Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada
sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular
(neuro muscular jungtion) dan saraf autonom. (Sumarmo, 2002)
3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung,
otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
5. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena
sinar yang kuat.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang
terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan
kematian.
C. Pohon Masalah
Ansietas
Resiko Cedera
Fleksi tangan dan Gangguan Rasa Nyaman
ekstensi kaki Nyeri
Otot tubuh, otot muka, perut Otot leher kaku
Otot ekstremitas papan kuduk
,
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan
Napas Akumulsi secresi saliva, reflek
Resiko Aspirasi
Peningkatan sekret, batuk menurun, kesulitan
ronchi menelan
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG : Interval CT memanjang karena segmen ST. Bentuk takikardi ventrikuler
(Torsaderde pointters)
2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2 1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar
fosfat dalam serum meningkat
3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan subkutan
atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi. (Nurarif, A.H., Kusuma, H., 2016)
E. Penatalaksanaan Medis
Menurut Revees (2001), penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien
dengan penyakit tetanus, yaitu:
1. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih.
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2. Dalam hal ini,
penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan
pemberian antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
b. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
d. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Obat-Obatan
a. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000
Unit/KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram
dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline
intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/kgBB/24 jam, dibagi
6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk
vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
b. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti komplementari
aggregates of globulin, yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang
serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah: 20.000 U antitoksin dimasukkan ke dalam 200 cc
cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus
sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara IM pada daerah sebelah luar.
c. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus
dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini,
tabel dibawah memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada
keadaan luka.
d. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik
yang hebat, muskular dan laringeal spasm beserta komplikasinya. Dengan
penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi. Antikonvulsan yang digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah.
Pengkajian Khusus :
a. Kaji riwayat dan factor pencetus
b. Kaji manifestasi kejang atau aktifitas kejang (kejang yang khusus)
c. Respon keluarga.
G. Pemeriksaan Fisik
Menggunakan metoda 6B :
1. System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot
pernafasan.
2. System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuh awalnya 38 - 40Catau febris sampai ke terminal 43 - 44C.
3. System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan
satu atau beberapa saraf otak.
4. System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak
ada/oliguria)
5. System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
6. System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka,
berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka
dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan
menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
H. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas
untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
Batasan Karakteristik:
a. Batuk yang tidak efektif
b. Dispnea
c. Gelisah
d. Kesulitan verbalisasi
e. Mata terbuka lebar
f. Ortopnea
g. Penurunan bunyi napas
h. Perubahan frekuensi napas
i. Perubahan pola napas
j. Sianosis
k. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
l. Suara napas tambahan
m. Tidak ada batuk
Faktor yang Berhubungan:
a. Lingkungan:
1) Perokok
2) Perokok pasif
3) Terpajan asap
b. Obstruksi jalan napas:
1) Adanya jalan napas buatan
2) Benda asing dalam jalan napas
3) Eksudat dalam alveoli
4) Hiperplasia pada dinding brokus
5) Mukus berlebihan
6) Penyakit paru obstrukti kronis
7) Sekresi yang tertahan
8) Spasme jalan napas
c. Fisiologis:
1) Asma
2) Disfungsi neuromuskular
3) Infeksi
4) Jalan napas alergik
6. Ketidakefektifan Termoregulasi
Fluktuasi suhu diantara hipotermia dan hipertermia.
Batasan Karakteristik:
a. Dasar kuku sianotik
b. Fluktuasi suhu tubuh di atas dan di bawah kisaran normal
c. Hipertensi
d. Kejang
e. Kulit dingin
f. Kulit hangat
g. Kulit kemerahan
h. Menggigil ringan
i. Pengisian ulang kapiler yang lambat
j. Peningkatan frekuensi pernapasan
k. Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
l. Piloereksi
m. Pucat sedang
n. Takikardia
Faktor yang Berhubungan:
a. Fluktuasi suhu lingkungan
b. Penyakit
c. Trauma
d. Usia yang ekstrem
7. Resiko Infeksi
Risiko Infeksi
Rentan mengalami invasi dan multiplikasiorganisme patogenik yang dapat
mengganggu kesehatan.
Faktor Risiko:
a. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen
b. Malnutrisi
c. Obesitas
d. Penyakit Kronis (mis., diabetes melitus)
e. Prosedur invasif
Pertahanan tubuh primer tidak adekuat:
a. Gangguan integritas kulit
b. Gangguan peristaltis
c. Merokok
d. Pecah ketuban dini
e. Pecah ketuban lambat
f. Penurunan kerja siliaris
g. Perubahan pH sekresi
h. Statis cairan tubuh
Pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat
a. Imunosupresi
b. Leukopenia
c. Penurunan hemoglobin
d. Supresi respons inflamasi (mis., interleukin 6 [IL-6], C-reactive protein [CRP]
e. Vaksinasi tidak adekuat
Pemajanan terhadap patogen lingkungan meningkat
a. Terpajan pada wabah
8. Resiko Cedera
Rentan mengalami cedera fisik akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi
dengan sumber adaptif dan sumber defensif individu, yang dapat menganggu
kesehatan.
Faktor Risiko:
Eksternal
a. Agens nosokomial
b. Gangguan fungsi kognitif
c. Gangguan fungsi psikomotor
d. Hambatan fisik (mis., desain, struktur, pengaturan komunitas, pembangunan,
peralatan)
e. Hambatan sumber nutrisi (mis., vitamin, tipe makanan)
f. Moda transportasi tidak aman
g. Pajanan ada kimia toksik
h. Pajanan pada patogen
i. Tingkat imunisasi di komunitas
Internal
a. Disfungsi biokimia
b. Disfungsi efektor
c. Disfungsi imun
d. Disfungsi integrasi sensori
e. Gangguan mekanisme pertahanan primer (mis., kulit robek)
f. Gangguan orientasi afektif
g. Gangguan sensasi (akibat dari cedera medula spinalis, diabetes melitus, dll)
h. Hipoksia jaringan
i. Malnutrisi
j. Profil darah yang abnormal
k. Usia ekstrem
9. Nyeri Akut
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan
(International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi.
Batasan Karakteristik:
a. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien
yang tidak dapat mengungkapkannya (mis., Neonatal Infant Pain Scale, Pain
Assessment Checklist for Senior with Limited Ability to Communicate)
b. Diaforesis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan
marta berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis)
e. Fokus menyempit (mis., persepsi waktu, proses berpikir, interaksi dengan
orang dan lingkungan)
f. Fokus pada diri sendiri
g. Keluhan tentang intensitas menggunakanstandar skala nyeri (mis., skala
Wong-Baker FACES, skala analog visual, skala penilaian numerik)
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar instrumen
nyeri (mis., McGill Pain Questionnaire, Brief Pain Inventory)
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas (mis., anggota keluarga,
pemberi asuhan)
j. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis, waspada)
k. Perilaku distraksi
l. Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah, frekuensi jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan endtidal karbon dioksida [CO2])
m. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
n. Perubahan selera makan
o. Putus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
q. Sikap tubuh melindungi
Faktor yang Berhubungan
a. Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)
b. Agens cedera fisik (mis., abses, amputasi, luka bakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)
c. Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, agen
mustard)
I. Perencanaan Keperawatan
Tabel 3. Intervensi Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway Suction
Bersihan Jalan Napas tindakan keperawatan 1. Monitor status 1. Agar dapat
berhubungan dengan selama 3x24 jam oksigen pasien mengetahui status
terkumpulnya liur di diharapkan oksigenisasi pasien
dalam rongga mulut ketidakefektifan
bersihan jalan napas 2. Pastikan 2. Agar dapat memberi
dapat teratasi dengan kebutuhan tindakan yang tepat
kriteria hasil : oral/tracheal saat melakukan
1. Pasien maampu suctioning suction
Mendemonstrasikan
batuk efektif dan 3. Auskultasi suara 3. Agar dapat
suara nafas yang nafas sebelum dan mengetahui dimana
bersih, tidak ada sesudah terdapat sekret dan
sianosis dan dyspnea suctioning pola nafas pasien
(mampu
mengeluarkan 4. Minta klien nafas 4. Agar paru pasien
sputum, mampu dalam sebelum mengalami dilatasi
bernafas dengan suction dilakukan dan memudahkan
mudah, tidak ada dalam melakukan
pursed lips) suction
J. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
K. Evaluasi Keperawatan
1. Evaluasi Formatif (merefleksikan observasi perawat dan analisi terhadap klien
terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
2. Evaluasi Sumatif (merefleksikan rekapitulasi dan sinopsi observasi dan analisis
mengenai status kesehatan klien terhadap waktu)
(Poer, 2012)
L. Referensi
Nurarif, A.H., Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 2.
Jogjakarta: MediAction
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Sumarmo, Herry. 2002. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: IDAI
Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publising
Reeves CJ, Roux G & Lockhart R. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Buku I (Penerjemah
Joko Setyono). Jakarta: Salemba Medika