sejarah-suku-melayu-jambi
Mata pencaharian mereka terutama bercocok tanam di ladang yang mereka bagi
menjadi empat bentuk, yaitu parelak, kabun mudo, umo rendah dan talang. Perelak
adalah ladang dekat desa yang ditanami cabe, kacang-kacangan dan sayur-sayuran.
Kabun mudo adalah ladang yang ditanami tanaman muda, seperti pisang, kedelai
dan kacang tanah. Umo rendah adalah ladang agak luas yang ditanami padi, dan di
sekitarnya ditanami jagung, sorgum, ketimun dan lain-lain. Sedangkan umo talang
adalah ladang yang terletak jauh dari desa, terutama ditanami padi dan tanaman
sampingan lainnya.
Kehidupan etnis mereka sekarang masih dapat dilihat dari pengelompokan suku
atau kalbu, yaitu pengelompokan sosial yang erat hubungannya dengan Kesultanan
Jambi dulu. Jumlah kalbu yang masih tersisa ada dua belas, yaitu Jebus,
Pemayung, Maro Sebo, Awin, Petajin, Suku Tujuh Koto, Mentong, Panagan,
Serdadu, Kebalen, Aur Hitam dan Pinokowan Tengah.
Dalam masyarakat Suku Melayu Jambi masih nampak sisa-sisa pelapisan sosial
lama, ditandai oleh adanya golongan bangsawan yang berasal dari keturunan raja-
raja zaman dulu, yaitu mereka yang bergelar Raden, Sayid, atau Kemas. Golongan
menengah adalah para saudagar besar, pemilik perkebunan. Rakyat banyak
biasanya menyebut diri orang Kecik (orang kecil). Sistem pelapisan sosial seperti
ini semakin lama makin berubah. Orang Melayu Jambi hidup dalam rumah tangga
keluarga inti monogami dengan prinsip garis keturunan yang bilateral. Pilihan
jodoh cenderung untuk endogami dusun.
Suku Melayu Jambi sudah memeluk agama Islam, dan umumnya mengikuti
mahzab Syafi'i. Dalam kehidupan sehari-hari masih ada kepercayaan animisme dan
dinamisme, dimana peranan dukun sebagai perantara dengan dunia gaib masih
ditemukan bercampur baur dengan kepercayaan kepada makhluk jelmaan dunia
gaib yang suka mengganggu manusia dan bisa pula dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia.