Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Insidens
rate demam tifoid di Asia Selatan dan Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rata-rata
1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New
Guinea sekitar 1.208 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih
tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan
per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian
demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10.
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam
tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit
di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati
oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati
oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01%.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Insiden demam tifoid di Indonesia termasuk tinggi yaitu berkisar 352-810 kasus per
100.000 penduduk per tahun atau 600.000 1.500.000 kasus per tahun. Angka kematian

1
diperkirakan 2,5 6 % atau 50.000 orang per tahun. Kasus demam tifoid sangat sering
ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi masyarakat yang
tergolong rendah, tingkat pendidikan yang rendah, serta kualitas higienis pribadi yang kurang
baik atau cenderung jelek. Keadaan ini dapat mengakibatkan pengobatan yang diberikan
tidak adekuat.
Kasus demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Tanralili masih merupakan
permasalahan yang jelas. Hal ini terlihat dengan adanya pembuktian hasil laboratorium
dengan titer O > 320.

I.3 TUJUAN

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi,
gambaran klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, prognosis, serta pencegahan dari demam
tifoid agar tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut.

I.4 MANFAAT

a. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyebab, gejala, tanda, akibat
yang dapat ditimbulkan, dan pencegahan penyakit demam tifoid.
b. Bagi Puskesmas
Pelaksanaan kegiatan ini akan sangat bermanfaat bagi puskesmas, karena merupakan
salah satu kegiatan promosi kesehatan guna mencegah terjadinya penyakit demam
tifoid.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI DAN ETIOLOGI

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S. typhi). Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-negara Asia dan
dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim
kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3-19 tahun.

II.2 PATOFISIOLOGI

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri
yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, dan di usus halus tepatnya
di ileum dan yeyenum akan menembus dinding usus. Bakteri mencapai folikel limfe usus
halus, ikuti aliran ke kelenjar limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan reticuloendothelial system (RES) di organ hati dan limpa. Salmonella
tyhpi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati, dan limfe. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama

3
beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas
di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches di mukosa ileum
terminal. Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-
akibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul
ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.

II.3 GAMBARAN KLINIS

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk
kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap
harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan
klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa
atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian
dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang
dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat
dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulo
papular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan
terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3
hari.
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefaopati tifosa, serta gangguan pada system
tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat
komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.

4
II.4 DIAGNOSIS

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu
mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan
dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada
60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk
pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang
tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). Peran
pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih
kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O
masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu,
Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis
didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa
hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat
setempat. Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang
positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella.
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap
selama 2 tahun setelah infeksi, Oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus
akut dan kasus dalam masa penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang
hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan
Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan
sebelumnya.

5
II.5 PENATALAKSANAAN

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok
MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terapi antibiotik yang
diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat
pada tabel berikut.

Antibiotik golongan fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)


merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier
kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/ makrofag, serta mencapai kadar yang

6
tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan
untuk menilai efektivitas fluoroquinolon yang bekerja dengan menghambat sintesis DNA
dan pertumbuhan bakteri Pseudomonas, Streptococci, MRSA, Staphilokokkus epidermidis,
dan banyak organisme gram negatif.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa
pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol
untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak
karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam
tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-
7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan
cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan
demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal
carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat,
distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala
klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang
diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di
Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif.
Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat, dilanjutkan dengan diet makanan yang
lembut dan mudah dicerna.

II.6 KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :


Komplikasi Intraintestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami

7
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun, dan bahkan sampai syok.
Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

II.7 PROGNOSIS

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka
kematian pada anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

II.8 PENCEGAHAN

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan
tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Selain

8
strategi tersebut, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara
maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:

Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan
secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi
perlindungan sebesar 70-80%.

Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak
usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari.
Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3
tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.

Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap
selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

9
BAB III

STATUS PASIEN

Tanggal Pemeriksaan : 3 Juli 2014

Masuk PKM : 3 Juli 2014

Keluar PKM : 3 Juli 2014

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R

Umur : 34 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah

Alamat : Kariango, Asrama Kostrad

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Demam

Anamnesa Terpimpin : dialami sejak 7 hari yang lalu, tidak terus-menerus dan dirasakan
terutama pada malam hari, kadang- kadang menggigil (+). Nyeri kepala (-), pusing (-), batuk (-),
sesak (-), nyeri perut (+), mual (+), muntah (-), lemah otot (+)
BAK : lancar, warna kekuningan, kesan biasa
BAB : belum BAB sejak 2 hari yang lalu.

10
- Riwayat penyakit sebelumnya (-), pasien baru mengalami keluhan seperti ini.
- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-)
- Riwayat pengobatan sebelumnya (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS : Sakit sedang/ Gizi cukup/ Sadar

STATUS VITALIS

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 68 x/menit, regular, kuat angkat

Pernafasan : 22 x/menit, BP : tipe abdominothoracal

Suhu : 38 C

STATUS LOKALIS

Kepala

- Bentuk : Bulat, simetris


- Rambut : Hitam, tebal, tidak mudah dicabut
- Mata : Kelopak mata oedem -/-, konjungtiva anemis (-), sklera anikterik
- Telinga: Bentuk normal, simetris, liang sempit, serumen (-/-), pus (-/-)
- Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-)
- Mulut : Bibir kering, lidah kotor (+), tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis

Leher

- Bentuk : Simetris
- Trakhea : Di tengah
- KGB : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat

Paru-Paru

11
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan
- Palpasi : MT(-), NT(-), VF kanan = kiri
- Perkusi : Sonor kanan = kiri
- Auskultasi : BP : vesikuler, Rh -/-, Wheezing -/-

Cor

- Inspeksi : Tampak ictus cordis di ICS V midclavicularis sinistra


- Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V midclavicularis sinistra
- Perkusi : Pekak
- Auskultasi : BJ I/II regular murni

Abdomen

- Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas


- Auskutasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Palpasi : MT(-), NT(+) regio umbilikus, Hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani

Ekstremitas

- Atas : Akral hangat, edem (-), NVD dalam batas normal, ROM dalam batas normal
- Bawah : Akral hangat, edem (-), NVD dalam batas normal, ROM dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin:

- WBC 8,6.103/uL
- Hb 11,8 gr/dl
- PLT 287.103 gr/dl

Tes Widal:
- Titer O 1/320
- Titer H 1/40
- Titer AH 1/160
- Titer BH 1/40

V. DIAGNOSIS
12
Demam tifoid

VI. RENCANA TERAPI


- Tirah baring total
- Diet tinggi kalori tinggi protein

- Metoclopramide 3x1 (ac)


- Ciprofloxacin 500 mg 2x1
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Bcomp 1x1

VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis demam tifoid selalu berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan


fisis, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pada pasien ini didapatkan
keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, dirasakan terutama pada sore hingga malam hari,
pasien juga kadang- kadang menggigil. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri perut, mual,
dan tidak BAB sejak 2 hari yang lalu.

13
Pada pengukuran tanda vital didapatkan suhu 38C. Pada pemeriksaan fisis regio
mulut ditemukan bibir kering, lidah kotor dengan tepi agak hiperemis. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan nyeri tekan pada regio umbilikal.

Saat itu telah dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan kadar hemoglobin,
leukosit, dan trombosit dalam batas normal. Dari tes Widal didapatkan hasil titer Salmonella
typhi O 1/320. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium pasien ini didiagnosis dengan Demam Tifoid.

Setelah menegakkan diagnosis, maka intervensi selanjutnya yakni pengobatan dan


edukasi mengenai pola hidup sehat. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik
ciprofloxacin, antipiretik paracetamol, antiemetik metocloperamid, vitamin B kompleks dan
menyarankan pasien untuk beristirahat total dan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi.

14
BAB V
KESIMPULAN

V.1 KESIMPULAN

Insidens demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
terutama yang terutama terletak di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Penyakit demam
enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi ini sering ditemukan pada keadaan
lingkungan yang padat penduduk, status sosioekonomi masyarakat yang tergolong rendah,
tingkat pendidikan yang rendah serta kualitas kebersihan pribadi yang kurang baik sehingga
mengakibatkan pengobatan yang diberikan tidak adekuat.
Selain itu, tingginya angka kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Oleh karena itu, strategi pencegahan yang dapat diterapkan adalah dengan
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dimulai dari lingkungan rumah.
Contoh kegiatan PHBS yang dapat dilakukan di rumah antara lain selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, tidak jajan sembarangan, menjaga
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.
Penegakan diagnosis demam tifoid berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium yang dini disertai pemberian terapi yang tepat mencegah terjadinya
komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman, dan kematian.

V.2 SARAN

Diharapkan mini project dan laporan kasus ini dapat menambah wawasan pengetahuan
bagi pembaca maupun audience sehingga dapat mengetahui gejala, penanganan awal yang
tepat pada pasien, serta mengetahui langkah- langkah pencegahan yang dapat dilakukan agar
terhindar dari penyakit demam tifoid dengan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat .

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Corwin, Elizabeth J., 2005. Patofisiologi, Edisi I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Nelwan, RHH. 2012 Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192/ vol. 39
no. 4. Jakarta: Departement Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

16

Anda mungkin juga menyukai