Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Kontribusi keperawatan kesehatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dibagi di
tiga tatanan pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit jiwa, rumah sakit umum dan masyarakat.
Pelayanan keperawatan jiwa pada ketiga tatanan ini bersifat kontinum, holistik, komprehensif
dan paripurna. Dalam rangka berkontribudi dalam ketiga tatanan pelayanan kesehatan jiwa
maka dikembangkan pelayanan keperawatan jiwa yang professional yaitu Model Praktik
Keperawatan Profesional Jiwa di rumah sakit jiwa, Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat
(Community Mental Helath Nursing) di masyarakat dan Keperawatan Konsultasi Kesehatan
Jiwa (Consultation Liaison Mental Health Nursing) di rumah sakit umum bagi klien
gangguan fisik.

Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa (MPKP Jiwa) telah dikembangkan sejak tahun
2000 di rumah sakit Marzoeki Mahdi dan telah tersebar hampir di seluruh rumah sakit jiwa
dan beberapa unit psikiatri rumah sakit umum. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui manfaat MPKP pada pelayanan dan asuhan keperawatan kesehatan jiwa di rumah
sakit jiwa.

Community Mental Health Nursing (CMHN) dikembangan untuk memberikan pelayanan


keperawatan jiwa bagi masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, risiko gangguan jiwa dan
yang sehat jiwa. Secara lengkap dilaksanakan dengan lebih baik setelah terjadi gempa dan
tsunami di Aceh pada tahun 2004, dan telah dilaksanakan hampir di seluruh puskesmas di
Aceh. Replikasi telah dilakukan di hampir 20 propinsi lain di tanah air. Beberapa penelitian
telah dilakukan untuk mengetahui manfaatnya bagi kesehatan jiwa masyarakat sehingga
pelayanan keperawatan berbasis bukti dapat dilaksanakan dengan target yang gangguan dapat
mandiri dan produktif, yang risiko tercegah dari gangguan jiwa dan yang sehat mendapatkan
upaya promosi kesehatan jiwa.

Consultation liaison mental health nursing (CLMHN) dikembangkan untuk memberi


pelayanan psikososial bagi klien gangguan fisik yang dirawat di rumah sakit jiwa. Pemberian
pelayanan berdasarkan kebutuhan holistik, kontinum dan keselamatan dan keamanan yang
terjaga dengan baik. Pelatihan bagi seluruh karyawan agar caring dan prima dengan
menggunakan komunikasi terapeutik dan khusus untuk perawat ditambahkan dengan asukhan
keperawatan psikososial pada diagnosis keperawatan yang berkaitan dengan ansietas dan
depresi. Beberapa rumah sakit umum telah melaksanakannya dengan bervariasi, dan telah
dilakukan beberapa penelitian untuk mengetahui manfaatnya

Akhirnya, penulis berharap kontribusi keperawatan jiwa diberbagai tatanan pelayanan


kesehatan dapat memberi makna positif bagi kesehatan masyarakat dalam menuju Indonesia
Sehat Jiwa.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
2. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI RUMAH SAKIT JIWA
3. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI MASYARAKAT
4. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI RUMAH SAKIT UMUM
5. ROAD MAP DAN PEMIKIRAN KE DEPAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
6. DAFTAR PUSTAKA
7. UCAPAN TERIMA KASIH
8. DAFTAR RIWAYAT HIDUP
9. DAFTAR KONTRIBUSI KEPERAWATAN JIWA PADA PELAYANAN KESEHATAN
JIWA INDONESIA
10. TEMA KONFERENSI NASIONAL KEPERAWATAN JIWA INDONESIA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kesehatan, waktu dan kesempatan
yang diberikan sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini.
Selamat pagi, Salam sejahtera, Salam bahagia, Salam sehat dan Salam sukses untuk
kita sekalian.

Yang terhormat,
Ketua dan para Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
Ketua dan Sekretaris Senat Akademik Universitas Indonesia
Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Indonesia
Ketua dan para Anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
Para Dekan Fakultas di lingkungan Universitas Indonesia
Para Staf Pengajar dan Karyawan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Bapak, Ibu, Saudara para undangan dan hadirin yang saya hormati

Pertama-tama, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan kesehatan, perlindungan dan kesempatan untuk berkumpul pada forum
yang terhormat ini. Suatu kesempatan, kebahagiaan dan kebanggaan bagi saya yang
dipercaya sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, dan
perkenankanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan yang saya susun berdasarkan
pengalaman panjang selama berkiprah di area keperawatan jiwa sejak tahun 1975 sampai saat
ini dengan judul:

Kontribusi Keperawatan Kesehatan Jiwa


dalam Meningkatkan Pelayanan
Kesehatan Jiwa di Indonesia

Hadirin yang saya hormati,


1. PENDAHULUAN
Kontribusi pelayanan keperawatan kesehatan jiwa dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
jiwa di dunia dan khususnya di Indonesia sudah dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu.
Keperawatan kesehatan jiwa mulai dikembangkan oleh Linda Richards yang
bekerja memulai karier sebagai perawat di rumah sakit Ibu dan Anak di Boston, Ia
mengatakan Klien gangguan jiwa harus dirawat sama baiknya dengan klien ganguan fisik.
Ia menjadi perawat jiwa dan mengembangkan keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa di
Illinois. Pada tahun 1882, dibuka sekolah perawat pertama di Massachusetts (Stuart, 2009),
dan pada tahun yang sama dibuka rumah sakit jiwa pertama di Bogor, Indonesia (Mahdi,
1976; Thong, 2011). Pelayanan dan asuhan keperawatan pada saat itu berfokus pada klien
gangguan jiwa dengan memberikan asuhan secara custodial (saat ini dikenal dengan pasung)
dengan tujuan keamanan.

Perkembangan pelayanan keperawatan jiwa berlanjut tujuh puluh tahun kemudian (1952),
ketika Hildegard Peplau yang dijuluki sebagai mother of psychiatric nursing menekankan
hubungan interpersonal klien-perawat dengan menggunakan proses keperawatan. Klien dan
perawat bekerja sama dalam menyelesaikan masalah kesehatan jiwa yang dialami klien. Pada
tahun yang sama Zr Magdalena Mahdi, MNSc (lulusan Amerika) melakukan perbaikan
pelayanan keperawatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Bogor (sekarang RS dr H. Marzoeki Mahdi
Bogor), melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan perawat yang bekerja di rumah
sakit jiwa dengan ilmu psikiatri dan penerapannya pada pelayanan keperawatan jiwa. Beliau
menerbitkan buku teks keperawatan jiwa yang digunakan sebagai referensi bagi peserta didik
keperawatan.
Pada tahun 60-an ini, di Amerika berkembang pelayanan keperawatan kesehatan jiwa di
masyarakat yang didukung oleh the Community Mental Health Centers Act of 1963 dan
sejak saat itu terjadi peningkatan perawatan klien di masyarakat dan berdampak berkurangnya
klien masuk ke rumah sakit jiwa. Perawat mulai melakukan pencegahan primer dan
mengimplementasikan asuhan dan konsultasi keperawatan jiwa di masyarakat. Pada era yang
sama, pembaharuan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia juga terjadi dengan diterbitkannya
Undang-undang Kesehatan Jiwa No 9 tahun 1966, dimana perawatan klien berfokus pada
kemandirian klien melalui rehabilitasi psikososial.
Mulai tahun itu, di Indonesia dilakukan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas
melalui pengiriman tenaga kesehatan jiwa dari rumah sakit jiwa ke puskesmas secara periodik.

Pada tahun 70-an, pelayanan keperawatan kesehatan jiwa meluas dari yang tadinya
psychiatric and mental health nursing ditambah dengan psychosocial nursing, dengan
menerapkan asuhan keperawatan psikososial pada klien sakit fisik di rumah sakit umum. Di
Indonesia pada era tersebut ada banyak rumah sakit umum yang mempunyai unit pelayanan
psikiatri, namun belum tampak pelayanan psikososial bagi klien sakit fisik. Pelayanan
Consultation Liaison Mental Health Nursing (CLMHN) belum berkembang dengan baik dan
memerlukan upaya agar klien sakit fisik mendapatkan pelayanan yang holistik khususnya
perawatan psikososial.

Keperawatan Kesehatan Jiwa (psychiatric mental health nursing) merupakan area praktik
keperawatan yang khusus yang berkomitmen meningkatkan kesehatan jiwa melalui asesmen,
diagnosis dan treatment terhadap respons manusia terhadap masalah kesehatan jiwa dan
gangguan jiwa (Stuart, 2009). Asuhan keperawatan kesehatan jiwa diberikan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat pada keadaan sehat, risiko dan gangguan jiwa dengan
melakukan promosi kesehatan jiwa, pencegahan dan treatment sepanjang daur kehidupan.
(APNA, 2013). Domain keperawatan kesehatan jiwa kontemporer terdiri dari asuhan
keperawatan (direct care) kepada klien dalam konteks keluarga, komunikasi (communication)
yang terapeutik dalam memberikan asuhan, manajemen (management) pelayanan keperawatan
secara terus menerus dan berfokus pada klien, pengajaran (teaching) kepada klien, keluarga,
kelompok masyarakat yang peduli dan masyarakat secara keseluruhan sehingga lingkungan
menjadi kondusif, koordinasi (coordinating) secara lintas sektor sehingga seluruhnya tertata
dengan baik, delegasi (delegating) untuk mencapai pelayanan yang berkesinambungan dan
kolaborasi (collaborating) antara semua tim kesehatan yang memberikan pelayanan (Stuart,
2009). Untuk mewujudkannya semua domain itu, maka perlu program yang sistematis dan
berkesinambungan.

Di Indonesia, semua pendidikan perawat mempunyai kurikulum untuk memberikan asuhan dan
pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa, pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat
dan pelayanan aspek psikososial pada klien sakit fisik di rumah sakit umum dan masyarakat.
Penulis memulai karier sebagai perawat jiwa di rumah sakit jiwa pusat Bogor (RSJP Bogor)
pada tahun 1975, dan mulai mengidentifikasi pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang
berfokus di rumah sakit jiwa dan bersifat custodial, dan mungkin sampai sekarang masih
terjadi di beberapa rumah sakit jiwa di Indonesia. Keliat (1997) menyampaikan perspektif
keperawatan kesehatan jiwa di masa depan pada Jurnal Keperawatan Indonesia yaitu pelayanan
professional rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, puskesmas dan masyarakat. Pada tahun 2000
bersama-sama dengan tim keperawatan RSJP Bogor dan dosen keperawatan jiwa di Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia mulai mengembangkan model praktik keperawatan
professional jiwa (MPKP Jiwa). Di tatanan rumah sakit jiwa selanjutnya dikembangkan pula
modul perawatan intensif psikiatri bagi klien dengan kondisi akut dan memerlukan perawatan
yang intensif.
Pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat yang dikenal dengan Community Mental Helath
Nursing (CMHN) telah dimulai melalui praktik mahasiswa sejak 1985, dan dikembangkan
lebih lengkap bersama tim keperawatan (perawat rumah sakit jiwa dan dosen keperawatan jiwa
di JABODETABEK) pada tahun 2005 dan dilakukan ujicoba di Aceh dengan bantuan WHO,
ADB, CBM, USAID bekerjasama dengan dinas kesehatan propinsi, dinas kesehatan
kabupaten/ kota, puskesmas dan masyarakat.
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa bagi klien sakit fisik telah dimulai melalui praktik
mahasiswa keperawatan sejak 1985, kemudian mulai dikembangkan melalui pelatihan
CLMHN pada beberapa rumah sakit umum sejak 2005. Semuanya ini dapat dilaksanakan
sejalan dengan dibukanya pendidikan perawat spesialis jiwa pada tahun 2005 di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia dan sampai saat ini telah meluluskan sebanyak 70 orang,
dengan kemampuan melakukan manajemen dan asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa
(MPKP), rumah sakit umum (CLMHN) dan masyarakat (MPKP) dengan melakukan tindakan
keperawatan jiwa spesialis.
Semua buah pikiran, kegiatan dan program yang telah dijalankan sebagai kontribusi perawat
jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa akan diuraikan secara singkat dan kiranya berguna
sebagai tonggak awal bagi kemajuan di masa yang akan datang dengan keyakinan: klien
gangguan jiwa dapat mandiri dan produktif, masyarakat yang risiko gangguan jiwa dapat
dicegah dan masyarakat yang sehat jiwa tetap sehat dan berguna untuk bangsa dan negara
sehingga Indonesia sehat jiwa dapat dicapai.

Bapak, Ibu dan Hadirin yang saya muliakan,


2. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI RUMAH SAKIT JIWA
Kontribusi pelayanan keperawatan dalam peningkatan pelayanan kesehatan jiwa di rumah
sakit jiwa di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode yaitu periode kolonial Hindia-
Belanda, periode zaman Jepang, periode awal kemerdekaan dan masa perkembangan
keperawatan jiwa (keperawatan jiwa modern). Perkembangan keperawatan jiwa dimulai dan
terus dikembangkan dari Rumah sakit jiwa pusat Bogor (RSJP Bogor) yang adalah RSJ
pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1882 di Bogor (sekarang RS dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor). Pada saat awal pemberian perawatan bersifat custodial (dikurung atau diikat di
tempat tertutup dan kontak dengan masyarakat sangat minimal) dengan tujuan keamanan bagi
klien maupun lingkungan. Pada tahun 1915 Dr Theunisses dan Travaglino mulai mendidik
wanita-wanita berkebangsaan Indo Belanda yang tamat Sekolah Dasar untuk menjadi Mantri
Juru Rawat di RSJ Bogor (Mahdi, 1976a). Pada tahun 1922 pendidikan serupa dilaksanakan di
Lawang, Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1940, Direktur Rumah Sakit Jiwa Bogor pada
waktu itu, Dr Frins membuka sekolah perawat jiwa pertama untuk wanita-wanita
berkebangsaan Indonesia (pribumi) dengan syarat lulusan MULO atau HBS dan berumur
kurang dari 25 tahun. Ternyata sebagian besar yang diterima adalah wanita-wanita
Belanda dan Indo Belanda, hanya ada 4 wanita Indonesia asli yang diterima menjadi siswa
sekolah tersebut. Keempatnya adalah: Magdalena Mahdi, Pelengkahu Senduk, Sihasale
Locollo, dan Clara Mampuk-Frederic. Dari keempat wanita ini yang setia menjadi perawat jiwa
hanyalah Magdalena Mahdi (putri dr H. Marzoeki Mahdi yang adalah direktur pribumi
pertama di RSJP Bogor) yang kemudian melanjutkan pendidikan ke Amerika dan memperoleh
gelar master keperawatan. Beliau selain menjadi perawat di RSJP Bogor, juga menjadi
pendidik perawat jiwa. Mulai tahun 1949 banyak pemuda Indonesia lulusan setingkat SMP
dididik menjadi perawat jiwa, namun sistem pelayanan keperawatan masih menggunakan
sistem kustodial.
Pada zaman Jepang menjajah Indonesia, tidak terlalu banyak catatan perkembangan pelayanan
keperawatan di Indonesia. Cerita yang muncul adalah adanya kesengsaraan dan penderitaan
klien gangguan jiwa yang kekurangan makan akibat depresi dunia berkepanjangan. Di rumah
sakit jiwa di Indonesia angka kematian klien tinggi, juga akibat kelebihan jumlah klien yang
tidak sesuai dengan kapasitas. Sistem perawatan klien gangguan jiwa masih menggunakan
sistem kustodial (Mahdi, 1976a; Thong, 2011).
Pada masa kemerdekaan, perkembangan perawatan kesehatan jiwa di rumah sakit jiwa Bogor
telah dimulai sejak era Zr. Magdalena Mahdi melalui peningkatan pelayanan dan asuhan
keperawatan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pada perawat yang bekerja
di rumah sakit jiwa dengan ilmu psikiatri. Pada zamannya Zr Magdalena Mahdi telah
menerbitkan buku teks keperawatan jiwa sebanyak 2 jilid yang memuat tentang ilmu psikiatri
dan penerapannya dalam pelayanan keperawatan (Mahdi, 1976a; Mahdi, 1976b). Buku itu
untuk beberapa lama menjadi pedoman dan referensi baik oleh perawat yang bekerja di rumah
sakit jiwa dan pendidikan keperawatan jiwa serta penngembangan kurikulum keperawatan jiwa
di Sekolah Pengatur Rawat B, Sekolah Perawat Kesehatan, dan Akademi Keperawatan.
Pembaharuan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia terjadi dengan setelah diterbitkannya
Undang-undang Kesehatan Jiwa No 9 tahun 1966. Sistem perawatan klien menggunakan
sistem psikososial dengan berfokus pada kemandirian klien melalui rehabilitasi
psikososial. Khusus di RSJP Bogor unit/ bidang rehabilitasi sangat berkembang sampai tahun
80an, unit terapi okupasi (occupational therapy), terapi kerja (vocational therapy) dan
penempatan (placement). Perawat berperan serta melakukan kegiatan rehabilitasi, mulai
kegiatan hidup sehari-hari dengan menciptakan ruang rawat seperti situasi rumah (home like
athmosphere): perawatan diri, penataan makan, mengeluarkan klien dari kurungan dan
ruangan secara bertahap, membawa klien berjalan-jalan di sekitar rumah sakit (keluar dari
ruang rawat), makan bersama di bawah pohon yang rindang di halaman rumah sakit (seperti
rekreasi), kegiatan lomba seperti fashion show, bazaar, perlombaan olah raga dan seni. Kondisi
klien dievaluasi untuk melanjutkan latihan di unit kerja rehabilitasi seperti: pertanian,
pertukangan, kerajinan, menjahit. Banyak klien yang telah dapat berfungsi dengan baik
(dinyatakan sembuh) tetapi tidak diambil pulang oleh keluarga sehingga dibukalah ruangan
mandiri di mana klien mengelola sendiri kehidupan sehari hari (self government), seperti half
way house di dalam rumah sakit dengan pengawasan minimal dari perawat. Dampak sistem
pelayanan ini adalah perawatan klien cukup lama yang dimulai dari perawatan akut, perawatan
intermediate (tenang) kemudian dilanjutkan dengan rehabilitasi di mana klien dilatih untuk
hidup produktif. Pada saat itu terlupakan peran serta keluarga agar klien kembali ke rumah dan
lingkungan hidupnya kembali. Kondisi pelayanan keperawatan yang manusiawi dan
professional belum terwujud secara optimal, bahkan di beberapa rumah sakit jiwa di Indonesia
masih ada perawatan yang bersifat custodial.

Upaya berkontribusi dalam peningkatan pelayanan kesehatan jiwa oleh keperawatan dimulai
pada tahun 1985 saat pendidikan dan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang professional
mulai dikembangkan dengan dibukanya pendidikan S1 keperawatan di Universitas Indonesia,
dan mahasiswa melakukan praktik di RSJP Bogor di mana salah satu perawat RSJP Bogor
yang menjadi mahasiswa angkatan pertama adalah penulis sendiri. Perawatan klien diberikan
berdasarkan diagnosis keperawatan dan menggunakan tindakan keperawatan yang bertujuan
memandirikan dan memulihkan fungsi klien dengan melibatkan keluarga dengan harapan
keluarga dapat melanjutkan asuhan di rumah. Beberapa kendala teridentifikasi yaitu belum
semua perawat mempunyai persepsi yang sama dalam merawat klien, lama rawat yang panjang
(lebih dari 100 hari), perlakuan terhadap klien belum bermitra (lebih kepada apa yang
diinginkan tenaga kesehatan), kunjungan keluarga yang minim (rata-rata hanya satu kali dalam
dua bulan), kolaborasi dengan dokter belum optimal. Berdasarkan masalah dan kendala ini
maka diperlukan reformasi pelayanan keperawatan jiwa dengan tujuan pemulihan klien
secepat-cepatnya (tidak perlu lama dirawat di RSJ) agar dampak kemunduran fungsi
(deteriorisasi) dapat dicegah dengan melibatkan keluarga dan kerja sama tim kesehatan.
Sejalan dengan itu, pada tahun 1997, model praktik keperawatan professional (MPKP)
dikembangkan di rumah sakit umum, khususnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(Sitorus, 2006) yang hasilnya menunjukkan peningkatan mutu asuhan keperawatan khususnya
peningkatan pada kepatuhan perawat melaksanakan standar, kepuasan klien dan keluarga dan
lama hari rawat lebih pendek (Sitorus, 2012). Dengan izin Sitorus, konsep MPKP yang telah
dikembangkan di rumah sakit umum dilakukan modifikasi dan disusun dalam bentuk MPKP
Jiwa. Kegiatan ini dilakukan dengan kerja sama Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa,
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dengan Pimpinan dan tim Keperawatan
RSJP Bogor melalui surat kerjasama. Hal ini dapat dilakukan berkat dukungan direktur RSJP
Bogor saat itu yaitu Alm. dr. Amir Husain, SpKJ selaku Direktur dan H. Supriyanto, SPd,
MKes selaku Kepala Bidang Keperawatan yang memberikan satu ruangan dengan fasilitasnya
untuk melakukan uji coba MPKP Jiwa di ruang rawat Srikandi.
MPKP Jiwa menggunakan 4 pilar pelayanan profesional yaitu (1) Penerapan manajemen
keperawatan (Nursing management approach) yang terdiri dari 19 kegiatan yaitu 6 kegiatan
perencanaan, 3 kegiatan pengorganisasian, 6 kegiatan pengarahan dan 4 kegiatan
pengendalian, (2) Hubungan professional (Professional relationship) terdiri dari 4 kegiatan,
(3) Sistem penghargaan (Compensatory reward) 2 kegiatan, dan (4) Manajemen asuhan
keperawatan (Patient care delivery) yang berfokus pada 7 diagnosis keperawatan yang
terbanyak yang teridentifikasi (Keliat, dkk, 2009). Pengembangan manajemen asuhan
keperawatan diawali dengan melaakukan survey diagnosis keperawatan di 6 RSJ di Pulau
Jawa, dan ditemukan 7 diagnosis keperawatan yang terbanyak yaitu perilaku kekerasan,
halusinasi, harga diri sendah, isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri,
kemudian ditetapkan standar asuhan keperawatan berupa tindakan keperawatan pada klien,
keluarga dan tindakan kolaboratif (khususnya program terapi dokter). Seluruh kegiatan (35
kegiatan) ditetapkan sebagai kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh kepala ruangan
dan 22 kegiatan sebagai kemampuan ketua tim serta 11 kegiatan sebagai perawat pelaksana.
Kemampuan ini dilatihkan kepada perawat yang akan bekerja di ruang rawat yang menerapkan
MPKP Jiwa, kemudian diikuti dengan pendampingan dan penilaian sampai mereka mampu
melakukannya. Keluarga klien yang dirawat menandatangani inform consent bersedia minimal
mengunjungi klien dua kali seminggu, dan mendapatkan pendidikan kesehatan tentang cara
merawat klien di rumah.
Penerapan MPKP jiwa berdampak positif pada perawat, tenaga kesehatan lain dan juga klien
dan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Fatiah (2002) di RSJP Bogor menemukan bahwa
perawat yang bekerja di ruang MPKP Jiwa mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan dengan perawat yang bekerja di ruangan yang belum menerapkan
MPKP Jiwa yaitu kepuasan terhadap pekerjaan, sistem pengawasan, promosi dan hubungan
dengan rekan kerja. Pada penelitian Supriyanto (2003) ditemukan adanya kenaikan kepuasan
keluarga klien terhadap pelayanan informasi, perawat, dokter, fasilitas medik, administrasi,
lingkungan fisik, dan kesesuaian tarif terhadap pelayanan yang diterima di ruangan MPKP
Jiwa. Dampak dari pelayanan MPKP Jiwa lainnya adalah keluarga loyal menggunakan
pelayanan MPKP Jiwa di RSJP Bogor.
Sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang, MPKP Jiwa telah diterapkan di 23 dari 33 RSJ di
Indonesia. Pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan dalam hal ini Direktorat Bina Pelayanan
Kesehatan Jiwa menetapkan bahwa MPKP menjadi indikator minimal pelayanan keperawatan
di rumah sakit jiwa. Hal ini menjamin kepastian keberlanjutan MPKP Jiwa sebagai pedoman
peningkatan kinerja pelayanan keperawatan (Dirkeswa, 2012). Beberapa penelitian dan survey
telah dilakukan menunjukkan keberhasilan MPKP Jiwa dalam meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan.
Penerapan MPKP Jiwa yang diterapkan di RSJ Atma Husada Mahakam, Kalimantan Timur
selama 6 bulan didapatkan hasil (Linda, 2010) sebagai berikut: rerata lama rawat menurun dari
15 hari menjadi 11,5 hari, angka klien lari menurun dari 10% menjadi 0%, angka
pengekangan/pengikatan menurun dari 15% menjadi 5%, angka kemandirian klien meningkat
dari 5% menjadi 17%, dokumentasi keperawatan meningkat dari 92% menjadi 100%. Selain
itu ditemukan kepuasan klien meningkat dari 55% menjadi 74%, kepuasan keluarga meningkat
dari 60% menjadi 80%, kepuasan perawat meningkat dari 70% menjadi 85%, kepuasan tenaga
kesehatan lain meningkat dari 70% menjadi 85%.
Hasil evaluasi penerapan MPKP di 4 ruang rawat inap RSJ HB Saanin Padang pada tahun 2010
ditemukan bahwa rerata BOR 82,25%, dan rerata lama rawat klien menjadi 34 hari. Sedangkan
di RSJ Soerojo Magelang menunjukkan angka rerata BOR 73,5% dan rerata lama rawat 27
hari, kepuasan klien dan keluarga 91%, dan kepuasan perawat mencapai 85%. Di RSJ
Radjiman WD, Lawang hasil evaluasi penerapan MPKP Jiwa ditemukan BOR 100%, rerata
lama rawat 50 hari, angka pengekangan/pengikatan klien menurun dari 9 orang menjadi 1
orang per bulan, dan tidak ada klien yang lari.
Dari hasil penelitian dan evaluasi penerapan MPKP Jiwa di beberapa RSJ menunjukkan MPKP
memiliki daya ungkit peningkatan kualitas pelayanan kesehatan jiwa khususnya keperawatan
di rumah sakit jiwa. Klien telah dirawat dengan lebih manusiawi, tidak diikat atau dikurung
(no pasung di rumah sakit jiwa), lama rawat menurun walaupun belum menyamai lama rawat
terendah negara yang maju yaitu kurang dari tujuh hari (Boyd & Nikart, 1999). Peran serta
keluarga meningkat yang memungkinkan kesiapan menerima klien kembali ke rumah, namun
teridentifikasi klien tidak diambil pulang oleh keluarga walaupun telah menunjukkan perbaikan
dan siap pulang. Untuk itu dilakukan penelitian analisis kemampuan tinggal di masyarakat pada
klien skizofrenia di lima rumah sakit jiwa di pulau jawa yang telah menjalankan MPKP jiwa.
Hasil penelitian ditemukan (Keliat, dkk, 2011), rata-rata lama rawat klien 39 hari (terpendek
14 hari terlama 495 hari dengan n= 200 orang), klien yang mampu tinggal di masyarakat 46 %,
artinya klien ini sudah boleh pulang tetapi belum diambil pulang oleh keluarga. Alasannya
kemungkinan keluarga tidak mampu merawat di rumah atau tidak ada pelayanan kesehatan
jiwa di masyarakat.
Kontribusi pelayanan keperawatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa juga
dilakukan melalui berbagai penelitian klinis terapi modalitas keperawatan jiwa. Penelitian
terkait dengan keberhasilan merawat diagnosis keperawatan klien telah dilakukan sejak 2001
sampai sekarang, yang hasilnya dapat dipakai sebagai tindakan keperawatan berbasis bukti.
Pada tahun 2001 - 2002 dilakukan penelitian tentang pemberdayaan klien dan keluarga dalam
merawat klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa pusat Bogor (Keliat,
dkk, 2003). Klien dilatih mengendalikan perilaku kekerasannya secara fisik, sosial, spiritual
dan obat antipsikotik, keluarga dilatih cara merawat dan memotivasi klien dalam
mengendalikan perilaku kekerasan. Selama 120 hari setelah pulang dipantau kejadian perilaku
kekerasan di rumah dan frekuensi masuk rumah sakit kembali (kambuh). Hasil penelitian
(Keliat, dkk, 2009) menunjukkan bahwa klien dan keluarga yang diberdayakan mempunyai
rata-rata lama rawat di rumah sakit lebih pendek secara bermakna dibandingkan dengan klien
yang tidak mendapatkannya. Demikian pula lama tinggal di rumah (lama kambuh dan dirawat
kembali) lebih panjang secara bermakna pada klien dan keluarga yang mendapat
pemberdayaan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkannya. Dari hasil penelitian ini
ditemukan bahwa klien mendapatkan antipsikotik yang tidak berbeda dengan klien lain tetapi
mendapatkan asuhan keperawatan berupa pemberdayaan klien dan keluarga mempunyai lama
rawat lebih pendek dan lama kambuh yang lebih panjang.
Penelitian berlanjut sejalan dengan dibukanya pendidikan spesialis keperawatan jiwa pada
tahun 2005 di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penelitian tentang asuhan
keperawatan perilaku kekerasan (Wahyuningsih, Keliat & Hastono, 2009) yang
membandingkan asuhan keperawatan generalis pada perilaku kekerasan dikombinasi dengan
Assertiveness Training dibandingkan dengan yang hanya mendapat asuhan generalis saja,
maka ditemukan perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapatkan asuhan generalis dan
Assertiveness Training menurun secara bermakna pada respon perilaku, kognitif, sosial dan
fisik (p value<0,05) dan pada kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis menurun
secara bermakna pada respon perilaku, kognitif dan fisik (p value<0,05), penurunan pada pada
kelompok yang mendapatkan terapi generalis dan Assertiveness Training lebih rendah secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan terapi generalis (p value< 0,05).
Dari penelitian ini diidentifikasi aspek emosi pada asuhan keperawatan perilaku kekerasan
belum mendapat perhatian, dan dilakukan penelitian lanjutan dengan melakukan Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT), yang salah satu tujuannya adalah memperhatikan aspek
emosi.
Pada tahun 2010 (Putri, Keliat & Nasution, 2010) melakukan penelitian dengan menggunakan
REBT yang bertujuan untuk menurunkan gejala/ respon emosi dan perilaku pada klien perilaku
kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan respon kognitif dan sosial serta
penurunan respon emosi, perilaku, dan fisiologis secara bermakna (p-value0,05) pada klien
yang mendapatkan REBT dan asuhan generalis. Dari semua dampak terhadap respons tersebut
ditemukan penurunan respon kognitif dan fisiologis yang paling rendah. Respon fisiologis
belum teratasi dengan asuhan ini.

Penelitian terhadap perilaku kekerasan dilanjutkan dengan fokus perbaikan pada respon fisik
dengan mengkombinasikan Assertiveness Training dengan mengkombinasikan dengan
Progressive Muscle Relaxation dengan alasan bahwa Progressive Muscle Relaxation
bermakna menurunkan respon fisiologis pada klien ansietas (Supriati, Keliat & Nuraini, 2010).
Pada penelitian perilaku kekerasan diberikan Assertiveness Training dan Progressive Muscle
Relaxation. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan termasuk aspek
fisik pada klien yang mendapatkan AT dan PMR secara bermakna dan lebih besar secara
bermakna dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan AT (Alini, Keliat, & Wardani,
2012).
Penelitian tentang halusinasi dilakukan dengan memberikan asuhan generalis halusinasi.
Hasilnya (Carolina, Keliat & Sabri, 2008) menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan
psikomotor dalam mengendalikan halusinasi dan penurunan tanda halusinasi klien yang
mendapat asuhan generalis secara bermakna dan juga lebih baik secara bermakna dengan klien
yang mendapatkan asuhan yang lama. Penelitian halusinasi dilanjutkan dengan
membandingkan asuhan generalis yang dikombinasikan CBT dengan hanya mendapat asuhan
generalis. Hasil penelitian (Wahyuni, Keliat & Nasution, 2010) menunjukkan peningkatan
kemampuan kognitif dan psikomotor dalam mengendalikan halusinasi dan penurunan tanda-
tanda halusinasi secara bermakna.
Penelitian yang dilakukan pada klien dengan harga diri rendah dilakukan dengan memberikan
asuhan generalis dan CBT dibandingkan dengan klien yang hanya diberi asuhan generalis.
Hasil penelitian (Sasmita, Keliat & Budiharto, 2007) menemukan kemampuan kognitif dan
perilaku meningkat secara bermakna pada klien yang mendapat CBT dan lebih tinggi secara
bermakna pula jika dibandingkan dengan klien yang hanya menerima asuhan generalis.
Kondisi klien gangguan jiwa menunjukkan dual atau multiple diagnosis keperawatan, sehingga
asuhan keperawatan juga diberikan pada semua diagnosis. Untuk itu dilakukan penelitian pada
klien yang mempunyai diagnosis perilaku kekerasan dan harga diri rendah dan atau perilaku
kekerasan dan halusinasi dan atau perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah.
Sedangkan terapi yang dilakukan adalah gabungan REBT dan CBT yang disebut RECBT
(Hidayat, Keliat & Wardani 2011; Sudiatmika, Keliat, & Wardani, 2011; Lelono, Keliat &
Besral). Pada ketiga penelitian ini ditemukan peningkatan kemampuan klien dan penurunan
gejala yang bermakna.
Penelitian pada diagnosa isolasi sosial telah dimulai pada tahun 1999 (Keliat, dkk, 1999)
dengan melakukan Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi (Keliat & Akemat, 2004). Hasilnya
menunjukkan kemampuan sosialisasi klien meningkat secara bermakna. Penelitian dilanjutkan
dengan memberikan social skill training (Renidayati, Keliat & Sabri, 200)8 dan hasilnya
membuktikan kemampuan kognitif dan kemampuan sosialisasi kelompok yang mengikuti
social skills training lebih tinggi secara bermakna dari kelompok yang tidak mengikuti social
skills training. Klien yang bekerja mempunyai kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi. Klien
diagnosis isolasi sosial sering mempunyai kemampuan kognitif yang kurang terhadap
lingkungan, berdasarkan hal ini dilakukan penelitian dengan memberikan cognitive behaviour
social skill training (CBSST) (Jumaini, dkk, 2010). Hasil penelitian ditemukan kemampuan
kognitif dalam menilai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan serta kemampuan psikomotor
dalam bersosialisasi meningkat secara bermakna dan lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan CBSST.
Asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa yang ditingkatkan secara terus menerus telah
mempunyai makna dalam meningkatkan kemampuan klien dan keluarganya melalui asuhan
generalis, terapi modalitas keperawatan dan psikoterapi yang diberikan oleh perawat generalis
dan spesialis. Kontribusi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat terus
dilaksanakan dan ditingkatkan dengan melakukan praktik berdasarkan bukti (evidence based
practice) sehingga pelayanan keperawatan di rumah sakit jiwa berkualitas dan prima yang
memberi dampak pada kualitas hidup klien dan pada akhirnya meningkatkan kemandirian,
produktivitas dan mengurangi stigma terhadap klien gangguan jiwa.
Manajemen keperawatan melalui MPKP Jiwa merupakan kegiatan pengelolaan asuhan dan
pelayanan keperawatan di rumah sakit jiwa yang dapat menjamin pelayanan keperawatan yang
kontinum, berfokus pada klien dan keluarganya, mengatakan tidak pada
pengikatan/pengekangan selama dua puluh empat jam dan tujuh hari per minggu sehingga
pencapaian hasil pelayanan dapat memuaskan pelanggan.
Pelayanan RSJ masih dipertanyakan apakah dapat menjamin kesembuhan klien dan dapat
mandiri dan produktif setelah pulang? Hal ini penting untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit jiwa. Sementara itu, masih banyak klien di
masyarakat yang memerlukan pelayanan RSJ, jika 10 % estimasi gangguan jiwa yang
memerlukan perawatan di rumah sakit jiwa mempunyai kesadaran tinggi untuk dirawat tentu
turn over klien yang cepat diperlukan, tetapi setelah dirawat di RSJ ternyata tidak memberi
jawaban untuk sembuh maka kepercayaan terhadap pelayanan RSJ tidak terbangun. Namun
demikian kita tidak akan menunggu kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan RSJ dahulu
sebelum memberikan pelayanan di masyarakat, karena masyarakat mempunyai hak
mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Sampai saat ini sebanyak 25 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia telah melakukan pelatihan
MPKP Jiwa, dan Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa telah menetapkan MPKP Jiwa
dengan melakukan modifikasi sesuai dengan visi pelayanan kesehatan jiwa menjadi pedoman
pelayanan keperawatan di rumah sakit jiwa. Dengan cara ini diharapkan pelayanan
keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa dapat dipertanggung jawabkan dan memberi kontribusi
pada peningkatan pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit jiwa
Pelayanan rumah sakit jiwa yang optimal telah terbukti memperbaiki kondisi klien yang
dirawat, namun belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwa karena pelayanan di rumah sakit
baru berfokus kepada peran aktif masyarakat membawa klien gangguan jiwa (yang telah
terganggu) yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan estimasi gangguan jiwa di
masyarakat. Masih banyak klien gangguan jiwa belum dan tidak dibawa ke rumah sakit jiwa,
demikian pula dengan masyarakat yang risiko gangguan jiwa (deteksi dini untuk pencegahan)
dan masyarakat yang sehat jiwa (memerlukan promosi dan peningkatan ketahanan mental)
yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa karena tidak tersedia di setiap tatanan
pelayanan kesehatan.
Para Hadirin yang saya muliakan,
3. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI MASYARAKAT
Upaya pelayanan kesehatan jiwa masyarakat harus diberikan kepada masyarakat yang sehat
jiwa, yang berisiko, dan yang mengalami gangguan jiwa. Masyarakat yang sehat diberi
program promosi dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan kesehatan jiwa, kepada
masyarakat yang berisiko dengan program pencegahan sehingga tidak terjadi gangguan jiwa
dan pelayanan pada masyarakat yang terganggu (yang baru kembali dari rumah sakit dan yang
belum terdeteksi dan dilayani) dengan program pemulihan dan rehabilitasi.
Di Indonesia, masalah kesehatan jiwa cukup besar namun tidak diimbangi dengan penyediaan
sarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
pada tahun 2007 menununjukkan data prevalensi nasional untuk gangguan jiwa berat pada usia
> 15 tahun adalah 0,46%, gangguan mental emosional pada usia > 15 tahun adalah 11,6 %.
Berdasarkan temuan tersebut maka estimasi jumlah penyandang gangguan jiwa berat di
Indonesia adalah 772.800 orang dan gangguan mental emosional 19,5 juta, sisanya adalah
kelompok masyarakat yang sehat jiwa. Prevalensi masalah kesehatan jiwa belum diimbangi
dengan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Saat ini di Indonesia hanya tersedia
33 rumah sakit jiwa, satu buah RSKO dan beberapa RSU yang menyediakan pelayanan
kesehatan jiwa dengan jumlah kapasitas tempat tidur total kurang dari 9.000. Seandainya
semua tempat tidur penuh, maka masih ada sekitar 763.000 orang gangguan jiwa berat yang
berada di masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan jiwa. Selain itu diestimasi sekitar
18.000 dari klien gangguan jiwa berat yang masih berada di masyarakat menjadi korban
pasung, yang tentu hal ini melanggar hak azasi manusia dimana pemerintah dan masyarakat
tidak menghargai (to respect), gagal melindungi (to protect) dan gagal memenuhi kebutuhan
(to fulfill) pelayanan kesehatan yang seharusnya diterima.
Penyandang gangguan mental emosional yang sebagian besar mengalami ansietas dan depresi
selama ini belum ditangani dengan baik. Pada hari kesehatan jiwa sedunia, tahun
2012 dinyatakan sebagai tahun global depresi (WHO, 2012) dan diprediksi sekitar 1 di antara
20 penduduk pernah mengalami depresi pada tahun tersebut yang dimulai pada usia muda.
Depresi berdampak pada fungsi kehidupan dan dapat berulang sepanjang kehidupan. Selama
ini depresi dan ansietas seringkali tidak terdeteksi oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder maupun tersier. Klien penyandang masalah depresi atau ansietas
yang menyertai keluhan fisik seringkali hanya ditangani keluhan fisiknya semata namun akar
masalahnya tidak tertangani. Berdasarkan data WHO tahun 2001, klien yang sebenarnya
mengalami masalah kesehatan jiwa yang datang ke puskesmas di Indonesia sebesar 30-50%
tetapi yang terdeteksi dan dilaporkan hanya sekitar 2%.
Berbagai keadaan dapat mengakibatkan anggota masyarakat rentan mengalami gangguan
jiwa. Keadaan-keadaan tersebut meliputi pola asuh yang tidak optimal, penyediaan lingkungan
yang tidak mendukung perkembangan, kemiskinan yang sering terkait dengan rendahnya
pendidikan, bencana, penyakit fisik kronik. Semua hal tersebut berkaitan dengan target
MDGs. Dengan demikian apabila target MDGs tidak tercapai maka risiko masyarakat
mengalami gangguan jiwa akan semakin besar.
Kelompok masyarakat dengan jumlah terbesar adalah kelompok sehat jiwa dari usia bayi
(bahkan yang masih dalam kandungan), kanak-kanak, remaja, dewasa sampai lansia.
Kelompok ini sayangnya belum banyak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang
seharusnya diterima agar dapat mempertahankan dan mempromosikan kesehatan jiwanya.
Mereka memerlukan pelayanan promosi kesehatan jiwa sehingga mempunyai jiwa yang sehat,
ketahanan mental dalam menghadapi berbagai masalah di sepanjang kehidupan. Kelompok
masyarakat ini bukannya bebas dari masalah kesehatan jiwa. Banyak masyarakat yang
dianggap sehat jiwa namun sebenarnya mempunyai perilaku yang tidak bertanggung jawab,
sering menyalahkan orang lain, merasa benar sendiri dan bahkan merugikan orang lain yang
tentu memerlukan pelayanan agar dapat mempertahankan kesehatan jiwanya.
Ketiga kelompok masyarakat tersebut (sehat, risiko, dan gangguan) memerlukan pelayanan
kesehatan jiwa di masyarakat. Kelompok yang sehat memerlukan promosi kesehatan jiwa,
kelompok risiko memerlukan pencegahan masalah kesehatan jiwa dan kelompok gangguan
jiwa memerlukan pelayanan kesehatan jiwa yang tepat sehingga mereka tetap dapat hidup
produktif dan tidak menjadi beban bagi keluarga maupun masyarakat. Untuk itu diperlukan
terobosan dengan cara mendekatkan pelayanan kesehatan jiwa dengan masyarakat.
WHO (2001) telah memberikan sepuluh rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan jiwa di masyarakat yaitu tersedianya pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas;
tersedianya psikofarmaka di semua pelayanan kesehatan; perawatan di masyarakat; pendidikan
masyarakat; melibatkan klien, keluarga dan masyarakat; kebijakan dan legislasi kesehatan
jiwa; pengembangan sumber daya manusia; kerjasama lintas sektor; monitoring kesehatan jiwa
masyarakat dan penelitian. Rekomendasi ini diimplementasikan pada keperawatan kesehatan
jiwa masyarakat (Community Mental Health Nursing/CMHN), yang merupakan pelayanan
yang komprehensif, holistik, kontinum, dan paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat
jiwa, rentan terhadap stres (risiko mengalami masalah kesehatan jiwa) dan gangguan jiwa
(belum mendapat pelayanan atau memerlukan program pencegahan kekambuhan) (Keliat, dkk,
2007a). CMHN bekerjasama secara terpadu dengan tim kesehatan lain khususnya dokter
puskesmas. Pelayanan keperawatan ini telah dimulai melalui praktik mahasiswa di masyarakat
namun belum terintegrasi dengan pelayanan puskesmas, bahkan tidak termasuk dalam program
pokok puskesmas.
Pelayanan kesehatan jiwa yang dikembangkan di Provinsi Aceh berfokus pada pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat setelah terjadi Tsunami dan gempa pada tanggal 24 Desember 2004.
CMHN dikembangkan dengan lebih baik sekitar tiga bulan setelah tsunami di Aceh, dengan
tujuan memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara optimal karena berdasarkan analisis
masalah kesehatan jiwa akan menjadi 3-4% gangguan jiwa berat sedangkan stress ringan
sampai berat dapat meningkat menjadi 20-50% (WHO, 2005). Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia terlibat aktif sejak tahap emergensi (tanggap darurat) sampai tahap
rehabilitasi, melalui kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota diseluruh provinsi
Aceh (23 kabupaten/kota), Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Direktorat Bina Kesehatan Jiwa
Kementerian Kesehatan RI, WHO representative Indonesia, HSP-USAID, ADB ETESP-
Health. Penulis membentuk tim CMHN dan menyusun pelayanan keperawatan kesehatan jiwa
masyarakat di Aceh. Tim CMHN terdiri dari perawat dari rumah sakit jiwa, rumah sakit
ketergantungan obat dan dosen keperawatan jiwa sejabodetabek yang tidak kenal lelah
menyusun, mencoba, mengevaluasi dan mereplikasi di berbagai provinsi di Indonesia.
Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam merealisasikan pelayanan CMHN di Aceh adalah
sebagai berikut: menyusun kurikulum dan modul pelayanan CMHN, melatih fasilitator
nasional, uji coba pelatihan di satu kabupaten (Aceh Besar), merevisi modul dan manajemen
pelatihan, melakukan pelatihan pada seluruh kabupaten, melakukan supervisi & monitoring &
evaluasi. Modul pelatihan dibagi tiga yaitu: Keperawatan kesehatan jiwa masyarakat dasar
(Basic Course CMHN) berfokus pada anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa
berat (Keliat, dkk, 2007a), keperawatan kesehatan jiwa masyarakat intermediate (Intermediate
Course CMHN) berfokus pada anggota masyarakat yang risiko dan sehat disertai
pemberdayaan masyarakat melalui Desa Siaga Sehat Jiwa (Keliat, dkk, 2007 b,c,d),
keperawatan kesehatan jiwa masyarakat lanjutan (Advance Course CMHN) berfokus pada
manajemen pelayanan keperawatan jiwa masyarakat disertai lanjutan pelayanan pada
gangguan jiwa berat, risiko, sehat dan pemberdayaan masyarakat (Keliat, dkk, 2006).
Pelatihan perawat yang dimulai pada tahun 2005 di seluruh kabupaten / kota (23 kabupaten
kota) dan di seluruh puskesmas kecamatan ( 273 PKM) melibatkan peserta sebanyak 686
perawat dan melakukan pendampingan pelaksanaan pelayanan keperawatan pada masyarakat
selama dua tahun secara terus menerus kemudian dilanjutkan dengan supervisi periodik sampai
tahun 2010. Hasil pelatihan tersebut adalah ditemukan dan dirawat klien gangguan jiwa di
masyarakat sebanyak 12.426 orang dan di antaranya ditemukan 196 klien yang dipasung.
Setelah menerima pelayanan asuhan keperawatan dan pendampingan yang diberikan oleh KKJ
maka sekitar 60 % klien menjadi mandiri (self care) bahkan di antaranya telah dapat bekerja
dan mendapat penghasilan. Stigma di masyarakat berkurang seiring dengan meningkatnya
peran serta masyarakat. Selanjutnya dinas kesehatan propinsi dan kabupaten / kota melanjutkan
dan menjaga keberlanjutan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di Aceh menjadi model
pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat untuk Indonesia dan manca negara (Wheeler & Keliat,
2007)
CMHN di Aceh telah dievaluasi oleh evaluator external dan menemukan empat aktivitas yang
bermakna yaitu kunjungan rumah, dokumentasi baik kualitas maupun kuantitas, pertemuan
berkala sebagai upaya monev, supervisi/pengawasan secara berkala ke lapangan serta dampak
yang ditemukan adalah perbaikan pengetahuan para perawat mengenai gangguan kesehatan
jiwa, perbaikan pendeteksian kasus di masyarakat, angka awal perawatan meningkat,
kepatuhan dalam melakukan perawatan meningkat, jumlah orang yang dilepaskan dari
pasungan di masyarakat merupakan hasil yang dramatis (Kelleher, 2007).

Sebagai kelanjutan program CMHN, khususnya untuk mengatasi klien yang dipasung, Aceh
mencanangkan program bebas pasung. Dalam rangka implementasi program bebas pasung,
jajaran kesehatan jiwa di Aceh telah menemukan dan melepas dan merawat sebanyak 196
orang pada tahun 2005 2008, 120 orang pada tahun 2009, 88 orang pada tahun dan 122 orang
pada tahun 2011 (DinKes Aceh, 2011). Belum semua klien pasung dapat dilepaskan dengan
berbagai alasan. Dalam melepaskan klien dari pasung seyogyanya target pelayanan bukan
hanya sekedar melepas tetapi harus dilanjutkan dengan asuhan keperawatan dan pengobatan,
latihan self care sehingga dapat mandiri dan akhirnya dapat bekerja dan produktif. Propinsi lain
juga sedang melaksanakan program bebas pasung dalam rangka mendukung Indonesia Bebas
Pasung (IBP) di mana pasung dianggap tidak manusiawi dan melanggar HAM.

CMHN yang dikembangkan di Aceh direplikasi diberbagai kota/kabupaten dan propinsi di


tanah air, yang pertama yaitu di Bogor sebagai tempat praktik mahasiswa S1 dan spesialis
keperawatan jiwa sehingga terbentuk 3 puskesmas kecamatan yang memberikan pelayanan
kesehatan jiwa, dengan 9 kelurahan dan 72 RW siaga sehat jiwa dengan 612 KKJ.

CMHN di DKI Jakarta juga dikembangkan mengingat DKI Jakarta merupakan salah satu
propinsi yang mempunyai angka prevalensi tertinggi yaitu 14,1% (946.208 ribu) penduduk
mengalami gangguan mental emosional dan 2,03% (136.227 ribu) mengalami gangguan jiwa
berat. CMHN dikembangkan dengan melakukan pelatihan BC-CMHN kepada perawat
puskesmas dan dokter umum di puskesmas di 6 wilayah DKI Jakarta. Jumlah tenaga kesehatan
yang terlatih yaitu : dokter umum sebanyak 94 orang dan perawat sebanyak 193 orang. Jumlah
klien yang dirawat oleh puskesmas maupun rumah sakit jiwa di DKI Jakarta sebanyak 2.072
orang. Coverage klien yang dirawat sebesar 2.072 (1.52%) dan treatment gap klien yang belum
dirawat sebesar 134.155 (98,48%). Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan jiwa
yang diberikan kepada klien gangguan jiwa maka dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui
RW Siaga Sehat Jiwa (RS-SSJ) dengan melatih Kader Kesehatan Jiwa (KKJ). Kader yang telah
dilatih sebanyak 221 orang di 6 wilayah DKI Jakarta. Untuk menilai keberhasilan program
CMHN di wilayah DKI Jakarta, telah dilakukan penelitian tentang efektifitas penerapan model
CMHN terhadap kemampuan hidup klien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI
Jakarta.
Penelitian dilakukan setelah pelatihan BC-CMHN diberikan kepada perawat puskesmas,
kemudian dilanjutkan dengan home care yang dilakukan perawat CMHN melalui kunjungan
rumah kepada klien gangguan jiwa dan keluarganya sebanyak 12 kali. Hasil yang ditemukan:
kemandirian dan waktu produktif klien meningkat secara bermakna, kemampuan kognitif dan
psikomotor keluarga dalam merawat klien meningkat secara bermakna, serta beban keluarga
menurun secara bermakna, kualitas hidup klien meningkat secara bermakna dan kepuasan
keluarga dalam merawat klien lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan dengan
kelompok kontrol (Keliat, Riasmini & Daulima, 2010)
Adanya dukungan Direktorat Pelayanan Kesehatan Jiwa dan PPSDM KemKes, dinas
kesehatan provinsi dan kabupaten/kota maka di 17 propinsi telah mulai dikembangkan
pelayanan kesehatan jiwa masyarakat dengan CMHN lain yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Sampai saat
ini telah ada sekitar 1.400 perawat puskesmas yang dilatih CMHN. Sangat diharapkan seluruh
propinsi membantu pelayanan kesehatan jiwa masyarakat menuju Indonesia sehat jiwa.
Penelitian terkait pelayanan CMHN telah dilakukan di beberapa wilayah baik terhadap
pelayanan dan asuhan pada klien gangguan jiwa, risiko dan sehat. Dalam berbagai penelitian
tentang dampak CMHN ditemukan CMHN berdampak positif dalam meningkatkan kesehatan
jiwa masyarakat.
Setelah CMHN dilaksanakan selama dua tahun di Kabupaten Bireuen Aceh maka dilakukan
penelitian tentang hubungan pelayanan CMHN dengan tingkat kemandirian klien gangguan
jiwa, dari 179 klien ditemukan yang mampu mandiri dalam aktivitas sehari-hari sebanyak 102
klien (57%), mampu mandiri dalam aktivitas sosial 95 klien (53%), mampu mandiri dalam
pengobatan 109 klien (60,9%). Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menemukan faktor
pendukung kemandirian klien dan ditemukan faktor yang mendukung kemandirian meliputi
faktor internal (harapan untuk sembuh, makna kesembuhan, manfaat adanya kegiatan, sistem
keyakinan) dan faktor eksternal (dukungan emosional, dukungan sosial, pengobatan) (Fitri,
Keliat & Mustikasari, 2007).
Penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi kemampuan perawat yang dilatih terhadap
55 orang perawat dalam menjalankan CMHN di kabupaten Pidie Aceh, untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat (Sulastri, Keliat & Eryando, 2007). Hasilnya
ditemukan bahwa program CMHN (rekrutmen, pelatihan, supervisi dan dukungan dari
pimpinan) berhubungan secara bermakna terhadap kinerja perawat, dan yang paling
dominan adalah proses pelatihan. Perawat dengan pendidikan diploma 3 keperawatan
mempunyai kinerja yang lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan pendidikan yang
lebih rendah. Hasil penelitian ini mendorong tim CMHN melakukan sosialisasi ke berbagai
pihak agar melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga yang merawat klien sangat diperlukan agar
keluarga tetap bersemangat dalam merawat klien. Kelompok keluarga yang mempunyai
anggota keluarga gangguan jiwa telah lama dikembangkan di Negara-negara maju. Untuk itu
dilakukan penelitian terhadap pembentukan kelompok supportif keluarga (family supportive
group) dan kelompok swabantu (self help group) dan dampaknya terhadap keluarga. Hasil
penelitian bahwa pembentukan kelompok suportif keluarga meningkatkan kemampuan
keluarga secara bermakna dalam merawat klien di rumah (Hernawaty, Keliat, & Kuntarti,
2009) dan pembentukan kelompok swabantu (Utami, Keliat & Gayatri, 2008) berdampak
secara bermakna pada peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam
merawat klien gangguan jiwa.
Penelitian terhadap penduduk yang terdampak bencana gempa di Bantul dan Klaten
menemukan di Kabupaten Bantul pada keluarga klien gangguan jiwa dengan masalah
halusinasi keluarga merasa bosan dan terbebani yang berakibat asuhan klien terabaikan. Untuk
itu keluarga diberikan Family Psychoeducation dengan tujuan mengurangi beban dan mampu
merawat klien dengan Halusinasi (Wardaningsih, Keliat & Helena, 2007). Hasil edukasi
ternyata dapat menurunkan beban keluarga secara bermakna dan meningkatkan kemampuan
keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi. Di Klaten ditemukan bahwa penduduk
terdampak gempa masih mengalami ansietas walaupun sudah tiga tahun berselang terjadinya
gempa. Penelitian dilakukan dengan memberikan logoterapi, ternyata logoterapi menurunkan
ansietas yang bermakna (Sutejo, Keliat, & Hastono, 2009).
Penelitian terhadap penduduk yang mengalami gempa dilakukan pula di Sumatra Barat,
tepatnya di Kelurahan Air Tawar. Ketika dilakukan skrining Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) ditemukan sebanyak 56, 627% penduduk Air Tawar mengalami PTSD. Dengan
memberikan CBT dapat menurunkan tanda dan gejala PTSD secara bermakna. Dari hasil
beberapa penelitian terkait dengan asuhan kepada penduduk yang mengalami bencana alam,
maka terbukti pelayanan keperawatan yang berbasis bukti perlu dilakukan agar penduduk dapat
berfungsi optimal.
Lansia merupakan kelompok yang rentan dan sebagian di antara mereka tinggal di panti yang
tidak mempunyai tenaga kesehatan. Di Indonesia, depresi paling tinggi pada lansia usia lebih
75 tahun yaitu 33.7% (DepKes R.I, 2008). Pada klien depresi sering ditemukan diagnosis
keperawatan harga diri rendah, . Untuk itu dilakukan penelitian dengan pemberian logoterapi,
reminiscence dan hasilnya menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku dalam
mengatasi harga diri rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat logoterapi, dan
peningkatan ini lebih tinggi secara bermakna jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan logoterapi.

Kekerasan dalam rumah tangga sering ditemukan sebagai fenomena gunung es dan sukar
terdeteksi, atau bahkan sering pasangan membantah terjadinya KDRT. Oleh karena itu
penelitian dilakukan pada keluarga yang mempunyai risiko terhadap kekerasan. Penelitian
dilakukan memberikan assertive training (AT) kepada kelompok suami yang mendapat AT,
kelompok istri yang mendapat AT. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan asertif suami
meningkat sebesar 67,4% (p-value<0,05), dan risiko kekerasan oleh suami menurunan sebesar
29,6 % (p-value<0,05) (Aini, dkk, 2011), kemampuan asertif istri meningkat 86,9% (p-value<
0,05) dan persepsi istri terhadap kemungkinan kekerasan oleh suami menurun sebesar 71,3%
(p-value<0,05).

Kejadian bunuh diri pada remaja seringkali ditemukan dan dikaitkan dengan global depresi
yang dimulai pada usia muda. Untuk itu dilakukan penelitian pada remaja, dengan melakukan
skrining depresi pada remaja di SMA, ditemukan 71% risiko bunuh diri (n=229 orang). Setelah
diberikan latihan pertahanan diri terhadap stress maka ditemukan peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan pertahanan diri terhadap stress dan tingkat depresi menurun secara bermakna
(Keliat, Daulima & Tololiu, 2010)
Asuhan dan pelayanan keperawatan jiwa kepada kelompok masyarakat yang sehat jiwa
(prevensi dan promosi) terbukti juga meningkatkan status kesehatan jiwa masyarakat.
Kelompok masyarakat yang sehat jiwa di masyarakat memerlukan program promosi agar
mempunyai koping yang sehat dalam menghadapi kehidupan. Terapi kelompok terapeutik
merupakan kegiatan memberikan stimulasi perkembangan pada kelompok (Keliat & Akemat,
2004), yang ditujukan untuk promosi kesehatan kesehatan jiwa dalam mencapai tugas
perkembangan pada kurun waktu kehidupan. Untuk itu telah dilakukan beberapa riset dari ibu
hamil, bayi, kanak-kanak, anak pra sekolah, anak sekolah, remaja dan lansia.
Ibu hamil memerlukan pengetahuan agar dapat beradaptasi dan memberikan stimulus kepada
janin. Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi kelompok terapeutik ibu
hamil terhadap kemampuan ibu beradaptasi dengan kehamilannya dan memberikan stimus
pada janinnya (Susmiatin, Keliat, Hastono & Susanti, 2010) menemukan hasil adanya kenaikan
kemampuan adaptasi dan stimulasi janin lebih tinggi secara bermakna dan apabila hal ini
dilaksanakan secara konsisten berpeluang meningkatkan kemampuan adaptasi emosi sebesar
48,1%, adaptasi sosial 28,5% dan stimulasi janin 34,5%.
Penelitian terhadap perkembangan rasa percaya bayi dilakukan dengan melakukan terapi
kelompok terapeutik bayi pada ibu dengan melatih ibu mempraktikkan cara menstimulasi rasa
percaya bayi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor
ibu, dan perkembangan rasa percaya bayi secara bermakna pada ibu yang mendapat TKT
(Daniati, dkk, 2010).
Penelitian yang telah dilakukan (Trihadi, Keliat & Hastono, 2009) yaitu stimulasi
perkembangan pada kelompok kanak-kanak dan melatih ibu untuk melakukannya menemukan
hasil adanya peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam memberikan
stimulasi perkembangan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan keluarga yang
tidak mendapat terapi kelompok terapeutik.
Penelitian pada pra anak sekolah dilakukan di Lampung (Damayanti, Keliat & Hastono, 2010)
yaitu penelitian dampak Terapi Kelompok Terapeutik stimulasi perkembangan kepada anak
pra sekolah dan ibu yang akan melakukan stimulasi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
kemampuan kognitif dan psikomotor ibu serta perkembangan inisiatif anak meningkat secara
bermakna setelah ibu mendapat Terapi Kelompok Terapeutik. Penelitian dilanjutkan untuk
anak sekolah yang ditujukan kepada anak, orangtua dan guru (Walter, dkk, 2009 ; Sunarto,
Keliat, & Pujasari, 2011; Istiana , Keliat & Nuraini, 2011). Penelitian ini menemukan
peningkatan kemampuan yang tertinggi pada anak sekolah pada pemberian stimulasi langsung
kepada anak ditambah memberdayakan orangtua dan guru dibandingkan hanya kepada anak
saja.
Penelitian pada kelompok usia remaja telah dilakukan terhadap pembentukan identitas dan
sikap asertif bagi ibu. Pembentukan identitas diri merupakan aspek sentral tugas
perkembangan pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa.
Pembentukan identitas diri remaja melalui pendekatan terapi kelompok menunjukkan
peningkatan identitas diri remaja secara bermakna (Bahari, dkk, 2010).

Berkaitan dengan perilaku remaja, sering ditemukan ibu yang tidak sabaran dan menilai anak
remaja sebagai anak nakal. Untuk itu dilakukan penelitian dengan melatih ibu sikap asertif.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan secara bermakna kemampuan komunikasi asertif
ibu pada kelompok yang mendapat latihan asertif, sedangkan pada kelompok tanpa latihan
asertif menurun secara bermakna (Novianti, dkk, 2010)

Pada penelitian terhadap peningkatan diri rasa percaya diri yang dilakukan pada remaja dibagi
dalam tiga kelompok yaitu kelompok pertama mendapat buku pedoman, dilatih serta
dibimbing, kelompok kedua diberi buku pedoman, dilatih dan tanpa dibimbing serta kelompok
ketiga hanya diberi buku pedoman tanpa dilatih dan dibimbing (Nurlis, Keliat, & Besral, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan rasa percaya diri remaja meningkat secara
bermakna dan lebih tinggi secara secara bermakna pada kelompok pertama dibandingkan
dengan kedua kelompok yang lain. Penelitian pada lansia dalam peningkatan integritas diri
dilakukan dengan memberikan terapi kelompok terapeutik, dan hasilnya meningkatkan
kemampuan adaptasi dan perkembangan integritas diri secara bermakna dan lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi kelompok terapeutik (Guslinda,
Keliat, & Widiatuti, 2011).
Kontribusi lain dilakukan melalui kegiatan pengabdian masyarakat di 32 tempat di Sumatra
Utara melalui seminar keluarga harmonis, yang terdiri dari komunikasi dalam keluarga,
manajemen stress dan konflik dalam keluarga mencapai 7.035 orang, pelayanan prima dan
manajemen waktu mencapai 1.766 orang dan manajemen stress dan perilaku hidup bersih dan
sehat di pengungsian gunung Sinabung, Lokon, Merapi dan Banjir Jakarta mencapai 14.100
orang.

Dari seluruh uraian tentang kontribusi keperawatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa di
masyarakat dapat dipetik hal yang penting yaitu masyarakat merupakan tempat pelayanan
kesehatan jiwa utama karena dapat menjangkau kelompok yang sehat, risiko dan gangguan
serta pemberdayaan seluruh masyarakat dan komponen terkait dapat dilakukan. Bersama
masyarakat kita wujudkan Indonesia sehat jiwa.

Hadirin yang saya muliakan,


4. KONTRIBUSI KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DALAM PELAYANAN
KESEHATAN JIWA DI RUMAH SAKIT UMUM
Kontribusi keperawatan jiwa pada klien sakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum belum
berkembang dengan baik. Bebrapa fakta ditemukan bahwa klien dengan penyakit fisik
mengalami ansietas dan depresi. Siege dan Giese-Davis (2003) menemukan klien kanker
mengalami depresi ringan sedang 33%, 25 % depresi berat . Sedangkan Wilson (2007)
menemukan 24.4 % ansietas dan depresi, 13.9% ansietas dan 20.7 % mengalami depresi. Di
salah satu penelitian di Indonesia, ditemukan 98.1% klien kanker mengalami depresi (n=106)
(Yunitri, Keliat, & Hastono, 2012). Amira di Nigeria (2011) menemukan 61.9 % klien
penyakit ginjal kronik mengalami depresi.

Fakta-fakta di atas menunjukkan kebutuhan keperawatan jiwa di rumah sakit umum untuk klien
dengan masalah fisik, karena depresi dapat berdampak kepada kualitas hidup (WHO, 2012).
Salah satu alasan masuknya keperawatan kesehatan jiwa pada arus utama pelayanan
keperawatan jiwa di rumah sakit umum karena meningkatnya masalah kesehatan jiwa pada
klien dengan sakit fisik di bagian medikal atau bedah mengalami masalah kesehatan
jiwa (Sharrock, & Happell, 2002). Klien memerlukan perawatan pada respon klien secara
emosi, spiritual, perilaku dan kognitif terhadap masalah fisik yang dialaminya.

Psychiatric and mental liaison nurse adalah perawat yang memberikan konsultasi kesehatan
jiwa pada klien sakit fisik dengan melakukan asesmen dan tindakan baik kepada klien maupun
kepada keluarga (Frisch & Frisch , 2006). Seyogyanya seluruh perawat memberikan asuhan
keperawatan secara holistik artinya bukan hanya kepada diagnosis fisik saja tetapi juga
diagnosis psikososial atau masalah kesehatan jiwa klien. Asuhan keperawatan difokuskan
kepada masalah biologis, pikiran, emosi, psikologis, spiritual, sosial dan lingkungan klien.
Asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan consultation liaison mental health
nursing berfokus pada diagnosis keperawatan yang berkaitan dengan diagnosis medis (anxietas
dan depresi) yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, harga diri rendah situasional, keputusasaan
dan ketidakberdayaan (Keliat, B. A., Daulima & Farida, 2007d). Standar asuhan keperawatan
generalis dan terapi modalitas keperawatan jiwa telah dikembangkan untuk menyelesaikan
diagnosis keperawatan yang sering ditemukan pada klien sakit fisik yang dirawat di rumah
sakit umum.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang terbanyak, terlama dan yang pertama melakukan
kontak dengan klien sehingga mempunyai kesempatan memberikan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan dan masalah yang dialami klien. Jika seluruh interaksi perawat dengan klien
memberi kesan positif maka tenaga perawat dapat berkontribusi dengan baik dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit umum. Pendekatan
CLMHN merupakan salah satu pilihan untuk mewujudkannya.

Pelatihan CLMHN direncanakan untuk seluruh karyawan rumah sakit umum dan untuk
perawat rumah sakit umum. Kemampuan yang direncanakan bagi seluruh karyawan (termasuk
perawat) adalah sikap caring, pelayanan prima dan komunikasi yang efektif dan terapeutik
sedangkan untuk perawat ditambah pelatihan asuhan keperawatan psikososial. Pelatihan ini
telah dilaksanakan diberbagai rumah sakit umum di Indonesia namun belum merupakan
program wajib bagi rumah sakit umum. Untuk pelatihan bagi karyawan telah dilakukan
dibeberapa rumah sakit umum yaitu rumah sakit Siloam Karawaci (30 orang), rumah sakit
Cikini Jakarta (400 orang), rumah sakit Immanuel Bandung (440 orang), rumah sakit Sudarso
Pontianak (90 orang), rumah sakit RSCM Jakarta (120 orang), rumah sakit Duri Riau (22
orang), rumah sakit Panti Waluyo (40 orang), rumah sakit UKI Jakarta (90 orang), rumah sakit
Duren Sawit (40 orang), rumah sakit MRCCC Jakarta (40 orang) dan rumah sakit Dr Iskak
Tulung Agung (320 orang dan direncanakan untuk 1000 karyawan).

Sedangkan pelatihan khusus untuk perawat (sikap caring, pelayanan prima, komunikasi yang
efektif dan terapeutik serta asuhan keperawatan psikososial) telah dilakukan di rumah sakit
Hasan Sadikin Bandung (60 orang), rumah sakit Fatmawati Jakarta (30 orang), rumah sakit
Persahabatan Jakarta (30 orang), rumah sakit umum di Kutai Timur (30 orang), rumah sakit
umum Tarakan Kalimantan Tinur (30 orang).

Beberapa evaluasi dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak dari pelatihan dan
berbagai terapi modalitas keperawatan jiwa yang telah dilakukan di rumah sakit umum. Survey
kepuasan terhadap pelayanan keperawatan dilakukan di rumah sakit Hasan Sadikin dan
hasilnya meningkat dari 72% menjadi 77% demikian pula survey yang dilakukan di rumah
sakit Dr. Iskak Tulung Agung dan hasilnya meningkat dari 78.44% menjadi 89.36%,
sedangkan kepuasan terhadap pelayanan dokter spesialis meningkat dari 81.95% menjadi
91.67%.

Penelitian terhadap tindakan keperawatan yang khusus ditujukan kepada masalah kesehatan
jiwa telah dilakukan dibeberapa rumah sakit. Ansietas merupakan salah satu masalah kesehatan
jiwa yang banyak diderita klien gangguan fisik yang dirawat di rumah sakit umum. Untuk itu
dilakukan penelitian dengan memberikan tindakan keperawatan thought stopping (penghentian
pikiran) dan hasilnya menurunkan ansietas secara bermakna, namun dampak pada aspek fisik
masih rendah (Agustarika, Keliat & Nasution, 2009). Oleh karena itu penelitian lanjutan
dilaksanakan dengan memberikan Thought Stopping untuk pikiran dan progressive muscle
relaxation untuk relaksasi fisik. Hasil penelitian menunjukkan penurunan ansietas sedang ke
ringan sedangkan pada klien yang mendapatkan keduanya, namun yang hanya mendapat
thought stopping menurunkan ansietas tetapi tetap pada ansietas sedang. Thought stopping dan
progressive muscle relaxation menurunkan respon fisiologis, kognitif, perilaku dan emosi
secara bermakna (p-value<0,05) (Supriati, dkk, 2010).

Pemberdayaan keluarga yang berperan sebagai pelaku rawat diperlukan untuk mencapai self
care pada saat klien pulang, namun keluarga sering mengalami ansietas khususnya penyakit
akut dan atau kronik seperti stroke, untuk itu keluargapun merupakan target asuhan
keperawatan agar mempunyai ketahanan dan kekuatan merawat klien. Penelitian yang
dilakukan di RSCM Jakarta pada keluarga klien stroke dengan memberikan psikoedukasi
keluarga, maka ditemukan ansietas keluarga menurun secara bermakna (Nurbani, Keliat, &
Nasution.2009).

Penelitian dilanjutkan dengan melakukan terapi modalitas keperawatan jiwa pada beberapa
kasus dengan penyakit kronis yaitu gagal ginjal kronis dan kanker. Klien gagal ginjal yang
memerlukan cuci darah sering mengalami depressi, dan pada penelitian ini diukur tingkat
depresinya dan dilakukan terapi kognitif. Hasilnya menunjukkan penurunan depresi secara
bermakna dan lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok klien yang tidak
mendapatkan terapi kognitif serta jika terapi kognitif dilaksanakan secara konsisten oleh klien
akan berpeluang untuk menurunkan depresi sebesar 31,2% (Kristyaningsih, Keliat, &
Daulima, 2009).

Pada klien kanker juga sering ditemukan pikiran negatif, perasaan tidak bermakna, merasa
tidak berdaya, perasaan putus asa dan keluhan fisik yang menonjol, serta tingginya kondisi
ansietas dan depresi. Pada penelitian klien kanker yang mengalami depresi dan diberikan logo
terapi dan progressive relaxation therapy, ansietas turun secara bermakna namun masih dalam
tingkat sedang, depresi turun bermakna dari sedang ke ringan (Tobing, Keliat, Wardani, 2012).
Demikian pula pemberian terapi kognitif dan penghentian pikiran menurunkan ansietas dan
depresi secara bermakna (Pasaribu, Keliat, &Wardani, 2012). Sedangkan pemberian terapi
kelompok suportif ekspresif ditemukan penurunan depresi sebesar 9.15 point sedangkan yang
tidak mendapat hanya 0.28 point (Yunitri, Keliat, & Hastono, 2012).

Kontribusi keperawatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit umum telah
memberi dampak perbaikan kondisi kesehatan klien dan keluarganya dengan baik, hal ini perlu
terus dilaksanakan agar perawat terasa bermakna bagi klien, keluarga dan pelayanan kesehatan
secara keseluruhan

Bapak, Ibu, dan Hadirin yang saya hormati,


5. PERCEPATAN DAN DESIMINASI KEPERAWATAN JIWA (ROAD MAP
KEPERAWATAN JIWA)
Kontribusi keperawatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa pada seluruh tatanan pelayanan
kesehatan perlu dilaksanakan di seluruh tanah air disesuaikan dengan situasi daerah masing-
masing. Untuk itu bekerjasama dengan organisasi profesi perawat jiwa yaitu Ikatan Perawat
Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) melakukan berbagai temu ilmiah dalam rangka
mendesiminasikan dan mesosialisasikan seluruh kegiatan dan kemajuan yang telah dilakukan
dengan harapan seluruh perawat jiwa di Indonesia melakukan kontribusi pada pelayanan
kesehatan jiwa di wilayahnya masing-masing bekerja sama dengan lintas program dan sektor.
Temu ilmiah berupa konferensi nasional yang rutin dilakukan setiap tahun dilaksanakan di
provinsi yang telah melakukan berbagai kegiatan yang memajukan pelayanan keperawatan
jiwa, serta tema kegiatan disesuaikan dengan kemajuan, tantangan dan isu yang dihadapi
dalam pelayanan, pendidikan dan penelitian yang diidentifikasi setiap tahun.

Road map keperawatan jiwa dibagi dalam tiga area yaitu pendidikan, pelayanan dan
penelitian. Kemampuan perawat dalam keperawatan jiwa disepakati pada tiap jenjang
pendidikan yaitu untuk perawat D3 keperawatan mampu memberikan asuhan keperawatan
pada 5 diagnosis gangguan jiwa, 3 diagnosis risiko/psikososial dan 8 diagnosis sehat dengan
tindakan generalis dan terlibat dalam pelayanan keperawatan di tingkat perawat pelaksana
dan ketua tim di rumah sakit dan atau penanggungjawab pelayanan tingkat RW serta
mempunyai kemampuan mengevaluasi keberhasilan asuhan keperawatan.

Untuk perawat S1 keperawatan ners mempunyai kemampuan memberikan asuhan


keperawatan pada 7 diagnosis keperawatan gangguan jiwa, 5 diagnosis risiko/psikososial, 8
diagnosis sehat dan melakukan terapi aktifitas kelompok serta mampu menjadi perawat
pelaksana, ketua tim dan kepala ruangan di rumah sakit dan atau penanggung jawab
purkesmas pembantu dan kecamatan serta merumuskan masalah penelitian & menggunakan
hasil penelitian.

Untuk perawat spesialis keperawatan jiwa mempunyai kemampuan memberikan asuhan


keperawatan pada 11 diagnosis gangguan jiwa, 11 diagnosis risiko/psikososial, 11 diagnosis
sehat dan melakukan terapi modalitas keperawatan jiwa. Dalam pelayanan keperawatan
mampu menjadi perawat pelaksana spesialis, ketua tim, kepala ruangan, kepala bidang
keperawatan dan direktur keperawatan. Dalam bidang penelitian mampu merumuskan
masalah penelitian, melakukan penelitian dan menggunakan hasil penelitian sebagai praktik
berbasis bukti (evidence based practice). Di masyarakat dapat menjadi penanggung jawab
pelayanan keperawatan kesehatan jiwa masyarakat pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota
dan propinsi.

Perawat jiwa yang bekerja di masyarakat baik dinas kesehatan maupun puskesmas
merupakan bagian dari perawat keperawatan kesehatan masyarakat (PERKESMAS) atau
dapat disebut sebagai perawat PERKESMAS PLUS dan wajib menjalankan semua yang
diamanatkan KEPMENKES 279/MENKES/IV/2006 di area keperawatan kesehatan jiwa
masyarakat. Diharapkan perluasan jangkauan PERKESMAS ini semakin meningkatkan
kesehatan masyarakat Indonesia. Rencana satu perawat D3 plus keperawatan jiwa per
Kelurahan; satu perawat S1 Ners plus keperawatan jiwa per Kecamatan disertai RW/Desa
siaga sehat jiwa; dan satu perawat spesialis keperawatan jiwa per kabupaten/kota dan
propinsi dan diharapkan dapat meningkatkan cakupan klien gangguan jiwa dan pasung,
meningkatkan pencegahan gangguan jiwa pada kelompok masyarakat yang mempunyai
faktor risiko dan mempertahankan serta mempromosikan kesehatan jiwa pada kelompok
masyarakat sehat jiwa yang akhirnya mewujudkan Indonesia sehat jiwa.

6. DAFTAR PUSTAKA
1. Agustarika, B., Keliat, B. A., & Nasution, Y. (2009). Pengaruh terapi thought stopping
terhadap ansietas klien dengan gangguan fisik di RSUD Kabupaten Sorong. Depok:
Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
2. Aini,. Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2011). Pengaruh assertive training therapy terhadap
kemampuan asertif suami dan risiko kekerasan dalam rumah tangga di Bogor. Depok:
Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
3. Amira, O. (2011). Prevalence of symptoms of depression among patients with chronic kidney
disease. Nigerian Journal of Clinical Practice, Volume: 14, Issue:4, Page: 460-463
4. APNA (2013). About Psychiatric-Mental Health Nurses (PMHNs). Diunduh
dari http://www.apna.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=3292#1, pada tgl 28 Januari 2013
5. Bagian Diklit RS Marzoeki Mahdi Bogor. (2010). Laporan konvensi Model Praktek
Keperawatan Profesional Jiwa I, 29-31 Juli 2010. Bogor: Bag Diklit. Tidak Diterbitkan.
6. Bahari, K., Keliat, B. A., Gayatri, D. & Helena, N. C. D. ( 2010). Pengaruh terapi kelompok
terapeutik terhadap perkembangan identitas remaja di kota Malang. Journal Kesehatan (The
Journal of Health), Vol. 8, No. 2, November.
7. Basmanelly., Keliat, B. A., & Gayatri, D. (2008). Pengaruh home visit terhadap kemampuan
keluarga dan klien halusinasi Di Kota Padang. Depok: Universitas Indonesia, tesis tidak
dipublikasikan
8. Boyd, M. A., & Nikart, M. A. (1999). Psychiatrict nursing contemporary practice.
Philadelphia: Lippincott.
9. Carolina., Keliat, B. A., & Sabri, L. (2008). Pengaruh penerapan standar asuhan generalis
terhadap halusinasi di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
10. Damayanti, R., Keliat, B. A., Hastono., & Helena. (2010). Pengaruh terapi kelompok
terapeutik (TKT) terhadap kemampuan Ibu dalam memberikan stimulasi perkembangan
inisiatifa anak usia pra sekolah di Kelurahan Kedaung Bandar Lampung. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis, tidak dipublikasi.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS)
tahun 2007. Jakarta: DepKes. R.I
12. Erwina, I., Keliat, B. A., Nasution, Y., & Helena, N. C. D. (2010). Pengaruh cognitive
behavior therapy terhadap post traumatic stress disorder pada penduduk pasca gempa di
Kelurahan Air Tawar Barat Kecamatan Padang Utara Propinsi Sumatera Barat. Depok:
Universitas Indonesia, Tesis tidak diterbitkan.
13. Fatiah & Keliat, B. A. (2002). Hubungan antara pengetahuan, persepsi, dan sikap perawat
terhadap Model Praktek Keperawatan Profesional dengan kinerja dan kepuasan kerja
perawat di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana
Universitas Gajah mada. Tesis tidak diterbitkan.
14. Fitri, L. D. N., Keliat, B. A. & Mustikasari. (2007). Hubungan Pelayanan Community Mental
Health Nursing (CMHN) dengan Tingkat Kemandirian Klien Gangguan Jiwa di Kabupaten
Bireuen Aceh. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
15. Frisch, N. C. & Frisch, L. E. (2006). Psychiatric mental health nursing. (3rd ed). New York:
Thomson Delmar Learning.
16. Guslinda, Keliat, B. A., & Widiatuti. (2011). Pengaruh terapi kelompok terapeutik
lansiaterhadap kemampuan adaptasi dan perkembangan integritas dirilansia di kelurahan
Surau Gadang kecamatan Nanggalo Padang. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak
dipublikasi
17. Hernawaty, T., Keliat, B. A., & Kuntarti. (2009). Pengaruh terapi suportif keluarga
terhadap kemampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa di Kelurahan Bubulak Bogor
Barat. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
18. Hidayat, E., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2011). Pengaruh cognitive behavior therapy
(CBT) dan rational emotive behavior therapy (REBT) terhadap klien perilaku kekerasan dan
harga diri rendah di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis
tidak dipublikasi
19. Istiana, D., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2011). Terapi kelompok terapeutik anak sekolah
pada anak-orangtua dan anak-guru meningkatkan perkembangan mental anak usia sekolah.
Jurnal Ners, Volume 6, Nomor 1, April 2011
20. Jumaini, Keliat, B. A., Hastono, S. P., & Helena, N. C. D. (2010). Pengaruh cognitive
behavioral social skills training (CBSST) terhadap kemampuan bersosialisasi klien isolasi
sosial di BLU RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak
dipublikasi
21. Kelleher, K. (2007) Community mental health nursing: Basic module review and evaluation.
Brisbane: JTA International
22. Keliat, B. A., Panjaitan, R. U., Mustikasari. & Helena, N. C. D. (1999). Pengaruh model
terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) terhadap kemampuan komunikasi verbal dan
non verbal pada klien menarik diri di rumah sakit jiwa. Journal Keperawatan Indonesia,
volume 2, No.8, Desember.
23. Keliat, B. A., Azwar, A., Bachtiar, A., Hamid, A. Y. S. (2003). Pemberdayaan klien dan
keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa
pusat Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan.
24. Keliat, B. A., & Akemat. (2004). Terapi aktifitas kelompok. Jakarta: Penerbit Kedokteran
EGC
25. Keliat, B.A., & Akemat. (2007a). Model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta:
Penerbitan Buku Kedokteran EGC.
26. Keliat, B. A., Akemat., Helena, N. C. D., & Nurhaeni, H. (2007b). Keperawatan kesehatan
jiwa komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
27. Keliat, B. A., Panjaitan, R. U., & Riasmini, M. (2007c). Manajemen keperawatan jiwa
komunitas desa siaga: CMHN ( Intermediate Course). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
28. Keliat, B. A., Helena, N. C. D., & Farida, P. (2007d). Manajemen keperawatan psikososial
& kader kesehatan jiwa: CMHN (Intermediate Course). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
29. Keliat, B. A., Wiyono, A. P., & Susanti, H. (2007e). Manajemen kasus gangguan jiwa:
CMHN (Intermediate Course). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
30. Keliat, B. A., Azwar, A., Bachtiar, A., Hamid, A. Y. S. (2009). Influence of the abilities in
controlling violence behavior to the length of stay of schizophrenic client in Bogor mental
hospital, Indonesia. Medical Journal Indonesia, Vol. 8, No. 1, January-March.
31. Keliat, B. A., Daulima, N. H. C., & Tololiu, T. A. (2010). Efektifitas latihan pertahanan diri
terhadap risiko bunuh diri remaja di Depok, Indonesia. Depok: Riset Kluster DRPM UI,
tidak dipublikasi
32. Keliat, B. A., Riasmini, M., & Daulima, N. H. C. (2010). Efektifitas penerapan Model
Community Mental Health Nursing terhadap kemampuan hidup klien gangguan jiwa dan
keluarganya di wilayah DKI Jakarta. Depok: Riset DRPM UI, tidak dipublikasi
33. KEPMENKES 279. (2006). Pedoman penyelenggaraan upaya keperawatan kesehatan
masyarakat di Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
34. Kristyaningsih, T., Keliat, B. A., & Daulima, N. H. C. (2009). Pengaruh Terapi Kognitif
terhadap Perubahan Harga Diri dan Kondisi Depresi Klien Gagal Ginjal Kronik di Ruang
Haemodialisa RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2009
35. Lelono, S. K., Keliat, B. A., & Besral. (2011). Efektivitas cognitive behavioral therapy
(CBT) dan rational emotive behavioral therapy (REBT) terhadap klien perilaku kekerasan,
halusinasi dan harga diri rendah di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
36. Mahdi, M.R. (1976a). Perawatan psikiatri (Jilid 1). Bogor: Tidak dipublikasi.
37. Mahdi, M.R. (1976b). Perawatan psikiatri (Jilid 2). Bogor: Tidak dipublikasi.
38. Nauli, F. A., Keliat, B. A., & Besral. (2011). Pengaruh logoterapi pada lansia dan
psikoedukasi keluarga terhadap depresi dan kemampuan memaknai hidup pada lansia di
Kelurahan Katulampa Bogor Timur: Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
39. Novianti, E., Keliat, B. A., Nuraini, T. , & Susanti, H. (2010). Pengaruh terapi kelompok
assertiveness training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak
usia sekolah (7-12 tahun) di Kelurahan Balumbang Jaya Kota Bogor. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
40. Nurbani,. Keliat, B. A., & Nasution, Y. (2009). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap
masalah psikososial ansietas dan Beban keluarga (Caregiver) dalam merawat klien stroke di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak
dipublikasi
41. Nurlis, Keliat, B. A., & Besral (2008). Pengaruh latihan membangun kepercayaan diri
terhadap rasa percaya diri remaja di Kelurahan Sindang Barang Bogor. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
42. Putri, D. E., Keliat, B. A., & Nasution, Y. (2010). Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.
Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
43. Renidayati, Keliat, B. A., & Sabri, L. (2007). Pengaruh social skills training pada klien
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa ProfHB Saanin Padang. Depok: Universitas Indonesia,
Tesis tidak dipublikasi.
44. Restiana, N., Keliat, B. A., Gayatri, D. & Helena, N. C. D. (2010). Pengaruh terapi
kelompok terapeutik terhadap kemampuan ibu dalam menstimulasi rasa percaya bayi di
Kelurahan Mulyasari Kota Tasikmalaya. Depok: Universitas Indonwsia, Tesis tidak
dipublikasi.
45. Sari, H., Keliat, B. A., & Mustikasari. (2009). Pengaruh family psychoeducation therapy
terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Kabupaten
Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
46. Sasmita, H., Keliat, B. A., & Budiharto. (2007). Efektifitas Cognitive Behaviour Therapy
pada klien harga diri rendah di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
47. Sharrock, J., & Happell, B. (2002). The psychiatric consultation-liaison nurse: Thriving in a
general hospital setting. International Journal of Mental Health Nursing, Vol 11, Issue 1,
Pages 24 33.
48. Sitorus, R. (2006). Model praktik keperawatan professional di rumah sakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
49. Sitorus, R., Hamid, A. Y., Azwar, A., Achadi, A. (2012). The effect of implementing
professional nursing practice model in the hospital. Journal of Education and Practice. 3
(15): 106-110.
50. Syarniah., Keliat, B. A., Hastono, S. P., & Helena, N. C. D. (2010). Pengaruh terapi
kelompok reminiscence terhadap depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak
dipublikasi.
51. Spiegel, D. & Giese-Davis, J. (2003). Depression and cancer: mechanisms and disease
progression. Society of Biological Psychiatry. 54:269-282
52. Sudiatmika, I. K., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2011). Efektivitas cognitive behaviour
therapy dan rational emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan
dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: Universitas Indonesia,
Tesis tidak dipublikasi
53. Sunarto, M., Keliat, B. A., & Pujasari, H. (2011). Pengaruh terapi kelompok terapeutik anak
sekolah pada anak, orangtua, guru terhadap perkembangan mental anak di Kelurahan
Pancoranmas dan Depok Jaya. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
54. Supriati, L., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2010). Pengaruh terapi thought stopping dan
progressive muscle relaxation terhadap ansietas pada klien dengan gangguan fisik di RSUD
Dr. Soedono Madiun. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
55. Supriyanto. (2003). Hubungan antara karakteristik keluarga klien terhadap persepsi mutu
pelayanan Rumah Sakit di ruangan rawat inap Model Praktek Keperawatan Profesional
(MPKP) Srikandi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Jakarta: Universitas Respati Indonesia,
Tesis tidak diterbitkan.
56. Susmiatin, E. A., Keliat, B. A., Hastono, S. P., & Susanti, H. (2010). Pengaruh Terapi
Kelompok Terapeutik terhadap Kemampuan Adaptasi dan Memberikan Stimulasi Janin pada
Ibu Hamil di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Kota Bogor. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak diterbitkan.
57. Sutejo, Keliat, B. A., & Hastono, S. P. (2009). Pengaruh logoterapi kelompok terhadap
ansietas pada penduduk pasca gempa di Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Depok:
Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
58. Thong, D. (2011). Prof. DR. Dr. R. Kusumanto Setyonegoro, SpKJ Bapak Psikiatri
Indonesia: Memanusiakan manusia menata jiwa membangun bangsa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
59. Tobing, D., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2012). Pengaruh progressive muscle relaxation
dan logoterapi terhadap Ansietas dan Depresi, kemampuan Relaksasi dan kemampuan
Memaknai Hidup Klien Kanker di RS Kanker Dharmais, Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
60. Trihadi, D., Keliat, B. A., & Hastono, S. P. (2009). Pengaruh terapi kelompok terapeutik
terhadap kemampuan keluarga dalam memberikan stimulasi perkembangan dini usia kanak-
kanak di kelurahan Bubulak Kota Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak
dipublikasi.
61. Utami, T. W., Keliat, B. A., & Gayatri (2008). Pengaruh self help group terhadap
kemampuankeluarga dalam merawat kliengangguan jiwa di kelurahan Sindangbarang
Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
62. Wahyuni, S., Keliat, B. A., & Budiharto. (2007). Pengaruh logoterapi terhadap peningkatan
kemampuan kognitif dan perilaku pada lansia dengan harga diri rendah di Panti Wredha
Pekanbaru Riau. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
63. Wahyuni, S. E., Keliat, B. A., & Nasution, Y. (2010). Pengaruh cognitive behaviour
therapy terhadap halusinasi klien di Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan. Depok:
Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
64. Wahyuningsih, D., Keliat, B. A., & Hastono, S. P. (2009). Pengaruh Assertiveness Training
terhadap perilaku kekerasan pada klien Skizoprenia. Depok: Universitas Indonesia, Tesis
tidak dipublikasi
65. Wardani, N. S., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2011). Pengaruh assertive training therapy
terhadap kemampuan asertif dan persepsi istri terhadap suami dengan risiko kekerasan
dalam rumah tangga Di Kota Bogor. Depok: Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi
66. Wardaningsih, S., Keliat, B. A., & Helena, C.D. (2008). Penurunan beban dan peningkatan
kemampuan merawat keluarga dengan klien halusinasi. Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol.
12, No. 3, November 2008.
67. WHO. (2012). Depression a global crisis. World Mental Health Day. October 10 2012.
www.wfmh.org/2012 Des/WHM day %2012% 20 small%file%20 FINAL.pdg. Diperoleh 17
Januari 2013
68. Walter., Keliat, B. A., Hastono, S. P., & Susanti, H. (2010). Pengaruh terapi kelompok
terapeutik terhadap perkembangan industri anak usia sekolah di Panti Sosial Asuhan Anak
Kota Bandung. Depok:Universitas Indonesia, Tesis tidak dipublikasi.
69. Wheeler, E., & Keliat, B. A. (2007). Program perawatan kesehatan jiwa komunitas (CMHN)
propinsi Aceh Indonesia. Banda Aceh: Laporan ADB-ETESP
70. WHO (2001). The World Health Report 2001, Mental health: New understanding, new hope.
Geneva: WHO
71. Wilson, K. G., et al. (2007). Depression and anxiety disorders in palliative cancer care.
Journal of Pain and Symptom Management. 33: 118-129
72. Yunitri, N., Keliat, B. A., & Hastono, S. P. (2012). Pengaruh terapi kelompok suportif
ekspresif terhadap dan kemampuan mengatasi depresi pada klien kanker. Depok: Universitas
Indonesia, Tesis tidak dipublikasi

7. UCAPAN TERIMA KASIH


Para hadirin yang saya hormati, perkenankanlah saya memanjatkan puji syukur ke Hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberkati, melindungi, memberikan ilmu, memberi
kesempatan berkarya, menyertai dalam suka dan duka yang selalu berakhir dengan keindahan
dan sukacita. Semua perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan padaku (Fil.
4:13).

Pencapaian menjadi Guru Besar ini saya sadari berkat dukungan berbagai pihak baik
pimpinan, keluarga, sahabat, rekan kerja, dan pihak lain yang terkait. Untuk itu dalam
kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah Saya mengucapkan terima kasih kepada
Ketua Tim Review FIK UI Prof. Dra. Elly Nurachmah, beserta seluruh anggota yang telah
dengan teliti menelaah berkas-berkas pengusulan Guru Besar saya dan menyetujui pengusulan
tersebut ke Tingkat Universitas Indonesia. Dukungan Dekan FIK UI Dewi Irawaty, MA, PhD
beserta segenap pimpinan FIK UI dalam proses pengusulan ke tingkat UI merupakan, suatu
kebahagian yang tidak ternilai.

Dengan penuh hormat, saya ucapkan terima kasih kepada Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia yang menyetujui pengusulan saya menjadi Guru Besar dalam Ilmu Keperawatan.
Selanjutnya, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Indonesia Prof.
Dr. der. Soz. Gumilar Rusliwa Sumantri atas kebijakannya menyetujui dan mengusulkan Guru
Besar saya kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Menteri Pendidikan
Nasional yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk mengemban jabatan Guru Besar
tetap pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Perkenankan saya sekali lagi pada hari ini mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada
Rektor Universitas Indonesia, pimpinan Universitas Indonesia, Ketua dan anggota Guru Besar
Universitas Indonesia yang telah mengukuhkan saya sebagai Guru Besar dan berkenan
menerima saya dalam lingkungan akademik yang terhormat. Kiranya saya dapat berkontribusi,
bertanggung jawab dan bermanfaat dalam mengharumkan nama almamater Universitas
Indonesia.

Ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Ketua Kelompok Keilmuan
Keperawatan jiwa Yossie Susanti Eka Putri, SKp, MN yang luar biasa dan semua teman
sejawat dosen kelompok keilmuan keperawatan jiwa dan komunitas yang lebih dikenal dengan
JIKOM yang selalu memberi semangat, saya tidak akan melupakannya. Demikian pula seluruh
civitas akademik FIK UI yang telah saya anggap keluarga kedua saya selama 28 tahun, sejak
saya menjadi mahasiswa angkatan pertama di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran dan akhirnya menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan. Pada kesempatan ini saya
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pimpinan FIKUI selama saya menjadi
dosen: Prof Achir Yani S. Hamid, DNSc, Tien Gartinah, MN, Prof Dr Azrul Azwar, dr. MPH,
Prof Drs Elly Nurachmah, SKp, MAppSc, DNSc dan Dewi Irawaty, MA, PhD, yang telah
memberi kesempatan kepada saya menjalankan tugas belajar di Sydney University dan
Fakultas Kesehatan Masyarakat, membimbing dan mendukung dalam pengembangan
keperawatan jiwa di Indonesia sampai saya boleh berdiri di tempat ini saat ini.

Banyak yang telah berjasa dalam menempa saya menjadi Perawat Jiwa, Guru saya yang tidak
akan pernah terlupakan Ibu Alm. Magdalena Mahdi, MSc, BA (Perawat Jiwa Lulusan Master
Pertama dari Amerika), beliau mendorong, membimbing, memberi semangat dan mengenalkan
keperawatan jiwa tanpa lelah kepada saya. Ibu Sariana Anwar, perawat senior di RSJP Bogor
yang senantiasa mendukung dan menginspirasi pengembangan pelayanan keperawatan jiwa.
Tidak kalah pentingnya terima kasih kepada teman-temanku di Rumah Sakit Jiwa Bogor
(sekarang RS Marzoeki Mahdi) dan kelompok keilmuan keperawatan jiwa FIK UI: H.
Supriyanto, SPd, MKes, Akemat, SKp, MKes, Novy Helena, C. D. SKp, MSc, Herni Susanti,
SKp, MN, Ria Utami Panjaitan, SKp, MKep, Ns. Ice Yulia Wardani, SKp, M.Kep, SpKepJ,
Dr. Mustikasari, SKp, MARS, Ns.Puji Hartini, SKep, Ns. Djuriah, SKep, Ns. Wiwi Winarsih,
Ns. Desnelly, SKep, Ns. Fauziah, SKp, MKep, SpKepJ, kita belajar dan mencoba bersama
dalam cita menperbaiki keperawatan, kita berhasil sahabat mewujudkan MPKP dan PICU, mari
terus berjuang memberi makna keperawatan jiwa bagi klien gangguan jiwa yang terlupakan.

Kejadian tsunami menyatukan kita sahabat, para fasilitator CMHN yang terdiri dari perawat
jiwa dari RSJ maupun dosen keperawatan jiwa di Jakarta-Bogor, bersehati mengembangkan
keperawatan kesehatan jiwa masyarakat, terima kasih pahlawanku yang tanpa lelah
menelusuri tanah rencong memberikan yang terbaik pada masyarakat dan menjadikan Aceh
sebagai model CMHN di Indonesia yang dihargai oleh Gubernur Aceh melalui surat
penghargaan.

Mereka yang luar biasa adalah Akemat, SKep, MKes, Novy Helena, C. D., SKp, MSc, Heni
Nuraeni, SKp, Ria Utami Panjaitan, SKp, MKep, Ns. Atih Rahayuningsih, SKp, MKep,
SpKepJ, Sumiati, SKp, MPsi, Pipin Farida, SKp, MKes, Ns. Ice Yulia Wardani, SKp, MKep,
SpKepJ, Yossie Susanti, E. P., SKp, MN, Dr. Mustikasari, SKp, MARS, Indriana Rahmawati,
SKp, MSi, Widyalolita, SKp, MKes, M. Arsyat Subu, SKp, MN, Dinarti, SKp, MAP, Herni
Susanti, SKp, MN, dr. Yusni K. Solichin, SpKJ, Rukiah Siregar, SKp, MAP, Made Riasmini,
SKp, MKep, Sp.Kom, Ns.Pudji Hartini, SKep, Ns. Tantri Widyarti Utami, SKep, MKep,
SpKepJ, Ns. Rosintan Simatupang, SKep, dr. Albert Maramis, SpKJ, banyak rekan-rekan lain
yang sangat mendukung pelaksanaan CMHN yaitu fasilitator propinsi dan kabupaten/kota,
seluruh perawat CMHN Indonesia, kader kesehatan jiwa yang luar biasa, klien dan keluarganya
serta seluruh masyarakat Indonesia.

Dukungan luar biasa dari Kementerian Kesehatan khususnya Direktorat Bina Pelayanan
Kesehatan Jiwa, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, WHO
Indonesia, ADB ETESP, HSP USAID, CBM Indonesia dan berbagai pihak telah mendorong
kontribusi keperawatan jiwa dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia,
terimakasih jasanya demi kesehatan jiwa masyarakat Indonesia tercinta.

Prof. Dr. Azrul Azwar, dr., MPH (dekan saat saya sekolah doctor dan sekaligus promotor saya)
dan Bapak Adang Bachtiar, dr., MPH, ScD (ko-promotor saya) yang menjadi tokoh dan contoh
peran yang telah membimbing dengan hati tanpa pamrih, tanpa batas waktu, tidak cukup kata-
kata untuk mengatakan terima kasih, bahkan sampai sekarang beliau tetap menjadi
pembimbingku dan guruku. Terima kasih Guruku.

Guru-Guruku dan Teman-temanku selama sekolah yang membuat kenangan belajar dan hidup
menjadi tidak terlupakan baik saat sekolah rakyat, SMP, SMA, S1 di PSIK FKUI, S2 di
Australia bersama Dr. Ratna Sitorus, SKp, MAppSc, Prof Drs. Elly Nurachmah, SKp,
MAppSc, Jane Freyana, SKp, MAppSc, dan Krisna Yetty, SKp, MAppSc dan S3 bersama Dr.
dr. Fachmi Idris, MKes dan Dr. dr. Hariadi, MSc.

Terima kasih kepada adikku Mulya Perangin-angin yang memfasilitasi berbagi ilmu dan
pengalaman kepada masyarakat di desa dan kampung khususnya Tanah Karo, mereka yang
sangat lugu, polos dan bersemangat memperbaiki kehidupan. Demikian pula terima kasih
kepada Alm Bapak Darma (Direktur penerbit EGC), yang telah berjasa mendorong saya
menulis buku dan diteruskan oleh Ibu Imelda Darma , Ibu Ester Diana yang senantiasa
memfasilitasi penyebaran ilmu keperawatan jiwa melalui penerbitan buku kami.

Terima kasih kepada teman sekerjaku, khususnya lulusan spesialis keperawatan jiwa yang telah
tersebar diseluruh nusantara, yang telah memiliki kemampuan mengembangkan keperawatan
jiwa di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum dan masyarakat, tunjukkan karya kalian untuk
bangsa dan negara dalam mewujudkan Indonesia sehat jiwa.

Rasa hormat dan terima kasih kepada Ayahku Alm Paulus P. Keliat dan Ibuku Iting Ginting
Suka yang menjadi teladan dalam bekerja tanpa lelah, disiplin, dan mewariskan tekad belajar
seumur hidup bukan untuk mengumpulkan harta, memberi perhatian kepada rakyat jelata yang
mereka tunjukkan dengan menampung tukang beca tinggal dikompleks rumahnya dengan
biaya minimal. Demikian pula dengan Ayah mertua Alm Beteh Kembaren dan Ibu mertua
Sanggep Perangin-angin yang selalu mendukung pengembangan diri, khususnya bersedia
berkorban menemani cucunya saat ibunya (saya sendiri) melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Terimalah persembahanku melalui pencapaian Guru Besar ini sebagai rasa terima kasih yang
tidak sebanding dengan semua yang telah mereka berikan.

Suamiku tercinta Drs Kembarayu Kembaren, yang mendukung secara total dalam proses
pengembangan diriku, bersedia ditinggalkan berhari-hari tanpa protes, sejujurnya pencapaian
ini pasti tidak mungkin tanpa dukungannya, dialah sumber semangat yang kadang kala
menurun, pemberi jalan keluar yang bijaksana disaat putus asa seakan tidak ada jalan keluar,
terima kasih suamiku.

Sebenarnya semua yang saya lakukan didalam hidup ini bukan semata-mata untuk sukses
secara pribadi, tetapi memberi contoh perjuangan hidup dalam menjalani suka dan duka
khususnya kepada anak-anakku dan menantuku yang sangat saya sayangi dr. Lahargo
Kembaren, SpKj/Indri Julianti Keliat, SE, Julbintor Kembaren, SKom, MM/Chicha Wisina,
SPsi dan Tribella Kembaren, SP/Ulrich Eriki Ginting, DVM, MM. Mama sangat menyayangi
kalian semua, kita bersama menjalani hidup ini dan jangan lupa bersyukur atas kebaikan Tuhan
yang membuat kita ada seperti kita ada saat ini.

Cucu-cucuku tercinta Jesarin Beatrice Kembaren, Timothy Eriel Ginting, Kimberly Angelina
Kembaren, Voofhea Chiara Kembaren, Renate Callysta Ginting dan Reigoves Kembaren.
Tiada rasa lelah saat berjumpa, tidak ada kesedihan melihat canda kalian, sukacita dan gembira
melihat kalian tumbuh dan berkembang.

Adik-adikku yang kucintai Perwira, P. Keliat/Anita Fijiyanti Surbakti, Ir. Sri Deli Keliat/Drs.
Ujian Sinulingga, MSi, Harmoni Keliat/Erwina Ginting, S.E., terima kasih dukungan,
kebersamaan dalam menghadapi kehidupan yang membuatnya indah dan menyenangkan.
Demikian pula adik-adik iparku yang saya kasihi Alm Lusin Kembaren/Anita Perangin-angin,
Ukurmuli Kembaren/Ngatorsa Surbakti, dan Veto Kembaren/Riahta Perangin-angin yang
senantiasa membuat hidup ini jadi bermakna.

Dan akhirnya saya bangga dan berterima kasih kepada sahabat sahabat yang membantu
penyusunan pidato ini baik langsung maupun tidak langsung, khususnya kepada Akemat, SKp,
M.Kep, Ns. Made Riasmini, SKp, MKep, Sp.Kom, Ns. Ice Yulia Wardani, SKp, MKep,
SpKepJ, Novy Helena, SKp, MSc, Ns. Fauziah, SKp, MKep, SpKepJ, Ns. Carolina, SKp,
MKep, SpKepJ, Ratih, dan semua sahabat dalam panitia pengukuhan yang dipimpin oleh
Allendekania, SKp, MN dengan sepenuh hati mempersiapkan proses pengukuhan ini dengan
baik. Tanpa sahabat semua tentu mustahil proses pengukuhan ini dapat berlangsung.

Akhirnya, mari kita gunakan seluruh kesempatan yang masih ada untuk berguna bagi semua
orang sampai kita dipanggil oleh Bapa di Sorga yang selalu memberi kekuatan dan membuat
yang tidak mungkin menjadi mungkin, muzijatMu selalu terjadi dalam hidupku, aku kuat
karena Engkau menguatkan. Ampuni aku Tuhan atas semua kealpaanku. Amiin

Anda mungkin juga menyukai