Anda di halaman 1dari 3

Enam Gagal Petani Lahan Kering

Februari 25, 2011 - Artikel - Tagged: air, artikel, jagung, kebijakan, lahan kering, pangan, pertanian,
perubahan iklim, petani

oleh: Paulus Raja Kota

(Asosiat PIKUL, Anggota NTT Policy Forum)

kelompoktaniSISTEM pertanian lahan kering telah menjadi cara bertani yang sudah melekat dengan
sebagian besar masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari data NTT dalam angka 2009,
menunjukan bahwah 69,42 persen masyarakat NTT bekerja di sektor pertanian. Dari jumlah tersebut 76
persen adalah petani lahan kering. Petani lahan kering NTT, tidak saja mengandalkan hasil kebun
sebagai satu-satunya sebagai sumber penghidupan. Berbagai kombinasi cara bertani telah terbentuk
sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat. Misalnya bertani dengan sistem agroforestri ataupun sistem
bertani dan beternak yang selama ini masyarakat lakukan. Namun demikian, hasil berkebun (tanaman
semusim) menjadi sumber utama penyediaan pangan dalam kebutuhan keluarga selama setahun. Hasil
kebun yang dihasilkan juga masih terbatas pada jagung, padi ladang, beberapa jenis kacang-kacangan
dan ubi-ubian.

Dalam kelender petani lahan kering, bulan Maret adalah bulan dimana mereka siap memanen berbagai
hasil kebun. Untuk itu bulan Maret sebagai bulan dimana petani akan berkelimpahan hasil berupa
jagung, padi dan kacang-kacanggan. Berbagai hasil tersebut selanjutnya akan disimpan dengan berbagai
kearifan, sebagai gudang pangan selama setahun lamanya. Namun pertanyaan adalah apakah benar
bulan maret tahun ini, petani lahan kering kita sedang memanen hasil kebun mereka?

Cerita-cerita saat ini, ketika petani bertemu dan menegur sapa, maka selalu ada pertanyaan diantara
mereka yaitu tahun ini kita makan apa? Hal ini menunjukan bahwa kekuatiran besar sedang
menghantui masyarakat petani lahan kering kita. Situasi pangan masyarakat dapat kita lihat di gereja-
gereja dipedesaan. Natura berupa jagung muda yang di persembahkan sebelum dipanen oleh jemaat,
tahun ini jumlahnya sangat sedikit. Bahkan kualitasnya sangat memprihatinkan, pada hal biasanya,
jagung dengan kualitas terbaiklah yang dipersembahkan. Seharusnya saat ini petani, berada pada
kelimpahan pangan, namun kenyataannya tahun ini petani sudah kekurangan pangan pada awal bulan
panen. Sebuah ironi memang, disaat provinsi NTT sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan ingin
menjadi provinsi jagung, justru masyarakatnya kelaparan karena tidak mendapatkan jagung dari kebun
mereka.
Gagal tanam dan gagal panen adalah dua istilah yang sering terdengar dari diskusi para petani kita.
Namun akhir-akhir ini muncul lagi istilah-istilah baru di kalangan masyarakat petani yaitu gagal siap
kebun, gagal tumbuh dan gagal berbuah. Bahkan ada satu istilah baru yang muncul yaitu gagal simpan.
Dengan demikian sudah ada Enam Gagal (6G) yang petani alami saat ini. Situasi ini menyebabkan petani
lahan kering berada pada kondisi terburuk.

Gagal siap kebun memang sudah terlihat sejak akhir tahun 2010. Anomali iklim yang tak menentu
menyebabkan petani binggung dan tidak siap dalam mengahadapi masalah ini. Hasil penelitian PIKUL,
menunjukan bahwa luas lahan petani yang disiapkan untuk musim tanam 2010-2011 tidak lebih dari
seperempat hektar per kepala keluarga. Kondisi ini berlanjut pada gagal yang berikut yaitu gagal tanam
dan gagal tumbuh. Tingginya curah hujan karena tidak sesuai kelender musim. Iklim yang ekstrim juga
berdampak pada gagal berbuah dan gagal panen sebagai akibat tingginya curah hujan pada saat
tanaman berbunga dan tanaman siap panen. Dari hasil penelitian yang sama didapatkan pula bahwa
hasil penen tanaman jagung tahun 2010 lebih rendah hingga 45% dari tahun 2009. Kalaupun masih ada
hasil yang didapat, maka ada masalah lanjutan yaitu gagal simpan. Penyebabnya gagal simpan, tentu
bukan iklim, tapi karena karena salah mengelolah.

Kebijakan pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai provinsi jagung, seharusnya menunjukan dampak
positif terhadap produksi jagung, namun kenyataan real di masyarakat justru bertolak belakang.
Program yang terlihat selama ini baru sebatas penyediaan bibit jagung. Bagaimana bibit jagung bisa
dimanfaatkan kalo bibit tersebut baru sampai di tangan masyarakat pada pertengahan bulan februari.
Varietas bibit jagung yang dibagikan oleh pemerintah, di indikasikan menjadi penyebab gagal ke enam
yang di alami petani yaitu gagal simpan. Hal ini karena varietas jagung tersebut adalah varietas yang
tidak tahan terhadap hama kumbang bubuk (Ulat Fufuk). Beberapa cerita dari petani, didapatkan bahwa
bibit jagung yang diperoleh, tidak dimanfaatkan sebagai bibit, tapi justru dicuci dan masak untuk
dikonsumsi.

Berdasarkan data stasiun Klimatologi Lasiana Kupang didapatkan bahwa curah hujan tahun 2010,
memang tidak berlansung secara normal. Sebaran Hari Hujan (HH) terjadi di setiap bulan kecuali bulan
juli, walaupun dengan intensitas yang rendah. Perubahan iklim tentu tidak bisa diatur dan sulit di
prediksi. Walaupun demikian, tentu kita tidak bisa berserah diri. Upaya penyesuian diri harus dilakukan
untun mengurangi tingkat kerentanan. Jika masyarakat petani kita dimampukan untuk menyesuikan diri,
tentu resiko bencana bisa di kurangi. Beberapa contoh negara seperti jepang dan meksiko yang rawan
terhadap tsunami dan gempa, mampu mempersiapkan masyarakatnya sehingga korban bisa dikurangi.
Sebagai provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil, dan berada di garis katulistiwa, tentu resiko
perubahan iklim akan selalu menghantui kehidupan kita. Pertanyaan buat kita adalah seriuskah kita
mempersiapkan masyarakat menghadapi perubahan iklim?.
Pemerintah dan seluruh stakeholder mesti mempersiapkan kebijakan-kebijakan jangka panjang secara
menyeluruh sebagai upaya adaptasi masyarakat petani kita. Misalnya menyiapkan infrastruktur
pertanian yang berkaitan dengan iklim, sehingga prediksi perubahan iklim lebih cepat dan tepat di
ketahui masyarakat. Pemerintah dan Perguruan Tinggi juga harus mulai mencari bibit-bibit dengan
varietas unggulan yang bisa tahan terhadap perubahan iklim. Masyarakat petani juga harus di dorong
untuk tidak hanya mengandalkan sistem pertanian lahan kering dan tergantung hanya pada hasil kebun
sebagai sumber penghidupan (Livelihood). Hasil penelitian dari PIKUL tahun 2010, juga menujukan
bahwa petani lahan kering dengan sistem pertanian agroforestri atau kombinasi pertanian peternakan
lebih siap menghadapi perubahan iklim di banding dengan petani yang hanya mengandalkan kebun
sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Secara spesifik petani kita tidak saja mengandalkan jagung
sebagai sumber karbohidrat. Berbagai jenis sumber karbohidrat harus diperkenalkan kepada masyarakat
petani sebagai alternatif selain jagung dan beras.

Persoalan enam gagal diatas tentu tidak bisa dianggap sepeleh dan perlu penanganan secara cepat. Hal
ini karena berhubungan lansung dengan kebutuhan yang paling mendasar. Jika pemerintah tidak
memberikan respon secara cepat dan tepat, tentu akan menimbulkan persoalan-persoalan baru di
masyarakat. Hujan yang masih tersisa bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk menanam berbagai
komoditi yang dapat mengantikan jagung. Namun tentunya masyarakat membutuhkan penyadaran dan
dorongan untuk tetap bergairah pada bidang pertanian. Bantuan berupa bibit juga mesti disediakan,
namun tentu harus mempertimbangkan jenis bibit yang tepat. Selain itu bibit yang diberikan juga harus
tepat sasaran dan tepat waktu, dan bukan sekedar proyek seperti yang selama ini berjalan.***(pikul)

Anda mungkin juga menyukai