Anda di halaman 1dari 18

GEN TUNGGAL DALAM POPULASI

C
acat gen tunggal sangat jarang dan sehingga tidak terlalu penting
untuk diperhatikan. Akan tetapi, kadang-kadang cacat karena gen
tunggal mencapai frekuensi tinggi di antara ternak milik satu atau
beberapa pemulia, atau kadang-kadang dalam suatu bangsa secara
keseluruhan. Konsekuensi ekonomis dari peningkatan frekuensi tersebut
kadang-kadang sangat parah, dan pemulia sering bertanya bagaimana cacat
tersebut dapat diturunkan frekuensinya, jika tidak dapat dihilangkan. Untuk
dapat memberikan saran yang bermanfaat, kita perlu tahu lebih dari sekedar
genetika Mendel saja, kita juga harus mengerti cara gen beraksi di dalam
perusahaan-perusahaan ternak (herd), atau kelompok ternak domba (flock),
kelompok-kelompok anjing (kennel) atau kandang-kandang penitipan kucing
(cattery) atau di dalam bangsa secara keseluruhan. Dengan kata lain, kita
perlu mengerti prinsip dasar tentang genetika populasi. Tujuan dari bab ini
adalah menerangkan prinsip-prinsip dasar itu.

Frekuensi Gen dan Genotipe

Hemoglobin di dalam domba terdapat dalam dua bentuk berbeda


(HbA dan HbB), yang merupakan dua produk dari dua alel berbeda, A dan
B, pada lokus autosom. Dengan dua alel hemoglobin berbeda, terdapat tiga
genotipe berbeda (AA, AB, dan BB), yang masing-masing menghasilkan pola
elektroforesis protein berbeda, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1. Jadi
untuk tiap genotipe ditunjukkan fenotipe yang dapat dibedakan. Sampel
darah diambil dari 175 ekor domba, dan setelah elektroforesis untuk
menetukan tipe hemoglobin setiap domba, ditemukan bahwa jumlah
genotipe untuk AA, AB, dan BB masing-masing adalah 91, 28, dan 56.
Dengan adanya informasi ini, dimungkinkan menghitung proporsi tiap
genotipe di dalam sampel tersebut. Proporsi ini dinamakan frekuensi

Gen Tunggal dalam Populasi - 127


genotipe (genotype frequency). Untuk contoh ini, frekuensi genotipenya
sebesar 91/175 = 0,52 untuk AA, 28/175 = 0,16 untuk AB, dan 56/175 = 0,32
untuk BB.

Gambar 5.1. Pola elektroforesis, atau fenotipe, yang menggambarkan tiga genotipe
hemoglobin yang berbeda di dalam domba Merino.

Juga dimungkinkan untuk menghitung proporsi tersebut, yaitu


frekuensi setiap alel di dalam sampel tersebut. Berdasarkan konvensi, istilah
gen` digunakan untuk mengganti alel` di dalam genetika populasi, jika
mengacu ke frekuensi. Oleh karena itu, proporsi setiap alel disebut frekuensi
gen (gene frequencies).
Karena semua gen dalam ternak AA adalah A, dan separuh gen dalam
ternak AB adalah A, itu berarti bahwa frekuensi gen A adalah frekuensi
genotipe AA plus separuh frekuensi genotipe AB, yang sama dengan
0,52+1/2(0,16) = 0,6. Dengan cara sama, frekuensi gen B adalah
0,32+1/2(0,16) = 0,4.

Kawin Acak

Kawin acak untuk sifat atau lokus tertentu terjadi jika pemilihan
pasangan kawin bersifat independen terhadap genotipe atau fenotipe untuk
sifat atau lokus itu. Karena sistem perkawinan ternak domestik pada
umumnya di bawah kontrol manusia, yang sering memutuskan, misalnya,
untuk menyeleksi hanya sedikit individu untuk dijadikan sebagai tetua bagi
generasi berikutnya, mungkin saja konsep kawin acak banyak yang kurang
relevan diterapkan pada ternak domestik. Akan tetapi, walaupun seleksi
dilakukan sangat intensif, perkawinan di antara ternak-ternak yang telah
diseleksi biasanya secara acak untuk semua sifat dan lokus. Padahal, dalam
hal produksi, spesies seperti sapi, domba, dan babi, biasanya kurang praktis

128 - Pengantar ke Genetika Veteriner


untuk diatur macam perkawinannya. Dan bahkan dengan ternak yang
sebangsa atau sepopulasi, dalam menentukan ternak yang mana kawin
dengan yang mana, manusia mendasarkan pilihannya berdasarkan beberapa
sifat yang dapat diukur atau setidak-tidaknya dapat diamati, seperti warna
bulu atau berbagai aspek bentuk tubuh.
Untuk sifat-sifat yang dipertimbangkan oleh manusia ketika
merencanakan suatu perkawinan, perkawinan itu seringkali bukan bersifat
acak. Akan tetapi, hampir untuk sebagian besar sifat lainnya, perkawinan
biasanya secara acak.
Dalam banyak situasi, misalnya, perkawinan bersifat acak ditinjau dari
golongan darah, karena golongan darah ini biasanya tidak diketahui. Juga
untuk cacat gen tunggal, perkawinan di antara ternak yang bertahan hidup
sampai umur dewasa kelamin juga secara acak, karena untuk banyak cacat
semacam itu, genotipe berbeda di antara individu yang masih hidup
semuanya menunjukkan fenotipe yang sama. Jadi, konsep kawin acak sangat
penting dalam populasi ternak domestik.

Hukum Hardy-Weinberg

Hukum Hardy-Weinberg merupakan teori yang teramat penting


untuk membuat kita mengerti apa yang terjadi pada frekuensi gen dan
frekuensi genotipe di dalam populasi sebenarnya. Hukum tersebut dapat
digunakan dengan mengamati apa yang terjadi pada frekuensi gen dan
frekuensi genotipe dalam setiap populasi ternak yang melewati satu generasi
kawin acak (lihat Veterinary Genetics, Bagian 5.4.1 dan Lampiran A5.1). Jika
ini dikerjakan , akan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Dalam suatu populasi kawin acak di mana tidak ada seleksi, mutasi, migrasi,
atau genetic drift,
(1) frekuensi genotipe pada keturunan hanya ditentukan sepenuhnya oleh frekuensi
gen pada tetuanya, sehingga
(a) frekuensi homozigot sama dengan kuadrat dari frekuensi gennya;
(b) frekuensi heterozigot sama dengan dua kali hasil perkalian frekuensi
gennya;
(2) frekuensi gen dan frekuensi genotipe tetap konstan dari satu generasi ke
generasi beikutnya.

Pernyataan ini dikenal sebagai hukum Hardy-Weinberg. Implikasi


praktis dari hukum tersebut paling baik dapat dilihat jika kita
mengekspresikan kesimpulan utamanya dalam bentuk aljabar sederhana.
Kita dapat melakukan ini dengan hanya mempertimbangkan dua gen dalam
satu lokus (misalnya A dan B dari hemoglobin domba), dan menulis

Gen Tunggal dalam Populasi - 129


frekuensinya sebagai p dan q. Frekuensi ini masing-masing dapat bernilai
dari nol sampai satu, dengan catatan bahwa frekuensi gabungan dua gen
adalah satu, yaitu p + q = 1. Bagian pertama dari hukum tersebut
mengatakan bahwa tanpa memperhatikan frekuensi genotipe tetua, satu
generasi dari kawin acak menghasilkan frekuensi genotipe sebesar p2, 2pq,
dan q2 masing-masing untuk AA, AB, dan BB. Bagian ke dua dari hukum
tersebut mengatakan bahwa jika kita menghitung generasi berikutnya ( dan
generasi berikutnya lagi dan seterusnya) , kita akan menemukan bahwa p
dan q tetap sama, dan bahwa frekuensi genotipe tetap sama, yaitu p2, 2pq dan
q2. Ini dikenal sebagai frekuensi Hardy-Weinberg.
Beberapa dari asumsi tersebut memerlukan penjelasan. Asumsi tanpa
seleksi berarti bahwa tiap genotipe mempunyai kesempatan sama untuk
menghasilkan anak (keturunan), dan tiap anak mempunyai kesempatan
sama untuk hidup sampai anak tersebut mempunyai kesempatan untuk
kawin. Asumsi tanpa migrsi berarti bahwa gen dari luar tidak masuk ke
populasi--artinya populasi tersebut tertutup. Genetic drift mengacu pada
perubahan di dalam frekuensi gen karena peluang (lihat kemudian pada bab
ini). Asumsi tanpa genetic drift berarti bahwa jumlah tetua cukup besar, dan
jumlah anak juga cukup besar, sehingga fluktuasi peluang di dalam
frekuensi gen dapat diabaikan.
Bagian dari hukum Hardy-Weinberg yang membuat prediksi spesifik
tentang hubungan antara frekuensi gen dan genotipe sering diuji dengan
membandingkan jumlah tiap genotipe teramati dalam populasi, dengan
jumlah yang diharapkan jika genotipe tersebut berada dalam frekuensi
Hardy-Weinberg. Walaupun ada sejumlah besar asumsi di dalam hukum
tersebut, muncul bahwa kebanyakan populasi mempunyai frekuensi Hardy-
Weinberg. Dengan kata lain, walaupun kenyataan bahwa seleksi, migrasi,
mutasi, dan genetic drift diketahui terjadi dalam hampir semua populasi,
frekuensi Hardy-Weinberg dari genotipe di dalamnya biasanya teramati.
Bagaimana ini dapat terjadi? Jawabannyanya adalah bahwa uji untuk
frekuensi Hardy-Weinberg tidak dapat mendeteksi mutasi, dan itu gagal
mendeteksi banyak kasus seleksi, migrasi, dan genetic drift. Seperti kita akan
lihat, ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan,karena hal itu
berarti bahwa untuk kebanyakan populasi, kita dapat mengasumsikan
bahwa ada frekuensi Hardy-Weinberg, yang kemudian memungkinkan kita
menarik kesimpulan yang mempunyai implikasi praktis yang sangat
penting.

Kasus Spesial Untuk Resesif

130 - Pengantar ke Genetika Veteriner


Hukum Hardy-Weinberg berlaku tanpa memperhatikan tipe aksi gen
pada lokus. Kenyataannya, sepanjang tidak ada seleksi, tipe aksi gen pada
lokus tidak mempunyai efek apapun terhadap frekuensi gen atau genotipe.
Misalnya, jelas dari bagian ke dua hukum Hardy-Weinberg bahwa frekuensi
sifat resesif tidak akan menurun atau naik dari satu generasi ke generasi
berikutnya, kecuali jika seleksi, migrasi, atau genetic drift beraksi sedemikian
rupa sehingga merubah frekuensi gen resesif. Padahal, sifat resesif dapat
mempunyai frekuensi antara nol sampai satu, tergantung hanya pada
frekuensi gen resesif.
Sekarang kita menguji kasus resesif secara lebih dekat, menggunakan
warna bulu pada sapi Angus sebagai contoh. Warna bulu hitam khas yang
tampak pada sapi Angus merupakan akibat dari alel dominan B, sedangkan
warna bulu merah yang kadang-kadang terlihat pada bangsa sapi yang sama
merupakan akibat dari homozigositas untuk alel resesif b. Karena ada dua
alel pada lokus ini pada sapi Angus, ada tiga genotipe (BB, Bb, dan bb). Akan
tetapi, karena B bersifat dominan sempurna terhadap b, genotipe BB dan Bb
mempunyai fenotipe yang persis sama, yaitu hitam. Secara umum, untuk
sifat-sifat yang ditentukan oleh alel dominan dan resesif, tidaklah mungkin
menentukan genotipe semua ternak dari fenotipenya. Oleh karena itu, kita
tidak dapat menghitung frekuensi gen seperti dalam kasus di mana semua
genotipe dapat diidentifikasi. Akan tetapi, kita dapat membedakan merah
(bb) dari hitam (B-, di mana tanda "-" menunjukkan B atau b). Untuk
menduga frekuensi gen, kita menggunakan prinsip umum yang
didiskusikan pada bagian sebelumnya, yaitu bahwa untuk sebagian besar
lokus, hampir semua populasi mempunyai frekuensi Hardy-Weinberg untuk
genotipenya, yang berarti bahwa genotipe pada lokus tunggal dengan dua
alel berada dalam proporsi p2, 2pq, dan q2. Menerapkan ini ke kasus merah
versus hitam pada sapi Angus, dan menganggap q adalah frekuensi b, kita
mempunyai situasi berikut:

Genotipe BB Bb bb
Fenotipe Hitam Hitam Merah
Frekuensi p2 2pq q2

Jelaslah bahwa frekuensi merah sama dengan q2, yang merupakan


kuadrat dari frekuensi gen b. Oleh karena itu, frekuensi gen b dapat diduga
sebagai akar kuadrat dari frekuensi sapi merah
Misalnya, frekuensi sapi merah pada silsilah sapi Angus di USA kira-
kira 5 per 1.000. Berasumsi frekuensi Hardy-Weinberg, pendugaan frekuensi
gen b adalah 0,005=0,07. Dan karena satu-satunya alel lainnya pada lokus
ini adalah B, frekuensinya haruslah 1-0,07=0,93.
Sekarang kita dapat membuat satu perhitungan yang lebih menarik.
Karena p = 0,93 dan q = 0,07 , itu berarti bahwa frekuensi heterozigot atau

Gen Tunggal dalam Populasi - 131


carrier, yang adalah 2pq, sama dengan 2 X 0,93 X 0,07= 0,13. Jadi 13% sapi
Angus yang dilahirkan di USA adalah carrier warna merah. Berapa proporsi
sapi Angus hitam yang bersifat carrier? Jawabannyanya adalah 2pq/(p2 +
2pq), yang sama dengan 0,13/(0,86+0,13)=0,13/0,99, yang sama dengan 0,13.
Ini merupakan hasil yang sangat tinggi, tetapi ini situasi khas untuk
semua sifat resesif yang jarang, yaitu frekuensi carrier jauh lebih tinggi
daripada frekuensi sifat resesif itu sendiri.
Contoh lain dari sifat resesif sederhana adalah warna bulu kuning
pada anjing Labrador, yang bersifat resesif terhadap warna hitam. Karena
banyak pemulia anjing lebih suka kuning daripada hitam, frekuensi genotipe
kuning (ee) sangat tinggi pada banyak populasi. Pada satu populasi di
Australia, misalnya, frekuensi kuning kira-kira 64%. Berasumsi frekuensi
Hardy-Weinberg, frekuensi gen e pada populasi Labrador di Australia
haruslah 0,64=0,8, yang berarti bahwa frekuensi alel dominan haruslah
hanya 0,2. Ini merupakan suatu ilustrasi yang baik mengenai kenyataan
bahwa gen resesif dapat menjadi jauh lebih tinggi frekuensinya daripada gen
dominan dan sifat dominan.

Pengembangan Hukum Hardy-Weinberg

Alel ganda

Ada tiga bentuk berbeda dari glucose 6-phosphate dehydrogenase (G6PD)


pada kuda, yang mempresentasikan 3 alel, D, F, dan S pada lokus G6PD.
Sudah barang tentu, setiap individu kuda dapat mempunyai paling banyak
hanya dua alel yang berbeda. Tetapi apabila jumlah kudanya banyak, ketiga
alel tersebut cenderung lebih mudah ditemukan, dan frekuensi tiap alel
dapat diduga.
Jika p,q, dan r mewakili ketiga alel tersebut, frekuensi masing-masing
homozigot yang diharapkan adalah p2, q2, dan r2 dan masing-masing
heterozigot mempunyai frekuensi yang diharapkan sebesar 2pq, 2qr dan 2pr.
Menggunakan prinsip yang persis sama, prediksi ini dapat dikembangkan
ke sembarang sejumlah alel pada setiap lokus.

Gen terpaut-X

Seperti kita lihat pada Bab 1, gen terpaut-X mempunyai pola


penurunan yang berbeda dibandingakan dengan gen autosom. Untuk
memahami implikasi tentang hal ini, perhatikan lokus warna bulu terpaut-X
pada kucing, yang tiap-tiap genotipe pada setiap jenis kelamin mempunyai
fenotipe yang dapat dibedakan. Banyak survei populasi telah dilaksanakan

132 - Pengantar ke Genetika Veteriner


pada kucing di banyak negara, dan hasil-hasil untuk warna bulu terpaut-X
dari dua survei semacam itu ditunjukkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Hasil gabungan dari dua survei yang diambil di Iceland mengenai
warna bulu terpaut-X, bersama dengan perhitungan frekuensi gen
pada jantan dan betina.

Sex Betina Jantan

Non- Tortois Non-


Fenotipe Oranye Total Oranye Total
oranye e-shell oranye
Genotipe oo Oo OO o O
Jumlah 117 53 3 173 149 28 177

Frekuensi gen o pada betina = (2 117 + 53)/(2 173) = 0.83

Frekuensi gen O pada betina = (2 3 + 53)/(2 173) = 0.17


Frekuensi gen o pada jantan = 149/177 = 0.84
Frekuensi gen O pada jantan = 28/177 = 0.16

Karena jantan hanya mempunyai satu kromosom X, mereka hanya


mempunyai satu gen (artinya mereka bersifat hemizigot) pada semua lokus
terpaut X. Ini berarti bahwa frekuensi setiap fenotipe pada jantan sama
dengan frekuensi gen itu sendiri, sehingga perhitungan frekuensi gen pada
jantan dapat dilakukan secara sangat mudah. Pada betina, di mana ada tiga
genotipe, frekuensi gen dapat dihitung dari prinsip pertama. Jelas terlihat
dari Tabel 5.1 bahwa frekuensi gen pada jantan dan betina adalah sama,
dengan nilai rata-rata 0,835 untuk o dan 0,165 untuk O. Karena adanya tiga
genotipe pada betina mempunyai kesamaan (analog) dengan kasus umum
gen autosom yang telah didiskusikan lebih awal, ingin sekali melihat apakah
genotipe betina berada dalam frekuensi Hardy-Weinberg. Menggunakan
frekuensi gen rata-rata, frekuensi genotipe yang diharapkan adalah (0,835)2,
2 X 0,835 X 0,165, dan (0,165)2 masing-masing untuk oo ,Oo, dan OO. Dengan
jumlah total 173 betina dalam sampel pada Tabel 5.1, ini menghasilkan nilai
yang diharapkan yaitu 120,6 , 47,7 ,dan 4,7 , yang sangat sesuai dengan nilai
yang teramati yaitu masing-masing 117, 53, dan 3. Jadi genotipe betina
berada dealam frekuensi Hardy-Weinberg.
Hasil-hasil ini adalah khas untuk ternak pembawa gen terpaut-X, yang
berarti bahwa tidaklah salah untuk mengasumsikan bahwa frekuensi gen
terpaut-X pada jantan sama dengan pada betina, dan bahwa genotipe betina
terpaut-X berada dalam frekuensi Hardy-Weinberg. Apakah implikasi
praktis tentang kesimpulan ini? Implikasi terpenting adalah bahwa sifat-sifat

Gen Tunggal dalam Populasi - 133


terpaut-X diharapkan terjadi dengan frekuensi berbeda antara jantan dan
betina. Ini paling relevan terhadap sifat-sifat resesif terpaut-X, yang frekuensi
sifatnya pada jantan (q) diharapkan jauh lebih besar daripada frekuensi sifat
terpaut pada betina (q2). Catat bahwa kuadrat dari q jauh lebih kecil daripada
q karena q selalu kurang dari satu. Sebagai contoh, jika suatu kondisi resesif
terpaut-X terjadi dengan frekuensi 10% pada jantan (q = 0,1), frekuensi yang
diharapkan pada betina adalah 1 (q2 = (0,1)2 = 0,01).
Prediksi semacam itu dapat dibuat untuk sifat apa saja yang hanya
terlihat pada ternak yang homozigot untuk alel terpaut-X. Untuk semua sifat
semacam itu, frekuensi pada jantan (p atau q) lebih besar daripada frekuensi
untuk sifat yang sama pada betina (p+2 atau q2) . Observasi sederhana ini
dapat digunakan, dengan efek yang sangat besar, untuk menghasilkan uang
dari taruhan kecil: jika misalnya, frekuensi gen O sekitar 0,2, frekuensi jantan
oranya yang diharapkan adalah 0,2 , sedangkan frekuensi betina oranye
yang diharapkan adalah (0,2)2 = 0,04. Jadi, kemungkinannya adalah 5 : 1
bahwa kucing berwarna oranye berikutnya akan berjenis kelamin jantan.
Silakan pembaca memverifikasi bahwa semakin rendah frekuensi gen,
semakin besar kemungkinannya.

Seleksi dan Mutasi

Seleksi beraksi terhadap fenotipe, dan terjadi kapan saja ketika


fenotipe mempunyai kesempatan lebih besar untuk menyumbangkan
keturunannya ke generasi berikutnya daripada fenotipe lain. Seleksi
mungkin beraksi setiap saat selama siklus kehidupan ternak dari pembuahan
sampai perkawinan.
Seleksi paling sering terjadi melalui viabilitas diferensial dan/atau
kemampuan reproduksi diferensial dengan kemampuan reproduksi yang
mencakup faktor-faktor seperti kemampuan kawin, fekunditas dan fertilitas.
Untuk lebih mudahnya kita akan menyebut efek gabungan viabilitas dan
kemampuan reproduksi sebagai daya tahan (fitness). Jika seleksi terjadi
sebagai akibat keputusan yang dibuat manusia, itu disebut seleksi buatan
(artificial selection), sedangkan dalam semua situasi lain dinamakan seleksi
alam (natural selection). Dalam kedua kasus itu, prinsip yang mendasari
proses seleksi persis sama walaupun seleksi terjadi pada fenotipe, kita
tertarik pada efeknya terhadap genotipe dan, melalui genotipe, terhadap
frekuensi gen. Karena untuk tujuan ini, kita sering berbincang tentang seleksi
yang terjadi pada genotipe dan pada gen. Akan tetapi, kapanpun kita
melakukan ini, kita harus ingat bahwa seleksi hanya benar-benar terjadi
pada individu ternak berdasar fenotipenya. Sejauh mana ini mempengaruhi
genotipe dan oleh karenanya gen, tergantung pada sejauh mana fenotipe
tertentu berasosiasi dengan genotipe tertentu. Untuk dapat memahami

134 - Pengantar ke Genetika Veteriner


bagaimana proses seleksi berjalan, kita akan mulai dengan
mempertimbangkan populasi anjing Labrador yang disebutkan di depan.
Anggap frekuensi gen E dan e masing-masing sebagai p dan q.

Seleksi menyingkirkan dominan

Kita telah mencatat banyak bahwa banyak pemulia Labrador


cenderung menyukai warna bulu kuning. Ini berarti bahwa ada seleksi
mengunggulkan fenotipe resesif, yang sama halnya dengan mengatakan ada
seleksi menyingkirkan fenotipe dominan. Anggap saja seleksi semacam ini
dengan mengatakan bahwa , relatif terhadap fitness genotipe adalah ee, fitness
genotip EE dan Ee dikurangi s , dimana s disebut koefisien seleksi. Apa
yang disebut fitness relatif dari tiga genotipe tersebut adalah 1 - s, 1 s, dan
1 masing-masing untuk EE, Ee, dan ee. Untuk mendapatkan kontribusi
genotipe setelah seleksi, kita mengalikan frekuensi genotipe sebelum seleksi
(yang merupakan frekuensi Hardy-Weinberg) dengan fitness relatif:

Genotipe
EE Ee ee Total
Frekuensi sebelum seleksi p2 2pq q2 1
Fitness relatif 1-s 1-s 1
Proporsi setelah seleksi p2(1 - s) 2pq(1 - s) q2 1 - sp(2 - p)

Berapa frekuensi gen E setelah seleks? Dengan menggunakan


pendekatan yang sama dengan sebelumnya, ini merupakan frekuensi
genotipe EE plus rekuensi genotipe Ee, yang adalah p2(1 - s) + x 2pq(1 -
s), semua dibagi dengan total baru, yaitu 1 - sp(2 - p).
Sekarang bahwa kita mempunyai ekspresi untuk frekuensi gen setelah
seleksi, kita dapat menghitung perubahan pada frekuensi gen tersebut
karena seleksi, p, yang harus sama dengan frekuensi gen baru minus
frekuensi gen sebelumnya, yaitu p. Jika ekspresi ini ditulis dan
disederhsnakan (seperti ditunjukkan pada Veterinary Genetics, Lampiran
A5.4.1), kita mendapatkan p = - sp(1 - p)2/{1 - sp(2 - p)}. Di antara yang lain,
ekspresi ini menunjukkan kepada kita bahwa perubahan pada frekuensi gen
akibat seleksi menyingkirkan fenotipe dominan tergantung pada dua faktor
kekuatan seleksi (diukur sebagai s) dan frekuensi gen sebelum seleksi.
Dengan mensubstitusi berbagai nilai untuk dua parameter itu ke dalam
persamaan di atas, itu dapat diketahui bahwa seleksi menyingkirkan
fenotipe dominan dapat menyebabkan penurunan frekuensi gen dominan
yang cukup substansial. Dengan seleksi yang kuat, gen tersebut segera

Gen Tunggal dalam Populasi - 135


disingkirkan dari populasi tersebut. Pada kasus ekstrim dimana seleksi
bersifat lengkap, yaitu tidak ada hewan EE atau Ee dapat memberikan gen ke
generasi berikutnya, maka s = 1, dan ekspresi di atas berkurang menjadi p =
-p, yang berarti bahwa frekuensi gen setelah satu generasi seleksi saja akan
menjadi nol. Dengan kata lain, gen E akan dihilangkan dari populasi hanya
dalam satu generasi saja, yang, sudah barang tentu, persis dengan apa yang
kita harapkan, karena dalam situasi ekstrim ini tak ada gen E diturunkan ke
generasi berikutnya.

Keseimbangan seleksi/mutasi untuk dominan

Dengan disingkirkannya gen hitam dari populasi, kita mungkin


berharap bahwa anjing hitam tidak akan pernah tampak lagi, kecuali jika gen
untuk hitam tersebut dimasukkan dari populasi lain melalui migrasi. Akan
tetapi, mutasi terjadi dari waktu ke waktu pada semua lokus, dan efek
mutasi dalam konteks ini adalah mengubah gen kuning, e, ke gen hitam, E.
Jadi kita mempunyai dua kekuatan yang saling berlawanan satu sama
lain: mutasi kadangkala memasukkan gen dominan ke dalam populasi, dan
seleksi menyingkirkannya. Hasil dari dua kekuatan yang saling berlawanan
ini adalah bahwa suatu ekuilibrium dicapai, pada tahap mana jumlah gen
mutan yang masuk populasi tersebut sama dengan jumlah yang
disingkirkan oleh seleksi, dan frekuensi gen dominan tetap stabil dari
generasi ke generasi. Ini dinamakan suatu keseimbangan seleksi/mutasi.
Semakin kecil efek gen dominan terhadap fitness (semakin lemah seleksi
untuk menyingkirkannya), semakin tinggi frekuensi ekuilibrium. Demikian
juga, semakin besar laju mutasi, semakin besar frekuensi ekuilibrium.
Padahal, jika adalah laju mutasi, maka, seperti ditunjukkan dalam
Lampiran A5.4.2 buku Veterinary Genetics, frekuensi gen dominan pada
keseimbangan mutasi/seleksi adalah /s, dan frekuensi fenotipe dominan
yang terkait adalah 2/s.
Untuk memahami apa arti ekspresi ini, anggap satu sifat dominan
yang dikenai seleksi lemah saja, katakan, s = 0,05; dan pakai nilai umum
untuk laju mutasi, katakan, = 10-6 = 0,000001. Ini memberikan frekuensi gen
ekuilibrium sebesar 0,00002, dan frekuensi fenotipe yang terkait sebesar
0,00004, atau 4 per 100,000, yang merupakan frekuensi cukup rendah. Kita
dapat menyimpulkan bahwa hanya seleksi yang sangat lemah untuk
menyingkirkan gen dominan diperlukan untuk mempertahankan gen
tersebut pada frekuensi yang sangat rendah.

Seleksi menyingkirkan resesif

136 - Pengantar ke Genetika Veteriner


Sekarang anggap bahwa pemulia Labrador cenderung menyukai
warna hitam daripada kuning. Dalam hal ini kita mempunyai seleksi
menyingkirkan gen resesif untuk kuning, dan seleksi mempertahankan gen
dominan untuk hitam.
Mari kita uji pengaruh tipe seleksi ini untuk kasus umum, sekali lagi
dengan menggunakan simbul.
Pendekatan kita persis sama dengan pendekatan yang digunakan di
bagian sebelumnya, kecuali bahwa sekarang fitness relatif sama dengan 1, 1,
dan 1 - s masing-masing untuk tiga genotipe EE, Ee, dan ee. Pembaca diminta
untuk mengerjakan sendiri satu generasi dengan tipe seleksi ini, dan
mencocokkan hasilnya terhadap hasil yang disajikan pada Lampiran A5.4.3
buku Veterinary Genetics. Suatu hal yang mungkin untuk menunjukkan
bahwa perubahan frekuensi gen resesif setelah satu generasi seleksi
menyingkirkan satu sifat resesif adalah q = -sq2(1 - q)/(1 - sq2). Studi tentang
persamaan ini menunjukkan bahwa saat seleksi menyingkirkan resesif
adalah efektif untuk mengurangi frekuensi gen jika frekuensi awalnya cukup
tinggi, tipe seleksi ini menjadi sangat tidak efektif pada frekuensi yang lebih
rendah. Dengan kata lain, seleksi menyingkirkan gen resesif adalah cara
yang sangat tidak efektif untuk menghilangkan gen itu dari suatu populasi.
Alasan penurunan efektivitas seleksi menyingkirkan gen resesif adalah
bahwa karena frekuensi gen tersebut menurun, proporsi yang meningkat
dari gen-gen resesif tersembunyi dari pengaruh seleksi melalui munculnya
heterozigot. Oleh karena itu, berarti bahwa seleksi menyingkirkan gen resesif
akan jauh lebih efektif jika heterozigot dapat dideteksi.
Jika semua heterozigot terdeteksi dan kemudian tidak digunakan
dalam pembibitan, semua gen resesif akan hilang dari populasi tersebut saat
itu juga, dan frekuensi gen resesif tersebut akan jatuh ke nilai nol. Akan
tetapi, dalam prakteknya, tidak perlu mengarah ke kondisi ekstrim ini.
Seperti kita akan lihat pada Bab 11, untuk menghilangkan cacat resesif dari
suatu populasi, semua yang harus dikerjakan adalah mencegah heterozigot
kawin dengan heterozigot lainnya. Ini merupakan alasan mengapa begitu
banyak upaya penelitian diarahkan ke deteksi heterozigot yang terkait
dengan cacat resesif. Perhatikan bahwa tidak perlu merusak heterozigot
ketika terdeteksi. Bahkan, mereka masih dapat digunakan untuk pembibitan,
sepanjang tidak ada dua heterozigot dikawinkan bersama. Dengan cara ini,
walaupun gen resesif tetap dalam populasi, abnormalitas atau penyakit yang
diakibatkannya tak pernah terjadi, karena homozigot untuk gen resesif tidak
pernah ada.

Keseimbangan seleksi/mutasi untuk resesif

Gen Tunggal dalam Populasi - 137


Walaupun kita berhasil menyingkirkan gen resesif dari populasi atau
paling tidak mencegah keberadaanya dalam homozigot, kita masih harus
memperhatikan efek mutasi, yang, secara perlahan-lahan tetapi konsisten,
menambahkan gen-gen resesif baru ke populasi tersebut.
Jika kita sedang mendeteksi heterozigot dan tidak menggunakannya
untuk pembibitan, pada prinsipnya kita berada dalam situasi yang sama
dengan seleksi total menyingkirkan gen dominan (s = 1): tiap gen resesif
baru yang masuk populasi segera disingkirkan, dan keseimbangan
seleksi/mutasi dicapai pada saat frekuensi gen resesif sama dengan laju
mutasi. Akan tetapi, karena homozigot tidak pernah terjadi dalam situasi ini,
frekuensi sifat resesif tersebut pada keseimbangan seleksi/mutasi ini adalah
nol: ternak yang terkena tidak pernah tampak.
Jika kita sedang mendeteksi heterozigot dan kemudian
menggunakannya untuk pembibitan tetapi menghindari perkawinan antara
heterozigot, tidak ada seleksi yang beraksi menyingkirkan gen resesif. Dalam
hal ini, frekuensi gen resesif akan meningkat secara gradual pada laju yang
hanya ditentukan oleh laju mutasi, yang biasanya rendah sehingga kita tidak
mungkin mendeteksi peningkatan frekuensi yang cukup besar selama
periode, katakan 100 tahun, bahkan pada spesies dengan interval pendek
antar generasi. Kasus terakhir yang harus kita pertimbangkan adalah skema
konvensional dari seleksi menyingkirkan gen resesif, dimana heterozigot
tidak dideteksi. Seperti ditunjukkan pada Lampiran A5.4.4 buku Veterinary
Genetics, itu berarti bahwa frekuensi ekuilibrium (keseimbangan) gen resesif
di bawah kondisi ini adalah (/s), dan frekuensi ekuilibrium yang sama
dari fenotipe resesif adalah /s. Silakan pembaca memverifikasi bahwa
dengan seleksi lemah menyingkirkan gen resesif sekalipun, frekuensi
ekuilibrium hasil dari keseimbangan seleksi/mutasi sangat rendah.

Seleksi menyukai heterozigot

Kita telah melihat pada bagian sebelumnya bahwa pengaruh seleksi


menyingkirkan gen dominan atau menyingkirkan gen resesif adalah
mengurangi frekuensi gen itu ke level yang relatif rendah, yang pada tahap
ini keseimbangan antara mutasi dan seleksi mencapai ekuilibrium. Seleksi
menyukai heterozigot juga menyebabkan ekuilibrium, tetapi dengan tipe
agak berbeda. Pada kasus yang ekstrim, dimana tidak ada homozigot
menurunkan gennya, hanya tetua saja adalah heterozigot, yang mana kedua
gen dipertahankan di dalam populasi pada frekuensi 0,5. Pada kondisi yang
agak ekstrim, dimana kedua homozigot hanya mempunyai fitness yang
sebagian terkurangi, hasilnya persis sama sepanjang kedua homozigot
tersebut memiliki fitness yang sama. Jadi, walaupun kedua homozigot hanya
mempunyai 1% penurunan fitness, seleksi masih beraksi secara sama
terhadap tiap gen dan mempertahankan frekuensi gen ekuilibrium 0,5. Akan

138 - Pengantar ke Genetika Veteriner


tetapi, jika satu homozigot mempunyai fitness yang lebih rendah daripada
yang lain, seleksi menjadi kurang intens terhadap gen yang homozigotnya
mempunyai fitness tertinggi.
Oleh karena itu, seperti ditunjukkan pada Lampiran A5.4.5 Veterinary
Genetics, bahwa jika s1 adalah koefisien seleksi terhadap satu homozigot,
katakan A1A1, dan s2 adalah koefisien seleksi terhadap homozigot lainnya,
katakan A2A2, frekuensi ekuilibrium gen A adalah s1/(s1 + s2).
Jika, misalnya, satu homozigot hanya 10% kurang fit daripada
heterozigot (s1 = 0,10), sedangkan homozigot lainnya letal (100% kurang fit;
s2 = 1,00), frekuensi ekuilibrium gen letal tersebut adalah 0,10/(0,10 + 1,00) =
0,09. Jadi, jika heterozigot untuk gen letal sedikit lebih fit daripada
homozigot untuk gen normal, hasilnya adalah suatu frekuensi ekuilibrium
yang jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan di bawah keseimbangan
seleksi/mutasi dengan gen letal resesif. Walaupun pembuktian yang pasti
biasanya kurang lengkap, seleksi menyukai heterozigot seringkali
dianjurkan sebagai satu alasan untuk sifat-sifat letal resesif yang mencapai
frekuensi yang sangat tinggi. Pada banyak situasi, itu tentunya merupakan
penjelasan yang paling dapat diterima, dan kadang-kadang data tersedia
untuk mem-back-up hal itu. Gabungan digit pada sapi Holstein-Friesian,
misalnya, merupakan suatu sifat resesif letal secara efektif, yang mana ada
beberapa bukti tentang seleksi menyukai heterozigot. Pada kasus ini, ada
saran bahwa heterozigot menghasilkan susu yang lebih tinggi dan produksi
lemak dan oleh karena itu mempunyai fitness yang lebih tinggi sebagai suatu
akibat seleksi buatan. Pada perihal yang agak sama, tampak bahwa carrier
gen resesif letal untuk DUMPS dan untuk weaver syndrome pada sapi
mungkin cocok melalui seleksi buatan untuk sifat sifat susu. Pada babi,
carrier gen resesif untuk malignant hyperthermia (lihat Bab 9) telah diseleksi
untuk leanness; dan ada beberapa bukti bahwa kuda yang membawa gen
dominan untuk hyperkalaemic periodic paralysis cenderung akan disukai oleh
juri pada saat di arena pertunjukan.
Jika carrier gen cacat secara konsisten dipilih melalui seleksi buatan,
satu penjelasan adalah bahwa gen tersebut mempunyai pengaruh yang
menguntungkan pada sifat yang sedang diseleksi tersebut, selain pengaruh
negatifnya terhadap viabilitas atau kemampuan reproduksi. Istilah pleitropi
digunakan untuk menjelaskan dimana suatu gen mempengaruhi dua atau
lebih sifat yang tampaknya tak berkaitan. Dengan kata lain, gen cacat
mungkin sangat terpaut dengan gen yang mempengaruhi sifat yang sedang
diseleksi tersebut. Pada masing-masing kasus tersebut, gen cacat tersebut
memberikan suatu kesempatan untuk menyelidiki dasar genetik tentang
sifat yang diharapkan.

Seleksi menyingkirkan heterozigot

Gen Tunggal dalam Populasi - 139


Diare setelah kelahiran (neonatal diarrhoea) pada anak babi/genjik
merupakan suatu hal yang penting secara ekonomis. Hal itu sering
disebabkan oleh galur bakteri Escherichia coli yang mempunyai antigen di
permukaan sel yang disebut K88, yang bergabung dengan reseptor pada
dinding saluran pencernaan genjik tersebut, yang memungkinkan bakteri itu
menempel dengan sendirinya ke saluran pencernaan itu. Pada saat
tertempel, bakteri tersebut berkembang biak, yang melepaskan enterotoxin
dan oleh karena itu menghasilkan diare yang dapat menyebabkan kematian
sangat tinggi. Beberapa galur E. coli tidak memiliki antigen K88 (dikatakan
sebagai K88-negatif) dan oleh karena itu tidak dapat menempel dengan
sendirinya ke mukosa saluran pencernaan. Karena tidak dapat berkembang
biak dan melepaskan enterotoxin, galur tersebut bersifat non-virulen. Akan
tetapi, genjik tertentu bersifat sensitif terhadap bakteri K88-positif, dan itu
telah ditemukan bahwa genjik tersebut tidak mempunyai reseptor yang
sesuai untuk antigen K88, sehingga mencegah penempelan dan
perkembangbiakan bakteri lebih jauh. Kekurangan reseptor K88 (dan oleh
karenanya resisten terhadap bakteri K88-positif) disebabkan sifat homozigot
untuk gen resesif yang disebut s. Genjik yang mempunyai reseptor tersebut
dan oleh karenanya bersifat sensitif mempunyai sifat homozigot untuk gen
dominan S atau bersifat heterozigot.
Karena E. coli K88-positif agak umum ditemukan, dan karena gen
sensitivitas tersebut bersifat dominan, kita mungkin berharap bahwa gen
sensitivitas tersebut akan dipertahankan pada frekuensi yang sangat rendah
melalui keseimbangan seleksi/mutasi. Akan tetapi, pada empat peternakan
babi di Inggris yang diuji dalam suatu survei, frekuensi gen dominan
tersebut pada tiga peternakan adalah jauh lebih besar daripada 0,5, dan pada
peternakan lainnya berkisar 0,4. Penjelasan yang paling dapat diterima
untuk frekuensi sangat tinggi ini terkait dengan kombinasi menarik antara
prinsip dasar dari imunologi dan genetika populasi.
Anggap suatu populasi yang gen resisten s baru saja dimasukkan
melalui mutasi dan/atau migrasi, dan anggap juga bahwa bakteri K88-positif
beraksi. Karena hampir semua ternak bersifat sensitif, ada seleksi sangat kuat
menyingkirkan gen sensitivitas dominan, yaitu menyukai gen resisten
resesif. Akan tetapi pada saat yang sama,babi induk yang sensitif
meningkatkan respon imunnya terhadap bakteri K88-positif, dengan
menyalurkan antibodi K88 melalui kolustrumnya ke semua genjiknya.
Antibodi ini sudah cukup untuk mencegah diare, dan oleh karena itu seleksi
menyingkirkan gen sensitivitas dominan menjadi kurang intens tidak lama
setelah itu dimulai. Jadi, eliminasi secara cepat seperti yang diharapkan
sebelumnya pada gen dominan tidak terjadi. walaupun demikian, anggap
bahwa, itu telah dikurangi frekuensinya dari 1,0 ke, katakan, 0,7, yang berarti
bahwa (1 - 0.7)2 = (0.3)2 = 0.09 dari semua babi induk sekarang bersifat
homozigot untuk gen resisten. Tentunya babi induk tersebut membawa

140 - Pengantar ke Genetika Veteriner


bakteri K88-positif, tetapi karena penempelan tidak terjadi, babi induk itu
pernah mengembangkan antibodi terhadap K88 dan oleh karena itu babi
induk tersebut tidak memberikan perlindungan terhadap genjiknya. Ini
merupakan konsekuensi terhadap genjik ss-nya karena genjik tersebut secara
alami resisten. Akan tetapi, tidak semua anak dari induk bergenotipe ss
adalah ss; beberapa induk ss kawin dengan pejantan Ss atau SS dan
akibatnya menghasilkan beberapa atau semua genjik Ss, yang semuanya
bersifat sensitif. Genjik heterozigot ini merupakan yang terburuk dalam dua
dunia; mereka mempunyai reseptor untuk K88, dan mereka gagal menerima
antibodi dari induknya yang bergenotipe ss.
Jadi kita mempunyai seleksi menyingkirikan heterozigot, dengan
kedua homozigotnya mempunyai fitness normal dan sama, dalam hal SS
karena antibodi yang diterima dari induk tersebut, dan dalam hal ss karena
tidak adanya reseptor untuk K88. Seleksi menyingkirkan heterozigot dalam
situasi demikian hanya bersifat parsial, karena hanya genjik yang dilahirkan
oleh induk ss yang sangat mungkin terjangkit diare. Apakah kira-kira
pengaruh seleksi menyingkirkan heterozigot?
Refleksi sesaat menunjukkan bahwa untuk setiap heterozigot yang
dieliminir dari suatu populasi, jumlah yang sama untuk kedua gen tersebut
dihilangkan, yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap gen yang
kurang umum tersebut. Pertimbangkan, misalnya, populasi 100 babi yang
mempunyai frekuensi genotipe Hardy-Weinberg dengan frekuensi gen 0,7
dan 0,3 sebelum seleksi. Jumlah genotipe adalah 49 SS, 42 Ss, dan 9 ss.
Anggap bahwa sepuluh heterozigot mati karena diare E. coli, yang
meninggalkan 49 SS, 32 Ss, dan 9 ss dalam populasi total 90 babi setelah
seleksi. Frekuensi gen tersebut sekarang adalah (2 x 49 + 32)/(2 x 90) = 0,72
untuk S dan 1 0,72 = 0,28 untuk s, yang berarti suatu penurunan dalam
frekuensi gen yang kurang umum.
Secara umum, jika homozigot mempunyai fitness sama, seleksi
menyingkirikan heterozigot menyebabkan penurunan frekuensi pada gen
yang kurang sering muncul. Jadi, gen yang ada pada frekuensi kurang dari
0,5 ketika seleksi menyingkirkan heterozigot mulai, secara bertahap
menurun frekuensinya sepanjang seleksi tersebut berlangsung.
Pada kasus genjik, seleksi menyingkirkan heterozigot berhenti ketika
bakteri E. coli patogen hilang, yang meninggalkan frekuensi gen s pada level
apapun yang dicapai pada saat itu. Dengan kejadian diare E. coli berikutnya,
siklus kejadian yang diuraikan di atas mulai lagi. Jika gen s telah meningkat
frekuensinya ke lebih dari 0,5 sebelum seleksi menyingkirkan heterozigot
menjadi efektif, seleksi itu akan meningkatkan frekuensinya lebih jauh. Jika
itu kurang dari 0,5, itu akan menurunkan frekuensi menuju level rendah
seperti sebelumnya. Jika sejumlah peternakan babi disurvei, mungkin dapat
diharapkan bahwa gen s akan berada pada frekuensi rendah di dalam
beberapa peternakan dan pada frekuensi tinggi di dalam beberapa

Gen Tunggal dalam Populasi - 141


peternakan lainnya. Hasil dari survei yang dilakukan secara terbatas yang
dilaporkan sampai saat ini konsisten dengan perkiraan tersebut.

Hanyutan Genetika (Genetic Drift) dan Efek Pembentuk


(Founder Effect)

Ada alasan lain mengapa kondisi bahaya dan bahkan letal dapat
mencapai frekuensi cukup tinggi dalam suatu populasi tertentu. Itu
dinamakan genetic drift, yang, seperti kita lihat pada bab ini, berarti
perubahan frekuensi gen yang seluruhnya diakibatkan karena peluang.
Perubahan ini akibat dari randomisasi gen yang suda tentu dalam semua
populasi yang dapat dihitung. Karena perubahan frekuensi gen ini
seluruhnya akibat peluang, arahnya bersifat random dan seluruhnya di luar
kontrol manusia. Karena semua populasi dapat dihitung, itu berarti bahwa
ada kejadian genetic drift di semua populasi. Tetapi, semakin besar ukuran
populasi, semakin kecil perbesaran genetic drift.
Kasus genetic drift terekstrim pada ternak domestik dapat
diilustrasikan dengan membayangkan bahwa hanya satu jantan dan satu
betina dipilih sebagai tetua pada generasi berikutnya. Anggap satu lokus
tunggal dengan dua alel A dan B. Tanpa memperhatikan berapa frekuensi A
pada generasi tetua yang dipilih tersebut, frekuensinya pada tetua tersebut
seharusnya 0,00 (jika kedua tetua tersebut bersifat homozigot untuk B), 0,25
(jika satu tetua adalah AB dan tetua lainnya adalah BB), 0,50 (jika tetua
tersebut adalah AB dan AB, atau AA dan BB), 0,75 (AA dan AB), atau 1,00
(kedua tetua homozigot untuk A). Anggap bahwa frekuensi A adalah,
katakan, 0,1 pada populasi tetua yang dipilih tersebut, dan anggap bahwa
tetua tersebut dipilih secara acak, dan memiliki genotipe AA dan AB. Pada
kasus ini, frekuensi gen telah berubah dari 0,1 ke 0,75, suatu perubahan
sebesar 0,65, yang adalah sangat besar dan itu seluruhnya karena peluang
atau sampling. Karena frekuensi gen pada tetua tersebut sekarang adalah
0,75, itu berarti bahwa frekuensi gen pada keturunan tetuanya juga akan
menjadi 0,75, kecuali jika seleksi, mutasi, atau migrasi menyebabkan
perubahan lebih jauh lagi. Jika hanya satu jantan dan satu betina dipilih
secara acak dari generasi keturunannya, untuk dijadikan tetua pada generasi
berikutnya, situasi yang persis sama akan terjadi: frekuensi gen pada
generasi berikutnya akan menjadi nol, 0,25, 0,50, 0,75, atau satu. Jika itu
mencapai nol, gen tersebut berarti hilang selamanya, atau sampai mutasi
muncul lagi. Jika frekuensi tersebut mencapai satu, gen tersebut dikatakan
telah fixed pada populasi itu, dan semua gen lain pada lokus itu telah hilang.
Founder effect merupakan kasus spesial dari genetic drift, yang artinya
adalah situasi di mana sejumlah kecil individu pindah ke tempat baru, dan

142 - Pengantar ke Genetika Veteriner


membentuk (found) suatu populasi baru. Walaupun populasi baru tersebut
berkembang jumlahnya dengan cepat, dan segera mempunyai sejumlah
besar tetua pada tiap generasi, frekuensi gen akan menjadi suatu refleksi dari
frekuensi tersebut di dalam populasi pembentuk (founder), daripada di
dalam populasi asalnya pembentuk tadi. Alasan untuk ini adalah bahwa,
dalam keadaan tidak ada seleksi, mutasi, dan migrasi, frekuensi gen tetap
pada level apapun frekuensi tersebut ketika populasi tersebut mulai. Jadi,
suatu populasi yang dibentuk hanya oleh satu jentan dan satu betina dapat
mempunyai satu set frekuensi gen yang sangat berbeda dengan frekuensi
gen pada populasi asal dari tetua pembentuk (founding parent) dipilih.
Founder effect adalah sebuah contoh tentang population bottleneck,
yaitu suatu situasi di mana jumlah tetua dalam suatu populasi menjadi
sangat kecil untuk satu generasi atau lebih. Seperti diilustrasikan di atas,
suatu populasi yang muncul dari suatu leher botol mungkin sangat berbeda
dengan populasi yang ada sebelum leher botol.

Jarak Genetika
Tanpa memperhatikan berapa banyak ternak digunakan untuk
membentuk populasi baru, populasi lama dan baru tersebut menjadi
semakin berbeda antara satu dan lainnya dalam perjalanan waktu: mutasi
memasukkan alel unik ke dalam tiap populasi, dan frekuensi semua alel
pada semua lokus berubah secara acak (yaitu bahwa ada kejadian genetic
drift) dalam tiap populasi. Semakin lama waktu sejak dua populasi mulai
berbeda, semakin besar perbedaan dalam frekuensi gennya. Seberapa besar
dua populasi berbeda dalam frekuensi gennya disebut jarak genetika di
antara keduanya. Jika kita perkirakan frekuensi alel pada sejumlah lokus
dalam suatu set populasi (misalnya bangsa sapi dari berbagai belahan
dunia), jarak genetika di antara semua pasangan populasi dapat
diperkirakan dari data frekuensi gen. Suatu pohon evolusi (phylogenetic
tree) kemudian dapat digambar, dimana panjang tiap cabang yang
memisahkan dua populasi proporsional terhadap jarak genetika di antara
keduanya.
Mikrosatelit merupakan sumber data yang ideal untuk menghitung
jarak genetika, karena mikrosatelit bersifat polimorfik dan terdapat di dalam
genom. Selain itu, juga mungkin untuk menghasilkan filogeni dari
perbedaan sekuen asam amino dalam protein atau basa dalam gen, antara
bangsa dan/atau spesies.
Gambaran menarik tentang evolusi bangsa dan spesies sedang
muncul. Terpisah dari kelebihannya, studi ini memberikan arah ke
keragaman genetika dalam dan antar spesies, yang kemudian memberikan

Gen Tunggal dalam Populasi - 143


fondasi dalam pengambilan keputusan tentang populasi mana yang paling
dibutuhkan untuk konservasi (lihat Bab 18).

Bacaan Lebih Jauh


Buku
Christiansen, F. B. and Feldman, M. W. (1986). Population genetics. Blackwell
Scientific Publications, Oxford.
Crow, J. F. (1987). Basic concepts in population, quantitative, and evolutionary genetics.
Freeman, New York.
Doolittle, D. P. (1987). Population genetics: basic principles. Springer-Verlag, Berlin.
Falconer, D. S. (1989). An introduction to quantitative genetics, (3rd edn). Longman
Chesire, London.
Hartl, D. L. (1988). A primer of population genetics, (2nd edn). Sinauer Associates,
Sunderland, Massachusetts.
Hartl, D. L. and Clark, A. G. (1989). Principles of population genetics, (2nd edn).
Sinauer Associates, Sunderland, Mass.
Hedrick, P.W . (1985). Genetics of populations. Jones and Bartlett, Boston.
Smith, J. M. (1989). Evolutionary genetics. Oxford University Press, Oxford.
Smith, J. M. (1993). The theory of evolution, (4th edn). Cambridge University Press,
Cambridge.

Leher botol (bottleneck)


Hoelzel, A. R., Halley, J., O'Brien, S. J., Campagna, C., Arnbom, T., Leboeuf, B.,
Ralls, K., and Dover, G. A. (1993). Elephant seal genetic variation and the
use of simulation models to investigate historical population bottlenecks.
Journal of Heredity, 84, 443--9.

Jarak genetika/filogeni
Lake, J. A. (1994). Reconstructing evolutionary trees from DNA and protein
sequences--paralinear distances. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 91, 1455--9.
Loftus, R. T., MacHugh, D. E., Bradley, D. G., Sharp, P. M., and Cunningham, E.
P. (1994). Evidence for two independent domestications of cattle.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 91, 2757--61.
Stanley, H. F., Kadwell, M., and Wheeler, J. C. (1994). Molecular evolution of the
family camelidae--a mitochondrial DNA study. Proceedings of the Royal
Society of London Series B, 256, 1--6.
Taberlet, P. and Bouvet, J. (1994). Mitochondrial DNA polymorphism,
phylogeography, and conservation genetics of the brown bear Ursus arctos
in Europe. Proceedings of the Royal Society of London Series B, 255, 195--200.

144 - Pengantar ke Genetika Veteriner

Anda mungkin juga menyukai