Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Dasar Teori

Dalam keadaan normal dua pertiga tinja terdiri dari air dan sisa

makanan, zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus,bakteri

patogen,asam lemak,urobilin,gas indol,skatol dan sterkobilinogen.Pada

keadaan patologik seperti diare didapatkan peningkatan sisa makanan dalam

tinja, karena makanan melewati saluran pencernaan dengan cepat dan tidak

dapat diabsorpsi secara sempurna,(Lilian dan Kristy,1983).

Bahan pemeriksaan tinja sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika

pemeriksaan sangat diperlukan contoh tinja dapat diambil dengan jari

bersarung dari rektum.Untuk pemeriksaan rutin dipakai tinja sewaktu dan

sebaiknya tinja diperiksa dalam keadaan segar karena bila dibiarkan mungkin

sekali unsur unsur dalam tinja menjadi rusak. Pemeriksaan tinja terdiri atas

pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan kimia,(Hadidjaja, 1990,).

Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia.

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih

tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti

Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih

perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di

karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi

geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk

berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).

1
2

Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-

90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih

banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan

Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus yang dalam

penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang

tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)

Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam

keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang

akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa

usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur

cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan

untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di

periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat

yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang

penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat

ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang

ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa

gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan

laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan


3

pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry,

2000).
BAB II

METODE

2.1. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan praktikum pemeriksaan makroskopis tinja adalah

sebagai berikut:

1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan feces secara makroskopis

2. Mahasiswa dapat menilai tanda-tanda abnormal dari sampel feces dengan

baik dan benar

2.2. Alat dan Bahan

a. Adapun alat yang di gunakan adalah sebagai berikut:

1. Lidi

2. Cover gelas

3. Objek gelas

4. pipet

5. mikroskop

6.Handskun

7. Masker

8.Alat tulis

9. Tempat sampel

4
5

2.3. Prosedur kerja

1. Homogenkan feces dengan lidi

2. Tuangkan 1 tetes lugol/eosin ke objek gelas yang berbeda agar telur

muda dapat,di lihat feces yang telah di homogen kan lalu letakkan di

objek gelas dengan lidi

3. Ratakkan dengan lidi serabut

4. Tutup dengan cover gelas

5. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah: 10-40 kali


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Adapun hasil makroskopis dan mikroskopis tinja yang di dapat adalah

ada sebagai berikut:

No Sampel(Feces/Tinja) Keterangan

1 Jumlah Normal

2 Warna Kuning kecokelatan

3 Bau Khas dari indol,skatol dll

4 Konsistensi Agak lunak

5 Lendir Negatif(-)

6 Darah Negatif(-)

7 Parasit Negatif(-)

8 Telur cacing Negatif(-)

9 Eritrosit Negatif(-)

10 Lekosit Negatif(-)

11 Kristal Negatif(-)

12 Pus/Sisa Makanan Negatif(-)

6
7

3.2. Pembahasan

Adapun pembahasan yang di peroleh ialah sebagai berikut:

A. Makroskopis

Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah,

warna, bau, darah, lendir dan parasit:

Jumlah Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-

250gram per hari. Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila

banyak makan sayur jumlah tinja meningkat;

Konsistensi yaitu Tinja normal mempunyai konsistensi agak

lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau

cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan

pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja

yang lunak dan bercampur gas;

Warna yaitu Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat

berubah mejadi lebih tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak.

Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan,

kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna

kuning dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat santonin.

Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang

mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh

biliverdin dan porphyrin dalam mekonium.3,4 Kelabu mungkin

disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran pencernaan

yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis.


8

Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas

seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung

banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian

garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna

merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian

distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna coklat

mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran

pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain.

Warna coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada

anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang

yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh

melena; Bau Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal

pada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan

protein yang tidak dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja

menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik

atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti

pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam; Darah adanya

darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah

itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur dengan

tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan

bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena

seperti pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan

pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di


9

bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada

hemoroid atau karsinoma rektum; Lendir dalam keadaan normal

didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya lendir yang

banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau

lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu

mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur

baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada

disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa

tinja dan Parasit di periksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan

lain-lain yang mungkin didapatkan dalam tinja.

B. Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur

cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari

semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap

protozoa dan telur cacing: Protozoa biasanya didapati dalam bentuk

kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit; Telur

cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator

americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides

stercoralis dan sebagainya;leukosit dalam keadaan normal dapat terlihat

beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis

ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah

leukosit.Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir

pada penderita dengan alergi saluran pencenaan; Eritrosi thanya terlihat


10

bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila

lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam

tinja selalu berarti abnormal; Epitel dalam keadaan normal dapat

ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal dari dinding usus

bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian proksimal jarang

terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah

banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian

distal; Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal

mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak.

Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan

bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah

banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal

Charcoat Leyden Tinja LUGOL Butir-butir amilum dan kristal

hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus saluran

pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran

pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin dan Sisa makanan

hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam

keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan

keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-

daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat

elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja

dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum

yang tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai


11

untuk menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe.2 Sisa

makanan ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Seelah di lakukan pemeriksaan terhadap makroskopis Tinja maka di

dapatkan hasil adalah negetif seperti yang tertera di tabel hasil di atas.

4.2. Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan hasil di mikroskop semua praktikan

di wajibkan untuk dapat melihatnnya.

12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Dasar Teori

Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia.

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih

tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti

Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih

perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di

karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi

geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk

berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).

Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara

60%-90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang

masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan

golongan Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus yang

dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah.

Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris

lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing

tambang yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Siregar,

2006)

Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam

keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang

13
14

akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa

usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya

telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di

maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada

orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit

adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah

satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing,

yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit

yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa

gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan

laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan

pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry,

2000).
BAB II

METODE

2.1. Tujuan Praktikum

Adapu tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

Mahasiswa dapat memahami teknik pemeriksaan tinja cara apung dan dapat

melakukan dengan baik dan benar

2.2. Alat dan B ahan

a. Alat

Alat-alat yang di gunakan dalam praktikum ini adalah:

1. Lidi

2. Beaker Gelas 30 ml

3. Tabung Reaksi

4. Cover Slide

5. Cawan Petri

6. Botol volume 10 ml

7. Mikroskop Binokuler

8. Slide

b. Bahan

Bahan-bahan di gunakan dalam praktikum ini adalah:

1. Larutan NaCl

2. Sampel Feces

15
16

2.3. Prosedur kerja

1. Sebelumnnya siapkan cover slide yang bebas dari lemak dengan cara:

buat campuran 10 ml ethanol 95% dan 10 ml eter.

2. Tuang campuran tadi ke dalam cawan petri masukan cover slide yang

akan diguanakan satu persatu,kocokbdan biarkan selama 10 menit,

keluarkan dan keringkan dengan kain kasa. Simpan pada cawan petri

yang kering.

3. Isikan tabung reaksi dengan NaCl sampai penuh.

4. Letakan tinja sebanyak 1 cc(1 gram) kedalam beaker gelas

5. Hancurkan tinja dengan lidih sampil di tambahkan larutan NaCl sedikit

demi sedikit hingga homogen

6. Tuangkan semua larutan NaCl ke dalam beaker gelas dan campur baik-

baik.

7. Tuang isi gelas kimia kedalam tabung reaksi sampai penuh. Buang

bagian yang kasar yang terdapat pada permukaan dengan lidi.

8. Letakan cover slide di atas mulut tabung . sehingga menenytuh

permukaan larutan

9. Diamkan selama 10 menit

10. Dengan hati-hati cover slider diambil dan di letakkan di atas slide.

11. Periksa dengan pembesaran 10 kali


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Adapun hasil yang di dapat adalah ada sebagai berikut:

N Sampel Gambar Hasil Nama Cacing Keterangan

1 Feces Trichuris Negatif(-)

trichiura

Cacing tambang Negatif(-)

Strongyloides Negatif(-)

stercoralis

Sisa Makanan Positif(+)

3.2. Pembahasan

Dalam praktikum ini, menggunakan metode apung maka larutan yang

di gunakan adalah NaCl jenuh,NaCl kali ini di buat dengan bahan gabungan

dapur yang di campurkan dengan aquadest hingga garam dapur tidak larut

lagi(jenuh) Kelebihan dan kekurangan metode Apung, yaitu:

Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya

proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.

Kekurangan

Membutuhkan waktu yang lama.

17
18

Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun

lagi.

Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan

metode apung (dengan disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit

dalam praktikum ini. Berarti, tidak terinfeksi parasit. Hasil negatif pada

metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:

Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi

cacing parasit usus).

Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan

praktikum. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur

cacing parasit. Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan

mikroskop.

Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak

ditemukkan telur pada feses.

Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat

pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan

tercampur dengan urin.

Pada pengamatan feses ini, yang mungkin ditemukan adalah telur

Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan

larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.

Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah

dibuahi (telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang

sudah dibuahi memiliki ciri-ciri: oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-


19

kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang

belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri:

lonjong, lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi

granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak

terdapat pada pengamatan feses , sehingga dinyatakan tidak

terinfeksi parasit Ascaris lumbricoides.

Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 , berbentuk mirip

tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub

jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di

atas tidak terdapat pada

Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing

tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 . Telur tidak

berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri

telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses

Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit cacing tambang.

Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 , berbentuk

lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan.

Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva

rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform

mempunyai ukuran 200 250, memiliki esophagus dan bulbus esophagus

yang mengisi bagian anterior (Soedarto, 2011).

Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang

paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode


20

Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode

pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika

dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah

dilakukan.

Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur

cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal

ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 , sedangkan

Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 . Telur ini keluar bersama feses

penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah

mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva

filariform (Shahid dkk, 2010).

Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia.

Larva ini berukuran 500 700 , tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus

esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas

terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga

Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.

Hasil positif pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat

disebabkan oleh: Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih

rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian dan kesehatan pribadi serta

lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang

tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di

luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.
21

Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah,

sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi

perorangan maupun lingkungan. (Hairani dan Annida, 2012)

Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun

cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan

erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru

dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang

melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di

perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 0,3

ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik,

mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak

adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %,

sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi

karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta

nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan

mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh

Necator americanus (Shahid dkk, 2010).

Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas,

maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana

dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing

secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri

dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari

usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan


22

cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana

usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan

memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk

melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:

Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan

keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan. Memakai alas kaki jika

menginjak tanah. Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.

Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.

Bercocok tanam atau berkebun dengan baik. Peduli dengan lingkungan.

Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah. Berhati-hati saat makan

makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya

buruk. Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat

pembuangan khusus. Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti

cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi

cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun,

dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan

tanah.

Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan

pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan

obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan

pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang

efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit

cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10


23

mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6

bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu

daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan

memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing

secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna.

(Athiroh, 2006}.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya

simpulkan sebagai berikut:

Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan disentrifugasi)

adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang

telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi telur cacing.

4.2 Saran

Sebaiknya pada praktikum berikutnya, praktikan harap tenang, agar

bisa berjalan dengan baik dan tentram.

24
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Dasar Teori

Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia.

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih

tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti

Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu

ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di

daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan

temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan

baik (Kadarsan,2005).

Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-

90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih

banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan

Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus yang dalam

penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang

tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)

Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam

keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang

akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa

usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).

25
26

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur

cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan

untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di

periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat

yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang

penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat

ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang

ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa

gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan

laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan

pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry,

2000).
BAB II

METODE

2.1 Tujuan Praktikum

Adapu tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

Mahasiswa dapat memahami teknik pemeriksaan tinja cara apung dan dapat

melakukan dengan baik dan benar

2.2 Alat dan Bahan

a. Alat

Alat-alat yang di gunakan dalam praktikum ini adalah:

1. Lidi

2. Beaker Gelas 30 ml

3. Tabung Reaksi

4. Cover Slide

5. Cawan Petri

6. Botol volume 10 ml

7. Mikroskop Binokuler

8. Slide

b. Bahan

Bahan-bahan di gunakan dalam praktikum ini adalah:

1. Larutan NaCl

2. Sampel Feces

3.

27
28

2.3 Prosedur kerja

1. Sebelumnnya siapkan cover slide yang bebas dari lemak dengan cara: buat

campuran 10 ml ethanol 95% dan 10 ml eter.

2. Tuang campuran tadi ke dalam cawan petri masukan cover slide yang akan

diguanakan satu persatu,kocokbdan biarkan selama 10 menit, keluarkan

dan keringkan dengan kain kasa. Simpan pada cawan petri yang kering.

3. Isikan tabung reaksi dengan NaCl sampai penuh.

4. Letakan tinja sebanyak 1 cc(1 gram) kedalam beaker gelas

5. Hancurkan tinja dengan lidih sampil di tambahkan larutan NaCl sedikit

demi sedikit hingga homogen

6. Tuangkan semua larutan NaCl ke dalam beaker gelas dan campur baik-

baik.

7. Tuang isi gelas kimia kedalam tabung reaksi sampai penuh. Buang bagian

yang kasar yang terdapat pada permukaan dengan lidi.

8. Letakan cover slide di atas mulut tabung . sehingga menenytuh

permukaan larutan

9. Diamkan selama 10 menit

10. Dengan hati-hati cover slider diambil dan di letakkan di atas slide.

11. Periksa dengan pembesaran 10 kali


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Adapun hasil yang di dapat adalah ada sebagai berikut:

No Sampel Gambar Hasil Nama Cacing Keterangan

1 Feces Trichuris Negatif(+)

trichiura

Cacing tambang Negatif(-)

Strongyloides Negatif(-)

stercoralis

3.2 Pembahasan

Dalam praktikum ini, menggunakan metode apung maka larutan yang

di gunakan adalah NaCl jenuh,NaCl kali ini di buat dengan bahan gabungan

dapur yang di campurkan dengan aquadest hingga garam dapur tidak larut

lagi(jenuh) Kelebihan dan kekurangan metode Apung, yaitu:

Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya

proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.

Kekurangan

Membutuhkan waktu yang lama.

Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun

lagi.

29
30

Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan

metode apung (dengan disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit

dalam praktikum ini. Berarti, tidak terinfeksi parasit. Hasil negatif pada

metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:

Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing

parasit usus).

Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.

Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit.

Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan mikroskop.

Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan

telur pada feses.

Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat

pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan

tercampur dengan urin.

Pada pengamatan feses ini, yang mungkin ditemukan adalah telur

Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan

larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.

Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah

dibuahi (telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang

sudah dibuahi memiliki ciri-ciri: oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-

kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang

belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri:


31

lonjong, lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi

granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak

terdapat pada pengamatan feses , sehingga dinyatakan tidak terinfeksi parasit

Ascaris lumbricoides.

Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 , berbentuk mirip

tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih

yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas

tidak terdapat pada

Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing

tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 . Telur tidak

berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri

telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi,

sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit cacing tambang.

Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 , berbentuk

lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur

diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva

rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform

mempunyai ukuran 200 250, memiliki esophagus dan bulbus esophagus

yang mengisi bagian anterior (Soedarto, 2011).

Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang

paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode

Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode


32

pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan

dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.

Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur

cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit

dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal

ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 , sedangkan

Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 . Telur ini keluar bersama feses

penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah

mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva

filariform (Shahid dkk, 2010).

Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia.

Larva ini berukuran 500 700 , tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus

esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas

terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga

Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.

Hasil positif pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat

disebabkan oleh:

Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga

pengertian terhadap kebersian dan kesehatan pribadi serta lingkungan

sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (di

tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah

dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.


33

Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah,

sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi

perorangan maupun lingkungan (Hairani dan Annida, 2012)

Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun

cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan

erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru

dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat

dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut,

mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 0,3 ml/hari,

sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type

efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi,

pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah

dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada

jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada

anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi

Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh Necator

americanus (Shahid dkk, 2010).

Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas,

maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana

dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing

secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri

dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari

usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan


34

cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana

usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan

memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan

pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:

Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga

untuk mencuci tangan sebelum makan.

Memakai alas kaki jika menginjak tanah.

Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.

Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.

Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.

Peduli dengan lingkungan.

Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.

Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di

daerah yang sanitasinya buruk.

Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan

khusus.

Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6

bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani,

anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang

(orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.

Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan

pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan

obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan


35

pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif

untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing.

Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB

dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak

untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang

serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan

yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara

maksimal, tuntas dan paripurna (Athiroh, 2005)


36

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya

simpulkan sebagai berikut:

Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan disentrifugasi)

adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang

telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi telur cacing.

4.2 Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan hasil di mikroskop semua praktikan

di wajibkan untuk dapat melihatnnya.


37

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, G. Kumar. 2005. Penyakit Cacingan Dampak Dan Penanggulangannya:

Jakarta.

Brow,N.W. 1989. Dasar prasitologi:Gramedia: Jakarta.

Bendah,U.S. 2000. Parasitologi Kedokteran. KKUL: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit

Cacingan.

Flynn,R.J. 1973. Parasites Of Laboratory Animal. The Low State University Press

Llinonois.

Galuh. Patwa, AMAK. 1998.Parasit P.T.Media Sarana Press: Jakarta. Diakses dari

https://uin.bandung.ac.id Pada tanggal 16 november 2016.

Gandasoebrata,R. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI:

Jakarta.

Gandahusada, S.,Herry D.I,Wita Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi III

FKUI: Jakarta.

Gandahusada, dkk. 1990. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ke Tiga: Jakarta. Balai

Penerbit FKUI.

Gandahusada,S.,Herry D.I,Wita Pribadi. 2006. Parasitologi Kedokteran. Edisi

ketiga: Jakarta. Balai pennebit FKUI.

Gracia S. Lynne dan David A. Bruckner. 1996. Diagnostik Parasitologi

Kedokteran. Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Hadidjaja P, dan Gandahusada S. 2002. Atlas Parasitologi Kedokteran.


38

Hadidjaja P. 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran: Jakarta.

EGC.

Hadidjaja P. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. EGC:

Jakarta.

Harddidjajah,P. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran KKUI:

Jakarta.

Hadidjaja P, dan Gandahusada S. 2002. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.

Herry D.I,Wita Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi III FKUI: Jakarta.

Jeffrey H.C, Leach, R.M. 1993. Atlas Helmintologi dan ParasitologiKedokteran:

Jakarta. EGC.

Jurnal ILMU DASAR 5 Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2001. Parasitologi

Medik (Helmintologi) Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnostik dan

Klinik. EGC: Jakarta.

Kadarsan,S. 2011. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional,Lipi Bogor.

Diakses dari https://academia.edu Pada tanggal 16 november 2016

Kadarsan,P. 1983.Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran EGC Jakarta

Kurt.A. 1999. Diagnosa Parasitologi Kedokteran,Buku Kedokteran EGC Jakarta

Levine,O. Saffar. 1961. Parasitologi Kedokteran. Protozoologi, Helmintologi,

Cetakan I Yrama Widya: Bandung.

Noble, Inge. 1961. Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. Buku Penerbit FKUI:

Jakarta.
39

Nurdiana, Y. 2004. Soil Contamination By Intestinal Parasite Eggs In Two Urban

Villages of Jember.

Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi.

Cetakan I: Jakarta.

Poorwo, Soedarmo S, Sri Rezeki S, Hindra I. 2008. Buku Ajaran Infeksi dan

Pediatri Tropis. Edisi I Badan Penerbit IDAI: Jakarta.

Purwaningsih. 1999. Atlas Helmintologi dan Parasitologi Kedokteran: Jakarta

EGC.

Rosidiana Safar. 2010. Parasitologi Kedokteran Protozoologi Helmintologi

Entomologi, Cetakan I, Yrama Widya: Bandung.

Samad Helma. 2009. Hubungan Infeksi Dengan Pencemaran Tanah Oleh Telur

Cacing Yang Ditularkan melalui Tanah Dan Perilaku Anak Sekolah

Dasar Di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung, Tesis,

Program Pasca Sarjana USU: Medan.

Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran. EGC: Surabaya.

Sri Rezeki S, Hindra I. 2008. Buku Ajaran. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi I

Badan Penerbit IDAI: Jakarta.

Sutanto,Inge,Is Suhariah I, Pudji K. S,Saleha S. 2008. Parasitologi Kedokteran.

Edisi Keempat: Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

Sutanto, I. Is Suhariah I, Pudji K.S, Saleha S. 2008. Parasitologi Kedokteran.

Edisi IV,Balai Penerbit FKUI: Jakarta


40

Ulun kanligil M, Adnan Seyrek,Gonul Aslan, Hatice Ozbilge, Suleiman Atay.

2001. Environment Pollution with Soil Transmitted Helminths in

Salinurfa, Turkey Mem Inst. Ozwaaldo Cruz: Rio de Janeiro

Anda mungkin juga menyukai