Anda di halaman 1dari 15

Makalah Praktikum Dosen : Prayoga Suryadarma

Bioproses Asisten:1. Yosephine AS. F34110009


2. M. Irsan Febrian F34110097
3. Ahib Assadam F351140201

PEMBUATAN BIOETANOL DAN TEMPE

Kelompok 6

1. Amiraihan Hendrasetianto F34130120


2. Fathiadurri Shazana F34130121
3. Galang Ginanjar R. F34130127
4. Tiara Kusumaningtyas F34130104

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tempe adalah makanan yang populer di negara kita. Walaupun tempe


merupakan makanan sederhana, tetapi tempe mengandung sumber protein nabati yang
cukup tinggi. Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai
atau beberapa bahan lain yang menggunakan mikroorganisme seperti Rhizopus
oligosporus, Rhizopus oryzae, dan Rhizopus arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara
umum dikenal sebagai ragi tempe. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin
B, dan zat besi. Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia
kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat.
Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe
memiliki rasa dan aroma khas. Berbeda dengan tahu, rasa tempe terasa lebih masam.
Banyak sekali jamur yang aktif selama proses fermentasi, tetapi umumnya para
peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan.
Jamur yang tumbuh padan kedelai tersebut menghasilkan enzim yang mampu
merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana
sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh.
Perkembangan kebutuhan energi dunia yang semakin meningkat dan
keterbatasan energi fosil menyebabkan perhatian saat ini ditujukan untuk mencari
sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti energi surya, energi
hidro, energi geotermal, dan energi biomassa. Bioetanol adalah cairan biokimia hasil
proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan menggunakan bantuan
mikroorganisme. Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang terdapat
di Indonesia seperti tebu, kelapa, air nira, aren, ubi kayu, ubi jalar, dan lain sebagainya
yang memiliki karbohidrat tinggi.
Bahan-bahan ini kemudian di fermentasi dengan mikroba seperti Saccha-
romyces cerevisiae dan mikroba penghasil etanol lainnya dan berperan sebagai
substrat untuk pertumbuhan mikroba. Dari proses fermentasi tersebut dihasilkan etanol
sebagai salah satu produknya. Produk etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi
tentu masih tercampur dengan produk lainnya seperti air, biomassa, dan substrat yang
masih tersisa. Untuk memisahkannya, diperlukan berbagai teknik pemisahan. Dalam
proses pemisahan cairan dan padatan digunakan teknik penyaringan (filtrasi). Untuk
pemisahan etanol dan komponen cair lainnya digunakan teknik distilasi (penyulingan)
dengan memanfaatkan perbedaan titik uap antara etanol dan komponen cair lainnya.
Kemudian untuk proses pemurnian dilakukan dengan teknik pemurnian tertentu.
Fermentasi merupakan proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik. Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi aerobik, akan
tetapi terdapat definisi yang lebih jelas tentang fermentasi sebagai respirasi dalam
lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan
yang umum di dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam
laktat, hidrogen, dan lain-lain. Ragi dikenal sebagai bahan baku dalam fermentasi
untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur, dan minuman alkohol lainnya.
Untuk memproduksi bioetanol dalam skala industri tentu menggunakan
bioreaktor yang cukup besar. Namun, untuk memproduksi dalam skala kecil dapat
dilakukan dengan peralatan sederhana seperti labu erlenmeyer yang digunakan untuk
wadah dalam fermentasi, sumbat untuk menutup erlenmeyer karena produksi
bioetanol dilakukan secara anaerob, dan peralatan pendukung lainnya. Untuk
melakukan distilasi diperlukan distilator yang banyak dijumpai di laboratorium.
Dengan proses distilasi ini didapat bioetanol dengan kemurnian yang tinggi, namun
belum bisa digunakan sebagai bahan bakar bila belum dimurnikan lagi kandungan
bioetanolnya hingga mencapai 99.5 % dengan batu gamping dan sejenisnya, sehingga
bioetanol dapat digunakan sebagian ataupun seluruhnya sebagai bahan bakar.
Oleh karena itu bioetanol merupaka suatu titik cerah dari permasalahan
keterbatasan energi yang ada. Sumber daya yang beragam, mudah didapat, proses yang
mudah dilakukan, dan tergolong sumber daya alam yang dapat diperbaharui, sehingga
bioetanol adalah salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tentang
keterbatasan energi.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang berbeda-


beda pada proses pembuatan tempe dan memahami prinsip dari pembuatan bioethanol
beserta reaksi yang dihasilkan, melihat laju udara yang dihasilkan, dan mengetahui
aktifitas bakteri apa yg merubah gula merah jadi bioetanol.
METODOLOGI

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk membuat tempe diantaranya kompor, panci,


neraca, sendok dan plastik LDPE berlubang,. Bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat tempe diantaranya kedelai, ragi, bawang putih dan ketumbar. Sedangkan
peralatan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol adalah leher angsa, pisau, nerasa
massa, gelas piala 500 ml, 2 buah tabung Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, dan
autoclave. Bahan-bahan yang digunakan, yaitu gula merah 50 g, ZA 0.5 g, NPK 0.5 g,
aquades 200 ml, dan 2 4 secukupnya.

Metode
a. Pembuatan Tempe

Kedelai

Dibersihkan

Direndam selama 1 malam

Dilepas dari kulit ari

Dicuci

Dikukus selama 1 jam

Di dinginkan
Ragi Tempe

Dicampur Ketumbar

Bawang Putih
Dicetak / dibungkus
Difermentasi

Diamati pertumbuhan mikroorganisme dalam


waktu 24 jam, 42 jam, dan 72 jam

Tempe

b. Pembuatan Bioetanol

Gula Merah

Dihaluskan dan diberi aquades

Dipanaskan hingga seluruhnya larut

Setelah dingin di tambahkan ZA dan NPK

Larutan dibagi 2 dan di tutup dengan sumbat kapas

Di sterilisasi di dalam autoclave suhu 121oC , 15 menit

Setelah dingin di berikan ragi roti 1 g ke dalam tabung

Leher angsa adi pasangkan pada erlenmeyer dan sisi leher


angsa yang lain dipasangkan pada selang yang terhubung
dengan gelas ukur berisi air

Amati laju O2 dan aroma etanol yang dihasilkan larutan


selama 3 hari

Etanol
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
[Terlampir]

Pembahasan

Tempe merupakan makanan hasil fermentasi yang sangat terkenal di


Indonesia. Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang
menggunakan bahan baku kedelai. Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe
menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai dan menjadikan tempe
lebih mudah dicerna oleh tubuh. Tempe segar tidak dapat disimpan lama, karena tempe
tahan hanya selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe mati dan selanjutnya
akan tumbuh bakteri atau mikroba perombak protein, akibatnya tempe akan cepat
mengalami kerusakan, atau dengan kata lain busuk (Sarwono 2005).

Tabel 1 Syarat Mutu Tempe menurut SNI 01-3144-2009

Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang disebabkan


oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase. Bahan pangan umumnya
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme.
Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai Universitas Sumatera Utara
menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas
tempe. Jamur yang berperan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus
oligosporus. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi:
aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin B,
kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan
penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Buckle 2007).
Proses fermentasi pembuatan tempe memakan waktu 36 48 jam. Hal ini
ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap dan tekstur yang lebih
kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan terjadinya kenaikan jumlah
bakteri, jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur juga menurun dan
menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amoniak. Akibatnya, tempe
yang dihasilkan mengalami proses pembusukan dan aromanya menjadi tidak enak. Hal
ini terjadi karena senyawa yang dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat.
Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari aroma
miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas dan aroma
yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin lama fermentasi berlangsung,
aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi pelepasan amonia (Astawan
2004).
Pada praktikum kali ini, proses pembuatan tempe dimulai dari perlakuan
terhadap biji kedelai. Biji kedelai tersebut direndam dalam air selama kurang lebih 12
jam dan kemudian di bersihkan kulit arinya. Setelah melalui proses ini, kedelai dibilas
kembali hingga tidak ada kotoran yang menempel. Kedelai tersebut kemudian dikukus
selama 1 jam, sebelum akhirnya diberikan tiga perlakuan. Kedelai yang masih panas
dibiarkan sebentar hingga kedelai meraih suhu sekitar 30-40C dan kemudian
dicampur dengan ragi. Kedelai yang masih hangat dicampur dengan ragi tempe dan
kemudian dibagi menjadi enam bagian. Suhu hangat tersebut merupakan kondisi
terbaik untuk pertumbuhan kapang. Masing-masing perlakuan akan dua kali atau
dikenal dengan istilah duplo. Perlakuan pertama, kedelai yang telah dicampur ragi
diletakkan pada plastik berlubang dengan permukaan yang datar, tanpa tambahan
bahan apa pun. Perlakuan kedua melibatkan penambahan bawang putih, dan yang
terakhir kedelai dicampur dengan bawang putih dan ketumbar.
Kedelai dengan perlakuan pertama menunjukkan hasil terbaik dari kedua
perlakuan lainnya. Dapat dilihat bahwa lapisan putih menyerupai serat menyelimuti
kedelai tersebut setelah empat hari pengamatan. Kedelai yang semula lunak dan
berderai berubah menjadi keras dan relatif keringtidak lembab. Selama proses
pengamatan kedelai diletakan pada kondisi ruangan yang stabil dan relatif hangat yaitu
pada lemari pakaian. Proses pertumbuhan Rhizopus oligosporus, atau mikroba lainnya,
membutuhkan kondisi yang sesuai untuk menghasilkan produk terbaik. Perlakuan
suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin tidak akan menghasilkan produk mikrobial
yang baik. Dari segi ketebalan, tempe menunjukkan pertambahan dimensi hingga tidak
ada lagi pertumbuhan mikroba, atau pada fase stasioner.
Hasil reaksi antara kapang dan kedelai menimbulkan suhu yang relatif tinggi.
Maka dari itu, plastik didesain berlubang agar udara dapat masuk melalui celah-celah
yang telah disediakan. Selain itu perlu diperhatikan pula karakteristik dari ragi tempe
yang bersifat aerob obligat. Hal ini memiliki arti bahwa kapang tersebut membutuhkan
oksigen untuk pertumbuhannya. Apabila dalam proses fermentasi itu kurang oksigen,
maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak
berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus tempe biasanya dilakukan
penusukan dengan lidi yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan tempe.
Sebaliknya, jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen, dapat menyebabkan
proses metabolismenya terlalu cepat, sehingga suhu naik dan pertumbuhan kapang
terhambat (Kusharyanto dan Budiyanto 1995).
Rhizopus oligosporus merupakan kapang yang banyak menghasilkan enzim
protease dan lipase yang sangat baik untuk pertumbuhan tempe. Kapang ini sering kali
ditemukan di tanah, buah, sayuran busuk, serta roti yang sudah tidak layak untuk
dikonsumsi. Rhizopus oligosporus termasuk dalam Zygomycota yang sering
dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai.
Rhizopus oligosporus sering kali digunakan sebagai starter culture dari proses
pembuatan tempe. Jenis kapang ini berkembangbiak dengan baik pada suhu tinggi
sekitar 30-40C yang sesuai dengan suhu tropis di Indonesia. Mycelia yang dihasilkan
pada proses pembuatan tempe bersifat sangat sensitive terhadap dehidrasi atau suhu
ruangan dengan relative humidity yang rendah. Maka dari itu perlu disesuaikan dengan
baik. Namun Indonesia memiliki RH yang sangat tinggi sehingga hal ini tidak akan
menjadi kendala dalam proses pembuatannya. Pada saat kedelai menyatu dengan
miselia yang berwarna putih, fungus menghasilkan enzymes yang mengakibatkan
produk tersebut kaya akan protein dan mudah dicerna oleh tubuh manusia (Shurtleff
dan Aoyagi 1986).

Tabel 2 Perubahan Asam Amino Tempe

Bawang putih merupakan senyawa antibiotik yang pada dasarnya menghambat


pertumbuhan mikroba atau bakteri lainnya. Pengaruh bawang putih terhadap kedelai
dapat dilihat dari tidak terbentuknya padatan tempe pada waktu yang sama seperti
perlakuan satu. Serat putih yang terbentuk pada tempe tidak merata akibat adanya
bawang putih tersebut. Pada hari ketiga, kedelai yang diberi perlakuan kedua ini tetap
berderai dan tidak terlihat seperti tempe yang selayaknya. Seharusnya, serat putih dari
tempe tersebut tidak terbentuk akibat adanya sifat antibiotik pada bawang putih yang
dapat diakibatkan oleh tidak meratanya pengadukan kedelai dengan bubuk bawang
putih tersebut.Bawang putih merupakan antibiotic alami yang dapat menghambat
aktivitas mikroorganisme, termasuk kapang. Antibiotik sintetik atau pun alami sering
kali ditemukan sebagai senyawa antibacterial yang mencegah adanya aktivitas
mikroorganisme pada suatu bahan (Syamsiah dan Tajudin 2005)
Sama halnya dengan perlakuan kedua, kedelai yang dicampur dengan bawang
putih dan ketumbar tetap tidak menunjukan adanya aktivitas mikrobial secara
menyeluruh. Ketumbar merupakan jenis rempah-rempah yang sangat popular dan
sering digunakan sebagai penambah cita rasa pada bahan pangan. Ketumbar memiliki
kandungan antimikroba yang juga menghambat proses fermentasi pada tempe (Johari
1994). Ketumbar dan bawang putih memiliki cita rasa yang tinggi yang dapat
ditambahkan pada proses penggorengan. Namun tidak baik bila ditambahkan pada
tahap proes fermentasi.
Menurut Kasmidjo (1990) tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu
secara fisik dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki mutu fisik jika tempe itu sudah
memenuhi ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
a. Warna Putih
Warna putih ini disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai.
b. Tekstur Tempe Kompak Tempe yang baik mempunyai bentuk kompak yang
terikat oleh miselium sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris
terlihat keping kedelainya.
c. Aroma dan rasa khas tempe Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe
disebabkan terjadinya degradasi komponen komponen dalam tempe
selama berlangsungnya proses fermentasi.

Hari
Jenis Perlakuan Pertumbuhan Kapang
ke-
1 Timbulnya miselium pada sela-sela kedelai
Miselia berwarna putih bertambah banyak dan bersifat
2
Kontrol kompak
Kedelai menjadi lunak dan ketebalan bertambah dua kali
3
lipat
1 Mulai Tumbuh Kapang namum Tidak Sebanyak Kontrol
2 Pertumbuhan kapang meningkat namun tidak merata
Ditambah Ketumbar
Sebagian dari tempe memadat, dan sebagain tidak
3
menyatu
1 Pertumbuhan kapang rendah
Ditambah Bawang Pertumbuhan kapang meningkat dan aroma rempah-
2
Putih dan Ketumbar rempah tajam
3 Tidak terjadi perubahan
Tabel 3 Hasil Pengamatan Tempe

Berdasarkan tabel 1 terlampir dapat di lihat bahwa persyaratan untuk bau,


warna dan rasa adalah normal. Besarnya kadar air, abu dan protein secara berturut-
turut yaitu maksimal 65% (b/b), maksimal 1,5% (b/b), dan minimal 16% (b/b).
Sedangkan untuk cemaran mikroba E.coli maksimal 10 (SNI 01-3144-2009).
Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan atau kecoklatan. Gula ini
terbuat dari cairan nira yang dikumpulkan dari kelapa, aren, tebu, dan lontar. Nira
merupakan cairan manis yang terdapat dalam bunga tanaman aren, kelapa, tebu, dan
lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dari proses penyadapan. Cairan
nira yang dikumpulkan kemudian direbus secara perlahan sehingga mengental lalu
dicetak dan didinginkan. Setelah dingin maka gula merah siap dikonsumsi atau dijual
kepada orang lain (Widyawati 2001).
Gula ini memiliki banyak varian bergantung pada bahan jenis yang digunakan.
Meskipun sama-sama dari nira, tetapi didapat dari pohon yang berbeda-beda. Kualitas
gula yang dihasilkan serta rasanya berbeda-beda sesuai dari sumber pohon yang
digunakan. Jenis-jenis gula merah diantaranya adalah gula kelapa atau gula jawa yang
bersumber dari nira pohon kelapa (Cocos nucifera L.), selain itu ada gula aren yang
diambil dari nira poho aren (Arenga piata Merr), ada gula tebu yang diambil dari nira
tanaman tebu (Saccharum officinarum L), dan gula semut yang sama seperti gula aren
namun dibentuk menjadi gula halus atau kristal (Widyawati 2001).
Gula merah dengan mutu baik berwarna kuning sampai kecoklatan, memiliki
kandungan sukrosa minimal 70 %, gula pereduksi maksimal 10 %, kadar air maksimal
10 %, dan padatan tidak larut air maksimal 1 % (SNI 01-3743-1995). Karakteristik
gula merah yang mudah menarik air (higroskopis), membuat gula merah relatif tidak
dapat bertahan lama, hanya selama 2-4 minggu. Kerusakan gula merah ditandai
dengan menngkatnya kadar air sehingga menyebabkan gula merah teksturnya menjadi
lembek dan membuat mutu produk menurun (Santoso 1993).
Gula merah yang dibahas adalah bahan utama yang akan dibuat menjadi
bioethanol. Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-OH)
dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum Ethanol lebih
dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku
tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) sehingga gula merah termasuk kategori
sebagai bahan pembuatan bioethanol. Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai
bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri
farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Produksi etanol dapat diperoleh dari gula (sukrosa) dengan proses fermentasi
secara anaerob (tanpa O2) oleh aktifitas khamir Saccharomyces cerevisiae. Dengan
lingkungan yang dibuat keadaanya kurang oksigen, maka Saccharomyces akan
melakukan proses fermentasi. Dalam keadaan anaerob, asam piruvat yang dihasilkan
dari proses glikolisis akan diubah menjadi asam asetat dan CO2, setelah itu asam asetat
akan diubah menjadi alkohol. Proses perubahan asam asetat menjadi alkohol tersebut
diikuti pula dengan perubahan NADH menjadi NAD+. Dengan terbentuknya NAD+
proses glikolisis dapat terjadi lagi.
Pembuatan bioetanol melalui beberapa tahapan, seperti pengenceran gulam
penambahan ZA dan NPK, penambahan ragi, fermentasi, dan distilasi. Dilakukannya
proses pengenceran gula karena kadar gula dalam gula merah yang terlalu tinggi untuk
fermentasi, sehingga perlu dilakukannya pengenceran terlebih dahulu. Kadar gula
yang dibutuhkan bioetanol kurang dari 14%. Kemudian pada proses penambahan ZA
dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Penambahan urea dan NPK umumnya 0,5%
dari kadar gula dalam larutan fermentasi. ZA dan NPK di tambahkan saat larutan gula
telah diencerkan dan dingin. Bahan aktif ragi roti adalah khamir Saccharomyces
cerevisiae yang dapat memfermentasi gula menjadi etanol. Kebutuhan ragi roti adalah
sebanyak 0,2% dari kadar gula dalam larutan molasses. Ragi roti diberi air hangat
kemudian diaduk secara perlahan. Setelah itu dimasukkan ke dalam fermentor yang
tertutup rapat.
Proses fermentasi akan berjalan beberapa jam setelah semua bahan
dimasukkan ke dalam fermentor. Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2
yang dihasilkan selama proses fermentasi. Kadang-kadang terdengar suara gemuruh
selama proses fermentasi ini. Selama proses fermentasi ini usahakan agar suhu tidak
melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 5. Proses fermentasi berjalan kurang
lebih selama 66 jam atau kira-kira 2.5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah
selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara. Kadar etanol di
dalam cairan fermentasi kurang lebih 7% 10 %. Setelah proses fermentasi selesai,
masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan evaporator dan
suhunya dipertahankan antara 79 81oC. Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi
air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa
pengeluaran distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%.
Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga
kadar etanolnya 95%. Apabila kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau
penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit
sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol. Biarkan semalam. Setelah itu didistilasi
lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
Faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah pH, suhu, kadar gula, dan
yeast. Syarat yeast dapat dipakai dalam proses fermentasi yatu mempunyai
kemampuan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat dalam substrat yang sesuai,
dapat menghasilakan enzim dengan cepat untuk mengubah glukosa menjadi alkohol,
mempunyai daya fermentasi yang tinggi terhadap glukosa, fruktosa, galaktosa, dan
maltosa, dan juga tahan terhadap mikroba lain. Salah satu hasil fermentasi yang terlihat
adalah terbentuknya gelembung udara yang merupakan hasil metabolik anaerobik
yang menghasilkan CO2.
Semakin banyak ragi yang ditambahkan, berarti mikroba yang akan mengurai
glukosa menjadi alkohol juga banyak, namun jika penambahan ragi dilakukan secara
terus menerus pada jumlah substrat yang tetap, maka hasl fermentasinya tidak akan
maksimal. Aktivitas yeast akan menurun, sehingga kadar alkohol yang dhasilkan
sedikit. Bahan dengan konsentrasi gula tinggi mempunyai efek negatif pada yeast, baik
pada pertumbuhan maupun pada aktifitas fermentasinya. Hal ini bisa membuat proses
fermentasi lebih lama karena kepekatan yang lebih dari penambahan ragi dan membuat
aktifitas enzim menurun, selain itu ada sisa gula yang tidak terpakai dalam proses
sehingga membuat alcohol yang dhasilkan rendah.
Fermentasi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae dapat dilakukan pada pH 4
5 dengan temperatur 27 35C, proses ini dapat berlangsung 35 60 jam (Prescott
dan Dunn 2002). Khamir mempunyai kisaran toleransi tertentu terhadap suhu untuk
pembentukan selnya, suhu optimum untuk khamir adalah 25 30 oC serta khamir dapat
tumbuh secara efesien pada suhu 28 35 oC. Peningkatan suhu sampai 40 oC dapat
mempertinggi kecepatan awal produksi etanol, tetapi produktivitas fermentasi secara
keseluruhan menurun karena meningkatnya pengaruh penghambatan oleh etanol
terhadap pertumbuhan sel khamir. Selama fermentasi alkohol berlangsung, diperlukan
sedikit oksigen sekitar 0,05-0,10 mmHg tekanan oksigen yang diperlukan sel khamir
untuk biosintesa lemak tak jenuh dan lipid. Jumlah oksigen yang lebih tinggi dapat
merangsang pertumbuhan sel khamir, sehingga produktivitas alkohol menjadi lebih
rendah. Menurut Daulay dan Rahman (1992), persediaan oksigen yang besar penting
untuk kecepatan perkembangbiakan sel khamir dan permulaan fermentasi, namun
produksi alkohol terbaik pada kondisi anaerob.
Produksi bioethanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau
karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan
dengan penambahan air dan enzim, kemudian dilakukan proses peragian atau
fermentasi gula menjadi bioetanol dengan menambahkan yeast atau ragi (Alfena
2009).
Dengan empat hari dilakukan pengamatan untuk mengetahui laju CO2 yang
berubah dari hari pertama pembuatan bioetanol, pertama-pertama terlihat suatu
endapan berwarna coklat agak terang pada permukaan kedua larutan, selanjutnya
terjadi peningkatan volume gas CO2 pada pengamatan pertama sebanyak 500 ml
habis, selanjutnya pada pengamatan kedua dari 500 ml diisi penuh kembali berubah
menjadi 300 ml, pada pengamtan ketiga tidak terjaid perubahan apapun, penurunan air
dari tabung menunjuka kesesuaian dari pernyataan alfena (2009) karena suatu proses
metabolik anaerobik yang menghasilkan gelembung berupa CO2 yang menandakan
terbentuknya etanol.

Tabel 4 Standar Nasional Indonesia Kualitas Bioetanol (SNI 7390-2008)

Metode Uji
Parameter Unit, Min/Max Spesifikasi
(SNI 7390-2008)
Kadar etanol %-v, min. 99,5 (sebelum Sub 11.1
denaturasi)
94,0 (setelah
denaturasi)
Kadar metanol mg/L, max. 300 Sub 11.1
Kadar air %-v, max. 1 Sub 11.2
Kadar denaturan %-V, min. 2 Sub 11.3
%-V, max 5
Kadar Cu Mg/kg, max 0,1 Sub 11.4
Keasaman sbg mg/L, max. 30 Sub 11.5
CH3COOH
Tampakan Jernih & tdk ada Peng. visual
endapan
Ion klorida mg/L, max. 40 Sub 11.6
Kandungan Sulfur mg/L, max. 50 Sub 11.7
Getah (gum), dicuci mg/100 mL, 5,0 Sub 11.8
max.
pHe 6,5-9,0 Sub 11.9
PENUTUP
Simpulan
Pada proses pembuatan tempe perlu diperhatikan beberapa hal, terutama
kondisi terbaik untuk perkembangbiakan Rhizopus oligosporus. Hal tersebut meliputi
suhu yang stabil, berkisar antara 30-40C, dan tingkat kelembapan yang juga tinggi.
Wadah fermentasi tersebut perlu diperhatikan seperti adanya oksigen yang cukup
dengan pemberian lubang pada plastik. Rhizopus oligosporus merupakan aerobic
obligat ynag membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan yang baik. Namun perlu
diperhatikan pula konsentrasi oksigen yang terlampau banyak mempercepat proses
reaksi sehingga proses fermentasi tidak sempurna. Adapun penambahan bawang putih
dan ketumbar menghambat proses fermentasi akibat sifat antibacterial dari rempah-
rempah tersebut yang menginaktivasi aktivitas mikroorganisme.
Produksi etanol dapat diperoleh dari gula (sukrosa) dengan proses fermentasi
secara anaerob (tanpa O2) oleh aktifitas khamir Saccharomyces cerevisiae. Dengan
lingkungan yang dibuat keadaanya kurang oksigen, maka Saccharomyces cerevisiae
akan melakukan proses fermentasi.

Saran
Proses pembuatan tempe dan bioetanol secara garis besar cukup dimengerti.
Namun, masih diperlukan pemahaman yang lebih dalam mengenai prosedur yang
baik dan benar dalam pembuatan kedua produk agroindustri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Alfena. 2009. Produksi Etanol Menggunakan Mutan Zymonas mobilis yang


Dimutasi dengan Hidroksilamin. Surabaya (ID) : Skripsi ITS
Astawan M. 2004. Sehat Dengan Tempe. Bogor (ID): Dian Rakyat
Buckle B.2007. Ilmu Pangan. Jakarta (ID): UI Press
Daulay D dan A. Rahman. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah-
Buahan. Bogor (ID) : PAU Pangan dan Gizi IPB
Johari H. 1994. Ayuverdic Healing Cuisine. Ontario (CAN): Healing Arts Press
Kasmidjo. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. Semarang (ID): Soegijapranata Press.
Kusharyanto, Budiyanto A. 1995. Upaya Pengembangan Produk Tempe Dalam
Industri Pangan. Yogyakarta (ID): Puslitbang gizi
Prescott SC dan CG Dunn. 2002. Industrial Microbiology. New York (US) :
MC Grow Hill Book Company
Santoso B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Yogyakarta (ID) : Kansius
Sarwono R. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai. Malang (ID): Laboratorium Pangan
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama
Shurtleff, Aoyagi. 1986. The book of Tempeh: The Super Soyfood from Indonesia.
London (GBR): Whiteside Limited
SNI 01-3743-1995. Syarat Mutu Gula Palma. Badan Standarisasi Nasional-
BSN. Jakarta (ID) : BSN
SNI 01-3144-2009. 2009. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta (ID): BSN
Syamsiah IS, Tajudin. 2005. Bawang Putih: Raja Antibiotik Alami. Jakarta (ID):
Gramedia
Widyawati R. 2001. Pengolahan Makanan Indonesia. Jakarta (ID) : Grafindo

Anda mungkin juga menyukai