Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat seluruh dunia. Survei yang dilakukan National Network of
Health (NNH) pada tahun 2005 menunjukkan kasus kematian TA menempati urutan ketida
setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit infeksi saluran pernapasan. Berdasarkan
laporan Global Tuberculosis Control Report 2008 prevalensi TB pada tahun 2006 sebesar
14,4 juta dan diperkirakan 1,7 juta orang di dunia meninggal akibat TB.
TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan
keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara
yaitu droplet, bersin, dan batuk. Penyakit TB biasanya menyerang paru akan tetapi dapat
menyerah organ tubuh lain.
TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru
banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial
ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah. TB paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar
penduduk di dunia dewasa ini. Satu orang akan memiliki potensi menularkan 10 hingga 15
orang dalam waktu setahun.
Saat ini, masih terdapat berbagai tantangan dalam penanggulangan TB di Indonesia.
Minimnya kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi tentang penyakit TB, pelayanan TB
yang berkualitas dan mudah dijangkau masyarakat, dan masalah ekonomi menyebabkan
masih terdapat pasien yang putus dari pengobatan OAT. Untuk itu, makalah ini akan
menjelaskan lebih lanjut mengenai TB paru putus obat dan cara penyembuhan, serta
pencegahannya,
1
Skenario
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang untuk mengetahui kondisi penyakit TB paru
nya. Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB 2x. Pertama kali berobat pasien hanya
minum obat selama sekitar 3 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini
pasien menjalani pengobatan TB yang ke-2 kalinya, pasien mengatakan ia mendapatkan obat
suntik kali ini, dan sudah berjalan selama 6 bulan.
Anamnesis
2
Riwayat penyakit sekarang: pasien punya riwayat pengobatan 2x. Pertama kali
berobat sekitar 3 bulan dan tidak melanjutkan pengobatannya. Saat ini pasien
menjalani pengobatan ke-2, mendapatkan pengobatan suntik dan berjalan 6
bulan.
Obat-obatan: obat-obatan apa yang sedang dikonsumsi pasien? adakah baru-
baru ini terdapat perubahan pemakaian obat? Bagaimana kepatuhannya
mengikuti terapi dan apakah dilakukan pengawasan terapi?
Riwayat penyakit dahulu: apakah pasien pernah berkontak dengan pasien TB?
Apakah mengalami immunosupresi (penggunaan kortikosteroid/HIV)?
Adakah riwayat TB?
Riwayat keluarga: adakah riwayat TB di keluarga?
Riwayat personal dan sosial terkait: gaya hidup, pola makan, keadaan
lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Apakah pasien mengkonsumsi
alkohol?
Pemeriksaan Fisik2
Keadaan umum dan TTV dapat dilakukan secara selintas pandang dengan
menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum
tentang keadaan pasien (compos mentis, apatis, somnolen, sopor, atau koma).
Hasil pemeriksaan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh
secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas,
denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tabuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya
penyakit penyulit, seperti hipertensi.
Inspeksi yang membutuhkan penggunaan mata pemeriksa secara kritis,
dimulai dengan pengamatan umum selama wawancara medik (anamnesis) dan
merupakan modus utama pemeriksaan fisik.
Biasanya pasien TB paru biasanya tampak kurus sehingga pada bentuk dada
terlihat adanya penurunan proporsi diameter antero-posterior banding proporsi
diameter lateral. Apabila ada penyulit TB paru seperti adanya efusi pleura
3
yang massif maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran
intercostals space pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru
membuat bentuk dada menjadi tidak simetris di mana didapatkan penyempitan
intercostals space pada sisi yang baik.
palpasi yaitu mode meraba dan merasakan, dimana palpasi ringan digunakan
untuk menilai kulit dan struktur permukaan, variasi dari suhu permukaan,
kelembaban, serta kekeringan. Palpasi dilakukan di organ-organ visera, seperti
pada abdomen.
Palpasi trakea. Adanya pergeseran trachea menunjukkan (meskipun tidak
spesifik) penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai efusi pleura
massif dan pneumotoraks akan mendorong posisi trakea ke arah berlawanan
dari sisi yang sakit.
Gerakan dinding toraks anterior. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal dan seimbang
antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan biasanya terjadi pada
pasien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Vocal fremitus. Adanya penurunan vocal fremitus pada pasien TB paru
biasanya ditemukan pada klien yang disertai komplikasi efusi pleura massif,
sehingga hantaran suara menurun karena transmisi getaran suara harus
melewati cairan yang berakumulasi di rongga pleura.
perkusi yaitu menggunakan suara untuk menentukan densitas dan isi struktur.
Perkusi dilakukan dengan mengetuk permukaan tubuh dan menimbulkan
getaran, mendengar, dan merasakan adanya perbedaan dalam penghantaran
gelombang suara.
Pada pasien TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan
bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Jika TB paru disertai efusi
pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai
banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
auskultasi dilakukan dengan menggunakan stetoskop untuk menilai
pergerakan gas, cairan, atau organ di dalam kompartemen tubuh.
4
Tabel 1. Perbedaan Auskultasi Suara Paru Normal.3
5
didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung seperti takipnea, takikardia,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang
mengeras, tekanan vena jugularis yang menungkatm hepatomegali, asites, dan edema.4
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.4
Dalam penampilan klinis TB pari sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin uji tuberkulin yang
positif.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
6
untuk diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG
yang spesifik terhadap antigen M. tuberculose. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma
M. tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara
ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan
hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien
reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.2
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji PAP-
TB adalah uji Mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang dilekatkan
pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi
spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang
intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.7
Pemeriksaan Radiologis
Pada tuberkulosis primer, hal-hal berikut dapat terlihat pada sinar-X dada.7,8
7
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan kuman BTA, diagnosis
TB sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah
untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan
tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik
selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brushing dan bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA
dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada
anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sesegar mungkin.7
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat prosis penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat
50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka.7
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL
sputum.7
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
Pemeriksaan terhadap resistensi obat
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun
sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (auramin
rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik.7
8
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam
medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman
koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai
yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh, atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara Bactec
(Bactec 400 Radio metric System), dimana kuman sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Di
samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi DNA kuman
TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M. tuberculosae yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi
obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA
(positif), tetapi pada biakan hasil negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli atau
nonculturable bacilli yang disebabkan keampukan panduan obat antituberkulosis jangka
pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan
selain sputum dapat juga diambild ari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura,
cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan tinja.7
Tes Tuberkulin
9
Bila pembentukan antibodi seluler cukup, misalnya pada penularan dengan kuman
yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan
antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi
penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dengan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler
dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh
antobodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatasm hasil tes Mantoux dibagi dalam: 1) Indurasi 0-5
mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Disini peran antibodi humoral
paling menonjol; 2) Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan low grade sensitivity.
Disini peran antibodi selular paling menonjol.2
Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif
(99.8%). Kelemahan tes ini juga dapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif
palsu.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:
Pasien baru 2-10 minggu terpajan TB
Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)
Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air,
poliomielitis
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosurpresi
lainnya
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan
Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux +5mm, dinilai positif.7
Diagnosis
Working Diagnosis
10
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis termasuk dalam pneumonia, yaitu pneumonia
yang disebabkan oleh M.tuberculosis. Berdasarkan kasus yang ada, kita dapat mengambil
diagnosis kerjanya adalah TB paru putus obat karena adanya riwayat TB paru dan
pengobatan yang tidak teratur atau berhenti di tengah jalan. TB putus obat memiliki resiko
yang lebih tinggi. Infeksi kuman M.tuberculosis akan bangun dan menjadi lebih ganas.
Sering kali, pasien datang dengan keluhan yang lebih berat bahkan sampai tidak dapat diatasi
dengan obat utama karena kuman sudah menjadi resisten.
Differential Diagnosis
Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten
terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB
merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul
saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di
antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi
terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius
dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk
menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.
XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti
TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif,
isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap
golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga
obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB
membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan
membutuhkan kegunaan dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek
samping yang lebih banyak dari first-line therapy.
Penyakit TB ini bisa disebut juga TB yang resisten terhadap OAT total, baik lini
pertama (INH, rifampisin, ethambutol, dan streptomycin) dan lini kedua (seperti: kanamisin,
11
amikasin, dan lain sebagainya). Resisten terhadap rifampisin bisa dideteksi menggunakan
metode fenotipik dan genotipik, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain. Resistensi
rifampisin, apapun variasinya, termasuk dalam katogeri, baik monoresisten, poliresisten,
resisten obat ganda, atau resisten total OAT.
Etiologi
Epidemiologi7
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global helath emergency. TB dianggap sebagai masalah
kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-
negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-
12
49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% kasus-
kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia.
Alasan utama munculnya dan meningkatnya beban TB global ini antara lain
disebabkan:
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
dari struktur usia manusia yang hidup
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang
rentan terutama di negara-negara miskon
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus
TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat
6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China
dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan Indonsia berturut-turut
1.828.000, 1.414.000, 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di
Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan
survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian
tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai
sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV
karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di masa
datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun.
Patofisiologi
13
kekurangan makanan, mengalami nekrosis. Proses terakhir ini dikenal sebagai perkijuan.
Bagian nekrotik tengah ini dapat mengapur (kalsifikasi), atau mencair. Materi cair ini dapat
dibatukkan keluar, meninggalkan rongga (kaverne) dalam parenkim paru (tampak pada foto
toraks). Bila pada foto toraks hanya tampak nodul yang telah mengalami perkapuran, maka
nodul ini dikenal dengan tuberkel Ghon. Adanya tuberkel Ghon disertai pembesaran kelenjar
limfe di hilus paru bersama-sama disebut sebagai kompleks primer.
Orang dengan kompleks primer telah dibuat peka terhadap basil tuberkel. Bila orang
ini diberi tes tuberculin, akan memberi reaksi positif. Tes tuberkulis positif tidak berarti
bahwa orang yang bersangkutan telah mengidap TB. Orang dengan tes tuberculin positif dan
minum INH secara profilaktik untuk 3-6 bulan, akan memberi hasil negatif. Perlindungan ini
dikatakan untuk seumur hidup. Berbeda dengan infeksi lain, pasien yang pernah terinfeksi TB
akan memilikinya seumur hidup, kecuali pernah mendapat pengobatan profilaksis dengan
INH. Basil tuberkel ini menetap dalam paru dalam keadaan terbungkus; dikatakan dalam
keadaan tenang. Bila seseorang menghadapi stress fisik atau emosi, basil ini dapat menjadi
aktif kembali dan berkembang biak. Jika pertahanan tubuh rendah, maka timbul TB aktif.
Bila Tb timbul beberapa tahun setelah infeksi primer, dikenal sebagai TB reaktivasi.5
Gejala Klinis7
14
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tunbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam hari, dan lain sebagainya. Gejala ini makin lama akan makin berat dan dapat hilang
timbul secara tidak teratur.
Tata Laksana10
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan
tambahan. Obat anti tuberculosis yang dipakai, yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Streptomisin, dan Etambutol, yang merupakan lini pertama/obat utama. Sedangkan untuk
obat tambahannya, yaitu Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, dan lain sebagainya.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
15
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Untuk pasien TB paru putus obat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut:
1. Berobat lebih dari 4 bulan
a. BTA (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau tidak ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru yang lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
b. BTA (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu yang lebih lama.
2. Berobat kurang dari 4 bulan
a. BTA (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu yang lebih lama.
16
b. BTA (-)
Gambaran foto toraks positif TB, maka OAT harus diteruskan.
Jika memungkinkan seharusnya dilakukan uji resistensi terhadap OAT.
Komplikasi7
Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini
yaitu pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncets arthropathy. Komplikasi lanjutnya
seperti obstruksi jalan napas SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan
parenkum berat fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB.
Prognosis
Ketika pengobatan dengan regimen tertentu telah selesai, ditambah dengan DOT,
angka kekambuhan berkisar dari 0% hingga 14%. Di negara dengan jumlah penderita TB
yang rendah, kekambuhan biasanya terjadi 12 bulan setelah penyelesaian obat dan karena
kekambuhan. Di negara dengan jumlah penderita TB yang tinggi, kebanyakan kekambuhan
setelah pengobatan yang baik adalah karena reinfeksi daripada kekambuhan. Penanda
prognosis buruk adalah keterlibatan jaringan ekstrapulmoner, penderita
immunocompromised, usia lanjut, dan riwayat pengobatan sebelumnya.
17
1. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil
tuberculosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG.
Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi
meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.12
2. Kemoprofilaksis
Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/-
hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksis primer diberikan untuk mencegah terjadinya
infeksi pada anak dengan kontak tuberculosis dan uji tuberculin masih negative yang
berarti masih belum terkena infeksi atau masih dalam masa inkubasi. Kemoprofilaksis
sekunder diberikan untuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi penyakit,
misalnya pada anak berumur kurang dari 5 tahun dengan uji tuberculin positif tanpa
kelainan radiologis paru dan pada anak dengan konversi uji tuberculin tanpa kelainan
radiologis paru. Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberculin positif tanpa
kelainan radiologis paru atau yang telah sembuh dari tuberculosis tetapi mendapat
pengobatan dengan kortikisteroid yang lama, menderita penyakit morbili dan pertusis,
mendapat vaksin virus misalnya vaksin morbili atau pada masa akhir balik (adolesen).
Selanjutnya juga diberikan pada konversi uji tuberculin dari negative menjadi positif
dalam 12 bulan terakhir tanpa kelainan klinis dan radiologis.12
Pada dewasa, beberapa peneliti pada IUAT (International Union Against
Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun,
dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum
obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Pada pasien yang tidak teratur
minum obat (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang
optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12
bulan terhadap tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10
mm. Sedangkan yang mendapat profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan
pasien dengan kelainan radiologis dada. Kontak tuberkulosis dan lain sebagainya
cukup melakukan kemoprofilaksis selama 6 bulan saja. Pada negara-negara dengan
populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua pasien
HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.
18
Penutup
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi, sehingga
sebagian besar manifestasinya adalah di paru. Diagnosis TB paru meliputi pemeriksaan
mikroskopik sputum, pemeriksaan radiologis, dan uji tuberkulin. Penatalaksanaan
farmakologis TB sangat bergantung pada status pasien, apakah pasien merupakan kasus TB
baru, pernah memiliki riwayat pengobatan, dan sebagainya. Bakteri patogen penyebab TB
paru ada yang bermutasi sehingga melahirkan strain-strain yang resisten terhadapa
pengobatan, yaitu MDR, XDR, dan TDR. Penatalaksanaan TBC yang seksama dan tepat
dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap obat. Jadi, berdasarkan
kasus di atas, kita bisa simpulkan bahwa pria tersebut mengalami TB paru putus obat.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2005,h.155,191.
2. Houghton AR. Gray D. Chamberlains gejala dan tanda dalam kedokteran klinis.
Jakarta: EGC; 2012,h.103-7.
3. Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2004.h. 13.
4. Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia sobotta Jilid 2. Edisi ke-22. Jakarta: EGC;
2007.h. 94-5.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed 3. Jakarta: EGC; 545-9.
6. WHO. Tb/hiv a clinical manual. Geneva: WHO; 24.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, etall. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. h.2196-9,2231-8,2256-7.
8. Patel PR. Lecture notes: radiologi. Jakarta: Erlangga; 2006. h.32-9.
9. Starke JR. Nelson: ilmu kesehatan anak. Ed 15. Jakarta: EGC;2012.h. 1028-37.
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, etall. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius; 2008.h.473-6.
11. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed6.
Jakarta: EGC; 2006. h.852-61.
12. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid 2.
Jakarta: Percetakan Infomedika Jakarta; 2007.h. 573-83.
19