Anda di halaman 1dari 27

1

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

HERNIORAPHY HERNIA INSISIONALIS ABDOMEN PADA


SEORANG WANITA 45 TAHUN DENGAN ANESTESI REGIONAL ASA II

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Radyoko Heru Rahbanu
22010115220198

Pembimbing :
dr. Triwidodo

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Radyoko Heru Rahbanu


2

NIM : 2201011520198

Fakultas : Kedokteran

Judul : Hernioraphy Hernia Insisionalis Abdomen Pada


Seorang Wanita 45 Tahun Dengan Anestesi Regional
ASA II

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Diponegoro Semarang

Pembimbing : dr. Triwidodo

Semarang, 12 Juli 2016

Pembimbing

dr. Triwidodo

BAB I
PENDAHULUAN

Pada operasi-operasi besar yang membutuhkan ketelitian, ketepatan dan


waktu lama, pasien umumnya mendapat anestesi umum untuk menghilangkan
kesadaran dan rasa sakit. Namun pada kasus-kasus tertentu seperti pada pasien
3

yang alergi dengan obat anestesi umum, penggunaan anestesi regional merupakan
pilihan yang lebih tepat digunakan.1
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya yaitu obat yang
relatif murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang
adekuat dan kemampuan dalam mencegah respons stress secara lebih sempurna.
Anestesi lokal atau regional dibagi menjadi anestesi epidural dan anestesi spinal.
Kedua teknik ini memiliki perbedaan baik dalam hal lokasi dan teknik insersi,
mekanisme obat yang diberikan sampai menimbulkan efek serta komplikasi yang
ditimbulkan.2
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat
anestesi lokal secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif, dan mudah dikerjakan. Jarum
spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1;
batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawa
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan
insersi. Anestesi lokal biasanya diberikan dengan bolus tunggal. Pada pasien ini
akan digunakan teknik anestesi spinal pada operasi hernioraphy hernia
insisionalon abdomen seorang wanita 45 tahun dengan hipertensi stage I
terkontrol.2
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI REGIONAL
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu an
dan esthesia, dan bersama-sama berarti hilangnya rasa sakit atau hilangnya
sensasi. Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai
kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi
dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes (1809-1894) untuk proses
eterisasi Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri
sewaktu pembedahan.2
Anestesi lokal/ regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah,
pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna.2
a. Mekanisme Kerja
Infiltrasi anestesi di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca2+ dari
reseptor dan anestesi lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjad
blokade gerbang Na+. Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi
kecepatan induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan tidak
terjadi potensial aksi.2
b. Jenis
i. Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi
lokal secara langsung ke adalam cairan serebrospinalis di dalam ruang
subarakhnoid. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2
dan di atas vertebra sakralis 1. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung
medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis
yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Anestesi lokal biasanya
diberikan dalam bolus tunggal.2

ii. Anestesi Epidural


Anestesi epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke
dalam rongga potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari
5

perbatasan kranioservikal pada C1 sampai membrana sakrokoksigea di


mana secara teoritis anestesi epidural dapat dilakukan di setiap daerah
tersebut.
Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan apda tempat di dekat akar saraf
yang menginervasi daerah pembedahan, misalnya epidural lumbal untuk
operasi daerah pelvis dan ekstremitas bawah, dan epidural thorakal untuk
operasi daaerah abdomen atas. Injeksi obat anestesi lokal dapat berupa
bolus tunggal atau dengan kateter untuk injeksi intermitten atau infus
kontinyu. Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural, dapat
digunakan teknik loss of resistance ataupun hanging drop.2
iii. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Anestesi spinal Anestesi epidural
Tempat insersi Hanya vertebra lumbal (di Sakral, lumbal, thorak,
bawah L2/3) dan servikal
Tempat injeksi Ruang subarakhnoid (LCS) Ruang epidural
Dosis obat Kecil Besar
Onset Cepat Lebih lambat
Blok motorik Kuat Sedang
Komplikasi Henti jantung, PDPH, spinal Intoksikasi lokal
tinggi, total spinal anestetik, hematom
epidural
Analgesia Tidak Ya, dengan kateter
postop

c. Obat Anestesi Regional


Berdasar struktur kimianya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide dan amide-amide. Perbedaan penting antara

anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, dimana golongan

ester kurang stabil dalam larutan, lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek, sekitar 1 menit.

Golongan ini antara lain prokain, kokain, kloroprokain, dan tetrakain. Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung

terjadi akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah dengan cara hidrolisir terutama di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih

banyak mengalami reaksi-reaksi yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat

disterilkan dengan autoklaf. Golongan ini antara lain lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain dan ropivakain.2 Dikenal 3 macam

anestesi lokal yang lazim digunakan di Indonesia yaitu prokain, lidokain, bupivakain. Perbedaan ketiga jenis anestetik tersebut terlihat

pada tabel di bawah ini.2

Prokain Lidokain Bupivakain


Golongan Ester Amide amide
6

Onset 2 menit 5 menit 15 menit


Durasi 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis max 12 6 mg/kgBB 3 mg/kgBB
mg/kgBB
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 3 10
Bupivacain sering digunakan sebagai anestesi spinal maupun epidural.
Pemberian bupivacain dengan kombinasi fentanyl dapat memperkecil dosis
bupivakain untuk mencapai kedalaman anestesi yang adekuat. Fentanyl
merupakan opoid lipofilik dimana memberikan efek mempercepat onset dan
mempersingkat durasi obat dengan insiden depresi nafas yang lebih sedikit.
Pada penelitian Jaishri dkk menyatakan bahwa kombinasi bupivacaine dan
fentanyl dapat mengurangi terjadinya mual, meningkatkan stabilitas
hemodinamik, dan meningkatkan durasi analgesi pasca operasi.3
Obat anestesia lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat,
durasi kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan sehingga dapat
disesuaikan dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan blokade
motorik pascaoperasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat
dilakukan. Beberapa faktor yang dianggap akan memengaruhi penyebaran
obat anestesia lokal antara lain karakteristik obat anestesia lokal (barisitas,
dosis, volume, konsentrasi, dan juga zat aditif), teknik (posisi tubuh, tempat
penyuntikan, barbotase, serta tipe jarum), dan juga karakteristik pasien (usia,
tinggi, berat badan, tekanan intraabdomen, kehamilan, dan anatomi dari tulang
belakang). Faktor yang dianggap paling berperan adalah barisitas dan juga
posisi tubuh. Barisitas obat sangat menentukan penyebaran obat anestesi lokal
dan ketinggian blokade.4, 5
Barisitas ialah rasio densitas obat anestesia lokal terhadap densitas
cairan serebrospinal (1,0031,009). Densitas tersebut didefinisikan sebagai
berat dalam gram dari 1 mL cairan pada temperatur tertentu.4,5,6 Densitas
cairan serebrospinal tidak seragam, tetapi bervariasi bergantung pada usia,
jenis kelamin, kehamilan, dan juga penyakit penyerta tertentu. Densitas cairan
serebrospinal lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, pada
wanita hamil dibandingkan dengan tidak hamil, dan wanita premenoupause
7

dibandingkan dengan wanita pascamenopause dan pria. Secara teori perbedaan


ini akan menyebabkan perubahan barisitas obat anestesia lokal pada kelompok
pasien yang berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut tidak terlalu besar dan
mungkin tidak bermakna secara klinis.4, 5
Obat anestesi lokal disebut hipobarik bila mempunyai densitas 3
(tiga) standar deviasi (SD) di bawah densitas cairan serebrospinal.6,10
Penyuntikan obat jenis hipobarik pada posisi duduk akan menyebar ke arah
sefalad. Pada posisi miring (posisi lateral) atau berbaring penyebaran obat
hipobarik sangat ditentukan oleh bentuk vertebra dan penyebaran ke arah
kaudal. Contoh obat anestesi lokal hiperbarik adalah bupivakain 0,5% yang
dicampur dengan aquadest untuk mencapai larutan 0,25%.4,5
Anestetik lokal hiperbarik adalah obat yang memiliki densitas 3
(tiga) standar deviasi (SD) di atas densitas dari cairan serebrospinalis. Hal ini
menyebabkan distribusi obat anestesia lokal jenis hiperbarik akan sangat
dipengaruhi oleh posisi pasien yang berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada
saat penyuntikan dengan posisi duduk, obat anestesia lokal hiperbarik tersebut
menyebar ke daerah kaudal, apabila pasien berbaring dengan kepala ke arah
bawah maka obat anestesia lokal akan menyebar ke arah sefalad, namun pada
posisi miring (posisi lateral) obat anestesia lokal hiperbarik dapat menyebar ke
arah sefalad. Contoh obat anestesi local hiperbarik adalah bupivakain 0,5%
yang dicampur dengan dextrose 10% untuk mencapai larutan 0,25% serta
ropivakain 1% yang dicampur dengan dextrose 10% untuk mencapai larutan
0,5%.4, 5
Obat anestesia lokal isobarik adalah obat lokal anestesia yang
mempunyai densitas yang sama dengan cairan serebrospinalis dan tidak ada
efek gaya gravitasi atau posisi tubuh. Contoh obat anestesi local isobarik
adalah bupivakain 0,5% yang dicampur dengan NaCl 0,9% untuk mencapai
larutan 0,25% serta ropivakain 1% yang dicampur dengan NaCl 0,9% untuk
mencapai larutan 0,5%4, 5
Obat anestesia lokal hiperbarik menyebabkan pemendekan waktu
blokade sensorik dan juga motorik jika dibandingkan dengan isobarik.
Namun, obat anestesi lokal hiperbarik mampu menghasilkan mula kerja dan
juga pemulihan lebih cepat, penyebaran yang lebih luas, serta tingkat
keberhasilan lebih dapat diandalkan jika dibandingkan dengan isobarik.4
8

Bupivakain 0,5% hiperbarik merupakan anestetik lokal golongan


amino amida yang paling banyak digunakan pada teknik anestesi spinal.
Penambahan obat adjuvan, seperti opioid, ketamin, klonidin, dan juga
neostigmin sering dilakukan untuk memperpanjang lama kerja anestesi spinal.
Penambahan adjuvan opioid dapat memperpanjang durasi kerja obat anestesi
tanpa menunda waktu pulih pasien dan penambahan klonidin akan
meningkatkan kualitas analgesi serta mengurangi kebutuhan analgetik
pascaoperasi.5
Penelitian yang membandingkan anestetik lokal golongan amida
antara artikain isobarik dan hiperbarik didapatkan bahwa anestetik lokal
artikain hiperbarik memiliki mula kerja pada dermatom T10 yang lebih cepat
serta lama kerja blokade motorik yang lebih cepat dibandingkan dengan
artikain isobarik.5
Penelitian yang membandingkan anestetik lokal antara golongan
ropivakain isobarik dan hiperbarik didapatkan hasil bahwa hiperbarik
memberikan efek blokade saraf spinal dengan mula kerja yang lebih cepat dan
lama kerja yang lebih pendek bila dibandingkan dengan isobarik.5
Pada penelitian yang membandingkan efek volume serta barisitas
bupivakain intratekal didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan onset kerja
antara larutan hiperbarik dan isobarik, sedangkan lama kerja pada golongan
hiperbarik lebih pendek.5
Penelitian pengaruh barisitas obat anestesi lokal yang dihubungkan
dengan sedasi pada pasien varicose vein surgery yang dilakukan spinal
anestesia ternyata didapatkan hubungan antara ketinggian blokade dan skala
sedasi. Pemakaian anestesi lokal golongan hiperbarik dengan ketinggian rata-
rata blokade pada T5 hanya memerlukan penambahan obat sedasi lebih sedikit
dibandingkan dengan golongan isobarik dengan ketinggian blokade rata-rata
pada T10.5
d. Teknik Anestesi
i. Persiapan
Perlengkapan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan blok epidural/
spinal antara lain:

Monitor standar :EKG, tekanan darah, pulse oksimetri

Obat dan alat resusitasi: oksigen, bagging, suction, set intubasi

Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan

Sarung tangan dan masker steril
9


Perlengkapan desinfeksi dan doek steril

Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi
lokal kulit dan jaringan subkutan

Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCl
0,9%

Syringe, kateter, jarum epidural/ jarum spinal

Kasa penutup steril2
ii. Pengaturan Posisi Pasien
Ada dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum/ kateter epidural, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan
dagu ditekuk ke dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk fleksi dimana
pasien duduk pada pinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra
sehingga dapat mempermudah akses ke ruang epidural. Penentuan posisi ini
didasarkan pada kondisi pasien dan kenyamanan ahli anestesi.2
iii. Teknik Insersi
Pada anestesi epidural dengan menggunakan panduan teknik loss of
resistance sebuah jarum Touhy diinsersikan sampai ujungnya tertancap
pada ligamentum flavum. Ligamentum ini akan memblok ujung jarum dan
menimbulkan tahanan kuat terhadap injeksi udara maupun larutan NaCl
0,9% dari sebuah suit yang dilekatkan pada jarum. Bila jarum dimasukkan
lebih dalam, ligamentum akan ditembus dan tahanan akan hilang seketika
sehingga udara atau NaCl 0,9% dapat diinjeksikan dengan mudah. Ini
merupakan pertanda telah dicapainya ruang epidural dan anestesi lokal dapat
disuntikkan atau kateter dapat diinsersikan.
Pada anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan
pencil point atau tappered point insersi dilakukan dengan menyuntikkan
jarum sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai
dengan keluarnya cairan cerebrospinalis. Pemakaian jarum dengan diameter
kecil dimaksudkan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi
dura (PDPH).2
e. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan
deskripsi yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan
dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau
10

elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien
yang akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Klasifikasi
ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum pada tabel di
bawah ini.6
Klasifikasi Angka
Deskripsi Pasien
ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan 0,2
tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 7,8
mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito

B. HERNIA INSISIONAL ABDOMINAL


Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris
Resistentiae (LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia,
leher hernia dan isi hernia.7
Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut
melalui annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya
spermatid cord di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis
subcutan (externus) sampai scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia
scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum.7
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital
dan hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti
diafragma, inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
11

rongga disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke
luar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah
tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut
seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada
mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.7
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit
oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan
gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia
strangulate.7
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan
mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum7
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui
locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk
(medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding
belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.7
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena
sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan
otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara
kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai
hernia inguinalis.7
12

Gambar. Hernia Inguinalis


Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan,
sering mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis
lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus
dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai
sebagai pegangan untuk membedakannya.7
Hernia Insisional Abdominal adalah jenis hernia yang hanya terjadi
setelah operasi perut ketika daerah sayatan operasi masih lemah. Jika usus
mendorong melalui daerah yang lemah, terjadilah kondisi yang disebut dengan
hernia insisional.
Hernia insisional adalah masalah bedah yang serius. Obesitas dan infeksi
merupakan dua penyebab utama dari keadaan ini. Berat dari panikuli di lateral,
menandakan insisi bedah dan infeksi mempersulit penyembuhan luka. Suatu
hernia insisional yang besar menimbulkan gerakan pernapasan abdominal
paradoks lama seperti flail chest. Fungsi diafragma menjadi tidak efisien.
Diafragma tidak lagi berkontraksi melawan visera abdomen dan sebaliknya
mendorongnya untuk masuk ke dalam kantung hernia. Perlu untuk menilai fungsi
pernapasan dan gas darah. Visera kehilangan tempatnya yang benar dalam
abdomen dalam hernia insisional yang sudah lama. Dalam kasus ini, reduksi
visera saat operasi dapat menyebabkan kematian akibat kompresi vena kava
inferior dan gagal pernapasan akibat elevasi paksa dan imobilisasi dari
diafragma8.
Hernia insisonal terjadi melalui luka pada operasi sebelumnya. Hernia ini
mempunyai penampilan yang sama dengan hernia yang tidak disebabkan oleh
trauma pembedahan pada dinding abdomen3. Merupakan hal yang realistis untuk
13

memperkirakan bahwa 1% insisi abdomen transparietal diikuti dengan hernia.


Hernia ini mencakup 10 % dari total hernia9.
Hernia incisional terjadi postoperative karena perlu memotong suatu
saraf segmental yang mempersarafi otot dinding abdomen atau jiga sebagai akibat
infeksi dan necrosis (mati jaringan)10.
14

PENYEBAB
Dehisensi parsial dari sebagian atau seluruh lapisan fasia yang lebih
dalam, tetapi kulit masih utuh atau pada akhirnya dapat menyembuh. Hernia
insisional adalah komplikasi postoperative dan, seperti semua komplikasi,
penyebabnya dapat dipertimbangkan dari 3 faktor : preoperative, operative,
postopeartive3.

PENATALAKSANAAN
Bahkan hernia berukuran kecil dengan gejala harus diperbaiki lebih dini.
Pada hernia yang asimptomatik, resiko dari obstruksi intestinal, strangulasi, dan
ulkus pada kulit seperti halnya perbaikannya, bahkan pada pasien yang lebih tua,
juga dianjurkan. Observasi saja dapat membuat hernia ukurannya menjadi
bertambah besar, dan perbaikan lebih lanjut menjadi lebih dulit dan berbahaya.
Teknik bedah yang dilakukan adalah sama seperti untuk hernia para-umbilikal,
tetapi hernia yang lebih besar mungkin membutuhkan mesh buatan untuk
rekonstruksi pada dinding abdomen3.
Pneumoperitoneum progresif adalah teknik yang bermanfaat dalam mem
persiapkan pasien untuk hernioplasti insisional karena hal ini mengatasi beberapa
gangguan dari penyakit karena pengeluaran alat-alat dalam (eventration). Pneu
moperitoneum menarik dinding abdomen dan perlekatan intrabdomen, mempcr-
cepat kembalinya visera ke abdomen, dan memperbaiki fungsi diafragma. Keba
nyakan hernia insisional kecil ditangani dengan penutupan sederhana dari defek
aponeurosis. Tetapi, hernia insisional besar dengan defek aponeurosis yang lebih
besar dari 10 cm, mempunyai angka kekambuhan sebesar 50%. Akibatnya,
kebanyakan hernia insisional, dan semua hernia insisional rekuren, membutuhkan
prostesis untuk keberhasilan dari terapi. Hernioplasti Stoppa lebih disukai dalam
melakukan hernioplasti insisional. Dapat digunakan pada semua tipe hernia
insisional di abdomen, mencakup hernia lumbalis pascanefrektomi5.
Hernioplasti Stoppa terdiri dari prostesis Mersilene yang sangat besar yang
diimplantasikan dalam pada muskulus dari dinding abdomen di puncak sarung
rektus posterior atau peritoneum. Prostesis memanjang sampai jauh di bawah
batas defek mioaponeurosis dan dengan erat difiksasi di tempat oleh tekanan
15

intraabdomen dan kemudian oleh jaringan fibrosa yang tumbuh. Prostesis


mencegah eventrasi peritoneum dengan membuat kantung viseral tidak dapat
berdistensi dan dengan menyatukan secara padat serta mengkonsolidasi dinding
abdomen5.
Penutupan aponeurosis dari defek parietal adalah penting. Penutupan garis
tengah dapat menahan tegangan lebih besar karena prostesis, bukannya garis
jahitan, akhirnya bersatu dengan abdomen. Jika perlu, tegangan dapat dikurangi
dengan insisi relaksasi vertikal dalam sarung rektus. Pendekatan aponeurosis
biasanya dapat dicapai, tetapi jika tidak, prostesis kedua yang dapat atau tidak
dapat diabsorpsi, yang diletakkan pada defek aponeurotik, akan memastikan
stabilitas dari dinding abdomen selama proses penyembuhan. Biasanya ini terjadi
dalam regio xiphoid atau simfisis. Ruang mati yang dibentuk oleh prostesis besar
selalu membutuhkan drainase isapan tertutup untuk mencegah seroma dan
hematoma dan untuk memungkinkan inkorporasi cepat dari fibrosa prostesis
dalam dinding abdomen5.

C. Anestesi pada Pasien dengan Hipertensi


Konsekuensi dari penggunaan obat-obat antihipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama
pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus tetap dilanjutkan selama
periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam
sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada
saat pemulihan dari pengaruh anestesia.14
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari,
yaitu:12,13
Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya
Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
16

penundaan anestesia dan operasi.13,14 Namun ada yang berpendapat bahwa TDD
110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.12,14 Kenapa TD diastolik (TDD)
yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat
seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi.15
The American Heart Association/American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang
bersifat rapid acting.16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif.
Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia
dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi
dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan
baik.13,14
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat
antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal
minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan
penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
17

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan


hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.12,17
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi
dan intubasi endotrakea. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk
masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.17 Untuk
pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.12
Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring Tujuan pencapaian hemodinamik
yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya
fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan
hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.12
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran ke kanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secaratiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi
akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan
kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang
sebaiknya diperhatikan, yaitu:18
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
18

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian


stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.19 Anestesia regional dapat
dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering
dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.12 Monitoring intra-arterial
secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan
preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi
terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita
yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk
operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama
untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.12,17
19

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. D
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Ruang : Rajawali 2A
No. CM : C404700
Tgl Operasi : 27 Juni 2016
Tgl MRS : 23 Juni 2016

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Perut Membuncit
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien riwayat operasi 2 tahun yang lalu, 3 bulan setelah operasi pasien
merasa ada benjolan kecil semakin lama semakin besar dan sekarang tidak
bisa masuk
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat operasi (+)
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat asma (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-).
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang pegawai swasta, sudah menikah. Pembiayan dengan BPJS
NON PBI. Kesan sosial ekonomi kurang.

F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:


20

Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah
(-)
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat peyakit jantung : tidak ada
Riwayat darah tinggi : ada
Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
TV : TD : 160/70 mmHg T : 36,50C
N : 84 x/menit RR : 18x/menit
BB : 50 kg (normoweight, BMI=22,03)
TB : 160 cm
ASA : II
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), Mallampati I,
obsdtruction (-), Neck Mobility : dbn
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)

THORAX
Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)
21

Pulmo : Inspeksi : simetris, statis, dinamis


Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : supel, timpani, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N,
supel
Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2/<2 <2/<2
Punggung : Tegak, Lurus, Skoliosis (-), tidak terdapat luka/jejas pada
tempat yang akan di insersi anestesia
STATUS LOKALIS:
Inspeksi : Benjolan di lipat paha kiri sebesar telur ayam, warna sama
dengan sekitar
Palpasi : Perabaan lunak, nyeri (+) VAS 3
Auskultasi : Bising usus (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin (Tanggal 24 Juni 2016)
Hb : 13,2 g/dL
Ht : 42,9 %
Eritrosit : 6,6 juta /l
MCH : 20,1 pg
MCV : 65,3 fL
MCHC : 30,8 g/dL
Leukosit : 8.600 / l
Trombosit : 290.000 / l
Kimia Klinik (Tanggal 24 Juni 2016)
Glukosa : 110 mg/dL
Ureum : 48 mg/dL
Kreatinin : 1,27 mg/dL
22

Natrium : 141 mmol/L


Kalium : 3,5 mmol/L
Koagulasi (Tanggal 24 Juni 2016)
PPT : 9,6 detik (PPT kontrol: 10,7 detik)
PTTK : 27,1 detik
APTT Kontrol : 31,7 detik
EKG : Normo Sinus Ritme

V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis preoperasi:
Hernia Insisional AbdomenS
b. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi:
Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi

VI. TINDAKAN OPERASI


Herniotomy + Hernioraphy

VII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : Regional Anestesi
Risiko anestesi: Ringan
ASA : II
1. Premedikasi:
O2 3 lpm
Lidocaine 2% 1 ampul
Fentanyl 1 ampul
2. Anestesi:
Dilakukan regional anestesi: spinal anestesi
Posisi puncture: duduk fleksi
Level: setinggi lumbal 3-4
Obat : Bupivacain HCl 0,5%
Volume : 4 cc
Maintenance : O2 3 lpm
Mulai anestesi : 10.30 WIB
Selesai anestesi : 11.45 WIB
23

Lama anestesi : 75 menit


3. Terapi cairan
BB : 50 kg
EBV: 70cc/kgBB x 50 = 3500 cc
Jumlah perdarahan : 100 cc
% perdarahan : 100/3500x100% = 2,8%
Kebutuhan cairan :
Maintenance = 2 x 50 = 100 cc
Stress operasi = 6 x 50 = 300 cc
Defisit puasa = 2 x 6 x 50 = 600 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
Jam I : M + SO + DP = 100 + 300 + 300 = 700 cc
Jam II : M + SO + DP = 100 + 300 + 150 = 550 cc
Cairan yang diberikan :
- NaCl 2000 cc
Waktu Keterangan HR Tensi SpO2
(x/menit) (mmHg)
10.30 Pre-oksigenasi 98 140/80 100
10.35 Anestesi mulai 100 120/80 100
10.40 Operasi mulai 96 130/80 100
11.40 Operasi selesai 94 130/80 100
11.45 Anestesi selesai 92 120/80 100

4. Pemakaian obat/bahan/alat :
I. Obat suntik:
Bupivacain HCl 0,5% I amp
Lidocaine 2% I amp
Fentanyl I amp
Tramadol I amp
II. Obat inhalasi : O2 3 L/menit 250 L
III. Cairan : Ringer Laktat 2 botol
IV. Alat/lain-lain : Spuit 3 cc III
Spuit 5 cc III
Spuit 10 cc II
Jarum spinal I
24

Lead EKG III


Nasal canule I
5. Pemantauan di Recovery Room
a. Beri oksigen 3 lpm nasal kanul
b. Bila Bromage Score 2, pasien boleh pindah ruangan.
c. Bila mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
6. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL 20 tetes/menit selama 24 jam
d. Program injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam i.v selama 2 hari
e. Jika terjadi mual diberi injeksi antiemetik
f. Jika menggigil diberi cairan dan selimut hangat, cairan hangat
g. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg/cc
h. Pasien risiko jatuh
i. Post operasi rawat RR beri oksigen 3 lpm nasal kanul
j. Bila sadar penuh, mual (-), muntah (-), pasien boleh makan perlahan
k. Bila bromage score 2 boleh pindah ruang

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 45 tahun dengan hipertensi
Stage I terkontrol dilakukan operasi herniotomi + hernioraphy hernia insisionalis
25

abdomen, dilakukan dengan menggunakan anestesi regional yaitu anestesi spinal.


Anestesi spinal dipilih selain karena lokasi operasi di bagian yang dipersarafi
nn.spinales segmen lumbosacral juga karena relatif lebih aman, risiko sistemik
minimal, memerlukan dosis obat yang relatif lebih sedikit, onset cepat, blok
motorik lebih kuat, dan komplikasi lebih ringan. Premedikasi pada pasien
diberikan oksigenasi. Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda gelisah/cemas
pada saat sebelum operasi sehingga tidak diberikan obat depresan untuk
menenangkan pasien.
Obat anestesi yang diberikan adalah bupivacain HCl 0,5% sebanyak 4 cc.
Obat diinjeksikan setinggi lumbal 3-4 dengan posisi pasien duduk fleksi untuk
membantu identifikasi processus spinosus dan memperlebar celah intervertebra.
Bupivacain dipilih karena memiliki durasi kerja yang panjang, maka dapat
dilakukan dengan teknik satu kali suntikan. Pemberian lidocaine dilakukan
sebagai analgesi lokal pada tindakan anestesi spinal.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasar kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses
pembedahan pada kasus ini tergolong operasi sedang. Jumlah cairan yang
dibutuhkan pada operasi yang berlangsung selama kurang lebih 75 menit sebesar
cc dengan jumlah perdarahan 100 cc (2,8% dari EBV). Terapi cairan yang
diberikan adalah NaCl 2000 cc.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-
tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen.
Kemudian dilakukan penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon
motorik pasca anestesi. Jika score adalah kurang dari sama dengan 2 pasien boleh
keluar dari ruang pemulihan dan pindah ruangan.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Lasmaria F. Perbandingan efek anestesi spinal dengan anestesi umum


terhadap kejadian hipotensi dan nilai APGAR bayi seksio sesarea. Jurnal
Anestesi Perioperatif 2014.
2. Soenarjo, Marwoto, Jatmiko H, et al. Anestesiologi, 2 ed. Semarang:
PERDATIN, 2013.
3. Jaishri B, Arora N, Srivastava P. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl
dan Bupivacaine in Spinal Anesthesia for Cesarean Section. BMC
Anesthesiology 2005;5:5.
4. Nainggolan H, Fuadi I, Redjeki I. Perbandingan Anestesi Spinal
Menggunakan Ropivakain Hiperbarik 13,5 mg dengan Ropivakain Isobarik
13,5 mg terhadap Mula dan Lama Kerja Blokade Sensorik. Jurnal Anestesi
Perioperatif 2014;2:45-54.
5. Londong J, Redjeki I, Wargahadibrata A. Perbandingan Efektivitas Anestesi
Spinal Menggunakan Bupivakain Isobarik dengan Bupivakain Hiperbarik
pada Pasien yang Menjalani Operasi Abdomen Bagian Bawah. Jurnal
Anestesi Perioperatif 2013;1:69-77.
6. American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of
Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia,
2014.
7. De Jong, Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
8. Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, EGC,
Jakarta, Hal : 509 517
9. Henry MM, Thompson JN , 2005, Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier

Saunders, page 431-445

10. Widjaja, H, Anatomi abdomen, Jakarta, EGC, 2007, Hal : 21-25

11. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:


http://www.emedicine.com/MED/topic3158.htm
27

12. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension.
In: Hines RL,Marschall KE, editors. Stoelting s anesthesia and co-existing
disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
13. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor. Adult
perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:
Elsevier; 2004.p.3-82.
14. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient
undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia
2001;86(6):789-93
15. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia.
Current Opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9
16. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and
perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004;92(4):570-83
17. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-
Hill; 2006.p.444-52
18. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at:
http://www.4um.com/tutorial/anaesthbp.htm
19. Laslett L. Hypertension-preoperative assesment and perioperative
management. West J Med 1995;162:215-9

Anda mungkin juga menyukai