Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia
tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu
harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas
dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang
berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum
pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror,
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar
verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi
wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:2
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan
laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau
ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum
bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh
kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama
itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan
dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi
(private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban
KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau
korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di
rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan
struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak
pelakunya. 4
agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi
perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang
dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan
korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar,
penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang
ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik,
misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan
kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang
(pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada
umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak
hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif,
melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-
masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan?
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri
belum tentu memahami bagaimana perlindungan vitu didapatkan dan bagaimana diberikan.
Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan
fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan
perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat
pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai
kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya
masing-masing:4
a. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7
(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan
pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban
KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan
mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan
masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan
Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap
pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat
b. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan
yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan
penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya
juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin
d. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis
hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian
atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat
bukti.
e. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
g. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif
dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban
KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan
perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat
mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan
tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya
benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia
adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi
korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa
aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
F. Pengertian KDRT menurut UU.
KDRT sudah diatur dalam Undang-undang, dan sebaiknya masyarakat mengetahui apa
Berbagai pendapat, persepsi, dan definisi mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah
tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, di
kalangan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak)
disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan
segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak
belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong
Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap
istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa.
Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal,
korbannya sudah meninggal, atau pun cacat. Telah menjadi satu trend dewasa ini, bahwa
sebagai dasar hukum untuk dapat mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula
untuk menangani KDRT. Syukurlah Undang-undangnya telah ada yaitu UU No.23 Tahun 2004
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
Catatan: Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang
ii. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
iii. orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga tersebut
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang
dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi
hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap
sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses
penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena
dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman
tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu
menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books.5
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima
faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat
penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan
hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial
dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.5
selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam
pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal
structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal
Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5
s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat
pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang
dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian
juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang
kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial,
maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang
dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat
pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-
aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber
dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari
perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial
tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan
Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus
dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi-
Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-
aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum
yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat
yang memberi celah (loop holes) kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap
perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum
negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai
dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat
Disini menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang
yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu
masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya
patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang
tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan
dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.5
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai
persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah
dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan
netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka
mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara
merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-
menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-
temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa
ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri,
terlebih bila hukum itu datang dari domain yang asing, yang mengklaim diri sebagai otoritas
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya
hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut
Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum,
yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian
dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa
masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat
masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak
pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik
aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada
maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk
mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak
suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik
aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif,
dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu
urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan
penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian
dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.5
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa
keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang
berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut
adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-
anak terancam dan lain-lain. Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi
hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor
kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya
sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan
rumah tangga itu. Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan
itu sendiri.6
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana
PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam
masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang
dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah
yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah
tangga.6
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang
sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain
yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam
prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu
DAFTAR PUSTAKA
4. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional ,
Bandung:Alumni;1991.
5. Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Bandung;Alumni:1999.
6. Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004, Kenapa Laki-Laki
Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?