Anda di halaman 1dari 20

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 1

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:1,6

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala

bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia

tahun 1945.

b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan

pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk

deskriminasi yang harus dihapus.

c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu

harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas

dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat

dan martabat kemanusiaan.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan

huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang

berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum

pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:

Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri


atau anak diancam hukuman pidana

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah

tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :1,6

a. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,

meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,

memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti

bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

b. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /

atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,

komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia

luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

c. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,

memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan

kepuasan pihak istri.

Kekerasan seksual berat, berupa:


1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium

secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,

terhina dan merasa dikendalikan.

2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak

menghendaki.

3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan

tertentu.

5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban

yang seharusnya dilindungi.

6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan

sakit, luka,atau cedera.

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar

verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi

wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak

dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi

kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

d. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari

kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat

sarana ekonomi berupa:

Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.


Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau

memanipulasi harta benda korban.

Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan

korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan

keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)

sebagai berikut:2

a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga

mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita

(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri

mengalami tindakan kekerasan.

c. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika

terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga

tejadi kekerasan dalam rumah tangga.

d. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan

laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki

merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan

terhadap anaknya agar menjadi tertib.


e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,

diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau

ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum

bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara

penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:3

a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya

sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh

kesabaran.

b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama

itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga

antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.

c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah

tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan

dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan

dalam rumah tangga.

d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota

keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa

saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa

kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga

yang kadang juga berlebih-lebihan.


e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,

sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga

kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi

(private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban

KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru

sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau

korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di

rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan

struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh

negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak

pelakunya. 4

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan

agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun

berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi

perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga

sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang

dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan
korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar,

melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan

pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan

penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang

ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana

penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.

Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?.4

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik,

misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan

kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang

(pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada

umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak

hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif,

melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai

disiplin, lintas institusi dan lembaga.4

Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-

masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan?

Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas

sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT

dapat terwujud sesuai harapan.

Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri

belum tentu memahami bagaimana perlindungan vitu didapatkan dan bagaimana diberikan.

Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan
fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan

perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu

mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan

lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.4

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.

Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi

melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi

kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat

pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai

kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu

sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.4

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang

bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.

Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya

masing-masing:4

a. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7

(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib

meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh

kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan

pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban

KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan

mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan

masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan

mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan

kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti


permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT.

Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap

pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat

diberikan setelah 1 X 24 jam.

b. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi

dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan

mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang

pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan

pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).

c. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan

yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan

penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)

hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya

mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan

juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin

timbul terhadap korban.

d. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi

terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis

hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian

atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat

bukti.

e. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi

rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan

perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.


f. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk

mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan

secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan

fisik kepada korban.

g. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,

kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif

dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban

KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan

perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya

sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat

mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai

faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab

konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan

tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya

benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya

baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya,

hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia

adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi

korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan

karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa

aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
F. Pengertian KDRT menurut UU.

KDRT sudah diatur dalam Undang-undang, dan sebaiknya masyarakat mengetahui apa

dan bagaimana Undang-undang ini.

1. KDRT SEBELUM ADANYA UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KDRT.

Berbagai pendapat, persepsi, dan definisi mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat.

Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah

tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, di

kalangan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak)

disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan

segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak

belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong

karena tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain.5

Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap

istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa.

Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal,

korbannya sudah meninggal, atau pun cacat. Telah menjadi satu trend dewasa ini, bahwa

masyarakat termasuk aparat penegak hukum berpendapat bahwa diperlukan undang-undang

sebagai dasar hukum untuk dapat mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula

untuk menangani KDRT. Syukurlah Undang-undangnya telah ada yaitu UU No.23 Tahun 2004

tentang PENGHAPUSAN KDRT (UU P KDRT).5

2. PENGERTIAN KDRT MENURUT UNDANG-UNDANG

Menurut UU P KDRT:KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasukancaman untuk melakukan


perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).5

Catatan: Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang

PERLINDUNGAN ANAK. Pasal 2 menjabarkan selanjutnya:5

(1) Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:

i. suami, istri, dan anak

ii. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud

dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,

yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

iii. orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga tersebut

(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota

keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

G. Penegakan hukum uu KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologis hukum.

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang

dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi

hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku

manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah

disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap

sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses

penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena

dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman

tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu

menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books.5
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima

faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat

penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan

hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang

mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial

dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan

hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil

karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.5

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum

selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam

pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal

structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal

culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur

hukum (Legal Structure).

Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5

s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah

tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan

psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.

Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat

pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan

seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan/atau tujuan tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang

dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi

dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.5

Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik

sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian

juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan

delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya

merupakandelik aduan (Pasal 53).5

Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena

sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang

kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial,

maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang

dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat

pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi

perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.

Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-

aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber

dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari
perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial

tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan

tersebut satu sama lain.5

Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus

dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi-

Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-

aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum

yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum

negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati.5

Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam

masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat

yang memberi celah (loop holes) kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap

perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum

negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai

dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat

kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada. 5

Disini menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang

yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu

masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya

patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang

tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan

dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.5

Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai

persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah

dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan

netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka

mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara

merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-

hukum yang lain.5

Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya

acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum-hukum lain yang

menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan

hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-

temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa

ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri,

terlebih bila hukum itu datang dari domain yang asing, yang mengklaim diri sebagai otoritas

tertinggi yaitu negara.5

Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya

hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut

Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum,

yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian

dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa

masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat

dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.5

Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak

masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak

pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik

aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada

adanya inisiatif dari pihak sikorban. 5


Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan,

maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk

mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak

berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian

suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan

pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh

ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.5

Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik

aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif,

dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu

urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan

penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian

dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.5

Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa

keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang

berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut

adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-

anak terancam dan lain-lain. Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi

hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk

mencapai keberhasilan maksimal. 6

Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor

kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya

sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan

rumah tangga itu. Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan

segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-


tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada

timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT

itu sendiri.6

Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana

terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU

PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam

masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang

dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah

yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah

tangga.6

Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang

sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain

yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam

prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu

menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam

kehidupan bermasyarakat di Indonesia.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Esmi Warassih. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru


utama; 2002

3. Fakih, Mansour, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,


Yogyakarta: CIDESINDO;1998.

4. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional ,
Bandung:Alumni;1991.
5. Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Bandung;Alumni:1999.
6. Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004, Kenapa Laki-Laki
Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?

Anda mungkin juga menyukai