Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka Stomatitis

1. Pengertian

Stomatitis adalah yang terjadi pada mukosa mulut yang biasanya

berupa bercak putihhormon tiroid yang berlebihan yang dimanifestasikan

melalui peningkatan kecepatan metabolisme. (Suzanne C. Smeltzer,2001

dalam Sulistyanti, 2013).

Hipertiroidisme adalah suatu ketidakseimbangan metabolik yang

merupakan akibat dari produksi hormon tiroid yang berlebihan. (Marilynn,

E. Doenges,1999 dalam Sulistyanti, 2013).

Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respons jaringan-

jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiriod yang

berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon

tiroid yang berlebihan. (Sylvia A. Price, dkk, 2005 dalam Sulistyanti,

2013).

Hipertiroid atau tirotoksikosis merupakan gangguan sekresi

hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dimana terjadi peningkatan produksi

atau pengeluaran simpanan hormon tiroid yang mengikuti injuri kelenjar

tiroid. dalam Pamungkas, 2012).

Menurut American Thyroid Association dan American

Association of Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan

sebagai kondisi berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis

9
10

dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011

dalam Sinurat, 2017).

Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau

tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di

aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan

berlebihan pada jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya

berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid

dalam berbagai proses metabolisme tubuh (Bartalena, 2011 dalam Sinurat,

2017).

2. Insiden

Prevalensi penderita Hipertiroidisme menyerang wanita 5 kali

lebih sering di bandingkan dengan laki-laki dan insidennya akan

memuncak dalam dekade usia ketiga serta ke empat. Keadaan ini dapat

timbul setelah terjadinya syok emosional, stress atau infeksi. Pada usia

muda umumnya disebabkan oleh penyakit graves, penyakit ini relative

sering di jumpai dan pada anak- anak jarang terjadi. sedangkan struma

multinodular toksik umumnya timbul pada usia tua. Di daerah pantai dan

kota, insidennya lebih tinggi di bandingkan di daerah pegunungan atau di

pedesaan.

3. Klasifikasi

Thamrin (2007) dalam Sulistyanti (2013), mengklasifikasikan

hipertiroidisme menjadi empat bagian:

a. Goiter Toksik Difusa (Graves Disease)


11

Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem

kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid,

sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon

tiroid terus menerus. Graves disease lebih banyak ditemukan pada

wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia,

terutama pada usia 20 40 tahun. Faktor keturunan juga dapat

mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh,

yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.

b. Penyakit Tiroid Nodular (Nodular Thyroid Disease)

Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid

membesar dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti

belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring dengan

bertambahnya usia.

c. Subakut Tiroiditis

Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan

inflamasi, dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah

besar ke dalam darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa

bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.

d. Postpartum Tiroiditis

Timbul pada 5 10% wanita pada 3 6 bulan pertama setelah

melahirkan dan terjadi selama 1-2 bulan. Umumnya kelenjar akan

kembali normal secara perlahan-lahan.

4. Etiologi
12

Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi

beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak

ditemukan adalah Graves Disease, toxic adenoma, dan multinodular

goiter.

a. Graves Disease

Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme

karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh

Graves disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40

tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit

autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al,

2010 dalam Sinurat, 2017).

Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa

peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid.

Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating

antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor

TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu

perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid

menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.

TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya

paparan antigen. Namun pada Graves Disease sel-sel APC (antigen

presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang

dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human


13

leucocyte antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B

untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.

Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves Disease

adalah HLA. Pada pasien Graves Disease ditemukan adanya

perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai

HLA-DRb1. Pada pasien Graves Disease asam amino pada urutan

ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada

orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine

(Jacobson et al, 2008 dalam Sinurat, 2017).

Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita

Graves disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium. Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu

dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves disease yaitu TSH

serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine

radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb).

Pada pasien Graves disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai

peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan

iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal.

Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua

bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada

Graves disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb

ditemukan hanya pada penderita Graves disease dan tidak ditemukan

pada penyakit hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan


14

sebagai dasar diagnosis Graves Disease. Selain itu TRAb dapat

digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya

kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006 dalam Sinurat, 2017).

Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves

disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau

tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak

digunakan sebagai terapi pada pasien Graves disease. Sedangkan di

Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih

banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian

pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran

goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.

Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves disease perlu

mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan

untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas

berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua

pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011

dalam Sinurat, 2017).

b. Toxic Adenoma

Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang

dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa

berupa folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya

tidak terpengaruhi oleh kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008 dalam

Sinurat, 2017).
15

Sekitar 2 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan

karena hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et all (2007 dalam

Sinurat, 2017), hanya 37% pasien dengan nodul tiroid yang tampak

dan dapat teraba, dan 20 76% pasien memiliki nodul tiroid yang

hanya terlihat dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering

muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi asupan iodine,

dan riwayat terpapar radiasi.

Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak

muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan

Graves disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan

secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum

atau oleh pasien sendiri.

Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic

adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid

sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul

secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan

kanker. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan

evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana

terapi yang tepat.

Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada

daerah dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke

(2011) dalam Sinurat (2017), iodine yang rendah menyebabkan

peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang


16

akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan

Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme

dengan adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar

hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle aspiration

(FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus

dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu

dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3).

Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan

gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan

bentuk kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi

bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan

dengan fine-needle aspiration digunakan untuk mengambil sampel

sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil biopsi dengan FNA

dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat benign (non kanker)

atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010 dalam Sinurat, 2017).

Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic

adenoma adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi.

Sebelum dilakukan tindakan dengan iodine radioaktif atau

tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi dengan obat anti tiroid

golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid (Bahn et al,

2011 dalam Sinurat, 2017). Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan
17

tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi

evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes

ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010 dalam

Sinurat, 2017).

c. Toxic Multinodular Goiter

Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic

multinodular goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme

yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular

goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul

yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic

multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat dideteksi

baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari

kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.

Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular

goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan

pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari

pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif

yang membutuhkan waktu 6 bulan.

d. Hipertiroidisme Subklinis

Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter

merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia

dan termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme

jenis ini, kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai
18

peningkatan kadar T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011 dalam Sinurat,

2017).

Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus

hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada

hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar

T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011)

dalam Sinurat (2017), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan

multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme

subklinis dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt

hyperthyroidism.

Menurut Bahn et al, 2011 dalam Sinurat, 2017. Prinsip

pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama dengan pengobatan overt

hyperthyroidism.

5. Patofisiologi

Penyakit hipertiroidisme slogan besar adalah penyakit graves.

Goiter multinoduler toksik, adenoma toksik soliter hipertiroidisme pada

penyakit graves adalah akibat antibody reseptor TSH yang merangsang

aktifitas tiroid. Sedangkan pada multinodular toksik ada hubungannya

dengan autoimun tiroid itu sendiri. Adapula hipertiroidisme sebagai akibat

peningkatan sekresi TSH dari pituitario, namun ini jarang di temukan.

Hipertiroidisme pada T3 tiroksitosis mungkin diakibatkan oleh

deidonation dari T4 pada tiroid atau meningkatnya T3 pada jaringan di

luar tiroid (Waspadji, 2001).


19

Pengeluaran hormon tiroid yang berlebihan diperkirakan terjadi

akibat stimulasi abnormal kelenjar oleh imunoglobium dalam darah.

Stimulator tiroid kerja panjang (LATS, Long-Acting Thiroid Stimulator)

Di temukan dalam serum dengan konsentrasi yang bermakna pada banyak

penderita penyakit ini dan mungkin berhubungan dengan defek pada

sistem kekebalan tubuh.

Hipertiroidisme menyerang wanita lima kali lebih sering di

bandingkan laki-laki dan insidennya akan memuncak dalam dekade usia

ketiga serta keempat, keadaan ini dapat timbul setelah terjadinya syok

emosional, stres atau syok infeksi tetapi makna hubungan ini yang tepat

belum di pahami. Penyebab lain hipertiroidisme yang sering di jumpai

adalah tiroiditis dan penggunaan hormon tiroid yang berlebihan (Smelter,

2007).

6. Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


20

Kelenjar tiroid merupakan kelenjar berwarna merah kecoklatan

dan sangat vascular. Terletak di anterior cartilago thyroidea di bawah

laring setinggi vertebra cervicalis 5 sampai vertebra thorakalis 1.

Kelenjar ini terselubungi lapisan pretracheal dari fascia cervicalis dan

terdiri atas 2 lobus, lobus dextra dan sinistra, yang dihubungkan oleh

isthmus. Beratnya kira2 25 gr tetapi bervariasi pada tiap individu.

Kelenjar tiroid sedikit lebih berat pada wanita terutama saat menstruasi

dan hamil. Lobus kelenjar tiroid seperti kerucut. Ujung apikalnya

menyimpang ke lateral ke garis oblique pada lamina cartilago

thyroidea dan basisnya setinggi cartilago trachea 4-5. Setiap lobus

berukutan 5x3x2 cm. Isthmus menghubungkan bagian bawah kedua

lobus, walaupun terkadang pada beberapa orang tidak ada. Panjang

dan lebarnya kira2 1,25 cm dan biasanya anterior dari cartilgo trachea

walaupun terkadang lebih tinggi atau rendah karena kedudukan dan

ukurannya berubah.

Kelenjar ini tersusun dari bentukan bentukan bulat dengan

ukuran yang bervariasi yang disebut thyroid follicle. Setiap thyroid

follicle terdiri dari sel-sel selapis kubis pada tepinya yang disebut Sel

Folikel dan mengelilingi koloid di dalamnya. Folikel ini dikelilingi

jaringan ikat tipis yang kaya dengan pembuluh darah. Sel folikel yang

mengelilingi thyroid folikel ini dapat berubah sesuai dengan aktivitas

kelenjar thyroid tersebut. Ada kelenjar thyroid yang hipoaktif, sel

foikel menjadi kubis rendah, bahkan dapat menjadi pipih. Tetapi bila
21

aktivitas kelenjar ini tinggi, sel folikel dapat berubah menjadi silindris,

dengan warna koloid yang dapat berbeda pada setiap thyroid folikel

dan sering kali terdapat Vacuola Resorbsi pada koloid tersebut.

b. Fisiologi

Gambar 2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid

memiliki dua buah lobus, dihubungkan oleh isthmus, terletak di

kartilago krokoidea di leher pada cincin trakea ke dua dan tiga.

Kelenjar tiroid berfungsi untuk pertumbuhan dan mempercepat

metabolisme. Kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon yang penting

yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Karakteristik triioditironin

adalah berjumlah lebih sedikit dalam serum karena reseptornya lebih

sedikit dalam protein pengikat plasma di serum tetapi ia lebih kuat

karena memiliki banyak resptor pada jaringan. Tiroksin memiliki

banyak reseptor pada protein pengikat plasma di serum yang


22

mengakibatkan banyaknya jumlah hormon ini di serum, tetapi ia

kurang kuat berikatan pada jaringan karena jumlah reseptornya sedikit.

Proses pembentukan hormon tiroid adalah:

1) Proses penjeratan ion iodida dengan mekanisme pompa iodida.

Pompa ini dapat memekatkan iodida kira-kira 30 kali

konsentrasinya di dalam darah.

2) Proses pembentukan tiroglobulin. Tiroglobulin adalah glikoprotein

besar yang nantinya akan mensekresi hormon tiroid.

3) Proses pengoksidasian ion iodida menjadi iodium. Proses ini

dibantu oleh enzim peroksidase dan hidrogen peroksidase.

4) Proses iodinasi asam amino tirosin. Pada proses ini iodium (I) akan

menggantikan hidrogen (H) pada cincin benzena tirosin. Hal ini

dapat terjadi karena afinitas iodium terhadap oksigen (O) pada

cincin benzena lebih besar daripada hidrogen. Proses ini dibantu

oleh enzim iodinase agar lebih cepat.

5) Proses organifikasi tiroid. Pada proses ini tirosin yang sudah

teriodinasi (jika teriodinasi oleh satu unsur I dinamakan

monoiodotirosin dan jika dua unsur I menjadi diiodotirosin).

6) Proses coupling (penggandengan tirosin yang sudah teriodinasi).

Jika monoiodotirosin bergabung dengan diiodotirosin maka akan

menjadi triiodotironin. Jika dua diiodotirosin bergabung akan

menjadi tetraiodotironin atau yang lebih sering disebut tiroksin.

Hormon tiroid tidak larut dalam air jadi untuk diedarkan dalam
23

darah harus dibungkus oleh senyawa lain, dalam hal ini

tiroglobulin. Tiroglobulin ini juga sering disebut protein pengikat

plasma. Ikatan protein pengikat plasma dengan hormon tiroid

terutama tiroksin sangat kuat jadi tiroksin lama keluar dari protein

ini. Sedangkan triiodotironin lebih mudah dilepas karena ikatannya

lebih lemah. (Guyton, 1997 dalam Ningsih, 2013).

7. Manifestasi Klinik

Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam

mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam

darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh.

Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah

intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar

tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu

hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori

menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum

ditemukan pada pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006 dalam

Sinurat 2017).

Tabel 2.1 Gejala Dan Tanda Klinis Pasien Hipertiroidisme

Sistem organ Gejala Tanda Klinis


Emosi labil Paralisis periodik
Neuropsikiatrik Ansietas Tremor
Hiperdefekasi
Gastrointestinal Diare
Oligomenorrhea
Sistem reproduksi Penurunan libido Gynecomastia
Palpitasi Atrial fibrilasi
Kardiorespiratori Dispnea Sinus takikardi
Dermatologik Rambut rontok Myxedema

Sumber: Nayak dan Burman, 2006 dalam Sinurat 2017.


24

Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan,

muncul gejala- gejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah

tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme

menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu

makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan

secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien wanita

dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea

bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002 dalam

Sinurat, 2017).

Pada pasien Graves disease, gejala klinis juga dapat

berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves ophtalmopathy) dan

gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya Graves

ophtalmopathy dan myxedema belum diketahui secara pasti namun

diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan

oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000 dalam Sinurat,

2017).

Adapun manifestasi klinik menurut Ningsih, 2013. Penderita

hipertiroidisme yang sudah berkembang lebih jauh akan memperlihatkan

kelompok tanda dan gejala yang khas (yang kadang- kadang disebut

tirotoksikosis) . Gejala yang sering ditemukan pada penderita hipertiroid

yakni :

a. Umum : Berat badan turun, keletihan, apatis, berkeringat, dan tidak

tahan panas.
25

b. Kardiovaskuler : Palpitasi, sesak nafas, angina, gagal jantung, sinus

takikardi, fibrilasi atrium, nadi kolaps.

c. Neuromuskular : Gugup, gelisah, agitasi, tremor, koreoatetosis,

psikosis, kelemahan otot, secara emosional mudah terangsang

(hipereksitabel), iritabel dan terus menerus merasa khawatir, Serta

tidak dapat duduk diam.

d. Gastrointestinal : penderita mengalami peningkatan selera makan dan

konsumsi makanan, penurunan berat badan yang progresif, kelelahan

otot yang abnormal, perubahan defekasi dengan konstipasi atau diare,

serta muntah.

e. Reproduksi : Oligomenorea, infertilitas

f. Kulit : warna kulit penderita biasanya agak kemerahan (flushing)

dengan warna salmon yang khas dan cenderung terasa hangat, lunak

serta basah. Namun demikian, pasien yang berusia lanjut mungkin

kulitnya agak kering, tangan gemetar, pruritus, eritema palmaris,

miksedema pretibial, rambut tipis.

g. Struma : Difusi dengan/ tanpa bising, nodosa.

h. Mata : lakrimasi meningkat, kemosis (edeme konjungtiva), proptosis,

ulserasi kornea, optalmoplegia, diplobia, edema pupil, penglihatan

kabur.

8. Komplikasi

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah

krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan
26

pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan

kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis.

Akibatnya adalah pelepasan TH dalam jumlah yang sangat besar yang

menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106 oF), dan,

apabila tidak diobati, kematian Penyakit jantung Hipertiroid, oftalmopati

Graves, dermopati Graves, infeksi.

9. Tes Diagnostik

Untuk kasus hipertiroidisme yang biasa, diagnosis yang tepat

adalah dengan melakukan pengukuran langsung konsentrasi tiroksin

bebas di dalam plasma dengan menggunakan cara pemeriksaan

radioimunologik yang tepat. Uji lain yang sering digunakan adalah

sebagai berikut :

a. T3 serum

b. TSH rendah pada hipertiroidisme

c. Ambilan radioaktif iodium meningkat pada semua macam penyebab

hipertiroidisme, kecuali tiroiditis. Pemeriksaan ini tidak akurat apabila

pasien menerima iodium selama beberapa hari sebelum pemeriksaan.

10. Pemeriksaan penunjang

Untuk menegakkan diagnosa, perlu dilakukan pemeriksaan

tentang ada atau tidaknya pembesaran di daerah leher dan tes darah.

Dalam tes darah, bila kadar thyroxine stimulating hormone (TSH)

melebihi 20 mikro-unit per liter, berarti pasien terkena hipertiroid.

Normalnya, kadar TSH 1-5 mikro-unit per liter. Mengenai benjolan, perlu
27

diperhatikan bagaimana benjolannya, sebab pada penyakit gondok

(hipotiroid), juga terdapat benjolan. Hanya saja pembesaran di sekitar

leher pada penyakit gondok tidak merata, yaitu biasanya di bagian depan

leher, sedangkan pada hipertiroid, pembesaran yang terjadi merata di

sekitar leher sehingga kurang kelihatan (Ningsih, 2013).

11. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi

hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat

antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi

subtotal).

Obat antitiroid, digunakan dengan indikasi:

a. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang

menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan

tirotoksikusis.

b. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase seblum pengobatan,

atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium

radioaktif.

c. Persiapan tiroidektomi.

d. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.

e. Pasien dengan krises tiroid

Pada pasien hamil biasanya diberikan propiltiourasil dengan dosis

serendah mungkin yaitu 200 mg/hari atau lebih lagi. Hipertiroidisme kerap

kali sembuh spontan pada kehamilan tua sehingga propiltiourasil


28

dihentikan. Obat-obat tambahan sebaiknya tidak diberikan karena T4 yang

dapat melewati plasenta hanya sedikit sekali dan tidak dalam mencegah

hipotiroidisme pada bayi yang baru lahir. Pada masa laktasi juga diberikan

propiltiourasil karena hanya sedikit sekali yang keluar dari air susu ibu.

Dosisnya; dipakai 100-150 mg tiap 8 jam: Setelah pasien eutiroid, secara

Minis dan laboratorim dosis diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 x 50

mg/hari. Kadar T4 dipertahankan pada batas atas normal dengan dosis

propiltiaurasil.

Ada 3 macam obat yang di berikan pada penderita

hipertiroidisme, yaitu anti tiroid yang bias menekan sintesis hormone

tiroid, iodides untuk menghindari keluarnya hormone tiroid, dan antagonis

tiroid. Antagonis tiroid adala penyekat beta- adrenergic dan antagonis

kalsium yang menghalangi efek hormone tiroid dalam sel tubuh.

B. Tinjauan Pustaka Teori Keperawatan

1. Teori keperawatan menurut Dorothea E. Orem

Dorothea Orem adalah salah seorang teoritis keperawatan

terkemuka di Amerika. Dorothe Orem lahir di Baltimore, Maryland di

tahun 1914. Ia memperoleh gelar sarjana keperawatan pada tahun 1939

dan Master Keperawatan pada tahun 1945. Selama karir profesionalnya,

dia bekerja sebagai seorang staf keperawatan, perawat pribadi, perawat

pendidik dan administrasi, serta perawat konsultan. Ia menerima gelar

Doktor pada tahun 1976. Dorothea Orem adalah anggota subkomite


29

kurikulum di Universitas Katolik. Ia mengakui kebutuhan untuk

melanjutkan perkembangan konseptualisasi keperawatan. Ia pertama kali

mempubilkasikan ide-idenya dalam Keperawatan : Konsep praktik,

pada tahun 1971, yang kedua pada tahun 1980 dan yang terakhir di tahun

1995.

2. Pengertian Keperawatan Menurut Orem

Menurut Orem teori keperawatan adalah pelayanan manusia

yang berpusat kepada kebutuhan manusia untuk mengurus diri bagaimana

mengaturnya secara terus menerus untuk dapat menunjang kesehatan dan

kehidupan, sembuh dari penyakit atau kecelakaan dan menanggulangi

akibat-akibatnya (Orem, 1971 dalam Sevennain, 2012).

Teori keperawatan didefiniskan sebagai konseptualisasi beberapa

aspek realitas keperawatan yang bertujuan untuk menggambarkan

fenomena, menjelaskan hubungan- hubungan antar fenomena,

memprediksi risiko-risiko dan menetapkan asuhan keperawatan (Afaf

Ibrahim Meleis, 1997 dalam Sevennain, 2012).

Menurut Orem, asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan

bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri

sehingga membantu individu memenuhi kabutuhan hidup, memelihara

kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai

Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori. Orang dewasa

dapat merawat diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia, dan orang sakit
30

membutuhkan bantuan untuk memenuhi aktivitas Self Care mereka

(Sevennain, 2012).

3. Teori Dorothea E Orem

Pandangan Teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan

ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan

keperawatan mandiri serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep

praktek keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori Self care di

antaranya:

a. Perawatan Sendiri (Self Care)

Menggambarkan atau menjelaskan tentang perawatan diri

sendiri dalam suatu kontribusi berkelanjutan pada orang dewasa bagi

eksistensi, kesehatan dan kesejahteraannya. Dapat pula diartikan

sebagai latihan aktifitas yang individunya dalam memulai dan

menampilkan kepentingan mereka dalam mempertahankan hidup,

kesehatan dan kesejahteraan.

Mayo (1997) menyebutkan bahwa perawatan sendiri adalah

suatu kebutuhan universal untuk menjaga dan meningkatkan

eksistensinya, kesehatannya, dan kesejahteraan hidupnya. Perawat

membantu klien untuk mencapai kemampuan perawatan diri dengan

pemenuhan udara, air, makanan, kebersihan, aktifitas dan istirahat,

menyendiri dan interaksi sosial, pencegahan dari bahaya, dan


31

pengenalan fungsi makhluk hidup. Delapan syarat ini menampilkan

macam- mcam perbuatan manusia yang akan membawa pada kondisi

internal dan eksternal yang dapat mempertahankan fungsi dan struktur

manusia. Ketika hal ini secara efektif tersedia, perawatan diri atau

perawatan bergantung yang terorganisir seputar syarat perawatan

mandiri membantu perkembangan positif bagi kesehatan dan

kesejahteraan (Tommey & Alligood, 2006).

Didalam mencapai perawatan mandiri ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi. Syarat perawatan itu sendiri diartikan sebagai

tujuan yang harus dicapai melalui berbagai usaha perawatan. Syarat-

syarat ini dikelompokkan menjadi :

1) Syarat umum perawatan sendiri (Universal self care requisites)

Merupakan hal umum bagi seluruh manusia meliputi

pemenuhan kebutuhan udara, air, makanan, kebersihan, aktifitas

dan istirahat, menyendiri dan interaksi sosial, pencegahan dari

bahaya, dan pengenalan fungsi mahluk hidup. Delapan syarat-

syarat ini akan mempengaruhi perbuatan manusia yang akan

membawa pada kondisi internal dan eksternal yang dapat

mempertahankan fungsi dan struktur manusia, yang pada akhirnya

akan mendukung pertumbuhan manusia dan kedewasaannya. Jika

hal ini tersedia secara efektif, perawatan diri atau perawatan

bergantung yang terorganisir seputar syarat-syarat universal


32

perawatan mandiri membantu perkembangan positif bagi

kesehatan dan kesejahteraan.

2) Syarat perkembangan perawatan sendiri (Developmental self care

requisites).

Adalah bagaimana mempelajari proses-proses kehidupan,

pendewasaan, dan pencegahan terhadap kondisi-kondisi yang

merusak kedewasaan atau dapat mengurangi efek-efek tersebut.

Masing-masing tahap perkembangan manusia mulai dari fetal

termasuk kelahiran, neonatal, infant, anak-anak dan remaja,

dewasa, kehamilan pada remaja maupun dewasa memiliki

karakteristik kebutuhan perawatan diri yang berbeda-beda.

Kemampuan perawatan diri yang mandiri atau ketergantungan

sesuai tahapannya sangat mempengaruhi proses perkembangan

yang pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan

kesejahteraan.

3) Syarat deviasi kesehatan perawatan sendiri (Health deviation self

care requisites).

Biasa disebut juga dengan self-care needs. Adalah

bagaimana memenuhi kebutuhan manusia dengan menghubungkan

faktor genetik dan gangguan yang menetap, gangguan struktur dan

fungsi manusia atau ketidakmampuan, atau efek dari pengobatan


33

dan tindakan. Orem (2007) menyebutkan bahwa self-care needs

memiliki tiga kategori yaitu: (1) Universal, adalah kebutuhan yang

dimiliki oleh setiap individu, (2) Developmental, yaitu kebutuhan

yang diakibatkan adanya maturasi atau perkembangan dari suatu

kondisi, dan (3) Health Deviation, yaitu kebutuhan yang

diakibatkan karena adanya suatu penyakit, injury, kondisi sakit

maupun perawatannya.

b. Ketidakmampuan Perawatan Mandiri (Self Care Deficit)

Wikipedia (2012) menyebutkan bahwa Self Care Deficit

adalah suatu kondisi manakala seseorang mengalami

ketidakmampuan atau ketidakpedulian pada dirinya sendiri. Ketidak

mampuan klien ini memerlukan agen keperawatan yang mempunyai

kemampuan khusus untuk memberikan perawatan yang akan

menggantikan kerugian atau memberikan bantuan dalam mengatasi

penurunan kesehatan.

Terkait hal tersebut dikenal adanya agen keperawatan yang

mempunyai kemampuan khusus yang memungkinkan mereka

memberikan perawatan yang akan menggantikan kerugian atau

bantuan dalam mengatasi turunan kesehatan atau perawatan mandiri.

Agen keperawatan (Nursing agency) yaitu karakteristik orang yang

mampu memenuhi status perawatan dalam kelompok-kelompok

sosial. Sementara itu Orem (2007) menyebutkan juga bahwa self care

agency adalah individu yang dapat memberikan bantuan dalam


34

kegiatan perawatan diri. Ada tambahan tiga istilah yang berhubungan

dengan Self care agency,yaitu agent, self care agent,

dependent care agent. Agent adalah orang yang mengambil

tindakan. Self care agent adalah penyedia perawatan mandiri.

Dependent care agent adalah penyelenggara perawatan (misalnya

keluarga).

c. Sistem-sistem Keperawatan (Nursing Systems)

Sistem-sistem keperawatan dibentuk ketika para perawat

menggunakan kemampuan-kemampuan mereka untuk menetapkan,

merancang, dan memberikan perawatan kepada pasien (sebagai

individu atau kelompok) Aksi-aksi ini atau sistem-sistem keperawatan

ini mengatur nilai kemampuan atau latihan kemampuan individu

dihubungkan dengan self care dan mempertemukan syarat-syarat

perawatan sendiri bagi individu dengan cara terapi yang tepat.

Terdapat tiga teori yang saling berkaitan yaitu teori self care,

self care deficit dan nursing system yang dapat dilihat dari gambar

2.3.

Orems Self-Care
Deficit Theory

Self Self
Care Care
Theory Deficit

Nursing
System

This theory contains three


subtheories
35

Gambar 2.3. Struktur konseptual dari teori self care deficit

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa pengembangan self care

dibutuhkan Therapeutic self- care demand yang merupakan totalitas

upaya-upaya perawatan sendiri dengan menggunakan metode yang

valid dan berhubungan dengan perangkat atau penanganan.

Aplikasinya dibutuhkan agen perawatan sendiri, agen yang merawat

secara mandiri, dan agen perawatan dependen (Tommey & Alligood,

2007 ). Dapat dijelaskan juga bahwa self care deficit disebabkan

keterbatasan yang ada pada individu untuk memenuhi kebutuhan self

care-nya (karena sakit, kelelahan atau karena penyebab lain). Self care

deficit terjadi bila agen self care tidak dapat memenuhi kebutuhan self

care individu dan memberikan self care secara therapeutik.

Sementara itu dasar-dasar dalam keperawatan menurut Orem

terlihat dalam gambar 2.4


36

Gambar 2.4. Dasar Sistem keperawatan menurut Orem

Didalam sistem-sistem keperawatan yang disampaikan oleh

seperti yang terlihat dalam gambar 2.4 Orem mengemukakan adanya


37

tiga tipe sistem keperawatan, yaitu: Sistem keperawatan penyeimbang

menyeluruh, sebagian, atau mendukung/mendidik, semua tergantung

pada siapa yang dapat atau harus menjalankan aksi-aksi self care

tersebut. Adapun pejelasan dari masing-masing sistem adalah:

1) Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh (Wholly / totally

compensatory nursing system)

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan

ketika perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total

seorang pasien dalam hubungan kegiatan merawat yang

membutuhkan tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat

mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care secara

menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada pasien

koma atau pasien bayi.

2) Sistem Penyeimbang Sebagian (Partially / Partly compensatory

nursing system).

Perawat mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat

dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya,

dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan intervensi

perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif

atau penyembuhan, misal: pasien usia lanjut, pasien stroke dengan

kelumpuhan.

3) Sistem Mendukung/Mendidik (Supportif / Educatif nursing

system).
38

Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan

untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self

care adalah pasien sendiri, misal: mengajarkan pasien merawat

lukannya, mengajarkan bagaimana menyuntik insulin.Diperlukan

pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan

ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang

ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan

tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan,

pelajaran, dukungan dan memberikan lingkungan yang

membangun

4. Paradigma Keperawatan Menurut Dorothea E.Orem

a. Manusia

Orem mengemukakan pandangannya tentang manusia dalam

kaitannya dengan teori self care, sebagai berikut:

1) Individu sebagai kesatuan unit yang menjalankan fungsi biologis,

simbolik dan sosial dengan melakukan aktifitas self care untuk

mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan.

2) Setiap individu memerlukan self care dan mempunyai hak untuk

memenuhi kebutuhannya sendiri selama masih mungkin dan pada

dasarnya kebutuhan self care merupakan tanggung jawab individu

untuk memenuhinya.

3) Pada keadaan normal dan maturitas yang cukup individu bertindak

sebagai agen self care untuk dirinya. Pada bayi, orang tua bertindak
39

sebagai agen self care dan pada individu yang sakit atau cacat,

maka keluarga dan perawat menjadi agen self care bagi mereka.

4) Individu mempunyai kemampuan untuk berkembang dan belajar

dalam memenuhi kebutuhan self care-nya.Hal ini dipengaruhi oleh

usia (kematangan) kapasitas mental, sosial, budaya masyarakat dan

status emosi individu.

5) Manusia berbeda dari makhluk lainnya dalam kapasitasnya untuk

merefleksikan dirinya dan lingkungannya, mampu mensimbolisasi

apa yang dialami, menggunakan kreasi simbol (ide, kata) dalam

berfikir dan berkomunikasi, membimbing untuk melakukan sesuatu

dan membuatnya berguna untuk dirinya dan orang lain

b. Lingkungan

Pandangan Orem berkaitan dengan lingkungan, yaitu:

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar pasien

yang menpengaruhi dan berinteraksi dengan individu. Lingkungan

menurut Orem terdiri dari lingkungan fisik, kimia, biologi dan sosial

yang dapat mempengaruhi individu memenuhi kebutuhan self care

secara optimal.

Disamping lingkungan fisik, kimia, biologi dan sosial Orem

mengemukan juga bahwa terdapat lingkungan positif dan lingkungan

negatif. Lingkungan posistif menurutnya, adalah lingkungan yang

dapat menunjang individu memenuhi kebutuhan self care dan


40

lingkungan negatif yang menghambat pemenuhan kebutuhan self care-

nya.

c. Sehat atau Kesehatan

Orem mengemukakan pandangan bahwa sehat merupakan suatu

keadaan yang ditandai dengan perkembangan struktur tubuh dan fungsi

mental secara terintegrasi dan menyeluruh termasuk aspek fisik,

psikologis, interpersonal dan sosial. Status kesehatan ditunjukan

melalui kemampuan individu mencegah sakit, mempertahankan /

meningkatkan status kesehatan, mengobati penyakit dan mencegah

komplikasi.

Orem juga memandang bahwa sehat merupakan tanggung jawab

individu untuk mencapainya, bila individu dapat memenuhi kebutuhan

self care-nya secara baik dan optimal maka individu tersebut dapat

dikatakan sehat. Sehat merupakan hasil dari pengalaman individu

menghadapi dan mengatasi stimulus yang timbul seperti tuntutan

kebutuhan, dorongan dan keinginan. Dikatakan bahwa kesejahteraan

merupakan simbul kesehatan yang ditandai dengan keberhasilan

individu mengembangkan diri dan memanfaatkan sumber daya yang

ada yang dimanifestasikan melalui kemampuan menunjukkan

eksistensinya serta dipengaruhi oleh persepsinya.

d. Keperawatan

Keperawatan menurut Orem merupakan rangkaian aktifitas yang

bersifat therapeutik didasari oleh teori keperawatan. Sistem


41

keperawatan diartikan sebagai produk atau hasil dari aktifitas perawat

sebagai agent self care pasien serta memenuhi kebutuhan self care

secara therapeutik. Didalam sistem keperawatan, perawat memberi

gambaran, merancang dan memfasilitasi kebutuhan self care pasien

dan mencari cara bentuk terapeutik perawat sehingga dapat

mengeliminir self care deficit dari pasien. Adapun tujuan keperawatan

menurut orem, adalah:

1) Mempertahankan kebutuhan self care sesuai kemampuan klien dan

meminimalkan dari self care deficit.

2) Meningkatkan kemampuan pasien dalam pemenuhan self care.

3) Membantu orang lain untuk memberikan bantuan self care jika

pasien tidak mampu.

5. Proses Keperawatan Berdasarkan Teori Dorothea Orem

Pemeriksaan dan Pengumpulan Data

A. Personal Factor

1. Identitas Klien

a. Nama

b. Umur

c. Jenis kelamin

d. Tinggi badan

e. Berat badan

f. Budaya

g. Ras
42

h. Status perkawinan

i. Agama

j. Pekerjaan

2. Identitas Penanggung jawab

a. Nama

b. Umur

c. Jenis kelamin

d. Budaya

e. Ras

f. Hubungan dengan pasien

g. Agama

h. Pekerjaan

3. Status Kesehatan

a. Keluhan Utama

b. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

2) Riwayat Kesehatan Lalu

3) Riwayat Kesehatan Keluarga

c. Diagnosa Medis

4. Sistem Perawatan Kesehatan

a. Jenis asuransi kesehatan

b. Unit pelayanan kesehatan keluarga

c. Fasilitas kesehatan terdekat


43

5. Pola Hidup

a. Pola makan

b. Pola aktivitas

c. Pola istirahat tidur

6. Kebiasaan Keluarga

a. Komunikasi

b. Pertemuan rutin keluarga

c. Kegiatan kemasyarakatan

d. Rekreasi

7. Orientasi Sosial Budaya

a. Ritual budaya keluarga

b. Pengaruh budaya terhadap pola kesehatan

8. Faktor Lingkungan

a. Kondisi lingkungan rumah

1) Type rumah dan luas rumah

2) Kesehatan rumah

a) Kebersihan

b) Ventilasi

c) Ketersediaan air bersih

3) Kesehatan lingkungan rumah

a) Pengelolaan sampah

b) Pemanfaatan pekarangan

c) kebersihan
44

b. Kondisi lingkungan sekitar

1) Saluran air

2) Pembuangan sampah

3) Sarang vektor

9. Keadaan Ekonomi

a. Sumber keuangan dan Penghasilan setiap bulan

b. Pengelolaan keuangan

B. Universal Self Care Requisits

1. Udara

a. Tanda tanda Vital

b. Hidung dan sinus

1) Inspeksi : cuping hidung, deviasi septum, perforasi, mukosa

(warna, bengkak, eksudat, darah), kesimetrisan hidung.

2) Palpasi : sinus frontalis, sinus maksilaris

c. Faring

Inspeksi : warna, simetris, eksudat ulserasi, bengkak

d. Trakhea

Palpasi : dengan cara berdiri disamping kanan pasien, letakkan

jari tengah pada bagian bawah trakhea dan raba trakhea ke atas,

ke bawah dan ke samping sehingga kedudukan trakhea dapat

diketahui.
45

e. Thoraks

1) Inspeksi :

a) Postur

b) Bentuk dada

c) Gerakan nafas

d) Pola nafas

e) Batuk dan sekresinya

f) Status sirkulasi :

(1) HR

(2) CRT

2) Palpasi

a) Nyeri tekan

b) Massa

c) Peradangan

d) Kesimetrisan ekspansi

e) Taktil vremitus.

3) Auskultasi

a) Suara nafas

b) Vocal premitus

c) Suara jantung
46

4) Perkusi

a) Ukuran jantung

b) Kondisi Paru

2. Air

a. Kebutuhan cairan (hitung berdasarkan kebutuhan tubuh)

1) Output (IWL dan SWL)

2) Intake (Oral dan parenteral)

b. Kulit

1) Hidrasi/kelembaban

2) Turgor

3) Edema

4) Temperatur

5) Ada luka atau drainasi dari kulit

c. Meatus urinary

1) Adanya Femosis

2) Hypospadia/epispadia

d. Ginjal

1) Palpasi ukuran dan bentuk ginjal

2) Palpasi kandung kemih

3. Makanan

a. Riwayat Diet

1) Food recall 24 jam : pola makan, jenis dan frekuensi

makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam


47

2) Alergi, kegemaran, intoleransi terhadap makanan

3) Faktor yang mempengaruhi pola makan

b. Pengukuran Antropometri

1) Berat badan

2) Tinggi badan

3) Indeks Massa Tubuh

4) Lingkat lengan atas

5) Tebal lemak dibawah kulit

c. Bibir

1) Warna

2) Tekstur

3) Hidrasi

4) Kontur

5) Lesi

d. Rongga Mulut

1) Gigi dan gusi

2) Lidah dan pergerakan lidah

3) Uvula dan tonsil

e. Abdomen

1) Inspeksi Warna dan bentuk abdomen, restum dan anus

2) Palpasi adanya massa dan ascites


48

3) Palpasi gaster, hati, limpa, usus halus dan colon

4) Auscultas bising usus

4. Eliminasi dan Ekskresi

a. Eliminasi Urine

1) Pola berkemih

2) Gejala dari perubahan berkemih

3) Faktor yang mempengaruhi berkemih

b. Pemeriksaan Urine

1) Warna

2) Penampilan

3) Bau

4) pH

5) Berat jenis

c. Eliminasi Faeces

1) Pola BAB

2) Kesulitan BAB

3) Faktor yang mempengaruhi BAB

d. Pemeriksaan Feces

1) Konsistensi

2) Warna

3) Bau

5. Aktivitas dan Istirahat

a) Aktivitas
49

1) Pemeriksaan fungsi motorik

(a) Massa Otot

(b) Tonus otot

(c) Kekuatan otot

2) Pemeriksaan kemampuan mobilitas

(a) Pemeriksaan kemampuan gerak (tingkat aktivitas)

(b) Pemeriksaan ROM

b) Istirahat

1) Pemeriksaan fungsi Cerebral

(a) Kesadaran

(b) Status mental

2) Pemeriksaan fungsi cranial

3) Pemeriksaan fungsi cerebellum

4) Pemeriksaan fungsi sensorik

6. Pengkajian Solitude dan Interaksi sosial

a. Pengkajian Faktor Predisposisi

1) Faktor Perkembangan

a) Kegagalan pada masa tumbang

b) Kurangnya kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari

orangtua

c) Hubungan interpersonal yang tidak harmonis

2) Faktor Biologis
50

a) Genetik, kembar monozigot salah satu menderita

skizofrenia 58 %

b) Atrofi otak

c) Pembesaran ventrikel otak

d) Penurunan berat serta volume otak

3) Faktor Sosial Budaya

a) Kemiskinan

b) Keluarga yang tidak stabil

c) Pendidikan yang tidak adekuat

b. Pengkajian Faktor Presipitasi

1) Penolakan

2) Kehilangan

3) Kegagalan

4) Kurang reinforcement positif

5) Kerusakan komunikasi keluarga

6) Kurang support system dari keluarga

7) Perceraian, kegagalan

C. Developmental Self Care

1. Riwayat pertumbuhan

2. Riwayat perkembangan

D. Health Deviations

1. Riwayat penyakit saat ini

2. Penanganan penyakit sebelum dirawat


51

E. Medical Problem and Plan

1. Pemeriksaan Diagnostik

2. Pemeriksaan penunjang

3. Riwayat pengobatan

F. Self Care Deficite

Pemeriksaan Aktivitas sehari hari (ADL)

1. Personal Higeine

2. Kemandirian melakukan aktivitas sehari hari

G. Tahap Diagnosa

Diagnosa keperawatan sesuai dengan self care deficite yang

dialami oleh klien. Megacu pada diagnosa keperawatan yang aktual,

resiko tinggi dan kemungkinan. Teori orem masih lebih berfokus pada

masalah fisiologis, namun diagnosa dapat dikembangkan ke masalah

lain sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar yang dikembangkan oleh

Maslow.

Analisa Interpretasi dan Diagnosa keperawatan

Tabel 2.2 Analisa Interpretasi dan Diagnosa Keperawatan


Data Interpretasi Diagnosa Keperawatan

H. Tahap Intervensi
52

Dibuat sesuai dengan diagnosa keperawatan, berdasarkan self

care demand dan meningkatkan kemampuan self care.

Membuatnursing system : Wholly compensatory, Partly compensatory,

atau supportive-educative. Membuat metode yang sesuai untuk

membantu klein.

Sistem Keperawatan dan Intervensi


Tabel 2.3 Sistem Keperawatan dan Intervensi
Diagnosa Tujuan Sistem Intervensi
keperawatan

I. Tahap Implementasi

1. Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada

klien dan orang-orang terdekat dalam bantuan keperawatan.

2. Membimbing dan mengarahkan.

3. Memberi dukungan fisik dan psikologis.

4. Memberikandan mempertahakan lingkungan yang mendukung

perkembangan individu.

5. Pendidikan.

6. Berespon terhadap permintaan, keingianan dan kebutuhan klien

akan kontak bantuan keperawatan.

7. Kolaborasi, pelimpahan wewenang.

8. Melibatkan anggota masyarakat.


53

9. Lingkungan.

Produksi dan managemen sistem keperawatan


Tabel 2.4 Produksi dan managemen sistem keperawatan
Diagnosa Implementasi dan Evaluasi
Respon

J. Tahap Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan pasien

atas tindakan yang dilakukan sehingga dapat disimpulkan apakah

tujuan asuhan keperawatan tercapai apa belum. Menilai keefektifan

tindakan perawatan dalam : meningkatkan kemampuan self care,

memenuhi kebutuhan self care, dan menurunkan self care deficitnya.

Anda mungkin juga menyukai