pasien SLE atau pasien APS
tanpa SLE sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Sebagian besar penelitian
yang dilakukan sejauh ini bersifat retrospektif dan memiliki jumlah pasien yang
sedikit. Akan tetapi ada konsensus tentang tatalaksana agresif terhadap berbagai
faktor resiko vaskuler yang berhubungan (seperti hipertensi arterial, diabetes,
kolesterol tinggi) yang seringkali terlihat pada beberapa pasien.
Pasien APS tanpa SLE
Sebagian besar regimen terapi pada pasien stroke dengan APS telah
ditujukan untuk menurunkan kadar APL (imunosupresi) atau
hiperkoagulabilitas darah (terapi antitrombotik.
Kortikosteroid telah digunakan pada pasien APS dengan iskemia okuler dan
stroke dengan hasil yang beragam. Hal serupa juga terlihat pada penggunaan
agen imunosupresan lainnya seperti azathioprine, cyclophosphamide, dan
methotrexate. Pertukaran plasma/plasma exchange terkait dengan agen
imunosupresan juga telah digunakan pada beberapa pasien dengan APL dan
kejadian trombotik, termasuk stroke, dengan penurunan aktivitas
antikoagulan lupus dan titer antibodi antikardiolipin. Akan tetapi, apakah
plasma exchange dapat lebih lanjut menurunkan komplikasi trombotik
terkait antibodi ini masih belum diketahui.
Terapi antitrombotik (seperti antiplatelet, antikoagulan) diindikasikan untuk
prevensi sekunder TIA dan stroke pada pasien dengan APS; Akan tetapi,
perannya sebagai prevensi primer belum dapat dipastikan.
Tatalaksana antiplatelet, khususnya aspirin atau kombinasi aspirin dan
dipyridamole, telah digunakan sebagai prevensi sekunder untuk stroke pada
pasien dengan APL. Beberapa peneliti melaporkan efek obat antiplatelet
dalam menurunkan kejadian iskemik serebral atau gangguan visual
berulang. Akan tetapi, beberapa penelitian lain tidak dapat mengkonfirmasi
hal ini. Mungkin ada mekanisme aksi APL lain yang bertanggung jawab
atas keluaran klinis yang berbeda-beda
Warfarin umumnya diindikasikan untuk prevensi sekunder pada pasien
stroke dan APS dan tampaknya efektif terhadap keduanya. Pada penelitian
kontrol retrospektif yang besar, Khamashata et al meneliti resiko trombosis
berulang pada 147 pasien dengan APS yang menerima tatalaksana berikut:
tanpa aspirin atau warfarin, 75 mg aspirin, atau antikoagulasi intensitas
rendah (INR<3) atau tinggi (INR>3) dengan warfarin dengan atau tanpa
aspirin. Antikoagulan oral intensitas tinggi dengan warfarin dengan atau
tanpa aspirin merupakan tatalaksana paling efektif untuk mencegah
trombosis berulang pada penelitian ini. Akan tetapi ada beberapa kasus yang
tidak sembuh dengan pemberian warfarin, namun pada pasien ini
pemeriksaan PT tidak dijelaskan atau merupakan subterapeutik. Perhatian
lain mengenai penggunaan antikoagulan pada pasien ini adalah
pembentukan kondisi rebound hiperkoagulasi setelah warfarin dihentikan
dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan seperti nekrosis kulit, oleh
karena adanya abnormalitas koagulasi lain.
Data terbaru dari kolaborasi WARSS-APASS (Warfarin Aspirin Recurrent
Stroke Study-Antiphospholipid Antibody Stroke Study) tidak mendukung
pemberian warfarin (INR target 2,2) sebagia pengganti aspirin 325mg/hari
untuk pencegahan stroke. Akan tetapi, penelitian ini memiliki keterbatas
yang penting: adanya pasien dengan kadar antibodi antikardiolipin yang
rendah, titer hanya diperiksa sekali, dan obat yang digunakan adalah
antikoagulan intensitas sedang dengan warfarin. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk menentukan apakah antikoagulan tingkat tinggi lebih
superior dari aspirin 325mg/hari dengan APS definitif
Pasien dengan SLE
Pencegahan primer
Pasien dengan SLE dan APL positif memiliki resiko trombosis dua hingga
sembilan kali lipat dibandingkan dengan pasien SLE tanpa APL. Oleh
karena itu pencegahan primer stroke tampaknya tepat diberikan pada
kelompok pasien ini; akan tetapi, regimen terapi terbaik masih harus
ditentukan
Pencegahan sekunder
Untuk pencegahan sekunder stroke, pemberian jangka panjang antikoagulan
oral intensitas tinggi dengan warfarin merupakan pilihan pertama untuk
pasien SLE dengan APS atau gangguan yang berasal dari jantung.
Penggantian katup terkadang diperlukan pada beberapa pasien dengan
disfungsi katup berat.
Tatalaksana antiplatelet belum diteliti dengan baik untuk pencegahan
sekunder stroke pada pasien SLE. Kasus anekdotal telah dilaporkan dengan
berbagai hasil. Sampai ada penelitian lebih lanjut, obat antiplatelet harus
dipertimbangkan untuk pencegahan stroke pada pasien dengan
kontraindikasi kuat pemberian antikoagulan.
Pembekuan/klot dan kelainan katup terlihat pada pasien SLE tidak respon
terhadap pemberian imunosupresan. Oleh karena itu, obat imunosupresan
harus menjadi cadangan pada pasien yang juga memiliki manifestasi aktif
SLE.

Tatalaksana Farmakologis
Aspirin
Dosis standar : 325 mg 1x sehari per oral
Kontraindikasi : Absolut : hipersensitif terhadap NSAID; anak dan remaja
dengan cacar atau gejala flu (resiko sindrom Reyes);
sindrom asma, rinitis, dan polip nasi. Relatif: gangguan
pembekuan darah, kehamilan (trimester ketiga), ulkus
peptikum, gagal ginjal, insufisiensi hepar berat
Interaksi Obat : Heparin, trombolitik, dan warfarin dapat meningkatkan
resiko perdarahan. Inhibitor COX2 dan NSAID lain dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan efek gastrointestinal.
Penggunaan dengan SSRI perlu berhati-hati, karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal atas
(seperti efek sinergistik, efek antiplatelet aspirin ditambah
dengan inhibisi uptake serotonin platelet)
Efek samping : umum: dispepsia, mual, muntah. Serius: perdarahan, ulkus
gastrointestinal, sindrom Reyes, tinitus, angioedema,
bronkospasme

Warfarin
Dosis standar : 2 sampai 10mg/hari (penentuan dosis berdasarkan hasil
determinasi INR)
Kontraindikasi : Absolut : dyscrasias darah; kecenderungan perdarahan
traktus GI, genitouritari, atau respiratorius; perdarahan
serebri; hipertensi maligna; endokarditis bakterialis,
aneurisma, hipersensitif terhadap produk warfarin,
kehamilan, pembedahan SSP atau mata baru-baru ini, pungsi
spinal dan prosedur lain yang berpotensi mencetusken
perdarahan yang tidak dapat dikontrol, anestesia blok lumbar
atau reginal besar. Relatif: usia anjut, gangguan hepar atau
renal sedang hingga berat, hipertensi arterial sedang hingga
berat
Interaksi Obat : dapat meningkatkan INR dan resiko perdarahan:
asetaminofen (>2g/hari); antibiotik (seperti sefalosporin,
kloramfenikol, ciprofloxacin, eritromisin, levofloxacin,
metronidazole, ofloxacin, penisilin, dan tetrasiklin);
antikonvulsan (seperti asam valproat); antidepresan (seperti
fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline);
antiinflamasi (seperti inhibitor COX-2, NSAID);
antiplatelet; allopurinol; alfa-tocopherol (khususnya dosis
>800IU/hari); antiaritmia (seperti amiodaron, quinidin);
cimetidin; statin (seperti fluvastatin, lovastatin, simvastatin);
stimulan (seperti methylphenidate, modafinil); trombolitik;
tramadol. Dapat menurunkan INR: antikonvulsan
(barbiturat, carbamazepine, phenytoins); azathiprine;
vitamin(seperti asam askorbat dosis tinggi, vitamin K).
Efek samping : umum: perdarahan, ecchymosis, ruam, peningkatan
transaminase hepar. Serius: perdarahan, sindrom purple toe,
hepatitis, nekrosis kulit atau jaringan lain, emboli koleterol,
reaksi hipersensitivitas.

Aspirin dan dipyridamole


Dosis standar : 25 mg aspirin dan 200mg dipyridamole (dalam satu kapsul
Aggrenox), dua kali sehari satu kapsul per oral
Kontraindikasi : Absolut : gagal ginjal akut, asma, polip nasi, rinitis, ulkus
peptikum aktif. Relatif: koagulopati, penyakit arteri koroner,
hipotensi, gangguan fungsi renal
Interaksi Obat : Heparin, trombolitik, dan warfarin dapat meningkatkan
resiko perdarahan. Inhibitor COX2 dan NSAID lain dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan efek samping GI.
Pemberian dengan SSRI harus berhati-hati karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan GI atas (efek sinergistik,
efek antiplatelet aspirin ditambah dengan inhibiso uptake
serotonin platelet).
Efek samping : umum: sefalgia, dispepsia, muntah, diare, angina, ruam,
hipotensi, tinitus. Serius: perdarahan, hipotensi berat,
bronkospasme
Aspirin
Dosis standar : 75 mg 1x sehari per oral
Kontraindikasi : Absolut : perdarahan GI, perdarahan intrakranial. Relatif:
gangguan fungsi hepar, trauma
Interaksi Obat : antiplatelet, heparin, NSAID trombolitik, dan warfarin
dapat meningkatkan resiko perdarahan; fluvastatin dapat
meningkatkan kadar fluvastatin, resiko miopati, dan
rhabdomyolisis; phenytoin dapat meningkatkan kadar
phenytoin; sildenafil dapat meningkatkan kadar sildenafil;
tamoxifen dapat meningkatkan kadar tamoxifen.
Efek samping : umum: mual, muntah, diare, nyeri abdomen, purpura, ruam,
pruritus, epistaxis. Serius: perdarahan, purpura
trombositopenik trombotik.

Anda mungkin juga menyukai