Anda di halaman 1dari 57

RESUME TUTORIAL

SKENARIO 2

GATAL

Pembimbing Tutorial:
dr. Cicih Komariah, SpM

Disusun oleh:
KELOMPOK E
Vera Asmita Fitriani 152010101017
Britta Fatika Sari 152010101026
Cahyo Bagaskoro 152010101048
Firman Herdiana 152010101050
Ivan Iqbal Baidowi 152010101062
Sixma Rizky Kurnia P 152010101073
Cagar Irwin Taufan P 152010101088
Ilhafatul Hawadah 152010101092
Indah Permata Sholicha 152010101095
Fatihah Mardiana K D 152010101105
Nizar Fiska Bayu A 152010101118
Hilya Itsnain Mumtaza 152010101132
Anis Talitha Damarawati 152010101134

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A. SKENARIO
Judul Skenario : Gatal
Skenario :
Dimas 23 tahun, datang ke klinik pratama dengan keluhan gatal pada wajah
dan seluruh badannya, serta muncul bintik-bintik merah pada kulitnya.
Keluhan tersebut terasa sehari setelah dia belajar berenang bersama teman-
temannya, tetapi teman-temannya tidak mengeluhkan hal serupa. Bagaimana
etiologi dan patofisiologi penyakit yang dialami Dimas?

B. LEARNING OBJECTIVE
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kulit (Integumen)
1.1. Anatomi Kulit
1.2. Histologi Kulit
1.3. Fisiologi Kulit
2. Mikrobiologi Imunologi Dasar dan Flora Normal Tubuh
2.1. Mikrobiologi dan Imunologi Dasar
2.2. Flora Normal Tubuh
3. Gatal/Pruritus
4. Patofisiologi Reaksi Alergi
5. Pengantar Parasitologi
6. Histamin dan Antihistamin
6.1. Histamin
6.2. Antihistamin
C. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kulit (Integumen)
1.1 Anatomi Kulit
Asal Kulit : Ektoderm Epidermis
Mesoderm Dermis
Pigmentasi : kulit mengandung melanin yang diproduksi oleh
melanosit

Lapisan kulit
1. Epidermis : terdiri dari epitel berlapis pipih bertanduk
a. stratum basale
merupakan selapis sel silindris terletak di atas lapisan
membrane basalis, disebut juga stratum silindrikum
sering mengalami mitosis sehingga disebut stratum
germinativum
disebut juga stratum Malpighi
b. stratum spinosum
terdiri dari beberapa lapis sel polihedris yang mempunyai
jembatan antar sel sehingga tapak berduri
sering mengalami mitosis, disebut juga stratum germinativum
c. stratum granulosum
terdiri dari 2-4 lapis sel polihedris rendah (diamond shape)
sitoplasma mengandung butir-butir keratohyalin
sel akan mati sehingga inti melarut (lisis)
d. stratum lucidum
Sel-sel mengalami kematian, inti melarut sehingga tampak
sebagai lapisan yang homogeny dan transparan.
Mengandung eleidin
e. stratum korneum
merupakan lapisan homogeny (tanduk) mengalami
keratinisasi, inti tidak tampak
f. stratum disjuntum
merupakan lapisan stratum korneum yang terlepas.
Epidermis mengandung 3 jenis sel, antara lain: melanosit, sel
langerhans, dan sel merkel.
1. Melanosit berasal
dari sel krista saraf, sel ini
memiliki juluran sitoplasma
becabang ke dalam
epidermis.Melanosit terletak
antara statum basal dan statum spinosum epidermis dan menyintesis pigmen
coklat melanin. Melanin memberi warna gelap pada kulit, dan pemaparan kulit
terhadap sinar matahari merangsang pembentukan melanin. Melanin ada 2
macam, eumelanin dan feomelanin. Eumelanin adalah pigmen coklat tua yang
terdapat di antara sel-sel stratum basale dan dalam folikel rambut; Feomelanin
adalah pigmen yang ditemukan di dalam rambut merah dan mengandung sistein.
Fungsi melanin adalah melindungi kulit dari efek radiasi ultraviolet yang
merusak.

2. Sel langerhans terutama di temukan di statum spinosum. Sel ini


berperan dalam sistem imun tubuh. Sel langerhans
mengenal,memfagosit dan memproses antigen asing dan menyajikan
pada limfosit T untuk memicu respon imun. Karena itu sel ini
berfungsi sebagai sel penyaji-antigen kulit
3. Sel merkel di temukan di lapisan basal epidermis dan paling banyak di
ujung jari. Karena sel ini berhubungan erat dengan akson aferan
(sensorik) tidak bermielin, sel ini di duga berfungsi sebagai
mekanoreseptor untuk mendeteksi tekanan.
Dermis, terdiri dari 2 lapis:
a. stratum papillare
lokasi : tepat di bawah epidermis,
terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur dengan sabut-sabut kolagen
yang halus.
Mempunyai tonjolan ke arah epidermis yang disebit dermal papil.
Kaya akan pembuluh darah sehingga disebut stratum spongiosum
b. stratum retikulare
lokasi : di bawah stratum papillare,
terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur dengan sabut-sabut kolagen
yang kasar,
kapiler jaringan,
sabut tampak lebih padat sehingga disebut stratum compactum

Reseptor Kulit :
Kulit adalah reseptor sensorik yang paling luas.
- Ujung saraf bebas terletak di dalam : epidermis, folikel
rambut, kelenjar kutaneus, dermis, dan subkutis. Ujung saraf ini
sensitive terhadap rabaan, tekanan, sensasi taktil, suhu, nyeri,
gatal, dan lain sebagainya.
- Ujung saraf melebar : ujung Ruffini
- Ujung saraf bersimpai : badan vater-Paccini, badan
meissner, dan badan Krause.

Reseptor nyeri:
- Reseptor nyeri mekanosensitif, beberapa serat nyeri hampir
seluruhnya terangsang oleh stress mekanis berlebihan atau
kerusakan mekanis pada jaringan.
- Reseptor nyeri termosensitif, sensitive dengan panas atau
dingin yang ekstrim.
- Reseptor nyeri kemosensitif, sensitive terhadap berbagai zat
kimia.
Reseptor-reseptor yang terletak di alat indera peraba antara lain
Ujung Saraf Bebas
Serat saraf sensorik aferen berakhir sebagai ujung akhir saraf
bebas pada banyak jaringan tubuh dan merupakan reseptor
sensorik utama dalam kulit.Serat akhir saraf bebas ini merupakan
serat saraf yang tak bermielin, atau serat saraf bermielin
berdiameter kecil, yang semua telah kehilangan pembungkusnya
sebelum berakhir, dilanjutkan serat saraf terbuka yang berjalan di
antara sel epidermis.Sebuah serat saraf seringkali bercabang-
cabang banyak dan mungkin berjalan ke permukaan, sehingga
hampir mencapai stratum korneum
Korpuskulus Peraba (Meissner)
Korpuskulus peraba (Meissner) terletak pada papila dermis,
khususnya pada ujung jari, bibir, puting dan genetalia.Bentuknya
silindris, sumbu panjangnya tagak lurus permukaan kulit dan
berukuran sekitar 80 mikron dan lebarnya sekitar 40
mikron.Sebuah kapsul jaringan ikat tipis menyatu dengan
perinerium saraf yang menyuplai setiap korpuskel. Korpuskulus
ini peka terhadap sentuhan dan memungkinkan diskriminasi/
pembedaan dua titik (mampu membedakan rangsang dua titik
yang letaknya berdekatan).
Korpuskulus Berlamel (Vater Pacini)
Korpuskulus berlamel (vater pacini) ditemukan di jaringan
subkutan pada telapak tangan, telapak kaki, jari, puting,
periosteum, mesenterium, tendo, ligamen dan genetalia eksterna.
Korpuskulus ini berfungsi untuk menerima rangsangan tekanan
yang dalam.
Korpuskulus Gelembung (Krause)
Korpuskulus gelembung (krause) ditemukan di daerah mukokutis
(bibir dan genetalia eksterna), pada dermis dan berhubungan
dengan rambut.Korpuskel ini jumlahnya semakin berkurang
dengan bertambahnya usia.Korpuskel ini berguna sebagai
mekanoreseptor yang peka terhadap dingin.
Korpuskulus Ruffini
Korpuskulus ini ditemukan pada jaringan ikat termasuk dermis
dan kapsula sendi.Mempunyai sebuah kapsula jaringan ikat tipis
yang mengandung ujung akhir saraf yang
menggelembung.Korpuskulus ini terangsang oleh regangan atau
kontraksi otot yang bersangkutan juga untuk menerima
rangsangan panas.
1.2. Histologi Kulit
Integumen atau kulit merupakan jaringan yang menutupi permukaan
tubuh,
yang terdiri atas 2 lapisan :
1. Epitel yang disebut epidermis.
2. Jaringan pengikat yang disebut dermis atau corium.
Epidermis berasal dari ectoderm dan dermis berasal dari mesoderm.
Dibawah kulit terdapat lapisan jaringan pengikat yang lebih longgar disebut
hypodermis yang pada beberapa tempat banyak mengandung jaringan lemak.
Berdasarkan gambaran morfologis dan ketebalan epidermis, kulit dibagi
menjadi :
-Kulit Tebal.
-Kulit Tipis.
Kulit Tebal.
Kulit tebal ini terdapat pada vola manus dan planta pedis yang tidak
memiliki folikel rambut. Pada permukaan kulit tampak garis yang
menonjol dinamakan crista cutis yang dipisahkan oleh alur alur
dinamakan sulcus cutis.
Pada mulanya cutis tadi mengikuti tonjolan corium di bawahnya tetapi
kemudian dari epidermis sendiri terjadi tonjolan ke bawah sehingga
terbentuklah papilla corii yang dipisahkan oleh tonjolan epidermis.
Pada tonjolan epidermis antara dua papilla corii akan berjalan ductus
excretorius glandula sudorifera untuk menembus epidermis

Epidermis
Dalam epidermis terdapat dua sistem :
1. Sistem malpighi, bagian epidermis yang sel selnya akan mengalami
keratinisasi.
2. Sistem pigmentasi, yang berasal dari crista neuralis dan akan
memberikan melanosit untuk sintesa melanin.
Disamping sel sel yang termasuk dua sistem tersebut terdapat sel lain,
yaitu sel Langerhans dan sel Markel yang belum jelas fungsinya.
Struktur histologis.
Pada epidermis dapat dibedakan 5 stratum, yaitu:
Stratum basale
Lapisan ini disebut pula sebagai stratum pigmentosum atau strarum
germinativum karena paling banyak tampak adanya mitosis sel sel.
Sel sel lapisan ini berbatasan dengan jaringan pengikat corium dan
berbentuk silindris atau kuboid. Di dalam sitoplasmanya terdapat butir -
butir pigmen.
Stratum spinosum
Lapisan ini bersama dengan stratum basale disebut pula stratum
malpighi atau stratum germinativum karena sel selnya menunjukkan
adanya mitosis sel. Sel sel dari stratum basale akan mendorong sel sel
di atasnya dan berubah menjadi polihedral.
Stratum spinosum ini terdiri atas beberapa lapisan sel sel yang
berbentuk polihedral dan pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
pada tepi sel menunjukkan tonjolan tonjolan seperti duri duri. Semula
tonjolan tonjolan tersebut disangka sebagai jembatan interseluler dengan
di dalamnya terdapat tonofibril yang menghubungkan dari sel yang satu ke
sel yang lain.
Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri atas 2-4 sel yang tebalnya di atas stratum
spinosum. Bentuk sel seperti belah ketupat yang memanjang sejajar
permukaan. Sel yang terdalam berbentuk seperti sel pada strarum
spinosum hanya didalamnya mengandung butir butir.
Butir butir yang terdapat sitoplasma lebih terwarna dengan hematoxylin
(butir butir keratohialin) yang dapat dikelirukan dengan pigmen. Adanya
butir butir keratohyalin semula diduga berhubungan dengan proses
keratinisasi, tetapi tidak selalu dijumpai dalam proses tersebut, misalnya
pada kuku. Makin ke arah permukaan butir butir keratin makin
bertambah disertai inti sel pecah atau larut sama sekali, sehingga sel sel
pada stratum granulosum sudah dalam keadaan mati.
Stratum lucidum
Tampak sebagai garis bergelombang yang jernih antara stratum
granulosum dan stratum corneum. Terdiri atas beberapa lapisan sel yang
telah gepeng tersusun sangat padat. Bagian yang jernih ini mengandung
zat eleidin yang diduga merupakan hasil dari keratohialin.
Stratum Corneum
Pada vola manus dan planta pedis, lapisan ini sangat tebal yang terdiri atas
banyak sekali lapisan sel sel gepeng yang telah mengalami kornifikasi
atau keratinisasi. Hubungan antara sel sebagai duri duri pada stratum
spinosum sudah tidak tampak lagi. Pada permukaan, lapisan tersebut akan
mengelupas (desquamatio) kadang kadang disebut sebagai stratum
disjunctivum

Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
Stratum papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis
yang membentuk papilla corii. Jaringan tersebut terdiri atas sel sel yang
terdapat pada jaringan pengikat longgar dengan serabut kolagen halus.
Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut
serabut kolagen kasar yang jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar
dengan permukaan. Di dalamnya selain terdapat sel sel jaringan pengikat
terdapat pula sel khromatofor yang di dalamnya mangandung butir butir
pigmen.
Di bawah stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung
glandula sudorifera yang akan bermuara pada epidermis.
Kulit Tipis
Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis
yang merupakan kulit tebal. Epidermisnya tipis,sedangkan ketebalan
kulitnya tergantung dari daerah di tubuh.

Pada dasarnya memiliki susunan yang sama dengan kulit tebal,hanya


terdapat beberapa perbedaan :
1. Epidermis sangat tipis,terutama stratum spinosum menipis.
2. Stratum granulosum tidak merupakan lapisan yang kontinyu.
3. Tidak terdapat stratum lucidium.
4. Stratum corneum sangat tipis.
5. Papila corii tidak teratur susunannya.
6. Lebih sedikit adanya glandula sudorifera.
7. Terdapat folikel rambut dan glandula sebacea.
Subcutis atau Hypodermis
Merupakan jaringan pengikat longgar sebagai lanjutan dari
dermis. Demikian pula serabut-serabut kolagen dan elastisnya
melanjutkan ke dalam dermis.Pada daerah-daerah tertentu terdapat
jaringan lemak yang tebal sampai mencapai 3cm atau lebih,misalnya
pada perut.Didalam subcutis terdapat anyaman pembuluh dan syaraf.
Nutrisi Kulit
Epidermis tidak mengandung pembuluh darah,hingga
nutrisinya diduga berasal dari jaringat pengikat di bawahnya dengan
jalan difusi melui cairan jaringan yang terdapat dalam celah-celah di
antara sel-sel stratum Malphigi.
Struktur halus sel-sel epidermis dan proses keratinisasi dengan
M.E sel-sel dalam stratum Malphigi banyak mengandung ribosom
bebas dan sedikit granular endoplasmic reticulum.Mitokhondria dan
kompleks Golgi sangat jarang.Tonofilamen yang terhimpun dalam
berkas sebagai tonofibril didalam sel daerah basal masih tidak begitu
pada susunannya.
Di dalam stratum spinosum lapisan teratas, terdapat butir-butir
yang di sekresikan dan nembentuk lapisan yang menyelubungi
membran sel yang dikenal sebagai butir-butir selubung membran atau
keratinosum dan mengandung enzim fosfatase asam di duga terlibat
dalam pengelupasan stratum corneum.
Sel-sel yang menyusun stratum granulosum berbeda dalam
selain dalam bentuknya juga karena didalam sitoplasmanya terdapat
butir-butir sebesar 1-5 mikron di antara berkas tonofilamen,yang sesuai
dengan butir-butir keratohialin dalam sediaan dasar.
Sel-sel dalam stratum lucidium tampak lebih panjang,inti dan
organelanya sudah hilang, dan keratohialin sudah tidak tampak lagi.
Sel-sel epidermis yang terdorong ke atas akan kehilangan bentuk
tonjolan tetapi tetap memiliki desmosom.
Sistem pigmentasi atau melanosit
Warna kulit sebagai hasil dari 3 komponen :
a. Kuning disebabkan karena karoten
b. Biru kemerah-merahan karena oksihemoglobin
c. Coklat sampai hitam karena melanin.
Hanya melanin yang dibentuk di kulit.
Melanin mempunyai tonjolan-tonjolan yang terdapat di stratum
Malphigi yang dinamakan melanosit.Melanosit terdapat pada
perbatasan epidermis-epidermis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasmatis
yang berisi butir-butir ,melanin menjalar di antara sel
Malphigi.melanosit tidak mamiliki desmosom dengan sel-sel Malphigi.
Jumlah melanosit pada beberapa tempat berlipat seperti misalnya di
dapat pada genital, mulut, dan sebagainya.
Warna kulit manusia tergantung dari jumlah pigmen yang
dihasilkan oleh melanosit dan jumlah yang di pindahkan ke keratinosit.
Butir-butir melanin dibentuk dalam bangunan khusus dalam sel yang
dinamakan melanosom.Melanosom berbentuk ovoid dengan ukuran
sekitar 0,2 - 0,6 mikron.
Apabila dalam epidermis tidak ditemukan melanin akan
menyebabkan albino. Melanin di duga berfungsi untuk melindungi
tubuh terhadap pengaruh sinar ultraviolet. Melanin juga dapat
ditemukan pada retina dan dalam melanosit dan melanofor pada
dermis.
Sel Langerhans berbentuk bintang terutama ditemukan dalam
stratum spinosum dari epidermis. Sel langerhans merupakan makrofag
turunan sumsum tulang yang mampu mengikat, mengolah, dam
menyajikan antigen kepada limfosit T, yang berperan dalam
perangsangan sel limfosit T.
Sel Merkel bentuknya mirip dengan keratinosit yang juga memiliki
desmosom biasanya terdapat dalam kulit tebal telapak tangan dan
kaki.juga terdapat di daerah dekat anyaman pembuluh darah dan
serabut syaraf. Berfungsi sebagai penerima rangsang sensoris.
Hubungan antara Epidermis dan Dermis
Epidermis melekat erat pada dermis dibawahnya karena beberapa
hal:
Adanya papila corii.
Adanya tonjolan-tonjolan sel basal kedalam dermis.
Serabut-serabut kolagen dalam dermis yang berhubungan erat
dengan sel basal epidermis.
Adneksa Kulit Glandula Sudorifera
Bentuk kelenjar keringat ini tubuler simpleks. Banyak terdapat
pada kulit tebal terutama pada telapak tangan dan kaki tiap kelenjar
terdiri atas pars sekretoria dan ductus ekskretorius.
Pars secretoria terdapat pada subcutis dibawah dermis. Bentuk
tubuler dengan bergelung-gelung ujungnya. Tersusun oleh epitel
kuboid atau silindris selapis. Kadang-kadang dalam sitoplasma
selnya tampak vakuola dan butir-butir pigmen. Di luar sel epitel
tampak sel-sel fusiform seperti otot-otot polos yang bercabang-
cabang dinamakan: sel mio-epitilial yang diduga dapat
berkontraksi untuk membantu pengeluaran keringat kedalam
duktus ekskretorius
Ductus ekskretorius lumennya sempit dan dibentuk oleh epitel
kuboid berlapis dua. Kelenjar keringat ini bersifat merokrin sebagai
derivat kelenjar keringat yang bersifat apokrin ialah: glandula
axillaris, glandula circumanale, glandula mammae dan glandula
areolaris Montogomery
Glandula Sebacea

Kelenjar ini bermuara pada leher folikel rambut dan sekret yang
dihasilkan berlemak (sebum), yang berguna untuk meminyaki rambut dan
permukaan kulit. Glandula ini bersifat holokrin. Glandula sebacea
biasanya disertai dengan folikel rambut kecuali pada palpebra, papila
mammae, labia minora hanya terdapat glandula sebacea tanpa folikel
rambut.
Rambut
Merupakan struktur berkeratin panjang yang berasal dari invaginasi
epitel epidermis.Rambut ditemukan diseluruh tubuh kecuali pada telapak
tangan, telapak kaki, bibir, glans penis, klitoris dan labia
minora.pertumbuhan rambut pada daerah-daerah tubuh seperti kulit
kepala, muka, dan pubis sangat dipengaruhi tidak saja oleh hormon
kelamin-terutama androgen-tetapi juga oleh hormon adrenal dan hormon
tiroid. Setiap rambut berkembang dari sebuah invaginasi epidermal, yaitu
folikel rambut yang selama masa pertumbuhannya mempunyai pelebaran
pada ujung disebut bulbus rambut. Pada dasar bulbus rambut dapat dilihat
papila dermis. Papila dermis mengandung jalinan kapiler yang vital bagi
kelangsungan hidup folikel rambut.

Pada jenis rambut kasar tertentu, sel-sel bagian pusat akar rambut
pada puncak papila dermis menghasilkan sel-sel besar, bervakuola, cukup
berkeratin yang akan membentuk medula rambut. Sel-sel yang terletak
sekitar bagian pusat dari akar rambut membelah dan berkembang menjadi
sel-sel fusiform berkelompok padat yang berkeratin banyak, yang akan
membentuk korteks rambut. Lebih ke tepi terdapat sel-sel yang
menghasilkan kutikula rambut, sel-sel paling luar menghasilkan sarung
akar rambut dalam. Yang memisahkan folikel rambut dari dermis ialah
lapisan hialin nonseluler, yaitu membran seperti kaca (glassy membrane),
yang merupakan lamina basalis yang menebal. Sarung akar rambut dalam
ini memiliki 3 lapisan, pertama cuticula ranbut yang terdiri atas lapisan
tipis bangunan sebagai sisik dari bahan keratin yang tersusun dengan
bagian yang bebas kearah papilla rambut. Lapisan kedua yaitu lapisan
Huxley yang terdiri atas sel-sel yang saling beruhubungan erat. Dibagian
dekat papila terlihat butir-butir trikhohialin di dalamnya yang makin keatas
makin berubah menjadi keratin seperti corneum epidermis. Lapisan ketiga
adalah lapisan Henle yang terdiri atas satu lapisan sel yang memanjang
yang telah mengalami keratinisasi dan erat hubungannya satu sama lain
dan berhubungan erat dengan selubung akar luar.selubung akar luar
berhubungan langsung dengan sel epidermis dan dekat permukaan sarung
akar rambut luar memiliki semua lapisan epidermis.
Muskulus arektor pili tersusun miring, dan kontraksinya akan
menegakan batang rambut. kontraksi otot ini dapat disebabkan oleh suhu
udara yang dingin, ketakutan ataupun kemarahan. Kontraksi muskulus
arektor pili juga menimbulkan lekukan pada kulit tempat otot ini melekat
pada dermis, sehingga menimbulkan apa yang disebut tegaknya bulu
roma. Sedangkan warna rambut disebabkan oleh aktivitas melanosit yang
menghasilkan pigmen dalam sel-sel medula dan korteks batang rambut.
Melanosit ini menghasilkan dan memindahkan melanin ke sel-sel epitel
melalui mekanisme yang serupa dengan yang dibahas bagi epidermis.
Kuku
Kuku adalah lempeng sel epitel berkeratin pada permukaan dorsal
setiap falangs distal. Sebenarnya invaginasi yang terjadi pada kuku tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada rambut, selanjutnya invaginasi
tersebut membelah dan terjadilah sulcus matricis unguis, dan kemudian
sel-sel di daerah ini akan mengadakan proliferasi dan dibagian atas akan
menjadi substansi kuku sebagai keratin keras. Epitel yang terdapat di
bawah lempeng kuku disebut nail bed. Bagian proksimal kuku yang
tersembunyi dalam alur kuku adalah akar kuku(radix unguis).

Lempeng kuku yang sesuai dengan stratum korneum kulit, terletak


di atas dasar epidermis yang disebut dasar kuku. Pada dasar kuku ini
hanya terdapat stratum basale dan stratum spinosum. Stratum ujung kuku
yang melipat di atas pangkal kuku disebut sponychium, sedangkan di
bawah ujung bebas kuku terdapat penebalan stratum corneum membentuk
hyponychium.
Macammacam Keratin
Di dalam kulit serta apendiksnya terdapat dua macam keratin, yaitu
keratin lunak dan keratin keras. Keratin lunak selain terdapat pada folikel
rambut juga terdapat di permukaan kulit. Keratin lunak dapat diikuti
terjadinya pada epidermis yang dimulai dari stratum granulosum dengan
butir-butir keratohyalinnya, kemudian sel-sel menjadi jernih pada stratum
lucidum dan selanjutnya menjadi stratum korneum yang dapat dilepaskan.
Sedangkan keratin keras terdapat pada cuticula, cortex rambut dan kuku.
Keratin keras dapat diikuti terjadinya mulai dari sel-sel epidermis yang
mengalami perubahan sedikit demi sedikit dan akhirnya berubah menjadi
keratin keras yang lebih homogen. Keratin keras juga lebih padat dan tidak
dilepaskan, serta tidak begitu reaktif dan mengandung lebih banyak sulfur.
Regenerasi Kulit
Dalam regenerasi ini ada 3 lapisan yang diperhitungkan, yaitu
epidermis, dermis dan subcutis. Regenerasi kulit dipengaruhi juga oleh
faktor usia, dimana semakin muda, semakin bagus regenerasinya.

1.3. Fisiologi Kulit


Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis. Hal tsb dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya
lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperanan
sebagai pelindung terhadap gangguan fisis.
Melanosit turut berperanan dalam melindungi kulit terhadap pajanan
sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia
dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap
berbagai zat kimia dan air, disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit
yang melindungi kontak zat-zat kimia dan kulit. Lapisan keasaman kulit
ini mungkin terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum, keasaman
kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5 - 6,5 sehingga merupakan
perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses
kreatinisasi juga berperan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel
mati melepaskan diri secara teratur.
Fungsi absorbsi
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel-sel epidermis atau
melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel
epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
Fungsi ekskresi.
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak beguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dana
amonia. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini
selain meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan
sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat
di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 - 6.5.
Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini
di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan
krause yang terletak di dermis. Badan taktil meissner terletak di papilla
dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan markel ranvier
yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh
badan paccini di epidemis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak
jumlahnya di daerah yang erotik.
Fungsi pengaturan suhu tubuh,
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat
dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan
pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi yang cukup
baik.
Fungsi pembentukan pigmen,
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan sel
ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10
: 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen
(melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu. Warna kulit
tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal
tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.
Fungsi pembentukan vit D
Dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak
cukup hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik
masih tetap diperlukan. Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan
emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat dan otot-otot di
bawah kulit.

2. Mikrobiologi Imunologi Dasar dan Flora Normal Tubuh


2.1. Mikrobiologi dan Imunologi Dasar
a. Dasar Imunologi
i. Definisi
Imunitas adalah reaksi atau respon tubuh (host) terhadap benda
atau substansi asing (mikroba, makromolekul, protein,
makromolekul polisakarida) tanpa membedakan apakah reaksi
tersebut dalam batas fisiologis ataupun patologis.
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari proses- proses yang
dipergunakan oleh hospes untuk mempertahankan kestabilan
dalam lingkungan internalnyabila dihadapkan dalam benda asing.
Sistem Imun adalah mekanisme yang dipergunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam
lingkungan hidup.
ii. Macam-macam imunitas
Berdasar Sumber
Imunitas Aktif
- Tubuh seseorang membentuk antibodi sel-T teraktivasi
maupun proses imunitas secara umum dalam responnya
terhadap antigen-antigen yang masuk ke tubuh.
- Imunitas aktif dapat terjadi apabila terjadi stimulus yang
menghasilkan antibody dan kekebalan seluler, biasanya
bertahan lebih lama disbanding kekebalan pasif.
- Ada 2 jenis kekebalan aktif, yaitu:
Kekebalan aktif didapat
Yaitu kekebalan yang didapat secara alami (naturally
acquired). Misalnya anak yang terkena difteri tau
poliomyelitis dengan proses anak terkena infeksi
kemudian terjadi silent abortive, sembuh, selanjutnya
kebal terhadap penyakit tersebut.
Kekebalan aktif dibuat
Yaitu kekebalan yang sengaja dibuat yang dikenal dengan
imunisasi dasar dan ulangan (booster), berupa pemberian
vaksin (kuman yang masih hidup namun dilemahkan).
Vaksin tersebut akan berinteraksi dengan system
kekebalan tubuh untuk menghasilkan respon imun. Hasil
yang diproduksi akan sama dengan kekebalan seseorang
yang mendapat penyakit btersebut secara alamiah.
Imunitas Pasif
- Imunitas pasif adalah pemberian antibody yang berasal dari
hewan atau manusia kepada manusia lain dengan tujuan
memberi pelindungan terhadap penyakit infeksi yang bersifat
sementara karena kadar antibody akan berkurang setelah
beberapa minggu atau bulan.
- Didapat dengan cara pemberian infus antibodi, sel-T
teraktivasi, ataupun kedua-duanya dari darah sesorang atau
binatang lain yang telah memiliki imunitas aktif terhadap
antigen tersebut
- Diberikan melalui injeksi Antibodi yang diproduksi oleh
manusia atau hewan yang kebal karena pernah terpapar suatu
antigen.
- Ex : Antibodi dari kuda yang kebal racun ular (SABU),
diinjeksikan pada individu yang dipatuk ular sejenis.
- Ada 2 jenis kekebalan pasif, yaitu :
Kekebalan pasif alami
Terjadi pada janin saat antibodi IgG ibu masuk
menembus plasenta. Antibodi IgG memberi perlindungan
semetara pada sistem tubuh imatur.
Kekebalan pasif buatan
Pengambilan antibodi kuda yang tahan bisa ular kepada
manusia yang terkena bisa ular tersebut
Berdasar Proses
Pertahanan non spesifik, dapat dibagi menjadi tiga yaitu
- Pertahanan fisik
Pertahanan fisik diperankan oleh, kulit, selaput lendir, silia,
batuk dan bersin, merupakan geris terdepan terhadap infeksi.
- Pertahanan biokimia
Diperankan oleh lisozim( keringat), asam lambung,
laktoferin, dan sekresi sebaseus.
- Pertanahan humoral/cairan
Pertahan humoral diperankan oleh komplemen, inrterferon
dan CRP ( C Reaktif Protein / protein fase akut), kolektin
MBL 9 (Manan Binding Lectin).
- Pertahanan seluler
Diperankan oleh sel-sel imun yang terdiri dari oleh fagosit,
leukosit, sel makrofag, sel dendrik, sel mastosit.sel mast, sel
NK (Natural Kiler).
Pertahanan spesifik
terdapat dua mekanisme yaitu humoral dan selular
- Humoral
Peran utama dalam system imun spesifik humoral adalah
limfosit B atau sel B. Sel B diproduksi di sum-sum tulang
dan pematangannya juga didalam sum-sum tulang. Bila sel B
dirangsang oleh benda asing maka sel ini akan segera
berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
selanjutnya sel plasma ini akan menghasilkan antibodi
Sel B memiliki reseptor yang disebut BCDF (B cell
Diferentiation Factor) diperlukan untuk berdiferensiasi dan
BCGF (B Cell Growt Factor) diperlukan untuk berpoliferasi.
Terkadang sel B tidak dapat menjadi sel plasma dikarenakan
kekurangan BCGF untuk berpoliferasi sehingga sel yang
tidak menjadi sel plasma ini akan menjadi sel B memori dan
dapat hidup dalam waktu yang cukup lama. Salah satu
kelebihan dari respon imun spesfik karena memiliki sel
memori yang dapat mengenali langsung antigen yang pernah
menginfeksi tubuh dengan struktur yang sama
Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma tadi akan
berperan terhadap infeksi ekstra seluler serta dapat
menetralisasikan toxic yang dikeluarkan oleh antigen (Ag)
tertentu.
Limfosit B
o Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan
berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang dapat membentuk antibodi yang ditemukan dalam
serum. Disebut juga dengan imunitas yang diperantarai
oleh antibodi
o Merupakan imunitas spesifik yang diproduksi
imunoglobulin (antibodi) oleh limfosit B yang
terstimulasi atau sel plasma yang respon terhadap suatu
epitop.
o Sistem imun humoral yang dibantu oleh sistem
komplemen, suatu sistem amplifikasi yang melengkapi
kerja imunoglobulin untuk mematikan imunogen asing
dan menyebabkan lisis patogen tertentu dan sel.
- Sistem imun spesifik seluler
Diperankan oleh sel T atau limfosit T. Sel T berfungsi
untuk mengaktifkan sel-sel pertahanan lain dalam tubuh. Sel
tersebut juga berasal dari sum-sum tulang tetapi pematangan
sel ini terjadi di timus. Dalam timus sel ini akan diseleksi
yakni seleksi positif dan seleksi negatif.
Seleksi positif merupakan penyeleksian sel T yang tidak
dapat membedakan antara antigen sendiri (self antigen) dan
antigen luar (non self antigen). Dalam seleksi ini sel T yang
dapat hidup hanyalah sel T yang dapat mengenal MHC
sendiri. Seleksi negatif merupakan seleksi sel T yang
dikarenakan infitasnya yang tinggi terhadap MHC sendiri
sehingga ada kemungkinan sel ini akan menyerang self Ag.
Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset
dengan fungsi yang berlainan yaitu sel T naif, sel T helper
(TH), T delayed type hypersensitivity (Tdth), CTL (cytotoxic
T Limfosit) atau T cytotoxic atau T cytolitic (Tc) dan Ts / Tr
(T supresor / regulator). Yang berperan pada imunitas selular
adalah CD4+ / Th yang mengaktifkan makrofag yang
selanjutnya menghancurkan mikroba dan CD8+ (Cluster of
differentiation 8) / CTL yang memusnahkan sel yang
terinfeksi.
Sel T helper
Sel T helper adalah golongan sel darah putih yang bertindak
sebagai adaptive immunity. Dimana fungsi dari sel T helper
sendiri antara lain adalah :
1. Membantu sel B untuk membentuk antibody,
mengaktifkan sistem pertahanan adaptive humoral atau
adaptive cytolitic
2. Membantu perkembangan sel T sitotksik
3. Fasilitator sel-sel pertahanan lain dalam untuk melawan
antigen
Sel T helper masih bisa berdiferensiasi menjadi sel T
memori dan sel T penekan / supresor. Sel T merupakan sel
limfosit yang pertama kali berinteraksi dengan zat asing. Hal
ini terjadi karena sel T memiliki protein permukaan yang
disebut CD4 dan CD8. CD4 atau CD8 akan mendeteksi
keberadaan antigen. Sebab dia akan mengenali sel yang
memiliki reseptor MHC kelas 1 atau MHC kelas 2. Apabila
dia berinteraksi dengan sel yang tidak memiliki MHC maka
dia akan menganggap sel tersebut sebagai zat asing. Sehingga
sel T akan berdifensiasi dan menyerang zat asing tersebut.
iii. Fungsi sistem imun
Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan
& menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri,
parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam
tubuh
Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk
perbaikan jaringan.
Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
2.2 Flora Normal Tubuh
i. Jenis-jenis Flora normal
Flora tetap (resident flora)
Terdiri atas mikroorganisme relatif menetap dan ditemukan pada
bagian tubuh tertentu manusia, jenisnya tergantung pada usia, jenis
kelamin, dan apabila berubah mereka akan segera kembali seperti
semula.
Flora sementara (Transient flora)
Terdiri dari mikroorganisme non patogen atau potensial patogen
yang tinggal dikulit dan selaput mukosa selama 1 jam sampai
beberapa minggu. Umumnya berasal dari lingkungan sekitar. Pada
kondisi normal tidak menimbulkan penyakit kecuali flora resident
sedang terganggu.
ii. Peran penting flora normal
Membantu pencernaan di usus dengan cara mempermudah
penyerapan makanan di usus (Lactobacillus)
Membuat Vit K dan B kompleks
Mencegah kolonisasi kuman patogen
Menjaga keseimbangan lingkungan pada tubuh
iii. Organ tubuh yang steril dari flora normal
Telinga tengah dan telinga dalam
Laring, trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus, sinus hidung
Usus halus, hati, kandung empedu, peritoneum
Otak
Jantung
iv. Flora normal berdasar sistem
Flora normal pada kulit
Mudah kontak dengan lingkungan (air,tanah,udara), maka
cenderung diketemukan kuman flora normal transient. Jumlah
kuman flora normal tidak selalu sama pada bagian tubuh,
tergantung:
- Perbedaan sekresi
- Kebiasaan memakai pakaian
- Kebiasaan membersihkan badan
- Kedekatan dengan selaput lendir
- Jenis kelamin dan umur
Contoh :
Staphylococcus
Enterobacter
Streptococcus Sp
Corynebacterium
Flora normal pada mata
Mikroorganisme pada konjungtiva:
Corynebacterium Xerosis
Staphylococcus haemolyticus
Streptococcus nonhaemolyticus
Haemophilus Sp
Flora konjungtiva pada keadaan normal dikendalikan oleh
kelanjar airmata yang keluar dan mengandung lizosim.
Flora normal pada Saluran Pernapasan
Kuman yang masuk hidung telah disaring oleh bulu-bulu hidung
namun masih sebagian bisa menempel sebagai penghuni flora
normal. Kuman penghuni mukosa hidung adalah :
Streptococcus haemolyticus
Staphylococcus Sp
Korinebacteria
Beberapa kuman asal mukosa hidung dapat masuk ke trakhea dan
bronkhi tapi segera dikeluarkan melalui mekanisme batuk.
Flora normal pada saluran pencernaan
Pada mulut bayi, sewaktu lahir steril, namun mudah
terkontaminasi melalui jalan lahir juga minum susu. Dalam 4-12
Jam setelah lahir, sudah ditemukan streptococcus viridans
kemudian staphylococcus, diplococcus, mycoplasma ditambah
flora-flora normal lain.
Pada lambung kosong, bebas dari mikroba. Umumnya
mikroba masuk bersama dengan makanan, namun mati karena
pH dan asam lambung serta enzim-enzim pencernaan lainnya.
Namun ada beberapa mikroba yang tahan terhadap pH dan asam
lambung, seperti : Helicobacter pylori, Salmonella, Shigella, V
Colera.
Flora normal pada urogenital
Pada uretra: kuman pada uretra dapat mengakibatkan masalah
seperti kontaminasi saat pengambilan spesimen dan beberapa
dapat menyebabkan ISK (infeksi saluran kemih).
Pada vagina: pada bayi baru lahir, mulai muncul Lactobacillus
Bordelein yang berguna untuk mempertahankan pH asam. Pada
masa muda, campuran kokus dan basil menyebabkan pH menjadi
netral. Kemudian setelah menjadi pubertas, pH menjadi asam
kembali akibat penguraian glikogen oleh Lactobacillus.
Pertahanan pH sangat penting untuk mencegah kolonisasi kuman
patogen.

3. Gatal/Pruritus
Definisi
Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu untuk mendapatkan
kelegaan. Pruritus bersinonim dengan gatal, dan memiliki prevalensi yang
meningkat pada orang tua. Pruritus dapat menyebabkan perasaan tidak
nyaman dan frustasi; pada kasus yang berat, pruritus dapat menyebabkan tidur
yang terganggu, rasa gelisah, dan depresi. Garukan yang konstan atau terus
menerus untuk mendapatkan kelegaan dapat merusak kulit (ekskoriasi,
likenifikasi) dan dapat mengurangi keefektivan kulit sebagai lapisan
pelindung.
Klasifikasi Gatal
Pruritoceptive itch : Akibat gangguan yang berasal dari kulit. Misalnya,
inflamasi, kering, dan kerusakan kulit.
Neuropathic itch : Akibat gangguan pada jalur aferen saraf perifer atau
sentral. Misalnya, pada herpes dan tumor.
Neurogenic itch : Tidak ada gangguan pada saraf maupun kulit, namun
terdapat transmitter yang merangsang gatal. Misalnya, morphin dan penyakit
sistemik (ginjal kronis, jaundice)
Psikogenic itch : Akibat gangguan psikologi. Misalnya, parasitophobia.
Jaras Sensoris Kulit
Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor nyeri
(nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah epidermis.
Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf. Serabut saraf A
bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C tidak bermielin.
Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang merupakan polimodal
nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor merupakan
serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan
kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus
mekanik, namun memberi respon terhadap stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari
mekanoinsensitif ini merupakan pruritoseptor yaitu reseptor yang
menimbulkan rasa gatal, terutama dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A
merupakan penghantar sinyal saraf yang cepat. Kecepatan hantarannya
mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf C merupakan penghantar sinyal
saraf yang lambat. Kecepatan hantarannya hanya 12m/detik, terlebih lagi pada
serabut saraf C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik. Hal ini menjelaskan
mengapa seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat setelah stimulus
terjadi. Bandingkan saat tangan kita terkena benda panas.
Gatal dapat timbul apabila pruritoseptor terangsang dan reseptor
lainnya tidak terangsang. Tidak mungkin pada penghantaran sinyal, terdapat
dua reseptor sekalgus yang terangsang oleh satu stimulus. Saat pruriseptor
terangsang, seseorang akan mulai merasakan sensasi gatal sehingga timbul
hasrat untuk menggaruk. Saat menggaruk, polimodal nosiseptor akan
terangsang sehingga pruritoseptor akan berhenti terangsang. Hal ini
memberikan penjelasan mengapa ketika seseorang menggaruk tubuhnya yang
gatal, maka rasa gatal akan menghilang. Setelah garukan dihentikan, yang
artinya polimodal nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor sangat
mungkin untuk kembali terangsang sehingga gatal akan timbul kembali.
Polimodal nosiseptor juga dapat menimbulkan gatal, misalnya pada baju baru
yang labelnya kasar akan menimbulkan sensasi gatal.Stimulus pada serabu
saraf C melalui ganglion dorsal dan menyilang pada saraf tulang belakang ke
sisi kontralateral dan masuk ke jalur spinotalamikus lateral menuju thalamus
dan akhirnya mencapai korteks serebri sensori.
Mediator Penyebab Gatal pada Kulit
Histamin
Konsentrasi histamin yang rendah pada lapisan dermo-epidermal
menyebabkan sensasi gatal, namun injeksi yang lebih dalam (deeper
intracutaneus) menyebabkan nyeri. Histamin disintesis di dalam sel mast dan
tersimpan pada granula sel mast. Ketika terjadi reaksi radang, sel mast
terdegranulasi dan keluarlah histamin tersebut. Histamin terdiri dari dua
macam, H1 dan H2. Histamin yang menyebabkan gatal adalah H1.
Serotonin
Amina jenis ini ditemukan pada platelet tapi tidak terdapat pada sel mast
manusia. Serotonin dapat menyebabkan gatal melalui pelepasan histamine dari
sel mast dermal.
Endopeptidase
Endopeptidase seperti tripsin atau papain dapat menyebabkan gatal.
Tripsin adalah komponen penting dari sel mast dermal dan dilepaskan akibat
aktivasi sel mast. Sel mast memperoleh triptase, dari kerja proteinase-activated
receptor-2 (PAR-2) pada terminal saraf C yang berdekatan sehingga
membangkitkan neuropeptida pruritogenik dari terminal yang sama. Hal ini
memperlihatkan interaksi sistem imun dan sistem saraf dalam menyebabkan
sensasi gatal. Selain tripsin, reaksi inflamasi juga menghasilkan interleukin-2
(IL-2) yang ikut berperan dalam timbulnya gatal.
Neuropeptida
Substansi P yang terdapat pada terminal neuron C dilepaskan sebagai akibat
dari kerja triptase sel mast pada PAR-2 dan menyebabkan gatal dengan baik
dengan aksi langsung maupun memicu pelepasan histamin oleh sel mast
melalui reseptor NK-1. Dosis rendah dari morphin menyebabkan gatal dan
efeknya adalah pelepasan prostaglandin dan degranulasi sel mast. Reseptor
agonis opioid adalah pada saraf tulang belakang atau ganglia dorsal karena
dosis rendah dari morphine dapat menyebakan gatal segmental.
Eicosanoid
Transformasi asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) memliki peran yang
kuat dalam mediator inflamasi tapi tidak secara langsung menyebabkan gatal.
Prostaglandin E (PGE) menyebabkan gatal melalui mediator lain. Konsentrasi
rendah PGE pada satu area kulit menurunkan ambang batas timbulnya sensasi
gatal akibat kerja histamin pada area tersebut.
Patofisiologi Pruritus
Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi.
Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut
saraf sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis susunan saraf
tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson refleks mengeluarkan
transmiter yang menghasilkan inflamasi neurogenik (substansi P, CGRP,
NKA, dll). Setelah impuls melalui pemrosesan di korteks serebri, maka akan
timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak yang menyebabkan hasrat untuk
menggaruk bagian tertentu tubuh.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pruritus ialah tanda-tanda garukan dan ekskoriasis. Pada
garukan akut dapat timbul urtika, sedangkan pada garukan kronik dapat timbul
perdarahan kutan dan likenifikasi. Garukan dengan kuku menyebabkan
ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. Keinginan
perasaan gatal dengan garukan hanya akan ada, bila kausa pruritus terletak di
alat sentral.
Respons psikologik
Respons psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan
status emosional penderita. Bila stimulus pruritus berlangsung sering, lama,
dan tanpa diketahui penyebabnya, maka akan berakibat timbulnya perasaan
takut, tegang, dan cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada
personalitas penderita.

4. Patofisiologi Reaksi Alergi


Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada
suatu zat (alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.
Namun, sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi
dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit
atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas (atau reaksi
hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu
senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan
terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe
reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I,
II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan
Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi
tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel
pejamu.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type
Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis
yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006). Gejala alergi timbul
apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mastosit atau basophil
bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE yang
menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel
dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin, vasoactive
amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi kalau
terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-
IgE.
Etiologi
Secara umum ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T supresor yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai
jenis makanan dan zat lain.
Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan
mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara
alergen dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc
mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu
misalnya histamin, vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin.
Degranulasi dapat terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE
pada permukaan sel dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta
merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas,
histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan
penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran nafas
membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan. Hal
ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma, sedangkan
pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang berwarna merah
(eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan
reflek muntah dan diare.
Manifestasi Klinis
Gejala yang umumnya muncul:
Organ yang Gejala
terkena
Hidung pembengkakan saluran hidung (rhinitis alergi), runny nose,
bersin
Sinusitis sinusitis alergi
Mata merah dan gatal pada bola mata, berair
Saluran bersin, batuk, penyempitan cabang saluran paru-paru
pernafasan (bronchoconstriction), nafasnya berisik (mengi) dan nafas
pendek/tersengal-sengal (dyspnea), kadang-kadang terjadi asma,
pada kasus yang berat saluran pernafasan menyempit karena
pembengkakan saluran ke dalam dan dikenal sebagai
pembenkakan saluran pernafasan (laryngeal edema)
Telinga terasa buntu, mungkin nyeri, dan berkurangnya pendengaran
karena kurangnya drainase pada saluran eustachia.
Kulit gatal-gatal, seperti eksim dan urticaria
Saluran sakit perut, perut teras penuh, muntah, diare
pencernaan
Reaksi Hipersentivitas
1) Reaksi Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 ini adalah suatu reaksi yang terjadi
secara cepat, mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih
dahulu di ikat pada permukaan sel basofilia (sel mast ) dan basofil. Pada reaksi
tipe 1 diperantarai oleh antibodi IgE ( disebut juga antibodi reaginik).
Patofisiologi
Di awali dengan pemaparan awal antigen ( sering di sebut sebagai
alergen). Alergen ini merangsang produksi IgE oleh sel B, suatu proses
yang memerlukan bantuan sel T. IgE ini bersifat sitofilik kuat bagi sel
basofilia (sel mast) dan basofil yang memiliki afinitas kuat terhadap
fragmen Fc IgE. Sekali IgE diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast),
orang itu pasti akan mengalami hipersensitivitas tipe 1. Pemaparan ulang
terhadap suatu antigen yang sama akan menghasilkan terikatnya antigen
pada IgE yang sudah terikat pada permukaan sel tersebut, sehingga akan
menimbulkan reaksi yang menyebabkan pelepasan mediator yang
menyebabkan hipersensitivitas tipe 1. Pelepasan ini memerlukan IgE
sekitarnya yang dipermukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil, yang
dihubungkan silang dengan cara mengikatnya pada antigen. Hubungan
silang IgE yang terikat pada permukaan sel menimbulkan sinyal membran
yang memulai dua proses, yang pertama menuju degranulasi sel basofilia
dengan pelepasan zat perantara primer, sedangkan yang kedua meliputi
sintesis de novo dan pelepasan perantara sekunder seperti metabolit asam
arakidonat.
Perantara ( Mediator ) Primer
1. Histamin.
Menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat, vasodilatasi,
kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan pengeluaran lendir.
2. Protease neutrofil.
Untuk menghasilkan mediator peradangan.
Perantara (Mediator) Sekunder.
Mediator ini mencakup dua kelompok senvawa: mediator lipid dan
sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang
memecah fosfolipid membran sel mast untuk menghasilkan asam
arakidonat.Selanjulnya, asam arakidonat mempakan senyawa induk untuk
menyintesis leukotrien dan prostaglandin. Senyawa lain, seperti sitokin,
bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasttk rekrutmen sel
radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan
mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atatt
reaksi lokal. Sering kali hai ini ditentukan oleh rute pajanan antigen.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin)
secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam
beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan
muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit,
diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokostriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencemaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas
pada ternpat tertentu sesuai dengan jalur
pemajanannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit dan makanan,
hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaksis
yang teriokalisasi. Sebelum pembahasan mengenai hipersensitivitas tipe I
ini diakhiri, penting untuk diperhatikan bahwa reaksi ini secara jelas tidak
berkembang untuk menyebabkan ketidaknyamanan serta penyakit pada
manusia. Hipersensitivitas tipe I, khususnya reaksi peradangan fase
lambat, memainkan peran perlindungan yang penting terhadap infeksi
parasit. Antibodi IgE dihasilkan sebagai respons terhadap berbagai infeksi
cacing.
2) Reaksi Tipe II
Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau
sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan
metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi
disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui
ADCC. Terdapat dua mekanisme bergantung antibodi yang berbeda
termasuk tipe hipersensitivitas.
1. Sitotoksisitas Diperantai Komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui
dua mekanisme: lisis langsung dan opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang
diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel
menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya
diikuti lisis melalui kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi
oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula
terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering
dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada
jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal
dan jejas. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen
dan/atau metabolit toksik (misalnya, sindrom goodpasture).
2. Sitoktosisitas Diperantai Sel Yang Bergantung Antibodi Adcc (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity)
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan
melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG, sasaran
yang diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis ataupun fiksasi
komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit,
termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK, Meskipun secara
khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu
(misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang
digunakan adalah antibodi IgE.

3) Reaksi Tipe III


Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan
antibodi yang mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi
kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam
bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang
besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah
oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya
cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai
kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada
permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah.
Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.

Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar,


seperti protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga,
berasal dari dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan
komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks
imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit
pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal
(glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit.
Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam
jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen
disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan
kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Komplek imun
tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu
respon peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan
sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di
sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun
sistemik berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus.
Acute serum sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi.
Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian
sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi
yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks
imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi
protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana mereka
dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk
kompleks antigen-antibodi.
Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti
endotel, kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun
akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti.
Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang
paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi
untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering
terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada
glomerulus dan sendi.
Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor
seluler akan berkumpul di daerah pengendapan
Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi
reaksi inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen
masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri
sendi (atralgia), pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang
terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi
nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah,
glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi
pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan
antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG)
menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat
terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk
memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang
besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks
imun. Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen
berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti
SLE yang berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap
autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis
dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak
diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis
nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan
area terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang
biasanya terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan
dengan injeksi intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah
terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen
tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan
yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk
secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat
memperburuk cedera berupa iskemik.

4) Reaksi Tipe IV
Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan
penyebab dari autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan
langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas.
Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada
beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas jaringan dapat juga
mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada
tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan
responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi.
Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari
jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional.
Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi,
tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang
menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh
DTH yang dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh
limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan
mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang
terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan
dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan
mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag
dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel
autolog dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit
autoimun yang dimediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+
spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas
jaringan.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator
sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada
penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang
diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin
topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk
mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis
terhadap sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan
obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan
bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory
bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor
untuk sitokin seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti
B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi
melalui sel CD8+.
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi
oleh injeksi intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang
merupakan komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang
sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs
dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang.
Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear
disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah perivascular
cuffing. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi
lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema
dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab
utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah
berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan
hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin.
Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein
dari tuberkel bacilli, sel CD4+ T nave mengenali peptida turunan antigen
dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu
diferensiasi dari sel T CD4+ nave menjadi sel Th1. Induksi sel Th1
merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH bergantung pada
sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan
memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu
yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang
sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan
mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini
akan menyekresi sitokin, terutama IFN-, yang bertanggung jawab
terhadap ekspresi DTH.
T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang
tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut
disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL
merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T.
CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting
dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap
infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan
molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke
permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari
limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan
eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah
diketahui: (1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas
ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk
yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat
memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang
limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel taget, kemudian
terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya
ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di
membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk
perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase,
yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori
perforin menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan lisis
osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi apoptosis sel target
namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas ligan,
molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi
apoptosis.

5. Pengantar Parasitologi
Nomenklatur Parasitologi
Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari organisme yang hidup
untuk sementara atau menetap di dalam atau pada permukaan organisme
lain, dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh makanannya
serta mendapat perlindungan dari organisme yang ditumpangi. Ada
beberapa istilah dalam parasitologi, yaitu:
Parasit = Organisme yang menumpang
Hospes / Inang = Organisme yg ditumpangi
Parasitisme = Hubungan timbal balik

Zooparasit

Metazoa Protozoa

Arthropoda

Helminthes

Pembagian berdasar sifat parasitisme


Parasit obligat (permanen) = parasit yang tidak dapat bertahan
hidup tanpa hospes atau parasit akan mati kalau tidak menemuhan
hospesnya, parasit yang hidup pada hospes selama hidupnya
Parasit fakultatif (opportunist) = parasit yang dapat hidup bebas
dan dapat pula hidup sebagai parasit
Parasit temporer / intermiten = parasit nonperiodis (nonberkala)
yang mengunjungi hospesnya pada waktu-waktu berselang atau
parasit tersebut tidak menetap pada tubuh hospesnya, contoh
Strongyloides stercoralis
Parasit koprozoik / spuria = parasit semu adalah Suatu spesies
asing yang melewati traktus digestivus tanpa menyebabkan infeksi
pada manusia, contoh parasit insidentil
Zoonosis parasit hewan ke manusia ex. Balantidiasis, Fascioliasis
hepatica
Anthroponosis parasit manusia ke hewan ex. Trypanosomiasis
Menurut tempat hidupnya

Ektoparasit Endoparasit
investasi infeksi (reinfeksi,
superinfeksi,
autoinfeksi)

Parasitosis

Parasit Komensal = parasit yang untung tetapi hospes tidak


mendapatkan keuntungan
Parasit patogen = parasit yang menimbulkan kerusakan pada
hospes karena pengaruh mekanik, traumatik dan toksik
Parasit apatogen = parasit yang hidup dengan mengambil sisa
makanan dalam tubuh hospes dengan tidak menimbulkan kerugian
atau kerusakan pada hospes
Klasifikasi Hospes
Hospes definitif = hospes dimana parasit didalamnya berkebang
biak secara seksual
Hospes perantara (Intermediate) = hospes dimana parasit
didalamnya menjadi bentuk infektif yang siap ditularkan kepada
hospes/manusia yang lain
Hospes paratenik = hospes yang mengandung stadium infektif
parasit tanpa menjadi dewasa dan stedium infektif ini dapat
ditularkan dan menjadi dewasa pada hospes definitif
Hospes insidental = parasit yang secara kebetulan bersarang pada
satu hospes
Klasifikasi Vektor
Vektor : hewan yang menularkan parasit pada manusia
Vektor Biologis (propagative development, cyclo-development,
cyclopropagative dev) = sebagian siklus hidup parasitnya terjadi
dalam tubuh vektor tersebut.
Vektor Mekanis = sebagian siklus hidup parasitnya tidak terjadi
dalam tubuh vektor tersebut
Klasifikasi Simbiosis
Simbiosis mutualisme = hubungan yang erat (permanen) antara dua
macam jasad hidup di mana kedua jasad mendapatkan keuntungan.
Simbiosis komensalisme = hubungan yang erat (permanen) antara
dua macam jasad hidup di mana jasad yang satu untung tetapi jasad
yang lain tidak dirugikan.
Simbiosis parasitisme = hubungan yang erat (permanen) antara dua
macam jasad hidup di mana jasad hidup yg satu (parasit)
memperoleh keuntungan/perlindungan fisik dan makanan, sedang
jasad hidup yg lain (hospes/inang) selalu menderita cedera
meskipun kadang sangat ringan.
Klasifikasi Parasit
The International Code of Zoological Nomenclatur (Binomial
nomenclature)
Phyllum Sarcomastigophora
o subphyllum Mastigophora
Class Zoomastigophora
Ordo Kinetoplastida
Famili Trypanosomatidae
Genus Trypanosoma, Leishmania
Spesies Trypanosoma gambiense, Leishmania donovani
Parasitologi Medik
Parasit Cacing (helminthes) = kelas Nematoda, kelas Trematoda,
kelas Cestoda
Parasit protozoa = Protozoa Usus, Rongga Atrial, Darah, Jaringan
Parasit Arthropoda = Insekta, Arachnida, Crustacea, Diplopoda,
Chilopoda.
Sumber Infeksi Parasit
Tanah terkontaminasi Ascariasis
Air terkontaminasi Amoebiasis, Giardiasis
Makanan yg mengandung stadium infektif ikan air tawar
Dyphillobotriasis, daging babi Trichinellosis, Taeniasis
Arthropoda penghisap darah nyamuk Anopheles, Xenopsilla
cheopsis
Tumbuhan air Trapa sp. Fasciolopsiasis
Dari diri sendiri Strongyloidiasis, Enterobiasis
Manusia lain Entamoeba histolytica.
Tempat / Cara Masuk
Portal of entry / port dentree dari parasit:
Mulut protozoa usus, nematoda usus
Menembus kulit Ancylostoma duodenale
Gigitan arthropoda baik sbg vektor atau ektoparasit
anopheles, scabies
Inhalasi telur cacing Enterobius vermicularis
Transplacental Toxoplasma gondii
Transmammary Strongyloides stercoralis
Hub seksual Trichomonas vaginalis
Transfusi darah Plasmodium sp.

Sumber
infeksi
Cara
Hospes
masuk /
peranta
por't
ra II
d'entree
Siklus
Hidup
Hospes
Hospes
peranta
ra I definitif
Tempat
perkemba
ngan
telur/larva

Epidemiologi Parasit
Penyebaran tergantung:
Sumber infeksi (penderita ataupun hospes reservoir)
Keadaan lingkungan (iklim, curah hujan, kelembaban suhu, sinar
matahari, sanitasi, dll)
Tersedianya vektor
Keadaan penduduk (kepadatan, sosial, pendidikan, dll)
Distribusi kosmopolit, regional, lokal.
Diagnosis
Gejala penyakit Parasitik umumnya tidak spesifik bahkan asymptomatik.
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Tinja, berbagai metode
Pemeriksaan darah, urine, sputum
Biakan atau kultur
Reaksi imunologis (imunodiagnosis)
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan
Pengobatan massal atau perorangan
Pengobatan ditujukan yg mempunyai efek letal bagi parasit tapi
minimal efek bagi hospes
Tindakan bedah
Pencegahan
Mengurangi sumber infeksi mengobati penderita
Pendidikan kesehatan utk mencegah penyebaran penyakit
Pengawasan sanitasi air, makanan, tempat tinggal
Pengendalian hospes reservoir dan vektor
Mempertinggi pertahanan biologis thd penularan penyakit

6. Histamin dan Antihistamin


6.1. Histamin
Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu
pada jaringan sel mast dan basofil, yang berperan terhadap berbagai proses
fisiologis.
Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks histamin-
heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada
rangsangan senyawa alergen. Senyawa alergen dapat berupa spora, debu
rumah, sinar UV, cuaca, racun, dan lain-lain.
Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin.
Pelepasan histamin terjadi akibat :
1. Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan
cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka.
2. Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik,sehingga akan melepaskan
histamine dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin,
fosfolipase, dan tripsin.
3. Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamin yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan
diamin oksidase sehingga histamin tidak mencapai reseptor
Histamin.Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamin atau
mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada
keadaan normal.
4. Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, atau radiasi cukup untuk merusak sel
terutama sel mast yang akan melepaskan histamin.
Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai
jaringan target. Reseptor histamine dibagi menjadi histamine 1 (H-1) dan
histamine 2 (H-2).
Stimulasi reseptor H-1 menimbulkan :
- Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar
- Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus
- Kontraksi sel-sel otot polos
- Kenaikan aliran limfe
Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :
- Dilatasi pembuluh paru-paru
- Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung
- Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung
6.2 Antihistamin
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin
(penghambatan saingan).
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar :
1. Menghambat reseptor H1
- H1-blockers (antihistaminika klasik)
- Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot
polos dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung
kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek histamine di kapiler dan
ujung saraf (gatal, flare reaction).
- Efeknya adalah simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan
timbulnya reaksi alergi
- Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok,
tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar
kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan ke-2.
2. Menghambat reseptor H2.
- H2-blockers (Penghambat asma)
- Obat-obat ini menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang
meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan terhadap
reseptor-H2 di lambung.
- Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga
mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun.
- Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna
mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung
tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali
bersama suatu zat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada
penderita reflux.
- Penghambat asam yang sekarang ini banyak digunakan adalah
simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang
merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :
1. Efek sedasi (menenangkan atau mengantuk).
Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek
sedasi.Tetapi intensitas efek tersebut bervariasi.Efeknya cukup besar pada
beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur dan tidak cocok
digunakan di siang hari.Efek tersebut menyerupai beberapa obat
antimuskarinik.
2. Efek antimual dan antimuntah
Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu
mencegah terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.
3. Kerja antikolinoreseptor
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin
yang bermakna pada muskarinik perifer.
4. Kerja penghambatan adrenoreseptor
Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa
antagonis H-1, namun penghambatan terhadap reseptor beta tidak
terjadi.Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik.Contoh obatnya adalah Promethazine.
5. Kerja penghambatan serotonin
Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada
agen antagonis H-1 generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.
6. Efek parkinsonisme
Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama
mempunyai efek antikolinergik
Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan
struktur kimianya karena meskipun memiliki struktur kimia dasar yang
sama, obat tersebut masih memiliki gugus fungsional tambahan yang
berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen,
levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan
dalam satu golongan karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang
berbeda.
Antialergi Lain
AH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simatomatik reaksi
hipersensitivitas akut. Hal ini dikarenakan fungsi histamin yang sebenarnya
merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain.
Pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan anatgonis
fisiologis misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala
alergi yang tidak berespon terhadap AH1.
Adapun beberapa contoh antialergi lain,yaitu:
1. Natrium Kromolin
Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari
sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu.Obat ini berharga untuk
profilaksis asma bronchial dari kasus atopic tertentu.Penggunaan utama
kromolin untuk terapi profilaksis serangan asma bronchial pada pasien
asma bronchial ringan sampai sedang.Kromolin tidak bermanfaat untuk
terapi asma bronchial akut atau pada status asmatikus.
2. Nedokromil
Nedokromil merupakan senyawa dengan struktur kimia dan efek
farmakodinamik dan efek samping mirip kromolin.Nedokromil
menghambat penglepasan mediator dari sel mast bronkus dan
diindikasikan untuk mencegah serangan asma pada pasien asma bronkil
ringan sampai sedang. Berbeda dengan kromolin yang boleh diberikan
pada semua umur,nedokromil hanya diiindikasikan untuk pasien asma
yang berusia 12 tahun keatas. Dosis untuk dewasa dan anak diatas 12
tahun: 2-4 kali mg/hari diberikan secara inhalasi/semprotan.
3. Ketotifen
Ketotifen bersifat antianafilaktik karena menghambat penglepasan
histamin.Ketolifen juga bersifat antihistmin kuat.Ketofilen telah
digunakan untuk profilaksis asma brinkial.Untuk tujuan ini ketofilen
diberikan secara oral untuk jangka waktu 12 bulan.Kombinasi ketofilen
dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah
trombosit secara reversible.Ketofilen harus diberikan secara hati kepada
pasien yang alergi terhadap obat ini.

Anda mungkin juga menyukai