Disusun oleh :
Radyoko Heru Rahbanu
22010115220198
Pembimbing :
dr. Triwidodo
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 2201011520198
Fakultas : Kedokteran
Pembimbing
dr. Triwidodo
BAB I
PENDAHULUAN
yang alergi dengan obat anestesi umum, penggunaan anestesi regional merupakan
pilihan yang lebih tepat digunakan.1
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya yaitu obat yang
relatif murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang
adekuat dan kemampuan dalam mencegah respons stress secara lebih sempurna.
Anestesi lokal atau regional dibagi menjadi anestesi epidural dan anestesi spinal.
Kedua teknik ini memiliki perbedaan baik dalam hal lokasi dan teknik insersi,
mekanisme obat yang diberikan sampai menimbulkan efek serta komplikasi yang
ditimbulkan.2
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat
anestesi lokal secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif, dan mudah dikerjakan. Jarum
spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1;
batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawa
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan
insersi. Anestesi lokal biasanya diberikan dengan bolus tunggal. Pada pasien ini
akan digunakan teknik anestesi spinal pada operasi hernioraphy hernia
insisionalon abdomen seorang wanita 45 tahun dengan hipertensi stage I
terkontrol.2
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI REGIONAL
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu an
dan esthesia, dan bersama-sama berarti hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.2
Anestesi lokal/ regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah,
pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna.2
a. Mekanisme Kerja
Infiltrasi anestesi di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca2+ dari
reseptor dan anestesi lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjad
blokade gerbang Na+. Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi
kecepatan induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan tidak
terjadi potensial aksi.2
b. Jenis
i. Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi
lokal secara langsung ke adalam cairan serebrospinalis di dalam ruang
subarakhnoid. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2
dan di atas vertebra sakralis 1. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung
medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis
yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Anestesi lokal biasanya
diberikan dalam bolus tunggal.2
anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, dimana golongan
ester kurang stabil dalam larutan, lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek, sekitar 1 menit.
Golongan ini antara lain prokain, kokain, kloroprokain, dan tetrakain. Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung
terjadi akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah dengan cara hidrolisir terutama di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih
banyak mengalami reaksi-reaksi yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat
disterilkan dengan autoklaf. Golongan ini antara lain lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain dan ropivakain.2 Dikenal 3 macam
anestesi lokal yang lazim digunakan di Indonesia yaitu prokain, lidokain, bupivakain. Perbedaan ketiga jenis anestetik tersebut terlihat
Perlengkapan desinfeksi dan doek steril
Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi
lokal kulit dan jaringan subkutan
Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCl
0,9%
Syringe, kateter, jarum epidural/ jarum spinal
Kasa penutup steril2
ii. Pengaturan Posisi Pasien
Ada dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum/ kateter epidural, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan
dagu ditekuk ke dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk fleksi dimana
pasien duduk pada pinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ke ruang epidural. Penentuan posisi ini
didasarkan pada kondisi pasien dan kenyamanan ahli anestesi.2
iii. Teknik Insersi
Pada anestesi epidural dengan menggunakan panduan teknik loss of
resistance sebuah jarum Touhy diinsersikan sampai ujungnya tertancap
pada ligamentum flavum. Ligamentum ini akan memblok ujung jarum dan
menimbulkan tahanan kuat terhadap injeksi udara maupun larutan NaCl
0,9% dari sebuah suit yang dilekatkan pada jarum. Bila jarum dimasukkan
lebih dalam, ligamentum akan ditembus dan tahanan akan hilang seketika
sehingga udara atau NaCl 0,9% dapat diinjeksikan dengan mudah. Ini
merupakan pertanda telah dicapainya ruang epidural dan anestesi lokal dapat
disuntikkan atau kateter dapat diinsersikan.
Pada anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan
pencil point atau tappered point insersi dilakukan dengan menyuntikkan
jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai
dengan keluarnya cairan cerebrospinalis. Pemakaian jarum dengan diameter
kecil dimaksudkan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi
dura (PDPH).2
e. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau
10
elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi
ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di
bawah ini.6
Klasifikasi Angka
Deskripsi Pasien
ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan 0,2
tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 7,8
mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito
rongga disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke
luar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah
tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut
seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada
mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.7
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit
oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan
gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia
strangulate.7
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan
mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum7
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui
locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk
(medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding
belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.7
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena
sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan
otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara
kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai
hernia inguinalis.7
12
PENYEBAB
Dehisensi parsial dari sebagian atau seluruh lapisan fasia yang lebih
dalam, tetapi kulit masih utuh atau pada akhirnya dapat menyembuh. Hernia
insisional adalah komplikasi postoperative dan, seperti semua komplikasi,
penyebabnya dapat dipertimbangkan dari 3 faktor : preoperative, operative,
postopeartive3.
PENATALAKSANAAN
Bahkan hernia berukuran kecil dengan gejala harus diperbaiki lebih dini.
Pada hernia yang asimptomatik, resiko dari obstruksi intestinal, strangulasi, dan
ulkus pada kulit seperti halnya perbaikannya, bahkan pada pasien yang lebih tua,
juga dianjurkan. Observasi saja dapat membuat hernia ukurannya menjadi
bertambah besar, dan perbaikan lebih lanjut menjadi lebih dulit dan berbahaya.
Teknik bedah yang dilakukan adalah sama seperti untuk hernia para-umbilikal,
tetapi hernia yang lebih besar mungkin membutuhkan mesh buatan untuk
rekonstruksi pada dinding abdomen3.
Pneumoperitoneum progresif adalah teknik yang bermanfaat dalam mem
persiapkan pasien untuk hernioplasti insisional karena hal ini mengatasi beberapa
gangguan dari penyakit karena pengeluaran alat-alat dalam (eventration). Pneu
moperitoneum menarik dinding abdomen dan perlekatan intrabdomen, mempcr-
cepat kembalinya visera ke abdomen, dan memperbaiki fungsi diafragma. Keba
nyakan hernia insisional kecil ditangani dengan penutupan sederhana dari defek
aponeurosis. Tetapi, hernia insisional besar dengan defek aponeurosis yang lebih
besar dari 10 cm, mempunyai angka kekambuhan sebesar 50%. Akibatnya,
kebanyakan hernia insisional, dan semua hernia insisional rekuren, membutuhkan
prostesis untuk keberhasilan dari terapi. Hernioplasti Stoppa lebih disukai dalam
melakukan hernioplasti insisional. Dapat digunakan pada semua tipe hernia
insisional di abdomen, mencakup hernia lumbalis pascanefrektomi5.
Hernioplasti Stoppa terdiri dari prostesis Mersilene yang sangat besar yang
diimplantasikan dalam pada muskulus dari dinding abdomen di puncak sarung
rektus posterior atau peritoneum. Prostesis memanjang sampai jauh di bawah
batas defek mioaponeurosis dan dengan erat difiksasi di tempat oleh tekanan
15
penundaan anestesia dan operasi.13,14 Namun ada yang berpendapat bahwa TDD
110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.12,14 Kenapa TD diastolik (TDD)
yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat
seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi.15
The American Heart Association/American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang
bersifat rapid acting.16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif.
Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia
dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi
dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan
baik.13,14
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat
antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal
minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan
penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
17
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. D
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Ruang : Rajawali 2A
No. CM : C404700
Tgl Operasi : 27 Juni 2016
Tgl MRS : 23 Juni 2016
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Perut Membuncit
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien riwayat operasi 2 tahun yang lalu, 3 bulan setelah operasi pasien
merasa ada benjolan kecil semakin lama semakin besar dan sekarang tidak
bisa masuk
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat operasi (+)
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat asma (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-).
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang pegawai swasta, sudah menikah. Pembiayan dengan BPJS
NON PBI. Kesan sosial ekonomi kurang.
Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah
(-)
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat peyakit jantung : tidak ada
Riwayat darah tinggi : ada
Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada
THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)
21
V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
Hernia Insisional AbdomenS
b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:
Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi
4. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Bupivacain HCl 0,5% I amp
Lidocaine 2% I amp
Fentanyl I amp
Tramadol I amp
II. Obat inhalasi : O2 3 L/menit 250 L
III. Cairan : Ringer Laktat 2 botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc III
Spuit 5 cc III
Spuit 10 cc II
Jarum spinal I
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 45 tahun dengan hipertensi
Stage I terkontrol dilakukan operasi herniotomi + hernioraphy hernia insisionalis
25
DAFTAR PUSTAKA
12. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension.
In: Hines RL,Marschall KE, editors. Stoelting s anesthesia and co-existing
disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
13. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult
perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:
Elsevier; 2004.p.3-82.
14. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient
undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia
2001;86(6):789-93
15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia.
Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9
16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and
perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83
17. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-
Hill; 2006.p.444-52
18. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at:
http://www.4um.com/tutorial/anaesthbp.htm
19. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative
management. West J Med 1995;162:215-9