Anda di halaman 1dari 11

Medikal Peninsula

Mencoba membahas masalah medis secara sederhana. Kajian ilmiah untuk masyarakat umum
dan praktisi medis.

Beranda

Selasa, 22 November 2011


Trauma Kapitis

PENDAHULUAN

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan dan merupakan salah satu
kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit . 1 Cedera kepala adalah
suatu cedera yang terjadi pada daerah kepala yang dapat mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak, atau otak.2 Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak).1 Meskipun pada kenyataannya sebagian besar
kasus trauma kepala bersifat ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus, tetapi pada kasus
trauma kepala yang berat tidak jarang berakhir dengan kematian atau kecacatan. Distribusi kasus
cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 1544 tahun dan lebih
didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.1
Kasus cedera kepala mempunyai beberapa aspek khusus, antara lain kemampuan
regenerasi sel otak yang amat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau
menyebabkan kecacatan sehingga hal ini merupakan keadaan yang serius yang memerlukan
penanganan yang cepat dan akurat untuk menekan morbiditas dan mortalitasnya.3

ANATOMI KEPALA

Otak dilindungi oleh:4,5,6


1. Kulit kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan bergerak sebagai
satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan lemak fibrosa yang
menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak
mengandung pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear
dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-
temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital disebelah posterior dan lateral. Pembuluh
darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau
mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi
dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan
dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot
frontalis dan otot occipitalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan aponeurosis galea dengan
periosteum cranium (pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v. emmisaria
yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intracranial. Pembuluh-
pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak,
sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak.
Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.

2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian terbawah). Pada
kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan terjadinya perluasan isi intracranial.
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna.
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media dan posterior.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fosa anterior yang merupakan tempat
lobus frontalis, fosa media yang merupakan tempat lobus temporalis, fosa posterior yang
merupakan tempat bagian bawah batang otak dan cerebellum.

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara durameter dan
arakhnoid yang kaya akan pembuluh vena, sehingga apabila terjadi robekan pada dura, terjadi
perdarahan yang akan menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai perdarahan subdural.
Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus pandang. Di bawah
lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi
cairan LCS.
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks cerebri, memiliki
sangat banyak pembuluh darah halus, dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang
masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI TRAUMA KAPITIS


Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada kepala.
Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yaitu kompresi, akselerasi, dan deselerasi
(perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling berperan. Dari tempat benturan,
gelombang kejut disebarkan ke semua arah. Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila
tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan (coup) atau di
tempat yang bersebrangan dengan datangnya benturan (contracoup).7
Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan
cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Sedangkan cedera otak sekunder
merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Proses berkelanjutan tersebut
sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
dan tidak ada upaya untuk mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus
berkembang dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan
berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami
cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera).1

DIAGNOSIS3
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan
kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis
bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena
keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar
atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.

Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :


1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya
amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak
selalu dalam keadaan pingsan (hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan
bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA4,6


Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya
cedera kepala serta berdasar morfologi. Dibawah ini merupakan pengelompokan dasar
cedera kepala:

Klasifikasi Cedera Kepala


Mekanisme Tumpul (tertutup) Kecepatan tinggi (tabrakan mo
(berdasarkan adanya penetrasi Tembus (penetrans) Kecepatan rendah (dipukul, ja
durameter) Luka tembak
Cedera tembus lain
Beratnya Ringan (mild head injury) GCS 14-15
(berdasarkan skor GCS) Sedang (moderate head injury) GCS 9-13
Berat (severe head injury) GCS 3-8
Morfologi Fraktur tengkorak:
Kalvaria Garis (linier) vs bintang (stelat
Depresi/non depresi
Dasar tengkorak (basilar) Terbuka/tertutup
Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa paresis N.VII
Lesi intrakranial
Fokal Epidural
Subdural
Intraserebral
Difus Konkusi ringan
Konkusi multipel
Hipoksia/iskemik

Glasgow Coma Scale (GCS)


Parameter
Respon buka mata (eye opening, E)
Spontan: membuka mata spontan
Terhadap rangsang suara: membuka mata bila dipanggil atau diperintahkan
Terhadap rangsang nyeri: membuka mata bila ada tekanan pada jari di atas bantalan kuku proksimal
Tidak ada: mata tidak membuka terhadap rangsang apapun

Respon motorik (M)


Ikut perintah: misal, angkat tangan; tunjukkan dua jari
Melokalisasi nyeri: tidak mematuhi perintah tetapi berusaha menunjukkan lokasi nyeri dan mencoba menghilangk
rangsang nyeri tersebut
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang): lengan fleksi bila diberi rangsang nyeri tetapi tidak ada usaha yang
jelas untuk menghilangkan rangsang nyeri
Fleksi abnormal terhadap nyeri (dekortikasi): lengan fleksi di siku dan pronasi, tangan mengepal
Ekstensi abnormal terhadap nyeri (deserebrasi): ekstensi lengan di siku, lengan biasanya adduksi dan bahu berotasi
dalam
Tidak ada (flasid): tidak ada respon terhadap nyeri
Respon verbal (V)
Berorientasi baik: dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya, di mana berada, bulan, dan tahun
Berbicara mengacau (bingung): dapat bercakap-cakap tetapi ada disorientasi
Kata-kata tidak teratur: percakapan tidak dapat bertahan, susunan kata kacau atau tidak tepat
Suara tidak jelas: mengeluarkan suara (misal, merintih), tetapi tidak ada kata-kata yang dapat dikenal
Tidak ada: tidak mengeluarkan suara apapun walaupun diberi rangsang nyeri

PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS

II.6.1 Pemeriksaan fisik


Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status fungsi vital
dan status kesadaran.1 Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis.1
1. Status fungsi vital1,4,6
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah:

a. Jalan nafas (airway)


Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah,
jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera
dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan
trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.

b. Pernafasan (breathing)
Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan
dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO 2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada
penderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun
secara progresif atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.

c. Nadi dan tekanan darah ((circulation)


Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila
terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi
nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase
akut disebabkan oleh hematoma epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah
terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi
memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi otak
dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak.

2. Status Kesadaran1,4
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan fungsi pupil
(lateralisasi dan refleks pupil).

Cedera Kepala Ringan4


Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
Pengelolaan:
1. Riwayat:
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, mekanisme cedera, waktu
cedera, tidak sadar segera setelah cedera, amnesia (retrograde,
antegrade), nyeri kepala (ringan, sedang, berat).
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
7. Pemeriksaan CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama
dari kriteria rawat.

Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal

Dipulangkan dari UGD:


1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali ke rumah sakit bila timbul masalah dan
jelaskan tentang 'lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang dalam 1 minggu

Cedera Kepala Sedang4

Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan (konfusi) atau


mengantuk (somnolen) namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan:
1. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana.
2. CT scan kepala pada semua kasus
3. Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis atau penderita akan pulang.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat .

Bila kondisi membaik (90%):


1. Pulang bila memungkinkan
2. Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila
perlu 1 tahun setelah cedera.
Bila kondisi memburuk (10%):
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.
Walau pasien ini masih mampu menuruti perintah sederhana, mereka
dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya
terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan
yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
Saat masuk UGD, lakukan anamnesis singkat dan stabilisasi
kardiopulmonal sebelum pemeriksaan neurologis. Tes darah termasuk
pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank darah.
Film tulang belakang leher diambil, CT scan umumnya diindikasikan. Pasien
dirawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal.

Cedera Kepala Berat4


Definisi: Penderita tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran (GCS 3-8).
Pengelolaan:
1. ABCDE
2. Primary survey dan resusitasi
3. Secondary survey dan riwayat AMPLE
4. Reevaluasi neurologis: GCS
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
5. Obat-obat Terapeutik:
Mannitol
Hiperventilasi sedang (PCO2<35 mmHg)
Antikonvulsan
6. Tes Diagnostik (sesuai urutan)
CT scan
Ventrikulografi udara
Angiogram

II.6.2 Pemeriksaan tambahan1


Peranan foto rontgen cranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa
rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto rontgen cranium dapat
dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto rontgen cranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada keadaan:
Defisit neurologis fokal
Liquorrhoe
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
Hematoma luas di daerah kepala

Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT-scan kepala, di mana


prosedurnya sedehana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT-scan kepala dapat dilakukan
pada keadaan:
o Dugaan perdarahan intracranial
o Perburukan kesadaran
o Dugaan fraktur basis cranii
o Kejang

TERAPI MEDIKAMENTOSA

Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hipeglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan
yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium
serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.4

Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 yang akan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif
dapat menyebabkan iskemia otak, karena adanya vasokonstriksi serebri yang berat sehingga
menimbulkan gangguan perfusi otak.4 Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis. 1 Oleh
karena itu, hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam waktu tertentu.
Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35mmHg atau lebih.4

Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. 4 Manitol bekerja dengan
cara "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui diuresis.1 Indikasi penggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti
terjadi dilatasi pupil, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.
Sediaan yang tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dosis yang biasanya
digunakan adalah 1 gram/kgBB yang diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol tidak
boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang
poten dan akan memperberat hipovolemia.4

Furosemid (Lasix)4
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan
adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena. Furosemid tidak boleh diberikan pada penderita
dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.

Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan
lain.4 Barbiturat bekerja dengan cara membius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu, obat
ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.4

Antikonvulsan
Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal
yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intracranial, atau fraktur depresif. Penelitan
menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang dalam minggu pertama
setelah cedera namun tidak setelah itu. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus mungkin
memerlukan anestesi umum. Kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang
berlangsung lama (30-60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from


http://www.kalbe.co.id/files/cdk

2. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.

3. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.

4. Heegaard, William dan Michelle Biros, Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N Am
25 (2007) 655678.

5. Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. Trauma. 5th Ed. McGraw-Hill. 2004.

6. Guyton, Arthur C. dan John E.Hall. Fisiologi Kedokteran. Editor: dr.Irawati Setiawan.
1997. EGC.

Diposkan oleh agustria di 05.52


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Total Tayangan Laman


66,357

Pengikut
Arsip Blog
2011 (23)

o November (23)

Penyakit jantung peripartum (PPHD)

Kedaruratan bedah neonatus

Terapi cairan perioperatif

Cairan dan elektrolit

Anestesi Inhalasi

Luka Bakar

Kolelitiasis

Kanker kolon

Hemorroid

Appendisitis

Kanker tiroid

Intususepsi

Hernia inguinalis

Fraktur maksila

Osteomyelitis

BPH

Fraktur humerus
Hernia diafragmatika

Kanker payudara

Kanker prostat

Kanker rektum

Spondilitis tuberkulosis

Trauma Kapitis

Mengenai Saya

agustria
mengabdi untuk keluarga dan kerabat
Lihat profil lengkapku
Template PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.
http://pelihara-jantung-anda.blogspot.co.id/2011/11/trauma-kapitis_581.html

Hiperventilasi dapat dilakukan dengan hati-hati. Walaupun mungkin dapat memperbaiki asidosis
sementara dan menurunkan secara cepat tekanan intrakranial pada penderita dengan dilatasi pupil,
namun tidak seluruhnya memberikan keuntungan. Bila dilakukan, sebaiknya Pco2 dipertahankan pada
level 25 35 mmHg

Anda mungkin juga menyukai