SKENARIO 2
GATAL
Pembimbing Tutorial:
dr. Cicih Komariah, SpM
Disusun oleh:
KELOMPOK E
Vera Asmita Fitriani 152010101017
Britta Fatika Sari 152010101026
Cahyo Bagaskoro 152010101048
Firman Herdiana 152010101050
Ivan Iqbal Baidowi 152010101062
Sixma Rizky Kurnia P 152010101073
Cagar Irwin Taufan P 152010101088
Ilhafatul Hawadah 152010101092
Indah Permata Sholicha 152010101095
Fatihah Mardiana K D 152010101105
Nizar Fiska Bayu A 152010101118
Hilya Itsnain Mumtaza 152010101132
Anis Talitha Damarawati 152010101134
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A. SKENARIO
Judul Skenario : Gatal
Skenario :
Dimas 23 tahun, datang ke klinik pratama dengan keluhan gatal pada wajah
dan seluruh badannya, serta muncul bintik-bintik merah pada kulitnya.
Keluhan tersebut terasa sehari setelah dia belajar berenang bersama teman-
temannya, tetapi teman-temannya tidak mengeluhkan hal serupa. Bagaimana
etiologi dan patofisiologi penyakit yang dialami Dimas?
B. LEARNING OBJECTIVE
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kulit (Integumen)
1.1. Anatomi Kulit
1.2. Histologi Kulit
1.3. Fisiologi Kulit
2. Mikrobiologi Imunologi Dasar dan Flora Normal Tubuh
2.1. Mikrobiologi dan Imunologi Dasar
2.2. Flora Normal Tubuh
3. Gatal/Pruritus
4. Patofisiologi Reaksi Alergi
5. Pengantar Parasitologi
6. Histamin dan Antihistamin
6.1. Histamin
6.2. Antihistamin
C. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Kulit (Integumen)
1.1 Anatomi Kulit
Asal Kulit : Ektoderm Epidermis
Mesoderm Dermis
Pigmentasi : kulit mengandung melanin yang diproduksi oleh
melanosit
Lapisan kulit
1. Epidermis : terdiri dari epitel berlapis pipih bertanduk
a. stratum basale
merupakan selapis sel silindris terletak di atas lapisan
membrane basalis, disebut juga stratum silindrikum
sering mengalami mitosis sehingga disebut stratum
germinativum
disebut juga stratum Malpighi
b. stratum spinosum
terdiri dari beberapa lapis sel polihedris yang mempunyai
jembatan antar sel sehingga tapak berduri
sering mengalami mitosis, disebut juga stratum germinativum
c. stratum granulosum
terdiri dari 2-4 lapis sel polihedris rendah (diamond shape)
sitoplasma mengandung butir-butir keratohyalin
sel akan mati sehingga inti melarut (lisis)
d. stratum lucidum
Sel-sel mengalami kematian, inti melarut sehingga tampak
sebagai lapisan yang homogeny dan transparan.
Mengandung eleidin
e. stratum korneum
merupakan lapisan homogeny (tanduk) mengalami
keratinisasi, inti tidak tampak
f. stratum disjuntum
merupakan lapisan stratum korneum yang terlepas.
Epidermis mengandung 3 jenis sel, antara lain: melanosit, sel
langerhans, dan sel merkel.
1. Melanosit berasal
dari sel krista saraf, sel ini
memiliki juluran sitoplasma
becabang ke dalam
epidermis.Melanosit terletak
antara statum basal dan statum spinosum epidermis dan menyintesis pigmen
coklat melanin. Melanin memberi warna gelap pada kulit, dan pemaparan kulit
terhadap sinar matahari merangsang pembentukan melanin. Melanin ada 2
macam, eumelanin dan feomelanin. Eumelanin adalah pigmen coklat tua yang
terdapat di antara sel-sel stratum basale dan dalam folikel rambut; Feomelanin
adalah pigmen yang ditemukan di dalam rambut merah dan mengandung sistein.
Fungsi melanin adalah melindungi kulit dari efek radiasi ultraviolet yang
merusak.
Reseptor Kulit :
Kulit adalah reseptor sensorik yang paling luas.
- Ujung saraf bebas terletak di dalam : epidermis, folikel
rambut, kelenjar kutaneus, dermis, dan subkutis. Ujung saraf ini
sensitive terhadap rabaan, tekanan, sensasi taktil, suhu, nyeri,
gatal, dan lain sebagainya.
- Ujung saraf melebar : ujung Ruffini
- Ujung saraf bersimpai : badan vater-Paccini, badan
meissner, dan badan Krause.
Reseptor nyeri:
- Reseptor nyeri mekanosensitif, beberapa serat nyeri hampir
seluruhnya terangsang oleh stress mekanis berlebihan atau
kerusakan mekanis pada jaringan.
- Reseptor nyeri termosensitif, sensitive dengan panas atau
dingin yang ekstrim.
- Reseptor nyeri kemosensitif, sensitive terhadap berbagai zat
kimia.
Reseptor-reseptor yang terletak di alat indera peraba antara lain
Ujung Saraf Bebas
Serat saraf sensorik aferen berakhir sebagai ujung akhir saraf
bebas pada banyak jaringan tubuh dan merupakan reseptor
sensorik utama dalam kulit.Serat akhir saraf bebas ini merupakan
serat saraf yang tak bermielin, atau serat saraf bermielin
berdiameter kecil, yang semua telah kehilangan pembungkusnya
sebelum berakhir, dilanjutkan serat saraf terbuka yang berjalan di
antara sel epidermis.Sebuah serat saraf seringkali bercabang-
cabang banyak dan mungkin berjalan ke permukaan, sehingga
hampir mencapai stratum korneum
Korpuskulus Peraba (Meissner)
Korpuskulus peraba (Meissner) terletak pada papila dermis,
khususnya pada ujung jari, bibir, puting dan genetalia.Bentuknya
silindris, sumbu panjangnya tagak lurus permukaan kulit dan
berukuran sekitar 80 mikron dan lebarnya sekitar 40
mikron.Sebuah kapsul jaringan ikat tipis menyatu dengan
perinerium saraf yang menyuplai setiap korpuskel. Korpuskulus
ini peka terhadap sentuhan dan memungkinkan diskriminasi/
pembedaan dua titik (mampu membedakan rangsang dua titik
yang letaknya berdekatan).
Korpuskulus Berlamel (Vater Pacini)
Korpuskulus berlamel (vater pacini) ditemukan di jaringan
subkutan pada telapak tangan, telapak kaki, jari, puting,
periosteum, mesenterium, tendo, ligamen dan genetalia eksterna.
Korpuskulus ini berfungsi untuk menerima rangsangan tekanan
yang dalam.
Korpuskulus Gelembung (Krause)
Korpuskulus gelembung (krause) ditemukan di daerah mukokutis
(bibir dan genetalia eksterna), pada dermis dan berhubungan
dengan rambut.Korpuskel ini jumlahnya semakin berkurang
dengan bertambahnya usia.Korpuskel ini berguna sebagai
mekanoreseptor yang peka terhadap dingin.
Korpuskulus Ruffini
Korpuskulus ini ditemukan pada jaringan ikat termasuk dermis
dan kapsula sendi.Mempunyai sebuah kapsula jaringan ikat tipis
yang mengandung ujung akhir saraf yang
menggelembung.Korpuskulus ini terangsang oleh regangan atau
kontraksi otot yang bersangkutan juga untuk menerima
rangsangan panas.
1.2. Histologi Kulit
Integumen atau kulit merupakan jaringan yang menutupi permukaan
tubuh,
yang terdiri atas 2 lapisan :
1. Epitel yang disebut epidermis.
2. Jaringan pengikat yang disebut dermis atau corium.
Epidermis berasal dari ectoderm dan dermis berasal dari mesoderm.
Dibawah kulit terdapat lapisan jaringan pengikat yang lebih longgar disebut
hypodermis yang pada beberapa tempat banyak mengandung jaringan lemak.
Berdasarkan gambaran morfologis dan ketebalan epidermis, kulit dibagi
menjadi :
-Kulit Tebal.
-Kulit Tipis.
Kulit Tebal.
Kulit tebal ini terdapat pada vola manus dan planta pedis yang tidak
memiliki folikel rambut. Pada permukaan kulit tampak garis yang
menonjol dinamakan crista cutis yang dipisahkan oleh alur alur
dinamakan sulcus cutis.
Pada mulanya cutis tadi mengikuti tonjolan corium di bawahnya tetapi
kemudian dari epidermis sendiri terjadi tonjolan ke bawah sehingga
terbentuklah papilla corii yang dipisahkan oleh tonjolan epidermis.
Pada tonjolan epidermis antara dua papilla corii akan berjalan ductus
excretorius glandula sudorifera untuk menembus epidermis
Epidermis
Dalam epidermis terdapat dua sistem :
1. Sistem malpighi, bagian epidermis yang sel selnya akan mengalami
keratinisasi.
2. Sistem pigmentasi, yang berasal dari crista neuralis dan akan
memberikan melanosit untuk sintesa melanin.
Disamping sel sel yang termasuk dua sistem tersebut terdapat sel lain,
yaitu sel Langerhans dan sel Markel yang belum jelas fungsinya.
Struktur histologis.
Pada epidermis dapat dibedakan 5 stratum, yaitu:
Stratum basale
Lapisan ini disebut pula sebagai stratum pigmentosum atau strarum
germinativum karena paling banyak tampak adanya mitosis sel sel.
Sel sel lapisan ini berbatasan dengan jaringan pengikat corium dan
berbentuk silindris atau kuboid. Di dalam sitoplasmanya terdapat butir -
butir pigmen.
Stratum spinosum
Lapisan ini bersama dengan stratum basale disebut pula stratum
malpighi atau stratum germinativum karena sel selnya menunjukkan
adanya mitosis sel. Sel sel dari stratum basale akan mendorong sel sel
di atasnya dan berubah menjadi polihedral.
Stratum spinosum ini terdiri atas beberapa lapisan sel sel yang
berbentuk polihedral dan pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya
pada tepi sel menunjukkan tonjolan tonjolan seperti duri duri. Semula
tonjolan tonjolan tersebut disangka sebagai jembatan interseluler dengan
di dalamnya terdapat tonofibril yang menghubungkan dari sel yang satu ke
sel yang lain.
Stratum granulosum
Lapisan ini terdiri atas 2-4 sel yang tebalnya di atas stratum
spinosum. Bentuk sel seperti belah ketupat yang memanjang sejajar
permukaan. Sel yang terdalam berbentuk seperti sel pada strarum
spinosum hanya didalamnya mengandung butir butir.
Butir butir yang terdapat sitoplasma lebih terwarna dengan hematoxylin
(butir butir keratohialin) yang dapat dikelirukan dengan pigmen. Adanya
butir butir keratohyalin semula diduga berhubungan dengan proses
keratinisasi, tetapi tidak selalu dijumpai dalam proses tersebut, misalnya
pada kuku. Makin ke arah permukaan butir butir keratin makin
bertambah disertai inti sel pecah atau larut sama sekali, sehingga sel sel
pada stratum granulosum sudah dalam keadaan mati.
Stratum lucidum
Tampak sebagai garis bergelombang yang jernih antara stratum
granulosum dan stratum corneum. Terdiri atas beberapa lapisan sel yang
telah gepeng tersusun sangat padat. Bagian yang jernih ini mengandung
zat eleidin yang diduga merupakan hasil dari keratohialin.
Stratum Corneum
Pada vola manus dan planta pedis, lapisan ini sangat tebal yang terdiri atas
banyak sekali lapisan sel sel gepeng yang telah mengalami kornifikasi
atau keratinisasi. Hubungan antara sel sebagai duri duri pada stratum
spinosum sudah tidak tampak lagi. Pada permukaan, lapisan tersebut akan
mengelupas (desquamatio) kadang kadang disebut sebagai stratum
disjunctivum
Dermis
Terdiri atas 2 lapisan yang tidak begitu jelas batasnya, yaitu :
Stratum papilare
Merupakan lapisan tipis jaringan pengikat di bawah epidermis
yang membentuk papilla corii. Jaringan tersebut terdiri atas sel sel yang
terdapat pada jaringan pengikat longgar dengan serabut kolagen halus.
Stratum reticulare
Lapisan ini terdiri atas jaringan pengikat yang mengandung serabut
serabut kolagen kasar yang jalannya simpang siur tetapi selalu sejajar
dengan permukaan. Di dalamnya selain terdapat sel sel jaringan pengikat
terdapat pula sel khromatofor yang di dalamnya mangandung butir butir
pigmen.
Di bawah stratum reticulare terdapat subcutis yang mengandung
glandula sudorifera yang akan bermuara pada epidermis.
Kulit Tipis
Menutupi seluruh bagian tubuh kecuali vola manus dan planta pedis
yang merupakan kulit tebal. Epidermisnya tipis,sedangkan ketebalan
kulitnya tergantung dari daerah di tubuh.
Kelenjar ini bermuara pada leher folikel rambut dan sekret yang
dihasilkan berlemak (sebum), yang berguna untuk meminyaki rambut dan
permukaan kulit. Glandula ini bersifat holokrin. Glandula sebacea
biasanya disertai dengan folikel rambut kecuali pada palpebra, papila
mammae, labia minora hanya terdapat glandula sebacea tanpa folikel
rambut.
Rambut
Merupakan struktur berkeratin panjang yang berasal dari invaginasi
epitel epidermis.Rambut ditemukan diseluruh tubuh kecuali pada telapak
tangan, telapak kaki, bibir, glans penis, klitoris dan labia
minora.pertumbuhan rambut pada daerah-daerah tubuh seperti kulit
kepala, muka, dan pubis sangat dipengaruhi tidak saja oleh hormon
kelamin-terutama androgen-tetapi juga oleh hormon adrenal dan hormon
tiroid. Setiap rambut berkembang dari sebuah invaginasi epidermal, yaitu
folikel rambut yang selama masa pertumbuhannya mempunyai pelebaran
pada ujung disebut bulbus rambut. Pada dasar bulbus rambut dapat dilihat
papila dermis. Papila dermis mengandung jalinan kapiler yang vital bagi
kelangsungan hidup folikel rambut.
Pada jenis rambut kasar tertentu, sel-sel bagian pusat akar rambut
pada puncak papila dermis menghasilkan sel-sel besar, bervakuola, cukup
berkeratin yang akan membentuk medula rambut. Sel-sel yang terletak
sekitar bagian pusat dari akar rambut membelah dan berkembang menjadi
sel-sel fusiform berkelompok padat yang berkeratin banyak, yang akan
membentuk korteks rambut. Lebih ke tepi terdapat sel-sel yang
menghasilkan kutikula rambut, sel-sel paling luar menghasilkan sarung
akar rambut dalam. Yang memisahkan folikel rambut dari dermis ialah
lapisan hialin nonseluler, yaitu membran seperti kaca (glassy membrane),
yang merupakan lamina basalis yang menebal. Sarung akar rambut dalam
ini memiliki 3 lapisan, pertama cuticula ranbut yang terdiri atas lapisan
tipis bangunan sebagai sisik dari bahan keratin yang tersusun dengan
bagian yang bebas kearah papilla rambut. Lapisan kedua yaitu lapisan
Huxley yang terdiri atas sel-sel yang saling beruhubungan erat. Dibagian
dekat papila terlihat butir-butir trikhohialin di dalamnya yang makin keatas
makin berubah menjadi keratin seperti corneum epidermis. Lapisan ketiga
adalah lapisan Henle yang terdiri atas satu lapisan sel yang memanjang
yang telah mengalami keratinisasi dan erat hubungannya satu sama lain
dan berhubungan erat dengan selubung akar luar.selubung akar luar
berhubungan langsung dengan sel epidermis dan dekat permukaan sarung
akar rambut luar memiliki semua lapisan epidermis.
Muskulus arektor pili tersusun miring, dan kontraksinya akan
menegakan batang rambut. kontraksi otot ini dapat disebabkan oleh suhu
udara yang dingin, ketakutan ataupun kemarahan. Kontraksi muskulus
arektor pili juga menimbulkan lekukan pada kulit tempat otot ini melekat
pada dermis, sehingga menimbulkan apa yang disebut tegaknya bulu
roma. Sedangkan warna rambut disebabkan oleh aktivitas melanosit yang
menghasilkan pigmen dalam sel-sel medula dan korteks batang rambut.
Melanosit ini menghasilkan dan memindahkan melanin ke sel-sel epitel
melalui mekanisme yang serupa dengan yang dibahas bagi epidermis.
Kuku
Kuku adalah lempeng sel epitel berkeratin pada permukaan dorsal
setiap falangs distal. Sebenarnya invaginasi yang terjadi pada kuku tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada rambut, selanjutnya invaginasi
tersebut membelah dan terjadilah sulcus matricis unguis, dan kemudian
sel-sel di daerah ini akan mengadakan proliferasi dan dibagian atas akan
menjadi substansi kuku sebagai keratin keras. Epitel yang terdapat di
bawah lempeng kuku disebut nail bed. Bagian proksimal kuku yang
tersembunyi dalam alur kuku adalah akar kuku(radix unguis).
3. Gatal/Pruritus
Definisi
Pruritus didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman pada kulit yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu untuk mendapatkan
kelegaan. Pruritus bersinonim dengan gatal, dan memiliki prevalensi yang
meningkat pada orang tua. Pruritus dapat menyebabkan perasaan tidak
nyaman dan frustasi; pada kasus yang berat, pruritus dapat menyebabkan tidur
yang terganggu, rasa gelisah, dan depresi. Garukan yang konstan atau terus
menerus untuk mendapatkan kelegaan dapat merusak kulit (ekskoriasi,
likenifikasi) dan dapat mengurangi keefektivan kulit sebagai lapisan
pelindung.
Klasifikasi Gatal
Pruritoceptive itch : Akibat gangguan yang berasal dari kulit. Misalnya,
inflamasi, kering, dan kerusakan kulit.
Neuropathic itch : Akibat gangguan pada jalur aferen saraf perifer atau
sentral. Misalnya, pada herpes dan tumor.
Neurogenic itch : Tidak ada gangguan pada saraf maupun kulit, namun
terdapat transmitter yang merangsang gatal. Misalnya, morphin dan penyakit
sistemik (ginjal kronis, jaundice)
Psikogenic itch : Akibat gangguan psikologi. Misalnya, parasitophobia.
Jaras Sensoris Kulit
Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor nyeri
(nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah epidermis.
Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf. Serabut saraf A
bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf C tidak bermielin.
Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang merupakan polimodal
nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal nosiseptor merupakan
serabut saraf yang merespon terhadap semua jenis stimulus mekanik dan
kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak merespon terhadap stimulus
mekanik, namun memberi respon terhadap stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari
mekanoinsensitif ini merupakan pruritoseptor yaitu reseptor yang
menimbulkan rasa gatal, terutama dipengaruhi oleh histamine. Serabut saraf A
merupakan penghantar sinyal saraf yang cepat. Kecepatan hantarannya
mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf C merupakan penghantar sinyal
saraf yang lambat. Kecepatan hantarannya hanya 12m/detik, terlebih lagi pada
serabut saraf C mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik. Hal ini menjelaskan
mengapa seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat setelah stimulus
terjadi. Bandingkan saat tangan kita terkena benda panas.
Gatal dapat timbul apabila pruritoseptor terangsang dan reseptor
lainnya tidak terangsang. Tidak mungkin pada penghantaran sinyal, terdapat
dua reseptor sekalgus yang terangsang oleh satu stimulus. Saat pruriseptor
terangsang, seseorang akan mulai merasakan sensasi gatal sehingga timbul
hasrat untuk menggaruk. Saat menggaruk, polimodal nosiseptor akan
terangsang sehingga pruritoseptor akan berhenti terangsang. Hal ini
memberikan penjelasan mengapa ketika seseorang menggaruk tubuhnya yang
gatal, maka rasa gatal akan menghilang. Setelah garukan dihentikan, yang
artinya polimodal nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor sangat
mungkin untuk kembali terangsang sehingga gatal akan timbul kembali.
Polimodal nosiseptor juga dapat menimbulkan gatal, misalnya pada baju baru
yang labelnya kasar akan menimbulkan sensasi gatal.Stimulus pada serabu
saraf C melalui ganglion dorsal dan menyilang pada saraf tulang belakang ke
sisi kontralateral dan masuk ke jalur spinotalamikus lateral menuju thalamus
dan akhirnya mencapai korteks serebri sensori.
Mediator Penyebab Gatal pada Kulit
Histamin
Konsentrasi histamin yang rendah pada lapisan dermo-epidermal
menyebabkan sensasi gatal, namun injeksi yang lebih dalam (deeper
intracutaneus) menyebabkan nyeri. Histamin disintesis di dalam sel mast dan
tersimpan pada granula sel mast. Ketika terjadi reaksi radang, sel mast
terdegranulasi dan keluarlah histamin tersebut. Histamin terdiri dari dua
macam, H1 dan H2. Histamin yang menyebabkan gatal adalah H1.
Serotonin
Amina jenis ini ditemukan pada platelet tapi tidak terdapat pada sel mast
manusia. Serotonin dapat menyebabkan gatal melalui pelepasan histamine dari
sel mast dermal.
Endopeptidase
Endopeptidase seperti tripsin atau papain dapat menyebabkan gatal.
Tripsin adalah komponen penting dari sel mast dermal dan dilepaskan akibat
aktivasi sel mast. Sel mast memperoleh triptase, dari kerja proteinase-activated
receptor-2 (PAR-2) pada terminal saraf C yang berdekatan sehingga
membangkitkan neuropeptida pruritogenik dari terminal yang sama. Hal ini
memperlihatkan interaksi sistem imun dan sistem saraf dalam menyebabkan
sensasi gatal. Selain tripsin, reaksi inflamasi juga menghasilkan interleukin-2
(IL-2) yang ikut berperan dalam timbulnya gatal.
Neuropeptida
Substansi P yang terdapat pada terminal neuron C dilepaskan sebagai akibat
dari kerja triptase sel mast pada PAR-2 dan menyebabkan gatal dengan baik
dengan aksi langsung maupun memicu pelepasan histamin oleh sel mast
melalui reseptor NK-1. Dosis rendah dari morphin menyebabkan gatal dan
efeknya adalah pelepasan prostaglandin dan degranulasi sel mast. Reseptor
agonis opioid adalah pada saraf tulang belakang atau ganglia dorsal karena
dosis rendah dari morphine dapat menyebakan gatal segmental.
Eicosanoid
Transformasi asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) memliki peran yang
kuat dalam mediator inflamasi tapi tidak secara langsung menyebabkan gatal.
Prostaglandin E (PGE) menyebabkan gatal melalui mediator lain. Konsentrasi
rendah PGE pada satu area kulit menurunkan ambang batas timbulnya sensasi
gatal akibat kerja histamin pada area tersebut.
Patofisiologi Pruritus
Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi.
Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut
saraf sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis susunan saraf
tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson refleks mengeluarkan
transmiter yang menghasilkan inflamasi neurogenik (substansi P, CGRP,
NKA, dll). Setelah impuls melalui pemrosesan di korteks serebri, maka akan
timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak yang menyebabkan hasrat untuk
menggaruk bagian tertentu tubuh.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pruritus ialah tanda-tanda garukan dan ekskoriasis. Pada
garukan akut dapat timbul urtika, sedangkan pada garukan kronik dapat timbul
perdarahan kutan dan likenifikasi. Garukan dengan kuku menyebabkan
ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. Keinginan
perasaan gatal dengan garukan hanya akan ada, bila kausa pruritus terletak di
alat sentral.
Respons psikologik
Respons psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan
status emosional penderita. Bila stimulus pruritus berlangsung sering, lama,
dan tanpa diketahui penyebabnya, maka akan berakibat timbulnya perasaan
takut, tegang, dan cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada
personalitas penderita.
4) Reaksi Tipe IV
Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan
penyebab dari autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan
langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas.
Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada
beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas jaringan dapat juga
mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada
tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan
responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi.
Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari
jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional.
Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi,
tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang
menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh
DTH yang dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh
limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan
mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang
terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan
dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan
mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag
dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel
autolog dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit
autoimun yang dimediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+
spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas
jaringan.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator
sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada
penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang
diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin
topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk
mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis
terhadap sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan
obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan
bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory
bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk
menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor
untuk sitokin seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti
B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi
melalui sel CD8+.
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi
oleh injeksi intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang
merupakan komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang
sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs
dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang.
Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear
disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah perivascular
cuffing. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi
lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema
dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab
utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah
berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan
hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin.
Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein
dari tuberkel bacilli, sel CD4+ T nave mengenali peptida turunan antigen
dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu
diferensiasi dari sel T CD4+ nave menjadi sel Th1. Induksi sel Th1
merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH bergantung pada
sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan
memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu
yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang
sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan
mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini
akan menyekresi sitokin, terutama IFN-, yang bertanggung jawab
terhadap ekspresi DTH.
T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang
tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut
disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL
merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T.
CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting
dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap
infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan
molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke
permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari
limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan
eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah
diketahui: (1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas
ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk
yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat
memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang
limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel taget, kemudian
terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya
ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di
membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut
granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk
perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase,
yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori
perforin menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan lisis
osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi apoptosis sel target
namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas ligan,
molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi
apoptosis.
5. Pengantar Parasitologi
Nomenklatur Parasitologi
Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari organisme yang hidup
untuk sementara atau menetap di dalam atau pada permukaan organisme
lain, dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh makanannya
serta mendapat perlindungan dari organisme yang ditumpangi. Ada
beberapa istilah dalam parasitologi, yaitu:
Parasit = Organisme yang menumpang
Hospes / Inang = Organisme yg ditumpangi
Parasitisme = Hubungan timbal balik
Zooparasit
Metazoa Protozoa
Arthropoda
Helminthes
Ektoparasit Endoparasit
investasi infeksi (reinfeksi,
superinfeksi,
autoinfeksi)
Parasitosis
Sumber
infeksi
Cara
Hospes
masuk /
peranta
por't
ra II
d'entree
Siklus
Hidup
Hospes
Hospes
peranta
ra I definitif
Tempat
perkemba
ngan
telur/larva
Epidemiologi Parasit
Penyebaran tergantung:
Sumber infeksi (penderita ataupun hospes reservoir)
Keadaan lingkungan (iklim, curah hujan, kelembaban suhu, sinar
matahari, sanitasi, dll)
Tersedianya vektor
Keadaan penduduk (kepadatan, sosial, pendidikan, dll)
Distribusi kosmopolit, regional, lokal.
Diagnosis
Gejala penyakit Parasitik umumnya tidak spesifik bahkan asymptomatik.
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Tinja, berbagai metode
Pemeriksaan darah, urine, sputum
Biakan atau kultur
Reaksi imunologis (imunodiagnosis)
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan
Pengobatan massal atau perorangan
Pengobatan ditujukan yg mempunyai efek letal bagi parasit tapi
minimal efek bagi hospes
Tindakan bedah
Pencegahan
Mengurangi sumber infeksi mengobati penderita
Pendidikan kesehatan utk mencegah penyebaran penyakit
Pengawasan sanitasi air, makanan, tempat tinggal
Pengendalian hospes reservoir dan vektor
Mempertinggi pertahanan biologis thd penularan penyakit