Anda di halaman 1dari 20

154

BAB 6. PEMBAHASAN

6.1 Masalah 1: Belum Optimalnya Pelaksanaan Timbang Terima Berfokus


pada Peran Kepala Ruangan sebagai Pendamping Timbang Terima di
Ruang Anggrek RS Tingkat III Baladhika Husada Jember
1. Tinjauan Pustaka
Timbang terima memiliki beberapa istilah lain. Beberapa istilah itu
diantaranya handover, handoffs, shift report, signout, signover dan cross
coverage. Handover adalah komunikasi oral dari informasi tentang
pasien yang dilakukan oleh perawat pada pergantian shift jaga.
Friesen (2008) menyebutkan tentang definisi dari handover adalah
transfer tentang informasi (termasuk tanggungjawab dan tanggunggugat)
selama perpindahan perawatan yang berkelanjutan yang mencakup
peluang tentang pertanyaan, klarifikasi dan konfirmasi tentang
pasien.
Hand offs juga meliputi mekanisme transfer informasi yang
dilakukan, tanggungjawab utama dan kewenangan perawat dari
perawat sebelumnya ke perawat yang akan melanjutnya perawatan.
Nursalam (2011), menyatakan timbang terima adalah suatu cara
dalam menyampaikan sesuatu (laporan) yang berkaitan dengan
keadaan klien. Handover adalah waktu dimana terjadi perpindahan
atau transfer tanggungjawab tentang pasien dari perawat yang satu ke
perawat yang lain. Tujuan dari handover adalah menyediakan waktu,
informasi yang akurat tentang rencana perawatan pasien, terapi,
kondisi terbaru, dan perubahan yang akan terjadi dan antisipasinya.
155

Timbang terima yang seharusnya dilakukan terdiri dari 3 sesi yaitu


sebagai berikut. (Nursalam, 2011)
a. Persiapan (Pra)
1) Timbang terima dilakukan setiap pergantian shift operan
2) Semua pasien baru masuk dan pasien yang dilakukan timbang terima
khususnya pasien yang memiliki permasalahan yang belum teratasi
3) Semua sarana dan prasarana terkait pelayanan keperawatan dilaporkan
dan dioperkan
b. Pelaksanaan di nurse station dan bed pasien
1) Kedua kelompok dinas sudah siap
2) Kelompok yang akan berdinas menyiapkan buku catatan
3) Kepala ruang membuka acara timbang terima
4) Perawat yang sedang jaga menyampaikan timbang terima kepada
perawat yang akan shift selanjutnya
5) Perawat yang akan berjaga di shift berikutnya dapat melakukan
klarifikasi, tanya jawab, dan validasi
6) Melakukan validasi keliling ke bed pasien
c. Pasca
1) Diskusi/ klarifikasi
2) Pelaporan untuk timbang terima dituliskan secara langsung tanda-
tangan pergantian shift serta penyerahan laporan
3) Ditutup oleh kepala ruang
2. Tinjauan kasus
Timbang terima keperawatan di RS Tingkat 3 Baladhika Husada
sudah dilakukan oleh perawat pelaksana, namun belum didampingi oleh
kepala ruangan, bahkan terkadang ketua tim juga tidak mendampingi
pada saat timbang terima dinas malam ke dinas pagi. Pada saat timbang
terima, tidak ada kalimat pembuka dimulainya timbang terima dan doa
bersama, serta tidak diakhiri penutup. Perawat juga tidak melakukan
perkenalan diri kepada masing-masing pasien dan tidak mengajarkan
cuci tangan 6 langkah. Pada saat timbang terima, perawat tidak
menyebutkan diagnose pasien.
3. Kajian penelitian sebelumnya
Berdasarkan jurnal yang berjudul Pengaruh Pelatihan Timbang Terima
Pasien Terhadap Penerapan Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana
di RSUD Raden Mattaher Jambi (2012) menjelaskan bahwa perawat
yang tidak melakukan timbang terima pasien secara komprehensif, dapat
156

dikatakan bahwa perawat tersebut tidak menerapkan keselamatan pasien


secara penuh disetiap kerjanya. Timbang terima yang tidak dilakukan
sesuai dengan SPO dapat merugikan pasien terkait dengan
keselamatannya. Hal tersebut dapat dapat diartikan bahwa perawat yang
tidak melakukan timbang terima pasien secara komprehensif, dapat
mempengaruhi keselamatan pasien dan menurunkan kualitas rumah
sakit.
4. Asumsi pelaksana
Pelaksanaan timbang terima di Ruang Anggrek sudah cukup baik,
akan tetapi perlu adanya peningkatan terkait kualitas timbang terima agar
dapat membantu meningkatkan kesejahteraan pasien yang dirawat di
Ruang Anggrek dan dapat meningkatkan kualitas RS.
5. Rencana tindak lanjut
Proses timbang terima dilakukan sesuai SPO, sehingga semua perawat
dapat memahami kondisi masing-masing pasien, tercipta BHSP antara
perawat dengan pasien yang dapat membuat pasien berasumsi akan
sembuh ketika dirawat di RS Baladhika Husada.
6. Faktor penghambat
a. Adanya keluhan dari beberapa perawat jika dilakukan timbang terima
sesuai SPO akan memakan banyak waktu
b. Tidak adanya tenaga kerja transpoter dan administrasi, sehingga
menambah beban kerja perawat dan menuntut perawat untuk dapat
melaksanakan semua tugas dengan waktu yang singkat menyebabkan
perawat menyingkat proses timbang terima.
7. Faktor pendukung
Adanya kemauan dari dalam diri kepala ruangan, ketua tim, dan
beberapa perawat pelaksana Ruang Anggrek untuk melakukan timbang
terima sesuai SPO.

6.2 Masalah 2 : Metode Penugasan Tim yang Telah Diterapkan oleh


Ruangan Belum Berfungsi Secara Optimal karena Pembagian Tugas
Pemberian Layanan Asuhan Keperawatan pada Masing-masing Tim
Belum Tertata di Ruang Anggrek di RS Tingkat III Baladhika Husada
Jember
157

1. Tinjauan Pustaka
Metode tim merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan
dimana seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan kelompok klien
melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas, 1984). Model tim
didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai
kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan
sehingga timbul motivasi dan rasa tanggung jawab perawat yang tinggi
sehingga diharapkan mutu asuhan keperawatan meningkat. Metode ini
menggunakan tim yang terdiri dari anggota yang berbeda- beda dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat
ruangan dibagi menjadi 23 tim/ group yang terdiri dari tenaga professional,
tehnikal dan pembantu dalam satu grup kecil yang saling membantu.
Metode tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok
mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan
keperawatan sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi.
(Sitorus, 2006).
Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006):
a. Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan
berbagai teknik kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat
keputusan tentang prioritas perencanaan, supervisi, dan evaluasi asuhan
keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah :
a. Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra
b. Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis
c. Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
kelompok dan memberikan bimbingan melalui konferensi
d. Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta
mendokumentasikannya
b. Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin.
Komunikasi yang terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara,
158

terutama melalui renpra tertulis yang merupakan pedoman pelaksanaan


asuhan, supervisi, dan evaluasi.
c. Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.
d. Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan
berhasil baik apabila didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang
diharapkan telah :
a) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf
b) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan
c) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan
kepemimpinan
d) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim
keperawatan
e) Menjadi narasumber bagi ketua tim
f) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset
keperawatan
g) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka
2. Tinjauan Kasus
Pelaksanaan model penugasa tim di Ruang Anggrek masih belum
berjalan optimal dimana pelaksanaan tugas masih belum sesuai dengan
tupoksinya.

3. Kajian Penelitian Sebelumnya


Andriani, Armanu, dan Kuswantoro (2012) diperoleh hasil bahwa
kondisi kerja sangat mempengaruhi kepuasan kerja dengan indikator
kondisi kerja tim mendapat nilai tertinggi dan indikator pekerjaan sendiri
dengan nilai kepuasan kerja terendah.
4. Asumsi Pelaksanan
Metode penugasan tim di Ruang Anggrek perlu ditingkatkan sehingga
tugas pokok dan fungsi masing masing peran dapat berjalan sebagai mana
mestinya.
5. Rencana Tindak Lanjut
159

Tupoksi masing masing peran perlu ditingkatkan dan terus diadakan


evaluasi terkait metode penugasan tim yang digunakan agar dapat berjalan
seoptimal mungkin. Perlu ditingkatkannya kedisiplinan tentang pelaksanaan
jadwal sift sesuai dengan bagiannya.
6. Faktor Penghambat
Jadwal shift katim yang tidak selalu mendapatkan shift pagi
7. Faktor Pendukung
erdapat SPO yang jelas dari pihak rumah sakit terkait tupoksi masing-
masing peran kepala ruang, katim, dan perawat pelaksana. Mayoritas
perawat di Ruang Anggrek memiliki tingkat pendidikan S1.

6.3 Masalah 3 : Belum Adanya Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang


Anggrek Ruang Anggrek di RS Tingkat III Baladhika Husada
1. Tinjauan Pustaka
a. Definisi
Pelayanan keperawatan dapat memberikan kontribusi besar dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Perawat merawat pasien 24
jam, perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dengan jumlah
yang cukup besar (40%) dari seluruh kategori tenaga kesehatan.
Pengetahuan dan keterampilannya harus ditingkatkan terus menerus
supaya asuhan kepada pasien bisa diberikan secara professional. Salah
satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan adalah dengan DRK.
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
836/MENKES/SK/VI/2005 tentang Pedoman Pengembangan
Manajemen Kinerja Perawat Dan Bidan, Diskusi refleksi kasus (DRK)
adalah suatu metoda dalam merefleksikan pengalaman klinis perawat dan
bidan dalam menerapkan standar dan uraian tugas. Diskusi refleksi kasus
merupakan upaya peningkatan pengetahuan dan pengalaman perawat
dalam menyelesaikan masalah pelayanan.
Penerapan DRK juga dapat dikatakan sebagai bagian in-service
training yang sangat efektif dan sangat efisien. Kesadaran akan
160

kebutuhan untuk berkembang adalah menjadi salah satu tanggung jawab


perawat dan bidan terhadap dirinya sendiri dan profesinya. Melalui
peningkatan profesionalisme setiap anggota profesi akan dapat pula
meningkatkan kinerja perawat sesuai standar dalam memberikan
pelayanan yang bermutu untuk memenuhi harapan masyarakat.
Pengalaman klinis yang direfleksikan merupakan pengalaman aktual
dan menarik baik hal-hal yang merupakan keberhasilan maupun
kegagalan dalam memberikan pelayanan keperawatan dan/atau
kebidanan termasuk untuk menemukan masalah dan menetapkan upaya
penyelesaiannya misal dengan adanya rencana untuk menyusun SPO
baru DRK dilaksanakan secara terpisah antara profesi perawat dan
bidan minimal satu bulan sekali selama 60 menit dengan tujuan untuk
mengembangkan profesionalisme,membangkitkan motivasi belajar,
meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan, aktualisasi diri serta
menerapkan teknik asertif dalam berdiskusi tanpa menyalahkan dan
memojokkan antar peserta diskusi. Tindak lanjut DRK ini dapat berupa
kegiatan penyusunan SPO baru sesuai dengan masalah yang ditemukan.

b. Tujuan
Berdasarkan Modul Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK)
(2009), tujuan dari DRK adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan profesionalisme perawat dan bidan
2) Meningkatkan aktualisasi diri
3) Membangkitkan motivasi belajar
4) Wahana untuk menyelesaikan masalah dengan mengacu pada
standar keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan.
5) Belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar, lebih banyak
mendengarkan, tidak menyalahkan, tidak memojokkan dan
meningkatkan kerja sama.
161

c. Langkah-Langkah Kegiatan DRK


Berdasarkan Modul Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK)
(2009), langkah-langkah kegiatan DRK adalah sebagai berikut:
1) Memilih/Menetapkan Kasus Yang Akan Didiskusikan
Topik-topik bahasan yang ditetapkan untuk didiskusikan dalam DRK
antara lain:
a) Pengalaman pribadi perawat/atau bidan yang aktual dan menarik
dalam menangani kasus/pasien di lapangan baik di rumah
sakit/puskesmas, pengalaman dalam mengelola pelayanan
keperawatan/kebidanan da issu-issu strategis
b) Pengalaman yang masih relevan untuk di bahas dan akan memberikan
informasi berharga untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Proses diskusi ini akan memberikan ruang dan waktu bagi setiap
peserta untuk merefleksikan pengalaman, pengetahuan serta
kemampuannya, dan mengarahkan maupun meningkatkan
pemahaman perawat/bidan terhadap standar yang akan memacu
mereka untuk melakukan kinerja yang bermutu tinggi.

2) Menyusun Jadwal Kegiatan


Jadwal kegiatan DRK adalah daftar kegiatan yan harus
dilaksanakan dalam kurun waktu yang ditetapkan dan disepakati.
Kegiatan DRK disepakati dalam kelompok kerja, baik di puskesmas
maupun di rumah sakit (tiap ruangan). Kegiatan DRK dilakukan
minimal satu kali dalam satu bulan dan sebaiknya jadwal disusun
untuk kegiatan satu tahun. Dengan demikian para peserta yang telah
ditetapkan akan mempunyai waktu yang cukup untuk
mempersiapkan. Setiap bulan ditetapkan dua orang yang bertugas
sebagai penyaji dan fasilitator/moderator selebihnya sebagai peserta
demikian seterusnya, sehingga seluruh anggota kelompok mempunyai
kesempatan yang sama yang berperan sebagai penyaji,
162

fasilitator/moderator maupun sebagai peserta. Peserta dalam satu


kelompok diupayakan antara 5-8 orang.
3) Waktu Pelaksanaan
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
minimal 60 menit, dengan perincian sebagai berikut :
a) Pembukaan : 5 menit
b) Penyajian : 15 menit
c) Tanya jawab : 30 menit
d) Penutup/rangkuman : 10 menit
4) Peran Masing-Masing Personal DRK
Kegiatan selama DRK ditetapkan aturan main yang harus dipatuhi
oleh semua peserta agar diskusi tersebut dapat terlaksana dengan
tertib. Ada 3 peran yang telah disepakati dan dipahami dalam DRK
adalah sebagai berikut:
a) Peran penyaji
(1)Menyiapkan kasus klinis keperawatan/kebidanan yang pernah
dialami atau pernah terlibat didalamnya yang merupakan kasus
menarik baik kasus lalu maupun kasus-kasus saat serta kasus
manajemen dan pengalaman keberhasilan dalam pelayanan
(2)Menjelaskan kasus tersebut dan tetap merahasiaan identitas
pasen.
(3)Tujuan penyajian kasus memberikan kesempatan bagi penyaji
untuk berfikir atau berefleksi ulang tentang bagaimana pasen
tersebut ditangani, hambatan apa saja yang dialami serta
keberhasilan apa saja yang telah dicapai.
(4)Penyaji mempunyai kesempatan 10-20 menit untuk menyajkan
kasus tersebut.
(5)Penyaji menyimak pertanyaan dan memberikan jawaban sesuai
dengan pengetahuan serta pengalaman nyata yang telah
dilakukan dan merujuk pada standar yang relevan atau SPO
yang berlaku.
(6) Bila perlu mencatat esensi penting dari pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan, atau hal-hal yang belum pernah diketahui
sebelumnya sebagai informasi baru.
b) Peran peserta
163

(1)Mengikuti kegiatan sampai selesai diakhiri dengan mengisi


daftar hadir
(2)Memberikan perhatian penuh selama kegiatan
(3)Setiap peserta menyiapkan pertanyaan-pertanyaan, minimal satu
pertanyaan. Kesempatan seluas-luasnya diberikan untuk
melakukan klarifikasi atas penanganan kasus tersebut,
mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan/pernyataan
minimal satu pertanyaan dengan alokasi waktu keseluruhan 20-
30 menit:
(4)dalam mengajukan pertanyaan agar merujuk kepada standar
(5)Tidak dibenarkan untuk mengajukan pertanyaan/pernyataan
yang sifatnya menyalahkan atau memojokkan, tidak dibenarkan
untuk mendominasi pertanyaan.
(6)Pertanyaan berupa klarifikasi dan tidak bersifat menggurui.

c) Peran fasilitator/moderator
(1)Mempersiapkan ruangan diskusi dengan mengatur posisi tempat
duduk dalam bentuk lingkaran
(2)Membuka pertemuan (mengucapkan selamat datang,
menyampaikan tujuan pertemuan, membuat komitmen bersama
dengan keseluruhan anggota tentang lamanya waktu diskusi
(kontrak waktu) dan menyampaikan tata tertib diskusi)
(3)Mempersilahkan penyaji untuk menyampaikan kasusnya selama
10-20 menit
(4)Memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan
pertanyaan secara bergilir selama 30 menit
(5)Mengatur lalu lintas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
peserta dan klarifikasi bila ada yang tidak jelas
(6)Merangkum hasil diskusi
(7)Melakukan refleksi terhadap proses diskusi dengan meminta
peserta untuk menyampaikan pendapat dan komentarnya tentang
diskusi tersebut
(8)Membuat kesimpulan hasil refleksi dan menyampaikan isu-isu
yang muncul
(9)Meminta kesepakatan untuk rencana pertemuan berikutnya
(10) Menutup pertemuan dengan memberikan penghargaan
kepada seluruh peserta dan berjabat tangan dan membuat
164

laporan hasil diskusi sesuai dengan format dan menyimpan


laporan DRK pada arsip yang telah ditentukan bersama.
5) Laporan
Setelah melakukan kegiatan, langkah berikutnya adalah menyusun
laporan DRK. Agar kegiatan DRK dapat diketahui dan dibaca oleh
pimpinan, anggota kelompok maupun teman sejawat lainnya maka
kegiatan tersebut harus dicatat/didokumentasikan sebagai laporan.
Bentuk laporan dikemas dengan menggunakan suatu format yang
antara lain berisikan :
a) Nama peserta yang hadir
b) Tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan.
c) Isu-isu atau masalah yang muncul selama diskusi
d) Rencana tindak lanjut berdasarkan masalah, lampiran laporan
menyertakan daftar hadir yang ditandatangani oleh semua peserta
6) Persyaratan DRK
Diskusi Refleksi Kasus berbeda dengan presentasi kasus karena DRK
mempunyai persyaratan-persyaratan khusus berdasarkan Modul
Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK) (2009) yaitu:
a) Suatu kelompok yang terdiri dari satu profesi yang beranggotakan
5-8 orang
b) Salah satu anggota kelompok berperan sebagai fasilitator, satu
orang lagi sebagai penyaji dan lainya sebagai peserta.
c) Posisi fasilitator, penyaji dan peserta lain dalam diskusi setara
(equal)
d) Kasus yang disajikan penyaji merupakan pegalaman klinis yang
nyata dan menarik
e) Posisi duduk sebaiknya melingkar agar setiap peserta dapat saling
bertatapan dan berkomunikasi secara bebas.
f) Tidak boleh ada interupsi dan hanya ada satu orang saja yang
berbicara dalam satu saat dan peserta lain memperhatikan proses
diskusi
g) Tidak diperkenankan ada dominasi, kritik yang dapat memojokan
penyaji atau peserta lain, serta dalam berargumentasi tidak boleh
menggurui.
165

h) Membawa catatan diperbolehkan, namun tidak mengurangi


perhatian dalam berdiskusi.
i) Diskusi Refleksi Kasus wajib dilakukan secara rutin, terencana dan
terjadwal dengan baik minimal satu bulan sekali dimana kelompok
diskusi berbagi pengalaman klinis dan IPTEK diantara sejawat
selama satu jam.
j) Selama diskusi setiap anggota secara bergilir mendapat kesempatan
untuk menyampaikan pendapat dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa, yang merefleksikan
pengalaman, pengetahuan serta kemampuan masing-masing.
k) Selama diskusi berlangsung harus dijaga agar tidak ada pihak-pihak
yang merasa tertekan atau terpojok, yang diharapkan terjadi justru
sebaliknya yaitu dukungan dan dorongan bagi setiap peserta agar
terbiasa menyampaikan pendapat mereka masing-masing.
l) Diskusi Refleksi Kasus dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk
memecahkan masalah, merevisi standar, membuat standar ataupun
kesepakatan tindak lanjut agar standar dipatuhi.
2. Tinjauan Kasus
Rumah Sakit Tingkat III Baladhika Husada setiap hari rabu
memiliki acara diskusi rutin yang disebut dengan rabu klinik. Konsep
yang selama ini dipahami oleh rumah sakit adalah konsep ronde
keperawatan yang melibatkan tenaga medis, gizi, farmasi, dan analis
kesehatan. Sehingga pada pertemuan ini dihadiri oleh beberapa tenaga
kesehatan yang ada di rumah sakit seperti perawat dan dokter. Pada
ruangan rawat inap Anggrek belum dilakukan diskusi refleksi kasus
(DRK) yang terjadwal. Diskusi hanya dilakukan secara informal dan
belum menggunakan literature yang update.
3. Kajian Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2014) yang berjudul
Hubungan Kegiatan Diskusi Refleksi Kasus Dengan Motivasi Belajar
Perawat Di Irna C Rsup Sanglah Denpasar didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang antara kegiatan diskusi refleksi kasus terhadap
166

motivasi belajar perawat. Penerapan DRK yang dilaksanakan secara baik


dan rutin maka akan dapat meningkatkan motivasi belajar dari perawat,
sehingga pelayanan keperawatan pada rumah sakit dapat lebih baik.
4. Asumsi Pelaksana
Ruang Anggrek Rumkit Tingkat III Baladhika Husada Jember
belum menerapkan diskusi refleksi kasus karena belum terbentuknya
standar pelaksanaan diskusi refleksi kasus (DRK) yang ditetapkan oleh
rumah sakit dan belum adanya jadwal terstruktur untuk pelaksanaan DRK.
5. Rencana Tindak Lanjut
Setelah dilakukan role play mengenai pelaksanaan DRK
diharapkan perawat mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan DRK
yang dapat diterapkan di ruangan. Selain itu diberikan standar prosedur
operasional (SPO) ke ruangan dengan harapan dapat dijadikan acuan
sehingga dapat diterapkan di ruang rawat inap Anggerk Rumah Sakit
Tingkat III Baladhika Husada Jember Selain itu, standart prosedur
operasional mengenai terapi SELIMUT yang telah didiskusikan dalam
role play DRK juga dapat menjadi salah satu tindak lanjut yang bias
didiskusikan lebih lanjut sehingga SPO tersebut dapat diterapkan sebagai
SPO rumah sakit.
6. Faktor Penghambat
Waktu yang terbatas dalam pelaksanaan DRK
7. Faktor Pendukung
a. Kepala ruang dan perawat ruang yang aktif dan turut serta dalam
pelaksanaan diskusi selama DRK menjadi pendukung terlaksananya
DRK di ruang.
b. Kepala ruang dan perawat ruangan yang memberikan reinforcement
positif kepada mahasiswa mengenai pelaksanaan DRK.

6.4 Masalah 4 : Belum Adanya Tanda Risiko Jatuh pada Bed Pasien di
Ruang Anggrek di RS Tingkat III Baladhika Husada
1. Tinjauan Pustaka
167

Keselamatan dinyatakan sebagai ranah pertama dari mutu dan definisi


dari keselamatan ini merupakan pernyataan dari perspektif pasien (Kohn,
dkk, 2000 dalam Sutanto, 2014). Pengertian lain menurut Hughes (2008)
dalam Sutanto (2014), menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan
pencegahan cedera terhadap pasien. Pencegahan cedera didefinisikan
sebagai bebas dari bahaya yang terjadi dengan tidak sengaja atau dapat
dicegah sebagai hasil perawatan medis. Sedangkan praktek keselamatan
pasien diartikan sebagai menurunkan risiko kejadian yang tidak diinginkan
(KTD) yang berhubungan dengan paparan terhadap lingkup diagnosis atau
kondisi perawatan medis. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain beban kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat,
penggunaan sarana kurang tepat dan lain sebagainya (Nursalam, 2011).
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk
rumah sakit. Ada enam sasaran keselamatan pasien di rumah sakit yaitu
ketepatan identifikasi, peningkatan komunikasi efektif, peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi, tepat
prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan resiko infeksi terkait
pelayanann kesehatan pengurangan resiko pasien jatuh (Depkes, 2011).
Program Keselamatan Pasien (patient safety) adalah suatu sistem
yang memastikan rumah sakit membuat asuhan pasien menjadi lebih
aman. Komponen yang termasuk di dalamnya adalah: pengkajian risiko,
identifikasi dan pengelolan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden,
kemampuan belajar dari insiden, dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Yulia, 2010).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/
VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
168

tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya


risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah
setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri
dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak
Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan
cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat disingkat
KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang
sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial
Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Kejadian sentinel
adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius
(Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).
2. Tinjauan Kasus
Mahasiswa Program Profesi Ners Stase Manajemen Keperawatan. Telah
melakukan implementasi berupa pembuatan checklist tentang pengurangan
risiko pasien jatuh meliputi pengkajian risiko jatuh pada setiap pasien yang
menjalani perawatan di Ruang Anggrek kemudian dilakukan monitor dan
evaluasi secara berkala setiap kali dinas agar dapat memantau dan
mengetahui tingkat keberhasilan pencegahan serta pengurangan cedera
akibat jatuh, bukan hanya itu dilakukan penerapan langkah-langkah
pencegahan diantaranya dengan memasang tanda atau label risiko jatuh
rendah, tinggi atau sangat tinggi pada setiap bed dan pengamanan bagi
pasien yang berisiko. Selain itu, mahasiswa juga memberikan informasi
kepada keluarga pasien tentang kegunaan pemberian tanda atau label risiko
jatuh, sehingga keluarga dapat memahami tentang risiko jatuh yang akan
terjadi pada pasien, apakah pasien tergolong risiko jatuh yang rendah, tinggi
169

atau sangat tinggi, dan keluarga dapat segera melaporkan jika terjadi
perubahan risiko jatuh yang dialami pasien.
3. Kajian Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Lombogia et al (2016), mendapatkan
hasil bahwa adanya hubungan perilaku perawat dengan kemampuan
melaksanakan patient safety dalam hal pengurangan risiko jatuh pada pasien
di Ruang Anggrekkut IGD RSUP Prof.Kandou Manado. Hasil penelitian
Lombogia (2016) yakni terdapat hubungan perilaku perawat dengan
kemampuan melaksanakan patient safety dalam pengurangan resiko pasien
jatuh di Ruang Anggrekkut IGD RSUP Prof. Kandou Manado, analisis
menggunakan uji Chi-square pada tingkat kemaknaan 95% menunjukkan
nilai p = 0,002. Dan nilai p ini lebih kecil dari a = 0,005 yang menunjukkan
dari 31 responden sebagian besar perawat yang perilakunya baik dengan
kemampuan patient safety dalam pengurangan resiko pasien jatuh berjumlah
14 responden.
4. Asumsi Pelaksana
Ruang Anggrek sudah menjalankan tindakan untuk pasien yang
berisiko jatuh akan tetapi belum berjalan secara optimal. Perawat telah
melakukan pemasangan kancing pada gelang pasien namun dirasa kurang
optimal karena penandaan tersebut tidak tampak bila perawat tidak
mengecek gelang pasien. Maka dari itu diperlukan pemasangan tanda atau
label risiko jatuh tambahan seperti tanda atau label risiko jatuh yang
terpasang dan tergantung pada setiap bed pasien sesuai dengan kriteria
risiko jatuh saat dpengkajian. Serta diperlukan pendidikan kesahatan untuk
keluarga terkait risiko jatuh pasien agar keluarga pasien mengetahui dan
memahami keluarganya yang sakit berada pada risiko jatuh yang rendah,
tinggi ataupun sangat tinggi.
5. Rencana Tindak Lanjut
Setelah dilakukannya implementasi tentang risiko jatuh, perawat
mampu menerapkan penatalaksanaan risiko jatuh dengan baik. Perawat juga
harus mampu memberikan arahan dan pengertian mengenai tanda risiko
jatuh yang telah terpasang pada pasien atau pada bed pasien. Tanda atau
label risiko jatuh diharapkan menjadi salah satu penerapan langkah
170

pencegahan risiko jatuh yang dapat digunakan sectra terus menerus oleh
perawat Ruang Anggrek, serta diharapkan perawat juga mampu menjaga
tanda atau label risiko jatuh itu dengan baik agar dapat terus digunakan
untuk meminimalkan angka kejadia pasien jatuh di rumah sakit.
6. Faktor Penghambat
Petugas kesehatan belum memberikan informasi dengan jelas terkait
fungsi kancing risiko jatuh pasien kepada pasien maupun keluarga sehingga
pasien dan keluarga belum mengerti tentang fungsi gelang yang dipakai
pasien yang menandakan adanya risiko jatuh yang dialami oleh pasien.
Petugas kesehatan belum mengoptimalkan pembuatan alternatif tanda
selain gelang yang terpasang pada pasien, yaitu tanda atau label risiko jatuh
tinggi dan sangat tinggi. Tanda atau label risiko jatuh tinggi dan sangat
tinggi dimaksudkan agar dapat ditempatkan pada tiap-tiap bed pasien
sebagai salah satu upaya untuk mengetahui pasien tersebut termasuk kriteria
risiko jatuh tinggi atau sangat tinggi. Pembuatan tanda atau label tersebut
menjadi terhambat disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah
belum dianggarkannya tanda atau label risiko jatuh dari pihak yang
berwenang di rumah sakit.
7. Faktor Pendukung
Setalah dilakukan pelaksanaan pemasangan tanda atau label risiko jatuh
pada pasien sesuai kriteria pasien dengan risiko jatuh tinggi atau sangat
tinggi, selanjutnya hanya diperlukan evaluasi secara berkala apakah
penggunanaan tanda atau label tersebut sudah sesuai dengan kriteria pasien,
dan juga perawatan lanjutan untuk benda tersebut agar dapat digunakan
secara terus menerus.

6.5 Masalah 5 : Belum Optimalnya Pelaksanaan Supervisi Berfokus pada


Peran Kepala Ruangan sebagai Supervisor pada Kepala Tim di Ruang
Anggrek di RS Tingkat III Baladhika Husada
1. Tinjauan Pustaka
171

Dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional seharusnya


didukung dengan adanya sumber daya manusia yang bermutu, standar
pelayanan, termasuk pelayanan yang berkualitas, di samping fasilitas yang
sesuai harapan masyarakat. Agar pelayanan keperawatan sesuai dengan
harapan konsumen dan memenuhi standar yang berlaku maka perlu
dilakukan pengawasan atau supervisi terhadap pelaksanaan asuhan
keperawatan. Supervisi merupakan salah satu bentuk kegiatan dari
manajemen keperawatan dan merupakan cara yang tepat untuk menjaga
mutu pelayanan keperawatan. Supervisi adalah teknik pelayanan yang
tujuan utamanya adalah mempelajari dan memperbaiki secara bersama-
sama. Kunci sukses supervisi yaitu 3F, yaitu Fair, Feedback, dan Follow
Up. Supervisi merupakan ujung tombak tercapainya tujuan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Kinerja perawat dalam melaksanakan sebuah asuhan keperawatan
merupakan indikator mutu pada suatu rumah sakit. Salah satu metode yang
digunakan untuk menilai kinerja perawat yaitu dengan melihat standar
asuhan keperawatan/standar operasional prosedur. Standar asuhan
keperawatan adalah suatu pernyataan dan tata cara yang menguraikan
kualitas yang diinginkan terkait dengan pelayanan keperawatan terhadap
klien (Mandagi dkk, 2015). Gibson dalam Mandagi, dkk (2015), kinerja
perawat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu individu, psikologis, dan organisasi.
Faktor individu terdiri dari kemampuan, keterampilan, pengetahuan,
demografi, dan latar belakang keluarga. Faktor psikologis terdiri dari
persepsi, sikap, motivasi, kepribadian dan belajar. Faktor organisai terdiri
dari kepemimpinan, struktur, beban kerja, imbalan, dan supervisi.

2. Tinjauan Kasus
Supervisi Bidang Pelayanan Keperawatan di RS Tingkat 3 Baladhika
Husada sudah dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua tim akan tetapi
hanya melakukan manager on duty. MOD merupakan pendelegasikan
172

sebagai tim pada saat jam dinas dan diluar jam dinas, dimana biasanya
MOD bertugas pada saat sore sampai pada malam hari manager on duty
yang dilakukan adalah terkait dengan jumlah pasien dan masalah yang ada
pada pasien saat itu.
3. Kajian Penelitian Sebelumnya
Kinerja individu perawat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu individu,
psikologis, dan organisasi. Faktor individu terdiri dari kemampuan,
keterampilan, pengetahuan, demografi, dan latar belakang keluarga. Faktor
psikologis terdiri dari persepsi, sikap, motivasi, kepribadian dan belajar.
Faktor organisasi terdiri dari kepemimpinan, struktur, beban kerja, imbalan,
dan supervisi (Gibson dalam Mandagi,2015). Supervisi akan mencapai
tingkat kegunaan yang tinggi apabila kegiatannya dilakukan melalui tiga
prinsip hubungan kemanusiaan, yaitu pengakuan dan penghargaan,
objektivitas, serta kesejawatan. Hubungan kemanusiaan mengisyaratkan
bahwa supervisi dilakukan secara wajar, terbuka, dan partisipatif.
Pengakuan dan penghargaan berkaitan dengan sikap supervisor untuk
mengakui potensi dan penampilan pihak yang disupervisi dan menghargai
bahwa pihak yang disupervisi dapat dan harus mengembangkan diri.
Objektivitas berkaitan dengan informasi dan permasalahan yang telah
ditemukan yang diperlakukan oleh supervisor sebagaimana adanya,
sedangkan upaya pemecahan permasalahan dilakukan secara rasional.
Kesejawatan memberi corak bahwa kegiatan pelayanan dilangsungkan
dalam suasana akrab dan kekerabatan.

Hubungan kemanusian mendasari pelayanan profesional. Titik berat


hubungan kemanusiaan ialah sikap dan ekspresi yang menunjukkan
pengakuan, pujian, dan penghargaan, bukan sebaliknya yaitu
mencerminkan pengabaian, penentangan, dan makian terhadap aktivitas
yang dilakukan oleh pihak yang disupervisi.
4. Asumsi Pelaksana
Supervisi yang berjalan di ruangan merupakan supervisi dari kepala
ruang ke ketua tim atau ketua tim ke perawat pelaksana di ruangan.
173

Supervisi mempunyai tiga kegunaan. Pertama, supervisi berguna untuk


meningkatkan kemampuan supervisor dalam memberikan layanan kepada
para pelaksana kegiatan (perawat). Kemantapan kemampuan akan dialami
apabila supervisor sering melakukan supervisi. Kedua, supervisi bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan para pelaksana kegiatan. Ketiga, hasil
supervisi berguna untuk menyusun pedoman atau petunjuk pelaksanaan
layanan profesional kepada pelaksana kegiatan.
Proses memberikan layanan, format-format yang digunakan, catatan dan
laporan supervisi, serta interaksi melalui hubungan kemanusiaan antara
supervisor dan yang disupervisi merupakan informasi yang bermanfaat
untuk menyusun patokan-patokan supervisi berdasarkan pengalaman
lapangan. Dengan demikian, supervisi berguna untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap para pelaksana kegiatan agar program
itu dapat dilaksanakan dengan baik.
5. Rencana Tindak Lanjut
Dilakukan kegiatan supervisi dari ketua tim ke perawat pelaksana di
ruangan yang dilakukan secara terjadwal, sehingga setiap pemberi layanan
keperawatan di rumah sakit mampu memberikan kinerja yang bermutu dan
sesuai standar asuhan keperawatan yang berkualitas.

6. Faktor Penghambat
a. Belum adanya jadwal supervisi terkait pemberian standar asuhan
keperawatan.
b. Supervisi yang dilakukan masih berupa manager on duty.
c. Belum adanya format supervisi
7. Faktor Pendukung
Kemauan dari pihak Individu dan Ruangan untuk memberikan pelayanan
dan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada pasien

Anda mungkin juga menyukai