Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sedimentologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pembentukan lapisan
batuan karena pengendapan yang mengalami perpindahan dari tempat lain.
Sedimentologi ini adalah salah satu mata kuliah wajib pada program studi Teknik
Geologi, Universitas negeri Gorontalo.

Batuan Sedimen adalah adalah salah satu dari tiga kelompok utama batuan
(batuan beku dan batuan metamorfosis) yang terbentuk melalui tiga cara utama
yakni, pelapukan batuan (clastic), pengendapan (suspended), karena aktivitas
biogenik; dan pengendapan (precipitation) dari larutan.Jenis batuan umum seperti
batugamping, batupasir, dan lempung, termasuk dalam batuan endapan.Batuan
endapan meliputi 75% dari permukaan bumi.
Batuan tersebut terbentuk secara proses fisika, kimia, dan biologi yang
terendapkan secara alamiah di berbagai lingkungan pengendapan yang berlangsung
secara terus menerus. Pembelajaran tentang batuan sedimen sangat besar
kontribusinya terhadap penentuan dan pembelajaran batuan batuan sedimen purba
atau yang berumur tua dalam skala waktu geologi.
Secara fisiografis Provinsi Gorontalo dibedakan kedalam empat zona fisiografis
utama, berdasarkan representasi batuan dan struktur geologinya, yaitu Zona
Pegunungan Utara Tilongkabila-Boliohuto, Zona Dataran Interior Paguyaman-
Limboto, Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello, Zona Perbukitan
Bergelombang Tolotio dan Zona Dataran Pantai Pohuwato (Bachri, 1989, dan
Brahmantyo, 2009).

Berdasarkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone-Bolango tahun


2015, Daerah Aliran Sungai Bolango memiliki luas 52.494 Ha dan termasuk salah
satu DAS Prioritas. Wilayah ini memiliki sumber daya alam berupa hutan, tanah
dan air yang sangat potensial, apabila dikelola dengan baik akan memberikan
manfaat yang besar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1
Proses sedimentasi sungai ini sangat menarik. Untuk mengkaji dan menganalisis
proses trasnportasi dan sedimentasi di sungai Bolango dan juga untuk mengetahui
bentuk dan ukuran butir suatu material sedimen akibat proses transportasi, Maka
perlu dilakukan penelitian mengenai bentuk dan ukuran butir pada Daerah Aliran
Sungai Bolango Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah agar kita dapat
mengetahui bentuk dan ukuran butir pada Daerah aliran Sungai Bolango. Dan juga
sebagai salah satu syarat yang wajib dalam mata kuliah sedimentologi.
1.3 Alat dan Bahan
1. Alat
a. Kompas
Gambar 1. Kompas
Berfungsi untuk menentukan lokasi praktikum

b. GPS
Gambar 2. GPS
Digunakan untuk menentukan titik koordinat lokasi praktikum

c. Clipboard

2
Gambar 3. Clipboard
Berfungsi sebagai alat bantu dalam mengukur perlapisan sedimen.

d. Palu
Gambar 4. Palu Geologi
Digunakan sebagai alat untuk mengambil sampel batuan.

e. Camera
Gambar 5. Camera
Berfungsi untuk mengambil gambar kegiatan pada saat praktikum dan

gambar berbagai jenis batuan/singkapan.

2. Bahan
a. Buku Lapangan

Gambar 6. Buku lapangan

3
Digunakan untuk menulis atau mendeskripsi singkapan.
b. Sampel bag
Gambar 7. Sampel bag
Digunakan untuk menyimpan material sedimen.

1.4 Waktu dan Tempat Praktikum


Praktkum lapangan sedimentologi dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 Februari
2017 dengan lokasi berada di Daerah Aliran Sungai Bolango, Kabupaten Gorontalo.
Lokasi praktikum dijangkau menggunakan kenderaan bermotor dengan waktu
tempuh kurang lebih 1 jam.
1.5 Metode dan Tahapan Praktikum (Mapping Lokasi Permukaan) Diagram Alir
Metode yang digunakan dalam praktikum lapangan sedimentologi adalah
pengambilan sampel sedimen sungai dan mendeskripsikan kondisi lokasi
pengambilan sampel.
Adapun tahap penelitian terdiri dari tahap persiapan, tahap pengambilan data
lapangan, tahap pengolahan dan analisis data lapangan, dan tahap penyusunan
laporan praktikum.

4
Gambar 8. Diagram Alir Tahapan Penelitian

Tahap persiapan merupakan tahap penyiapan alat dan


bahan praktikum yang dibutuhkan seperti kompas geologi, palu
geologi, GPS, kamera, alat tulis, dan lain-lain. Selain itu,
dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan praktikum yang
akan dilakukan.
Tahap selanjutnya ialah tahap pengambilan data lapangan
yang meliputi sampel yang selanjutnya akan dianalisis di
laboratorium.
Selanjutnya ialah tahap pengolahan dan analisis data
lapangan melakukan analisis pada sampel yang telah diambil.
Pengolahan sampel terdiri dari pengayakan (sieving), pemisahan
mineral logam dan non logam, dan pengukuran bentuk dan
ukuran butir. Analisis yang dilakukan terdiri dari analisis proses
sedimentasi dan provenance material sedimen.
Tahap terakhir ialah tahap penyusunan laporan praktikum
dimana data yang telah diolah kemudian dibuat dalam bentuk

5
laporan sebagai hasil akhir dari praktikum lapangan
Sedimentologi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


2.2 Kondisi Geografis Lokasi Praktikum
2.3 Kajian Teori
2.4 Peneliti Ter
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9

2.1 Geologi Regional


Gambar 9. Peta geologi regional lokasi praktikum skala 1:50.000
1. Geomorfologi

Pulau Sulawesi mempunyai bentuk yang berbeda dengan pulau lainnya,


Apabila melihat busur-busur disekelilingnya. Benua Asia, maka bagian
convaknya mengarah ke Asia tetapi Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang justru
convaknya yang menghadap ke Asia dan terbuka ke arah Pasifik. Oleh karena itu
Pola Sulawesi sering disebut berpola terbalik atau inverted arc. Pulau Sulawesi
terletak pada zone peralihan antara dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul dan
dikelilingi oleh laut yang dalam.Dibagian utara dibatasi oleh Basin Sulawesi
(50005500 m). Di bagian Timur dan Tenggara di batasi oleh laut Banda utara

6
dan Laut Banda Selatan dengan kedalaman mencapai 45005000m. Sedangkan
untuk bagian Barat dibatasi oleh Palung Makasar (2000-2500m). Sebagian besar
daerahnya terdiri dari pegunungan dan dataran rendah yang terdapat secara
sporadik, terutama terdapat disepanjang pantai. Dataran rendah yang relatif lebar
dan padat penduduknya adalah dibagian lengan Selatan.(Geomorfologi Sulawesi
: 2005)
Berdasarkan orogenesa dapat dibagi menjadi 3 bagian, (Van Bemmelen,
1949)yaitu :
1. Orogenesa di bagian sulawesi utara
2. Orogenesa di bagian sulawesi sentral (tengah)
3. Orogenesa di bagian sulawesi selatan
Orogenesa di bagian sulawesi utara meliputi lengan Utara Sulawesi yang
memanjang dari kepulauan Talaud sampai ke Teluk Palu-Parigi. Daerah ini
merupakan kelanjutan ke arah Selatan dari Samar Arc (busur Samar).Termasuk
pada daerah ini adalah Kepulauan Togian, yang secara geomorfologis dikatakan
sebagai igir Togian (Tigian Ridge).Daerah orogenesa ini sebagian termasuk pada
inner arc, kecuali kepulauan Talaud sebagai Outer Arc. (Geomorfologi
Sulawesi : 2005)
Pada bagian lengan utara terdapat seksi Gorontalo dimana merupakan bagian
tengah dari lengan utara sulawesi dengan arah timur ke bawah, namun aktifitas
vulkanisnya sudah padam yang lebar daratannya sekitar 35110 km, tapi bagian
baratnya menyempit 30 km (antara teluk dondo dipantai utara dan tihombo di
pantai selatan). Seksi ini dilintasi oleh sebuah depresi menengah yang
memanjang yaitu sebuah jalur antara rangkaian pegunungan di pantai utara dan
pegunungan di pantai selatan yang disebut zone limboto. (Dasar-dasar
geomorfologi Indonesia : UM Press)
2. Stratigrafi
Stratigrafi regional daerah praktikum dari muda ke tua menurut Apandi dan
Bachry (2997) adalah:
a. Endapan Danau (Qpl) terdiri dari batugamping kelabu, setempat
mengandung sisa tumbuhan dan lignit, batupasir berbutir halus sampai kasar,

7
serta kerikil dijumpai dibeberapa tempat.Satuan ini diduga berumur Pliosen
Plistosen.
b. Diorit Bone (Tmb) ini menerobos Batuan Gunungapi Bilungala maupun
Formasi Tinombo. Satuan ini terdiri dari diorite, diorite kuarsa, granodiorit
dan granit. Satuan ini diperkirakan berumur Miosen Akhir.

c. Batuan Gunungapi Bilungala (Tmbv) terdiri dari breksi, tuf dan lava
bersusunan andesit, dasit dan riolit. Berdasarkan kandungan fosil dalam
sisipan batugamping satuan ini berumur Miosen Bawah Miosen Akhir.
3. Struktur Geologi
Struktur geologi yang dapat diamati di lapangan pada pencitraan jauh antara
lain berupa sesar dan lipatan. Sesar normal arahnya kurang beraturan, namun di
bagian barat Lembar cenderung berarah lebih kurang timur- barat.Sesar
mendatar berpasangan dengan arah UUB SST (sesar menganan) dan UUT
SSB (sesar mengiri).Sesar mendatar terbesar adalah Sesar Gorontalo yang
berdasarkan analisis kekar penyertanya menunjukkan arah pergeseran
menganan.
Beberapa zona sesar naik bersudut sekitar 30o dan dapat di amati di beberapa
tempat, khususnya pada batuan Gunung Api Bilungala. Daerah pemetaan telah
mengalami lebih dari satu kali perioda tektonik kompresi yang menghasilkan
lipatan.Bongkahan batuan terkersikkan berukuran sampai 5 meter yang dijumpai
di beberapa tempat di hulu Dutuna Iya (cabang kiri S. Taludaa), dan diperkirakan
berasal dari Formasi Tinombo, menunjukkan paling sedikit 2 kali
pelipatan.Pelipatan tua menghasilkan lipatan isoklinal yang kemudian
mengalami pelipatan ketat terbuka oleh pelipatan yang lebih muda.
Berdasarkan pengukuran jurus dan kemiringan pada perselingan batuan
gunung api dan sedimen di daerah S. Sogitia Kiki, S. Tombuililato maupun S.
Bilungala didapatkan pelipatan terbuka dengan kemiringan sayap sekitar 30 o dan
sumbu berarah hampir timurbarat. Lava bantal yang dijumpai di S. Sogitia Kiki
juga menunjukkan pelipatan terbuka.
2.2 Fisiografi Daerah Praktikum

8
Daerah praktikum terletak pada sekitar daerah Sungai Bolango, tepatnya pada
daerah Tapa, Kabupaten Bone Bolango.Kabupaten Bone Bolango secara
keseluruhan memiliki luas 1.984,58 km2 dengan terdiri dari 18 kecamatan termasuk
kecamatan Tapa. Sedangkan kecamatan Tapa sendiri memiliki luas 3,25% dari luas
Kabupaten Bone bolango atau seluas 64,49885 km2dengan ketinggian sekitar 25
mdpl.
Berdasarkan data BPS (2016), jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango pada
tahun 2015 adalah 158.550 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 79.589
jiwa dan penduduk perempuan 78.961 jiwa. Rasio jenis kelamin penduduk
Kabupaten Bone Bolango adalah 1,01. Ini berarti bahwa untuk setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Untuk Kecamatan Tapa sendiri,
persentase penduduknya sebesar 5,02% atau mencapai 7.959 jiwa, terdiri dari
penduduk laki-laki sebanyak 3.928 jiwa dan penduduk perempuan 4.028 jiwa
dengan rasio 0,98. Kepadatan penduduknya mencapai 124 orang/km2.
2.3 Kajian Teori
Ukuran Butir
Untuk memudahkan manusia dalam mempelajari sedimentologi dan berbagai
ilmu yang berkaitan dengan butiran sedimen, maka dibuatlah skala ukuran butir
sedimen.Skala ukuran butir yang umum dipakai adalah skala Udden-
Wentworth.Skala ini diusulkan pertama kali oleh Udden pada tahun 1898 dan
dimodifikasi oleh Wentworth pada tahun 1922 (Friedman & Sanders, 1978; Blatt
et al., 1980).Batas ukuran butir pada skala ini menggunakan nilai 1 mm sebagai
standar dan menggunakan faktor pembagi atau pengkali 2. Krumbein (1934)
dalam Blatt et al., (1980) membuat suatu transformasi logaritmik dari skala
tersebut yang kemudian dikenal dengan skala phi (), dengan rumus:

dengan d adalah diameter partikel dalam mm. Oleh McManus (1963, lihat Blatt et
al., 1980) rumus ini diperbaiki menjadi:

9
dengan d adalah diameter partikel dan do adalah ukuran butir standar (1 mm).

Tabel 1. Klasifikasi Ukuran Butir Sedimen Menurut US Standar (Pettijohn et al., 1972)

Dalam mengukur ukuran butir sedimen dapat dilakukan dengan beberapa cara,
tergantung dari ukuran butirnya. Namun pada pembahasan ini digunakan metode
langsung dan ayakan yang mudah dilakukan dan sederhana.

10
Tabel 2. Metode Pengukuran Butir Sedimen

Pengolahan data distribusi frekuensi ukuran butir yang umum dilakukan


berupa perhitungan parameter statistik secara grafis dan secara matematis. Analisa
ukuran butir sedimen dilakukan untuk mengetahui nilai rata-rata suatu ukuran
butir, mean, modus, sortasi, skewness dan kurtosis dengan menggunakan cara
grafis maupun matematis.
1. Cara Grafis
Untuk melakukan perhitungan secara grafis, maka yang harus dilakukan
terlebih dahulu adalah melakukan plotting data, sebagai histogram dan kurva
distribusi frekuensi sehingga didapat gambaran visual data.Kemudian
melakukan perhitungan parameter statistik yang berupa rata-rata, standar
deviasi, kurtosis, sortasi, skewness, dll, secara deskriptif dari grafik.
Perhitungan parameter secara grafis pada prinsipnya adalah menggunakan
kurva frekuensi atau frekuensi kumulatif untuk menentukan nilai phi pada
presentil tertentu. Rumu perhitungan yang sering dipakai adalah yang diusulkan
oleh Folk & Ward (1957, lihat Friedman & Sanders, 1978; Lewis & McConchie,
1994), yaitu:
a. Median
Merupakan nilai tengah dari populasi total.Dapat dilihat langsung dari
kurva kumulatif, yaitu nilai phi pada titik dimana kurva kumulatif memotong
nilai 50%.
b. Mode
Merupakan ukuran butir sedimen yang frekuensi kemunculannya paling
tinggi.
c. Mean
Merupakan nilai rata-rata ukuran butir.

d. Sortasi

11
Merupakan nilai standar deviasi yang menunjukkan tingkat keseragaman
butir.

Klasifikasi sortasi (1):


Tabel 3. Klasifikasi Sortasi

e. Skewness
Merupakan nilai kesimetrisan kurva frekuensi.

Klasifikasi skewness (Sk1):

Tabel 4. Klasifikasi Skewness

f. Kurtosis
Merupakan nilai yang menunjukkan kepuncakan kurva.
Klasifikasi kurtosis (KG): Kurtosis
Tabel 5. Klasifikasi

12
2. Cara Matematis
Perhitungan secara matematis pada prinsipnya menggunakankonsep
moments. Pada perhitungan cara ini dibutuhkan data distribusifrekuensi yang
lengkap, dimana tidak boleh adanya data pan fraction yangtidak terukur,
sehingga datanya harus diekstrapolasikan sampai 100%.Perhitungan ini
menggunakan asumsi bahwa kurva distribusi frekuensinyabersifat distribusi
normal (Gaussian).
Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah:
a. Mean (x)

b. Sortasi ()

c. Skewness (Sk)

d. Kurtosis (K)

Dengan diperolehnya data dari perhitungan secara grafis maupun secara


matematis, maka kita dapat mengetahui:

13
Karakteristik sedimen terutama tekstur sedimen dengan tinjauan
statistik
Ketersediaan partikel dengan ukuran butir tertentu
Agen transportasi dan deposisinya
Proses deposisi akhir (suspensi, traksi, saltasi, dll.)
Lingkungan pengendapannya
Melakukan korelasi sampel yang berasal dari lingkungan
pengendapan sama
Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel
secara tiga dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang
sumbu panjang, menengah dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan
bentuk butir. Cara yang paling sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara
menggunakan perbandingan b/a dan c/b untuk mengelaskan butir dalam empat
bentuk yaitu oblate, prolate, bladed dan equant. Dalam hal ini, a (panjang/sumbu
terpanjang), b (lebar/sumbu menengah) dan c (tebal/sumbu terpendek). Sejauh ini
penamaan butir dalam bahasa Indonesia belum dibakukan sehingga seringkali
penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan bentuk butir ini
biasanya diperuntukkan pada butiran yang berukuran kerakal sampai berangkal
(pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran secara tig dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus
dilakukan, terutama pads bongkah dengan diameter yang mencapai puluhan sampai
ratusan centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati secara tiga dimensi,
pendekatan secara kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison) bisa juga
dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.

14

Gambar 3. Klasifikasi Pebel (Kerakal-Berangkal) Berdasarkan Perbandingan Antar Sumbu (Zingg,1935, Diambil Dari Pettijohn, 1975 de
Tabel 6. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935)

a. Sphericity
Sphericity () didefinisikan secara sederhana sebagai ukuran bagaimana
suatu butiran mendekati bentuk bola.Dengan demikian, semakin butiran
berbentuk menyerupai bola maka mempunyai nilai sphericity yang semakin
tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true
sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan sebuah
bola yang keduanya mempunyai volume sama. Namun demikian, Lewis &
McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit untuk
dipraktekkan. Sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut
dianggap sebanding dengan perbandingan volume, sehingga rumus sphericity
menurut Wadell (1932) adalah:

Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola
yang melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere).

15
Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan
memberikan nilai volume bola dengan /6D3, dimana D adalah diameter
bola.Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga dimensi dapat
diukur panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam
bentuk DL, DI, dan DS, dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah,
dan pendek. Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka
sphericity dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept


sphericity (1) yang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu
panjang,menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus
tersebut. Sneed& Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity tidak
dapat secara tepatmenggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran
yang dapatdiproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat,
misalnyabentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate,
tetapidengan rumus W, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu
merekamengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan
maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara
matematisWp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi
maksimum boladengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume
sama, atau secararingkas dapat ditulis dengan:

Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan


pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987),

16
pada prinsipnya rumus yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih
valid dibandingkan dengan intercept sphericity, terutama kalau diaplikasikan
pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan es.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs
(1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang
dapat diperoleh pada semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda
bias mempunyai nilai sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity
dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan sphericity dalam 7 kelas
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7.
Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk
asalnya dari batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan
lebih banyak mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama
transportasi dibandingkan dengan butiran yang berukuran pasir. Untuk butiran
sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak
dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya.Pada prakteknya, analisis bentuk butir
pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa.Hal
ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan
jumlahnya yang melimpah pada batuan sedimen.Namun demikian, untuk
membuat perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi,
pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan (lithic)
boleh juga dilakukan.

Tabel 7. Klasifikasi Sphericity menurut Folk (1968)

Bentuk butir akan berpengaruh pads kecepatan pengendapan


(settlingvelocity). Secara umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak

17
menyerupai bola) mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih rendah.
Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pada
sistem suspense (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung tertahan
lebih lama pada media suspensi dibandingkan yang spheris.Bentuk juga
berpengaruh pada transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum
butiran yang sphere dan prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk
blade clan disc(oblate).Lebih jauh analisis sedimen berdasarkan butiran saja
sulit untuk dilakukan.Sebagai contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari
pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan suatu
lingkungan pengendapan.
b. Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman
pinggir dan sudut suatu partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell
(1932) mendefinisikan roundness Sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-
masing sudut butiran pads bidang pengukuran. Roundness masing-masing sudut
diukur dengan membandingkan jari-jari iengkungan sudut tersebut dengan jari-
jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut.Dengan
demikian tingkat roundness butiran menurut Wadell (1932) adalah:

Dimana r adalah jari-jari kurva setiap sudut, R adalah jari-jari maksimum


bola yang dapat masuk dalam butir dan N adalah banyaknya sudut yang diukur.

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin


Gambar 4. Ilustrasi Pengukuran Jari-jari Lingkaran Maksimum pada Butiran (Boggs, 1987 dengan Modifikasi)
bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan banwa cara tersebut

18
memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus
dibantu slat circular protractor atau electronic particle-size analyzer. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah dengan
membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir
dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto
(Powers, 1953).

Gambar 5. Tabel Visual Roundness Secara Sketsa (Krumbein, 1941 dengan Modifikasi)

Gambar 6. Tabel Visual Foto Roundness Butiran, (Power,1953)

Tabel 8. Hubungan Antara Roundness Wadell (1932) dan Korelasinya Pada Visual Roundness Power (1953)

19
Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran,
ukuran butir, proses transportasi clan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran
dengan sifat fisik keras clan resisten seperti kuarsa clan zircon lebih sulit
membulat selama proses transport dibandingkan butiran yang kurang keras
seperti feldspar dar piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai berangkal
biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu
mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak
menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs,
1987). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan
pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama clan kisaran butir
yang sama besar.
2.4 Peneliti Terdahulu

Manfaat ekonomi dan ekologi keberadaan hutan lindung telah diketahui


secara luas.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
gambaran potensi, distribusi, dan perubahan potensi jasa air hutan lindung.
Metode yang digunakan untuk mengukur potensi dan distribusi air adalah
pengukuran secara langsung terhadap debit air, pengumpulan data sekunder
debit beberapa tahun, curah hujan, data melalui wawancara dan pengumpulan
data pada para pemakai air, baik rumah tangga maupun non rumah tangga. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hutan lindung cenderung berpengaruh terhadap
hasil air suatu DAS. Daerah Aliran Sungai Bolango dengan daerah tangkapan
yang kecil tetapi luas hutan lindung yang besar memperlihatkan jumlah debit
yang lebih besar dibandingkan dengan DAS dengan tangkapan besar tetapi luas

20
hutan lindungnya lebih kecil. Potensi debit DAS Bolango sebagai sampel, rata-
rata berkisar 16,20 m/detik hingga 37,9 m/detik atau rata-rata 28,98 m/detik;
Bone 5,30 m/detik hingga 25,50 m/detik atau rata-rata15,55 m/detik; dan
Limboto berkisar antara 0,12 m/detik hingga 0,92 m/detik atau rata-rata 0,54
m/detik. Tidak terlihat adanya perubahan potensi debit yang nyata dari tahun
2002-2006. Distribusi air dari DAS meliputi pertanian (irigasi), perikanan
(kolam dan karamba), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), serta rumah
tangga. (Halidah, 2008)

BAB III

21
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Praktikum
Pengambilan sampel dilakukan diDAS Bolango, Kabupaten Gorontalo
sebanyak 10 sampel. Masing-masing sampel dengan jarak pengambilan 1
km. Sampel yang diambil didekat sungai harus digali 30
cm. Koordinat pengambilan sampel pertama berada pada N
0003317,6 E 12300130,8, sampel kedua N 0003349,6 E
12300130,8, sampel ketiga N 0003408,5 E 12300208,1,
sampel keempat N 0003432,4 E 12300224,2, sampel kelima N
0003450,8 E 12300255,5, sampel keenam N 0003515,0 E 12300315,2,
sampel ketujuh N 0003521,8 E 12300341,6, sampel kedelapan N
0003646,9 E 12300423,0, sampel kesembilan N 0003709,2 E
12300449,4, dan sampel yang terakhir yaitu sampel kesepuluh berada pada
koordinat N 0003740,5 E 12300455,9. Kesepuluh sampel ini harus
dikeringkan dan selanjutnya diayak menggunakan sieve dengan ukuran
ayakan sesuai material yang dibutuhkan serta ukuran ayakan atau mess
tersebut telah ditentukan.
Berikut adalah data hasil pengayakan material sedimen sekaligus data
yang diolah :
Histagram
Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun
PHI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
<1.0 7.29 12.45 0 0 10.48 51.22 53.14 36.48 46.55 45.77
0 0.05 0.05 0.04 0 0.02 0 0.02 3.39 0.71 1.81
1 24.75 2.17 19.93 1.09 2.81 0.55 0.54 37.34 26.92 4.38
2 13.15 5.29 31.38 1.12 4.63 3.18 1.32 8.47 17.65 5.09
3 43.8 29.07 38.29 42.2 35 33.38 23.54 12.96 6.69 29.48
4 5.72 38.1 8.07 43.95 37.99 11.53 17.33 2.08 0.86 8.02
>4 0.09 12.02 1.76 11.64 8.11 0.22 3.93 0.28 0.13 0.4

22
Stasiun 1 Stasiun 2
50 50
40 40
30 Stasiun 1 30 Stasiun 2
20 20
10 10
0 0
<1.0 0 1 2 3 4 >4 <1.0 0 1 2 3 4 >4

Stasiun 3 Stasiun 4
50 50
40 40
30 Stasiun 3 30 Stasiun 4

20 20
10 10
0 0
<1.0 0 1 2 3 4 >4 <1.0 0 1 2 3 4 >4

Stasiun 5 Stasiun 6
40 60
35 50
30
25 Stasiun 5 40 Stasiun 6
20 30
15 20
10
5 10
0 0
<1.0 0 1 2 3 4 >4 <1.0 0 1 2 3 4 >4

Stasiun 7 Stasiun 8
60 40
50 35
30
40 Stasiun 7 25 Stasiun 8
30 20
20 15
10
10 5
0 0
<1.0 0 1 2 3 4 >4 <1.0 0 1 2 3 4 >4

23
Stasiun 9 Stasiun 10
50 50
40 40
30 Stasiun 9 30 Stasiun 10

20 20
10 10
0 0
<1.0 0 1 2 3 4 >4 <1.0 0 1 2 3 4 >4

Kurva Frekuensi
Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun
PHI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
<1.0 7.29 12.45 0 0 10.48 51.22 53.14 36.48 46.55 45.77
0 0.05 0.05 0.04 0 0.02 0 0.02 3.39 0.71 1.81
1 24.75 2.17 19.93 1.09 2.81 0.55 0.54 37.34 26.92 4.38
2 13.15 5.29 31.38 1.12 4.63 3.18 1.32 8.47 17.65 5.09
3 43.8 29.07 38.29 42.2 35 33.38 23.54 12.96 6.69 29.48
4 5.72 38.1 8.07 43.95 37.99 11.53 17.33 2.08 0.86 8.02
>4 0.09 12.02 1.76 11.64 8.11 0.22 3.93 0.28 0.13 0.4

60

50 stasiun1
Stasiun2
40 Satsiun 3
Stasiun 4
30 Stasiun 5
Stasiun 6
20 Stasiun 7
Stasiun 8
10 Stasiun 9
stasiun 10
0
<1.0 0 1 2 3 4 >4

Kurva Komulatif

24
Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun
PHI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
<-
1.0 7.69 12.56 0,00 0,00 10.58 51.18 53.24 36.12 46.78 48.2
0 7.74 12.61 0.04 0 10.6 51.18 53.26 39.48 47.49 50.11
1 33.83 14.8 20.08 1.09 13.44 51.73 53.8 76.45 74.55 54.72
2 47.70 20.13 51.62 2.21 18.11 54.91 55.12 84.83 92.28 60.08
3 93.87 49.45 90.12 44.41 53.45 88.26 78.7 97.66 99.01 91.13
4 99.91 87.88 98.23 88.36 91.81 99.78 96.06 99.72 99.87 99.58
>4 100.00 100 100 100 100 100 100 100 100,00 100

120.00

100.00
Stasiun 1
Staiun 2
80.00 Stasiun 3
stasiun 4
60.00 satsiun 5
stasiun 6
40.00 stasiun 7
stasiun 8
stasiun 9
20.00
stasiun 10

0.00
<-1.0 0 1 2 3 4 >4

Data Mean, Standar Deviasi, Skewness, Kurtosisi


Stasiun Mean Size (phi) Standar Deviasi (phi) Skewness kurtosis
1 1.3502 0.9715 -0.2866 0.9715
2 2.1039 0.8972 -0.5463 0.8972
3 0.9106 0.9643 0.1683 0.9643
4 2.1393 0.7462 -0.1121 0.7462
5 1.9957 0.8597 -0.5717 0.8597
6 1.1686 0.6044 -0.0965 0.6044
7 1.9869 0.7492 -0.0134 0.7492
8 0.0945 1.0045 0.8537 0.0045
9 0.131 0.8071 0.9007 0.8071
10 1.2837 0.9802 -1.0526 0.9802

Nilai Nilai Nilai Standar


St Skewness Skewness Kurtosis Kurtosis Deviasi Standar Deviasi

25
1 -0.2866 coarse-skewed 0.9715 mesokurtic 0.9715 moderately sorted
very-coarse
2 -0.5463 skewed 0.8972 platykurtic 0.8972 moderately sorted
3 0.1683 fine-skewed 0.9643 mesokurtic 0.9643 moderately sorted
4 -0.1121 coarse-skewed 0.7462 platykurtic 0.7462 moderately sorted
very-coarse
5 -0.5717 skewed 0.8597 platykurtic 0.8597 moderately sorted
very moderately well
6 -0.0965 near symetrical 0.6044 platykurtic 0.6044 sorted
7 -0.0134 near symetrical 0.7492 platykurtic 0.7492 moderately sorted
very
8 0.8537 very fine-skewed 0.0045 platykurtic 1.0045 poorly sorted
9 0.9007 very fine-skewed 0.8071 platykurtic 0.8071 moderately sorted
1 very-coarse
0 -1.0526 skewed 0.9802 mesokurtic 0.9802 moderately sorted

2 1.5

1
Standar Deviasi

1
Skewness

0.5
0
-2 -1 0 1 2
0
-1 -3 -2 -1 0 1 2 3
Sorting Mean Size

Data Butir Menggunakan Klasifikasi Ziggs

26
1. Stasiun 1

2. Stasiun 2

3. Stasiun 5

27
4. Stasiun 6

5. Stasiun 7

28
6. Stasiun 8

29
7. Stasiun 9

8. Stasiun 10

30
Data Bentuk Butir Menggunakan Kalsifikasi Sneed dan Folk
1. Stasiun 1

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 0
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 0
Blade 0
Elongated 2
Compact Platy 0
Compact Bladed 0
Compact Elongated 0
Compact 0
Jumlah 2

2. Stasiun 2

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 1
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 1
Blade 2
Elongated 1
Compact Platy 1 31
Compact Bladed 0
Compact 0
Elongated
Compact 0
3. Stasiun 5
Bentuk Butir Jumlah
Very Platy 0
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 1
Blade 1
Elongated 2
Compact Platy 0
Compact Bladed 0
Compact Elongated 0
Compact 1
Jumlah 3

4. Stasiun 6

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 1
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 0
Blade 2
Elongated 1
Compact Platy 32 0
Compact Bladed 1
Compact Elongated 0
Compact 0
Jumlah 5
5. Stasiun 7
Bentuk Butir Jumlah
Very Platy 0
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 0
Blade 3
Elongated 0
Compact Platy 1
Compact Bladed 0
Compact Elongated 1
Compact 0
Jumlah 5

6. Stasiun 8

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 0
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 0
Blade 4
Elongated 4
Compact Platy 0 33
Compact Bladed 1
Compact Elongated 4
Compact 0
Jumlah 13
7. Stasiun 9

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 0
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 1
Blade 3
Elongated 1
Compact Platy 0
Compact Bladed 0
Compact Elongated 0
Compact 0
Jumlah 5

8. Stasiun 10

Bentuk Butir Jumlah


Very Platy 1
Very Bladed 0
Very Elongated 0
Platy 3
Blade 5
Elongated 2
Compact Platy 0
Compact Bladed 1
Compact Elongated 1
Compact 3
Jumlah 16

34
3.2 Pembahasan
Dari data histogram ditunjukkan bahwa material sedimen didominasi
oleh pasir kasar. Hal ini mengindikasikan bahwa proses sedimentasi
umumnya terletak pada bagian hilir sungai yang memiliki arus lemah. Pada
kurva frekuensi setiap stasiun, distribusi ukuran butir juga didominasi oleh
pasir kasar (ukuran phi = 0). Hal ini mendukung pernyataan terkait
lingkungan pengendapan material sedimen yang berada pada sungai dengan
kecepatan arus lemah.
Data sedimen menunjukkan nilai skewness bernilai positif (very fine-
skewed) yang menunjukkan extremely leptokurtic. Sedangkan sorting atau
pemilahannya tergolong moderately well sorted poorly sorted. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran ukuran material sedimen memanjang
mengikuti daerah aliran sungai.
Data pengukuran ukuran dan bentuk butir menunjukkan sampel di
dominasi bentuk Spheroid (menggunakan klasifikasi Zingg) kecuali pada
stasiun 4, dan 7 yang didominasi oleh dics. Hal ini menandakan bahwa
proses transfer sedimen yang terjadi pada lokasi sangat jauh dari batuan
lapukannya. Melihat kondisi sungai Bolango yang memiliki debit air yang
tinggi, mendukung transfer sedimen dengan jarak yang jauh dari batuan asal
pelapukannya.Sementara itu, berdasarkan klasifikasi Sneed dan Folk
menunjukkan sampel dominan berbentuk Bladed.

35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum lapangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
material sedimen yang terendapkan di DAS Bolango didominasi oleh material
berukuran kasar berdasarkan hasil histogram dan kurva frekuensinya. Namun,
keberadaan material dengan ukuran yang lebih besar juga ada
dikarenakan karakteristik sortasi pada sungai yang tergolong
moderately well sorted poorly sorted. Indikasi ini menjelaskan
bahwa proses sedimentasi pada sungai Bone dipengaruhi oleh
Rolling, Saltation, dan Suspension. Sedangkan, bentuk butir sedimen
yang dominan adalah spheroid. Hal ini menunjukkan bahwa material sedimen
terangkut sangat jauh dari batuan asalnya.
4.2 Saran
Dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu
kritik dan saran sangat diperlukan demi perbaikan laporan ini.

36

Anda mungkin juga menyukai