Anda di halaman 1dari 33

BAB III

PENGOLAHAN DATA

3.1 Pendahuluan

Analisis tektonostratigrafi dan pola sedimentasi interval Kelompok Pematang


dilakukan dengan cara mengintegrasikan data geologi, data geofisika yang tersedia, serta studi
literatur geologi regional. Gambar 3.1 memperlihatkan peta dasar seismik dan lokasi sumur
yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 3. 1 Peta dasar seismik dan lokasi sumur daerah Subcekungan BS, Cekungan
Sumatera Tengah

13
3.2 Ketersediaan Data

Dalam penelitian ini, data-data yang digunakan terdiri dari data geologi, yaitu berupa
laporan deskripsi batuan inti samping (side wall core), keratan bor (cutting), dan batuan inti
(core)), data marked log, dan data log sumur, serta data geofisika berupa data seismik 2D.
Tabel berikut ini menggambarkan ketersedian data di daerah penelitian.

Tabel 3. 1 Ketersediaan Data di Daerah Penelitian

3.2.1 Data Marked Log

Data marked log berbentuk data dengan format gambar yang berisikan data properti
fisik dan data pendukung yang berakaitan dengan pemboran dalam suatu sumur, data log SP
dan resistivity yang telah ditandai, baik ditandai keberadaan puncak tiap formasinya, OWC, dll
serta terdapat deskripsi batuan beserta keterdapatannya pada suatu kedalaman tertentu.
(Gambar 3.2). Deskripsi batuan yang terdapat dalam data marked log ini berupa data batuan
inti samping (SWC), batuan inti, dan keratan bor.

14
Gambar 3. 2 Contoh data marked log yang memperlihatkan posisi puncak Formasi
Pematang dan deskripsi batuan inti samping

3.2.2 Deskripsi Batuan Inti Samping (Side Wall Core)

Data batuan inti samping (SWC (side wall core)) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data yang didapatkan dengan cara mengulas laporan deskripsi batuan inti samping yang
dibuat oleh perusahaan. Laporan tersebut memuat deskripsi litologi dari masing-masing sampel
yang diambil dari sumur-sumur yang ada pada daerah penelitian, Gambar 3.3 memperlihatkan
contoh potongan data deskripsi batuan inti samping. Kesembilan sumur daerah penelitian
memiliki laporan deskripsi batuan inti samping (Tabel 3.1).

Gambar 3. 3 Contoh deskripsi batuan inti samping

15
3.2.3 Deskripsi Batuan Inti (Core)

Data batuan inti yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan
dengan cara mengulas laporan deskrisi batuan inti yang dibuat oleh perusahaan. Laporan
tersebut memuat deskripsi litologi, porositas, dan permeabilitas dari batuan inti, Gambar 3.4
memperlihatkan contoh potongan data deskripsi batuan inti samping. Dari sembilan sumur
yang ada hanya tiga sumur yang memiliki data laporan deskripsi core (Tabel 3.1).

Gambar 3. 4 Contoh deskripsi batuan inti

3.2.4 Deskripsi Keratan Bor (Cutting)

Data keratan bor yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan
dengan cara mengulas laporan deskripsi keratan bor yang dibuat oleh perusahaan. Laporan
tersebut memuat deskripsi litologi dari keratan bor, Gambar 3.5 memperlihatkan contoh
potongan data deskripsi keratan bor. Dari sembilan sumur yang ada hanya dua sumur yang
memiliki data laporan deskripsi cutting (Tabel 3.1).

16
Gambar 3. 5 Contoh Deskripsi Keratan Bor

Data deskripsi keratan bor yang tersedia pada tiga sumur di daerah penelitian ini akan
digabungkan dengan data deskripsi batuan inti samping, data deskripsi batuan inti, dan data log
sumur untuk menentukan litologi dan interval penelitian, lingkungan pengendapan, serta
korelasi antar sumur.

3.2.5 Data Log Sumur

Sumur-sumur yang terdapat pada daerah penelitian memiliki beberapa jenis data log
yaitu Calliper (CAL), Sonic (DT), Gamma Ray (GR), Resistivity (Res), Neutron Porosity
(NPHI), Bulk Density (RHOB), Spontaneous Potential (SP), Checkshot (CHKS), dan Depth
Two Way Time (DPTM). Ketersediaan dari masing-masing jenis data log tersebut ditampilkan
pada Tabel 3.1. Data log sumur tersebut diintegrasikan dengan data deskripsi batuan inti,
deskripsi batuan inti samping dan deskripsi keratan bor dalam penelitian ini untuk penentuan
litologi, penentuan lingkungan pengendapan, dan korelasi antar sumur.

3.2.6 Data Seismik

Data seismik yang digunakan adalah seismik 2D berdomain waktu. Terdapat 33


lintasan seismik yang melintasi daerah penelitian, 10 diantaranya melewati sumur pemboran.
Tabel 3.2 memperlihatkan data lintasan seismik daerah penelitian. Data seismik ini selanjutnya
digunakan untuk interpretasi horizon dan sesar.

17
Tabel 3. 2 Data Lintasan Seismik 2D pada Daerah Penelitian

Nama Lintasan Arah Panjang


Keterangan
Seismik 2D Lintasan Lintasan (km)
BS-1 T-B 8.9 Melewati sumur BE-1 dan BE-13
BS-2 S-U 19.5 Melewati sumur BE-1
BS-3 BD-TL 17.9 -
BS-4 B-T 20.8 Melewati sumur AN-2
BS-5 B-T 16.5 -
BS-6 BD-TL 18.0 Melewati sumur BT-1
BS-7 BD-TL 9.5 Melewati sumur BS-1 dan BT-1
BS-8 U-S 8.5 Melewati sumur AN-2
BS-9 U-S 11.7 -
BS-10 S-U 10.9 -
BS-11 U-S 9.0 Melewati sumur PA-1
BS-12 B-T 7.4 -
BS-13 B-T 7.8 -
BS-14 B-T 8.8 -
BS-15 B-T 7.0 -
BS-16 B-T 7.4 -
BS-17 B-T 6.1 -
BS-18 TL-BD 6.9 Melewati sumur BE-13
BS-19 BL-TG 13.1 -
BS-20 BD-TL 9.0 -
BS-21 TL-BD 8.6 -
BS-22 TL-BD 8.2 -
BS-23 BL-TG 9.9 -
BS-24 BL-TG 11.0 -
BS-25 BL-TG 16.4 Melewati sumur BT-1
BS-26 U-S 9.4 Melewati sumur NE-1
BS-27 T-B 8.1 -
BS-28 T-B 7.9 -
BS-29 T-B 8.8 -
BS-30 B-T 8.5 -
BS-31 T-B 8.7 -
BS-32 B-T 8.1 -
BS-33 U-S 8.7 -

3.3 Pengolahan Data

Masing-masing data yang telah dijelaskan akan diolah untuk mendapatkan suatu
informasi yang berbeda-beda tergantung dari jenis data yang digunakan. Pengolahan data yang
dilakukan yaitu penentuan interval Kelompok Pematang, korelasi sumur, interpretasi seismik

18
2D, pembuatan peta struktur waktu, pembuatan peta ketabalan interval Kelompok Pematang,
dan pembuatan peta RMS amplitude.

3.3.1 Penentuan Interval Formasi dalam Kelompok Pematang

Penentuan interval formasi pada Kelompok Pematang dilakukan melalui empat tahapan
yaitu kajian literatur, data marked log, korelasi sumur, dan interpretasi seismik. Kajian literatur
mengenai karakteristik endapan Kelompok Pematang melalui penelitian-penelitian
sebelumnya. Berdarkan kajian literatur tersebut didapatkan tiga formasi batuan yang menyusun
Kelompok Pematang yang terdapat di daerah penelitian ini yaitu berurutan dari tua ke muda
berupa Formasi Lower Red Beds, Formasi Brown Shale, dan Formasi Upper Red Beds. Berikut
ini merupakan karakteristik Formasi Lower Red Beds, Brown Shale dan Upper Red Beds
menurut Williams, dkk (1985):

a. Formasi Lower Red Beds memiliki litologi berupa mudstone, batulanau, batupasir dan
sedikit Konglomerat. Formasi Lower Red Beds diendapkan secara tidak selaras di atas
batuan dasar pra-Tersier.

b. Formasi Brown Shale memiliki litologi berupa serpih, sisipan batulanau, sedikit
batubara dan perselingan tipis dari batupasir. Formasi Brown Shale diendapkan secara
selaras di atas Formasi Lower Red Beds.

c. Formasi Upper Red Beds memiliki litologi berupa batupasir, konglomerat, sedikit
mudstone dan serpih. Formasi Upper Red Beds diendapkan secara selaras di atas
Formasi Brown Shale. Selanjutnya di atas Formasi Upper Red Beds diendapkan
Kelompok Sihapas secara tidak selaras (ketidakselarasan bersudut) serta terjadi erosi
minor mengakibatkan ketebalan yang ditemui di interval Formasi Upper Red Beds
cenderung tipis dan tidak menggambarkan ketebalan yang sebenarnya (hanya ketebalan
formasi yang tersisa dari proses erosi saja).

Selanjutnya dilakukan penentuan batas bawah dan atas dari tiap formasi sebagai
interval formasi penelitian pada Kelompok Pematang ini berdasarkan data marked log (Tabel
3.3). Berdasarkan data marked log, diketahui bahwa semua sumur menembus sampai ke
puncak Formasi Upper Red Beds, lima sumur menembus puncak Formasi Brown Shale,
sementara hanya dua sumur saja yang menembus sampai ke puncak Formasi Lower Red Beds
dan tidak ada sumur yang menembus sampai ke puncak basement sebagai batas bawah interval
Formasi Lower Red Beds.

19
Tabel 3. 3 Kedalaman Puncak Formasi di Tiap Sumur pada Daerah Penelitian
Berdasarkan Data Marked Log

3.3.2 Korelasi Sumur

Selanjutnya, dilakukan korelasi antar sumur sehingga didapatkan puncak kedalaman


tiap formasi pada tiap sumur kecuali untuk sumur-sumur yang memang tidak sampai
menembus ke beberapa formasi yang lebih dalam seperti Formasi Brown Shale dan Formasi
Lower Red Beds. Korelasi sumur yang dilakukan dalam penelitian ini adala korelasi interval
formasi berdasarkan penarikan puncak-puncak lapisan dari tiap formasi pada interval
kedalaman tertentu dari suatu sumur dengan sumur lainnya. Korelasi ini dilakukan untuk
mengetahui kemenerusan secara lateral dan untuk mengetahui ketebalan tiap interval formasi.
Korelasi ini didasarkan pada data puncak lapisan tiap formasi yang didapatkan dari data marked
log seperti pada pembahasan dalam subbab sebelumnya yang selanjutnya divalidasi dengan
melihat pola log dan data litologi. Pada penelitian ini dilakukan dua korelasi utama yaitu
korelasi 1 dan 2. Gambar 3.7 memperlihatkan hasil korelasi puncak formasi pada daerah
penelitian. Pada korelasi dalam Gambar 3.7, warna hijau menunjukkan puncak Formasi Upper
Red Beds, warna coklat menunjukkan puncak Formasi Brown Shale, dan warna biru
menunjukkan puncak Formasi Lower Red Beds. Berdasarkan hasil korelasi pada Gambar 3.7
dapat dilihat bahwa ketebalan Formasi Upper Red Beds pada daerah penelitian cenderung
sangat tipis yang disebabkan oleh proses erosi endapan post-rift di atasnya.

20
A

B
Gambar 3. 6 (A) Korelasi puncak formasi 1 (berarah relatif barat-timur) (B) Korelasi
puncak formasi 2 (berarah relatif barat-timur)

3.3.3 Pengikatan Data Sumur pada Data Seismik (Well-Seismic Tie)

Dalam penelitian ini, proses pengikatan data sumur pada data seismik dilakukan pada
beberapa sumur yang memiliki data checkshot. Pengikatan data sumur bertujuan untuk
mengikat data sumur dengan data seismik sehingga nantinya interpretasi seismik yang
berdomain waktu dapat dilakukan dengan lebih akurat berdasarkan data kedalaman log sumur
yang telah diikat pada beberapa lintasan seismik. Salah satu contoh well-seismic tie dapat
dilihat pada Gambar 3.6.

21
Upper
Red Beds
Brown Shale

Gambar 3. 6 Contoh hasil well-seismic tie antara sumur BE-1 dengan seismik BS-04
3.3.4 Interpretasi Seismik

Setelah dilakukan well-seismic tie dengan data sumur yang telah dikorelasikan puncak-
puncak formasinya, dilakukan interpretasi seismik berupa picking horizon puncak formasi di
tiap lintasan seismik (33 lintasan seismik 2D) pada daerah penelitian. Interpretasi seismik yang
dilakukan meliputi penarikan empat horizon berupa batas atas Formasi Upper Red Beds,
Brown Shale, Lower Red Beds, dan Basement sehingga menghasilkan tiga interval formasi
yaitu Formasi Upper Red Beds, Brown Shale, dan Lower Red Beds. Selain itu dilakukan
penarikan struktur-struktur sesar yang memotong horizon-horizon tersebut, terutama sesar-
sesar yang mempengaruhi ketebalan dari interval formasi dalam penelitian. Penarikan horizon
dan sesar-sesar tersebut dilakukan sebagai langkah awal dari pembuatan peta-peta selanjutnya
yaitu peta struktur waktu, peta ketebalan, dan peta RMS amplitude. Peta-peta tersebut yang
nantinya sebagai bahan analisis terhadap topik penelitian ini pada bab selanjutnya. Selain itu,
melalui penarikan horizon dan sesar-sesar ini dapat diinterpretasikan mengenai pola
sedimentasi, ketebalan interval, peran sesar dalam interval formasi serta karakter secara umum
dari tiap interval formasi pada daerah penelitian.

Penarikan horizon seismik dilakukan dengan memanfaatkan data marker puncak


formasi yang terdapat pada data log sumur. Sehingga log sumur berperan sebagai titik acuan
atau kontrol terhadap penarikan horizon dalam satu lintasan seismik.

22
Setelah itu, karena tidak ada sumur yang menembus sampai ke puncak basement (tidak
terdapat data marked log), digunakan data seismik dalam penginterpretasian puncaknya.
Puncak basement sebagai batas bawah dari Formasi Lower Red Beds ditentukan melalui
interpretasi seismik dengan cara melakukan picking horizon puncak Basement pada lintasan
seismik. Picking seismik puncak Basement dilakukan dengan memperhatikan karakter seismik
Lower Red Beds dan dengan menginterpretasi karakter seismik dari puncak Basement. Formasi
Lower Red Beds dicirikan dengan litologi dari Formasi Lower Red Beds didominasi oleh
batuan penciri lingkungan pengendapan energi rendah seperti mudstone, batulanau dan
batupasir halus, memiliki dimensi ketebalan yang relatif tebal dibanding kedua formasi di
atasnya, serta memiliki ketebalan sedimen yang berubah dari tipis menjadi tebal. Berdasarkan
ciri-ciri tersebut, karakter seismik interval Formasi Lower Red Beds diinterpretasikan dengan
karakter reflektor sesimik yang relatif lemah (kurang kuat), terdapat kemenerusan dari reflektor
seismik tetapi tidak sekuat pada Formasi Brown Shale, ketebalan yang berubah dari tipis
menjadi tebal ke arah border fault, dan dibatasi oleh reflektor kuat yang relatif menerus sebagai
penanda puncak Basement. Sementara interval Basement ditandai dengan karakter reflektor
seismik yang lemah, tidak menerus dan chaotic. Selain itu, terdapat onlap di atas puncak
Basement serta karakter seismik yang menunjukkan hubungan ketidakselarasan antara
Basement dengan endapan di atasnya (Formasi Lower Red Beds). Berdasarkan penjabaran
tersebut dapat ditarik puncak Basement sebagai batas bawah dari interval Formasi Lower Red
Beds. Gambar 3.8 memperlihatkan contoh interpretasi seismik 2D pada daerah penelitian.

23
BE-1 BE-13

Upper Red
Beds
Brown Shale

Lower Red
Beds

Sesar

Sesar utama
(border
fault)

A
BE-1 BE-13

Basement

B
Gambar 3. 7 (A) Contoh hasil pengikatan seismik lintasan BS-04 dengan data sumur
BE-1(puncak Formasi Upper Red Beds dan puncak Formasi Brown Shale) (B) Contoh
interpretasi puncak batuan dasar berdasarkan karakter seismik

24
Selanjutnya penarikan horizon seismik dilanjutkan pada seluruh lintasan seismik,
termasuk pada lintasan seismik yang tidak memiliki kontrol sumur. Untuk lintasan seismik
yang tidak memiliki kontrol sumur penarikan horizon dilakukan dengan cara mengikuti titik
kontrol dari lintasan seismik yang memiliki kontrol sumur dengan lintasan seismik yang ingin
diinterpretasi yang saling berpotongan. Melalui interpretasi seismik ini dapat dibuat peta
struktur waktu puncak dari masing-masing formasi.

Peta struktur waktu merupakan sebuah peta yang dihasilkan dari penarikan horizon
stratigrafi dan sesar pada lintasan seismik yang kemudian diinterpolasi sehingga membentuk
sebuah kenampakan permukaan. Nantinya melalui peta struktur waktu dapat dilihat
kenampakan permukaan dari tiap interval dan nantinya diperlukan untuk membuat peta
ketebalan (isochrone map). Pada penelitian ini dibuat empat buah peta struktur waktu yaitu
puncak Basement, puncak Formasi Lower Red Beds, Brown Shale, dan Upper Red Beds. Hasil
dari pembuatan peta struktur waktu dapat dilihat pada Gambar 3.9, Gambar 3.10, Gambar 3.11,
dan Gambar 3.12.

25
Gambar 3. 8 Peta struktur waktu puncak Basement

26
Gambar 3. 9 Peta struktur waktu puncak Formasi Lower Red Beds

27
Gambar 3. 10 Peta struktur waktu puncak Formasi Brown Shale

28
Gambar 3. 11 Peta struktur waktu puncak Formasi Upper Red Beds

29
3.3.5 Penafsiran Lingkungan Pengendapan

Untuk menentukan lingkungan pengendapan digunakan integrasi dari beberapa data


yaitu data batuan dan analisis elektrofasies dari tiap sumur. Data batuan inti, batuan inti
samping dan keratan bor digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dari tekstur
sedimen dan urut-urutan vertikalnya, sedangkan analisis elektrofasies dilakukan untuk
memperkirakan lingkungan pengendapan dengan melihat pola log Gamma Ray berdasarkan
model elektrofasies dari Kendall, 2003 (Gambar 3.13).

Gambar 3. 12 Model elektrofaies berdasarkan log gamma ray (Kendall, 2003)

Dengan mengasumsikan bahwa suatu jenis endapan tertentu mempunyai


pola/karakteristik tertentu yang dapat tercermin pada log Gamma Ray, maka log Gamma Ray
digunakan untuk menginterpretasikan fasies endapan pada interval kedalaman tertentu dari
suatu sumur. Pola log Gamma Ray dikelompokkan menjadi lima pola utama, yaitu cyllindrical
(agradasi), funnel (progradasi), bell (retrogradasi), symmetrical (progradasi dan retrogradasi),
dan serrated (agradasi) (Kendall, 2003) dan digunakan untuk menganalisis fasies batuan
sedimen klastik maupun karbonat.
Selain berdasarkan pola log gamma ray, penafsiran lingkungan pengendapan juga
dilakukan berdasarkan data batuan yang berasal dari laporan deskripsi litologi batuan dari data

30
batuan inti samping (SWC), batuan inti, dan keratan bor. Dilakukan integrasi antara data
deskripsi litologi batuan tersebut dengan pola log gamma ray sehingga selanjutnya dapat
dilakukan ditafsirkan lingkungan pengendapannya. Penafsiran lingkungan pengendapan
dilakukan tiap interval formasi (Lower Red Beds, Brown Shale, dan Upper Red Beds)
berdasarkan ketersediaan data. Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel untuk
memudahkan penafsiran lingkungan pengendapan. Penyajian data secara keseluruhan terdapat
pada Lampiran I. Berikut contoh beberapa hasil penafsiran lingkungan pengendapan dari tiap
formasi:

Formasi Lower Red Beds

Salah satu contoh fasies pengendapan yang ditemukan dalam Formasi Lower Red Beds
adalah fasies turbidit lakustrin. Penafsiran fasies ini terdapat pada Tabel 3.4. Fasies ini
diinterpretasikan berdasarkan terdapatnya pola log yang menghalus ke atas, menunjukkan pola
elektrofasies bell shaped. Pola log ini dapat diinterpretasikan sebagai channel. Selain itu, baik
berdasarkan pola log maupun deskripsi litologi, terdapat sisipan-sisipan tipis dari batupasir di
dalam shale yang relatif tebal menandakan terdapatnya mekanisme endapan turbidit dalam
lingkungan pengendapan berenergi rendah (lakustrin (Williams, dkk, 1985)). Oleh karena itu
fasies ini diinterpretasikan sebagai endapan turbidit dalam lakustrin.

Tabel 3. 4 Penafsiran Lingkungan Pengendapan Formasi Lower Red


Beds Sumur BE-7

31
Formasi Brown Shale

Salah satu contoh fasies pengendapan yang ditemukan dalam Formasi Brown Shale
adalah fasies lakustrin dan turbidit lakustrin. Penafsiran fasies ini terdapat pada Tabel 3.5.
Fasies lakustrin diinterpretasikan dari pola log yang relatif agradasi dengan shale yang sangat
tebal, menunjukkan pengendapan terjadi dalam lingkungan yang sangat tenang. Selain itu,
berdasarkan deskripsi batuan yang ada, litologi didominasi oleh batuan dengan pengendapan
energi rendah seperti batulanau dan serpih. Selain itu, warna serpih yang gelap menunjukkan
pengendapan terjadi dalam lingkungan yang bersifat reduksi. Kondisi seperti ini dapat dijumpai
pada lingkungan lakustrin. Sementara fasies turbidit lakustrin diinterpretasikan berdasarkan
terdapatnya pola log yang menghalus ke atas, menunjukkan pola elektrofasies bell shaped. Pola
log ini dapat diinterpretasikan sebagai channel dengan dominasi sand. Selain itu, baik
berdasarkan pola log maupun deskripsi litologi, dijumpai perselingan batupasir berbutir halus
dengan serpih-batulanau yang bersifat sedikit gampingan, menandakan terdapatnya
mekanisme endapan turbidit dalam lingkungan yang relatif tenang (lakustrin (Williams, dkk,
1985)). Oleh karena itu fasies ini diinterpretasikan sebagai endapan turbidit dalam lakustrin.

32
Tabel 3. 5 Penafsiran Lingkungan Pengendapan Formasi Brown Shale Sumur BE-1

Formasi Upper Red Beds

Salah satu contoh fasies pengendapan yang ditemukan dalam Formasi Upper Red Beds
adalah fasies fluvial. Penafsiran fasies ini terdapat pada Tabel 3.6. Fasies ini diinterpretasikan
berdasarkan terdapatnya pola log yang menghalus ke atas, menunjukkan pola elektrofasies bell
shaped dan juga litologi yang berubah menghalus ke atas dari batuasir menjadi batulanau. Pola
log ini dapat diinterpretasikan sebagai channel. Batupasir yang relatif tebal dan lebih dominan
dari formasi yang lainnya diinterpretasikan sebagai endapan fluvial, sehingga fasies
diinterpretasikan sebagai fluvial channel.

33
Tabel 3. 6 Penafsiran Lingkungan Pengendapan Formasi Upper Red Beds Sumur BE-7

3.3.6 Flattening

Pada dasarnya metode flattening menggunakan prinsip dasar original horizontality


(Steno, 1669) yaitu pada awal proses sedimentasi, sebelum terkena deformasi sedimen
terendapkan secara horizontal. Melalui metode flattening nantinya didapatkan kondisi awal
pengendapan sedimen tiap formasi sebelum terkena deformasi. Metode flattening ini juga
bertujuan untuk merekonstruksi perkembangan cekungan pada daerah penelitian termasuk
bagaimana geometri dari cekungan pada daerah penelitian. Metode flattening dilakukan
dengan cara meratakan penampang seismik pada puncak horizon formasi yang ingin
direstorasikan. Pada penelitian ini, flattening dilakukan pada tiap puncak formasi. Dipilih
penampang seismik lintasan BS-04 karena dianggap paling mewakili geologi regional daerah
penelitian (Gambar 3.14). Penafsiran dari hasil metode ini akan digabungkan dengan hasil
pembuatan peta ketebalan.

34
Gambar 3. 13 Penampang seismik lintasan BS-04 yang akan digunakan dalam metode
flattening

3.3.7 Pembuatan Peta Ketebalan (Isochrone Map)

Pembuatan peta ketebalan dilakukan di tiap interval formasi yaitu Formasi Upper Red
Beds, Brown Shale, dan Lower Red Beds dengan cara mengkalkulasikan ketebalan di antara
masing-masing puncak formasi dari data peta struktur waktu. Sebagai contoh untuk
menghasilkan peta ketebalan interval Formasi Lower Red Beds maka dilakukan kalkulasi
ketebalan antara peta struktur waktu puncak Formasi Lower Red Beds dan Basement.
Ketebalan yang dihasilkan merupakan ketebalan stratigrafi sebenarnya (True Stratigraphic
Thickness (TST)). Karena domain dari peta struktur waktu puncak merupakan domain waktu,
maka peta ketebalan yang dihasilkan merupakan peta ketebalan waktu (isochrone map).
Melalui peta ketebalan ini nantinya dapat dilihat pola penebalan endapan masing-masing
interval formasi sehingga dapat diinterpretasikan bagaimana sumber sedimen dan pola
sedimentasinya. Pada penelitian ini dibuat tiga buah peta ketebalan yaitu ketebalan interval
Formasi Lower Red Beds, Brown Shale, dan Upper Red Beds. Hasil dari pembuatan peta
ketebalan dapat dilihat pada Gambar 3.15, Gambar 3.16, dan Gambar 3.17.

35
Gambar 3. 14 Peta ketebalan waktu (isochrone) interval Formasi Lower Red Beds

36
Gambar 3. 15 Peta ketebalan waktu (isochrone) interval Formasi Brown Shale

37
Gambar 3. 16 Peta ketebalan waktu (isochrone) interval Formasi Upper Red Beds

38
3.3.8 Pembuatan Peta RMS Amplitude

Salah satu metode yang digunakan untuk dapat mengetahui penyebaran batuan
reservoir secara lateral yaitu dengan memanfaatkan data seismik yang hampir mencakup
seluruh area penelitian. Data sesimik yang dapat digunakan adalah atribut seismik. Atribut
seismik adalah segala informasi yang bisa didapatkan dari data seismik baik melalui
pengukuran secara langsung maupun dengan melakukan analisis berdasarkan pengalaman
(Taner, 2001). Atribut seismik diperlukan untuk memperjelas anomali yang tidak terlihat
secara kasat mata pada data rekaman seismik biasa. Atribut seismik juga merupakan
transformasi matematis dari data rekaman seismik yang merepresentasikan besaran waktu,
amplitudo, fase, frekuensi, dan attenuasi. Informasi yang tersedia pada data seismik bersifat
kuantitatif dan deskriptif sehingga atribut seismik yang ditampilkam merupakan representasi
data seismik orisinil pada skala yang sama. Informasi yang dapat diekstrak dari pengukuran
khas atribut seismik yaitu berupa fitur geometri, kinematik, dinamik dan statistik. Secara umum
atribut seismik dapat menampilkan data seismik termanipulasi yang digunakan untuk
mempermudah proses interpretasi geologi sehingga analisis terhadap geologi bawah
permukaan dapat meningkat kualitasnya (Sukmono, 2007).
Terdapat berbagai jenis atribut seismik dimana tiap atribut saling berhubungan satu
sama lain. Beberapa atribut memiliki sensitifitas terhadap sifat litologi tertentu dan beberapa
atribut lainnya lebih baik di dalam menampilkan informasi ataupun anomali bawah permukaan
yang pada awalnya tidak teridentifikasi oleh data konvensional. Beberapa atribut bahkan ada
yang berguna sebagai indikator keberadaan hidrokarbon secara langsung/DHI (Direct
Hidrocarbon Indicator) (Sukmono, 2009).
Pada penelitian ini analisis atribut seismik yang dilakukan adalah analisis atribut
amplitudo. Atribut amplitudo merupakan atribut paling dasar dari rekaman seismik. Amplitudo
memiliki makna secara geologi, yaitu berkaitan dengan densitas batuan. Amplitudo merupakan
suatu koefisien di persamaan gelombang harmonik. Persamaan gelombang harmonik, yaitu y
= A sin t, dengan A adalah amplitudo, adalah frekuensi sudut, dan t adalah waktu. Pada
persamaan gelombang seismik, koefisian A ini sama dengan koefisien refleksi. Koefisien
refleksi sendiri merupakan perbedaan impedansi akustik (Z2-Z1). Impedansi akustik merupakan
hasil perkalian antara densitas medium atau materi dan kecepatan gelombang P yang
melewatinya. Semakin tinggi koefisien refleksi maka semakin tinggi densitas batuan. Oleh
karena itu, amplitudo berbanding lurus dengan densitas batuan.

39
Jenis atribut amplitudo yang digunakan pada penelitian kalian ini adalah Root Mean
Square (RMS) amplitude. RMS amplitude adalah akar kuadrat dari penjumlahan kuadrat
amplitudo data seismik. RMS amplitude dipilih karena merupakan atribut seismik sederhana
yang dapat merefleksikan keberadaan lapisan-lapisan batupasir. Lapisan reservoir pada
penelitian ini berupa batupasir sehingga RMS amplitude dapat digunakan pada penelitian ini.
Secara teoritis, fungsi utama dari RMS amplitude adalah mengidentifikasi beberapa parameter
seperti akumulasi hidrokarbon, pola sedimentasi, porositas kasar, batupasir sungai dan delta,
tipe spesifik dari reef, ketidakselarasan, dan perubahan dari stratigrafi sikuen. Namun pada
kenyataannya, RMS amplitude hanya baik untuk mengidentifikasi keberadaan lapisan batupasir
dan itupun harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain ketebalan batupasir mendekati
apa yang disebut dengan tunning thickness. Tunning tickness merupakan parameter yang
besarnya sama dengan ( = panjang gelombang).
Pembuatan peta RMS Amplitude dilakukan dengan cara memroses atribut permukaan
(surface attributes) berupa RMS amplitude dari horizon seismik di interval ketebalan tertentu
dalam suatu interval formasi. Interval ketebalan ditentukan dengan memilih interval batas
jendela atas dan jendela bawah. Interval ketebalan yang dipilih merupakan interval ketebalan
gross sand dari tiap interval formasi. Selanjutnya dilakukan korelasi antara data RMS amplitude
dengan data ketebalan gross sand sehingga nantinya peta RMS amplitude yang dibuat dapat
memiliki tingkat kepercayaan tinggi untuk dianalisis persebaran batuan reservoir dan non
reservoirnya. Persebaran batuan reservoir dan non reservoir ini nantinya akan digunakan untuk
analisis pola sedimentasi yang nantinya lebih lanjut lagi dapat dipetakan fasies lingkungan
pengendapan dari masing-masing interval formasi. Korelasi antara RMS amplitude dan gross
sand yang dianggap memiliki tingkat kepercayaan tinggi adalah ketika memiliki koefisien
korelasi lebih besar dari 0.6 (Rukmana, 2005). Contoh tabel nilai RMS amplitude dan gross
sand serta grafik korelasinya digambarkan pada Tabel 3.7, Tabel 3.8, Gambar 3.18, dan
Gambar 3.19.

40
Tabel 3. 7 RMS Amplitude dan Gross Sand Formasi Lower Red Beds

Tabel 3. 8 RMS Amplitude dan Gross Sand Formasi Brown Shale

41
Gambar 3. 17 Grafik gross sand vs RMS amplitude Formasi Lower Red Beds

Gambar 3. 18 Grafik gross sand vs RMS amplitude Formasi Brown Shale

Selanjutnya setelah didapatkan nilai atribut permukaan dari masing-masing horizon


dibuat peta RMS amplitude permukaan dari tiap interval formasi. Pada penelitian ini dibuat 3
peta RMS amplitude yaitu Peta RMS amplitude Formasi Upper Red Beds, Brown Shale, dan
Lower Red Beds. Hasil dari pembuatan peta RMS amplitude dapat dilihat pada Gambar 3.20,
Gambar 3.21, dan Gambar 3.22.

42
Gambar 3. 19 Peta RMS amplitude interval Formasi Lower Red Beds

43
Gambar 3. 20 Peta RMS amplitude interval Formasi Brown Shale

44
Gambar 3. 21 Peta RMS amplitude interval Formasi Upper Red Beds

45

Anda mungkin juga menyukai