Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE KRONIS


DAN MALNUTRISI

KELOMPOK IV
PROGRAM ALIH JENIS 2/ B19
Zita Triwika 131611123071
Ramona Irfan Kadji 131611123072
Yoga Trilintang Pamungkas 131611123073
Yoga Hadi Narendra 131611123074
Bayu Triantoro 131611123075
Clara Agustina 131611123076
Yhunika Nur Mastiyas 131611123077
Antonia Andasari 131611123078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Diare
1.1.1 Latar Belakang
Diare diartikan sebagai pengeluaran tinja yang berair (encer), dapat berupa
diare aktif dan kronis, terinflamasi dan non-inflamasi, atau disebabkan virus,
bakteri dan parasit. Diare bukanlah sebuah penyakit, tetapi sebuah gejala atau
hasil dari berbagai jenis penyakit termasuk infeksi pernafasan (terutama pada
anak-anak) dan gangguan saluran pencernaan; dapat pula merupakan efek
samping dari pengobatan.
Penyebab utama kematian pada anak di bawah 5 tahun adalah komplikasi
kelahiran prematur, pneumonia, asfiksia lahir, diare dan malaria. 5,9 juta anak
di bawah usia 5 tahun meninggal pada tahun 2015. Lebih dari setengah dari
kematian anak usia dini karena kondisi yang bisa dicegah atau diobati dengan
akses ke pelayanan kesehatan intervensi sederhana. Penyakit diare adalah
penyebab utama kedua kematian pada anak-anak di bawah lima tahun, dan
bertanggung jawab untuk membunuh sekitar 760.000 anak setiap tahun.
Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun,
dengan korban meninggal sekitar 4 juta jiwa. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah 3,5%, angka kejadian ini
menurun dibandingkan data Riskesdas tahun 2007 yaitu 9,0% untuk semua
kelompok umur. Bila dilihat per kelompok umur insiden diare tertinggi
tercatat pada anak umur <1 tahun yaitu 5,5%. Sedangkan pada umur 1-4 tahun
angka insiden diare tercatat sebanyak 5.1% (Riskesdas, 2013). Sejalan dengan
hasil survei morbiditas diare Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2010,
angka morbiditas diare menurut kelompok umur terbesar adalah 6-11 bulan
yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%,
kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil
pada kelompok umur 54-59 bulan yaitu 2,06%.
Diare kronis ditandai dengan adanya buang air besar encer 3 kali per hari
aatau lebih selama lebih dari 2 minggu dan ditemukan adanya Red Flags
yaitu melena, demam yang persisten, penurunan berat badan atau
keterlambatan tumbuh kembang, dan anemia (Keating, 2005).
Burns et al (2013) menjelaskan manajemen tindakan pada penderita diare
kronis yaitu penangangan sesuai penyebab yang mendasari. Pada diare
nonspesifik kronik/ Toddlers Diarrhea harus diberi normalisasi diet,
penanganan malabsorbsi karbohidrat, dan rujuk pasien pada gastroenterologist
jika terjadi diare pada bayi baru lahir, pasien dengan keterlambatan tumbuh
kembang, dan pasien dengan keluhan fisik seperti anoreksia, nyeri perut,
sendawa kronis, muntah, kelemahan, dan menderita kesakitan yang parah.
Penanganan diare kronik ini sangat perlu diperhatikan karena dapat
menimbulkan komplikasi diantaranya yaitu malnutrisi, gangguan tumbuh
kembang, dan gangguan kognitif.
Diare merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak di
bawah lima tahun (WHO, 2016). Diare dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, dan dapat meninggalkan tubuh tanpa air dan garam
yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Kebanyakan orang yang
meninggal akibat diare sebenarnya meninggal karena dehidrasi parah dan
kehilangan cairan. Anak-anak yang kekurangan gizi atau memiliki gangguan
imunitas serta orang-orang yang hidup dengan HIV adalah yang paling
berisiko diare yang mengancam jiwa (WHO, 2016). Anak-anak yang
meninggal akibat diare sering menderita kekurangan gizi yang mendasari,
yang membuat mereka lebih rentan terhadap diare. Setiap episode diare, pada
gilirannya, membuat kekurangan gizi mereka bahkan lebih buruk. Oleh karena
itu, penting bagi perawat untuk memahami konsep teori diare kronis sebagai
acuan untuk memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada anak
dengan diare kronis.

1.1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep teori dan asuhan keperawatan
pada anak dengan diare kronis.

B. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
Memahami konsep teori yang meliputi definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, dan komplikasi
pada diare kronis.
Memahami proses asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian,
analisa data, diagnosis, dan intervensi pada anak dengan diare
kronis.

1.2 Malnutrisi
1.2.1 Latar Belakang
Malnutrisi Energi Protein (MEP) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
primer dimana MEP dilatarbelakangi ketiadaan pangan sehingga menyebabkan
berkurangnya asupan, dan sekunder yang disebabkan oleh penyakit yang
menyebabkan pengurangan asupan, gangguan penyerapan dan utilisasi pangan,
serta peningkatan kebutuhan atau bahkan menimbulkan kehilangan zat gizi
(Solikin, 2011). Bentuk malnutrisi yang paling ekstrim adalah kekurangan
energi-protein, yaitu kwarshiorkor dan marasmus.
Anak kurang gizi, terutama mereka yang kekurangan gizi akut, memiliki
risiko kematian yang lebih tinggi dari penyakit anak umum seperti diare,
pneumonia, dan malaria. Faktor yang berhubungan dengan gizi berkontribusi
sekitar 45% dari kematian pada anak di bawah usia 5 tahun (WHO, September
2016). Pada 20102012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1
miliar penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita
gizi buruk. Sebagian besar (sebanyak 852 juta) di antaranya tinggal di negara-
negara berkembang. Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di
seluruh dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk
pada anak didominasi Asia, sedangkan 26 persen di Afrika dan 4 persen di
Amerika Latin serta Karibia. Setengah dari 10,9 juta kasus kematian anak
didominasi kasus gizi buruk. Sebab gizi buruk bisa berefek ke penyakit
lainnya juga, seperti campak dan malaria. Di Indonesia perkembangan gizi
buruk, menurut Riskesdas pada tahun 2013, terdapat 19,6 persen kasus balita
kekurangan gizi dan jumlah tersebut terdiri dari 5,7 persen balita dengan gizi
buruk. Di antara 33 provinsi,terdapat 2 provinsi yang termasuk kategori
prevalensi gizi buruk sangat tinggi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara
Timur (National Geographic, 2015). Di Indonesia, Kementerian Kesehatan
telah melakukan Pemantauan Status Gizi (PSG) balita pada tahun 2015 di
seluruh Kabupaten dan kota di Indonesia, yakni 496 Kabupaten/Kotamadya
dengan melibatkan lebih kurang 165.000 balita sebagai sampelnya. PSG 2015
menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Persentase balita
dengan gizi buruk dan sangat pendek mengalami penurunan. PSG 2015
menyebut 3,8% balita mengalami gizi buruk. Angka ini turun dari tahun
sebelumnya yakni 4,7%.
Manifestasi klinis antara marasmus dan kwashiorkor sebenernya berbeda
walaupun dapat terjadi bersama- sama (Ngastiyah, 1997). Nurarif dan Kusuma
(2016) menjelaskan beberapa manifestasi klinis dari marasmus dan kwasiokor.
Marasmus ditandai dengan adanya anak rewel, diare, mata besar dan dalam,
akral dingin dan tampak sianosis, wajah seperti orang tua, pertumbuhan dan
perkembangan terganggu, atrofi otot di pantat, jaringan lemak di bawah kulit
hilang, keriput, turgor kulit jelek, perut membuncit atau cekung dengan
gambaran usus yang jeas, nadi lambat dan metabolisme basal menurun,
venasuperfisialis tampak lebih jelas, ubun ubun besar cekung, tulang pipi dan
dagu kelihatan menonjol, anoreksia, dan sering bangun malam. Sedangkan
kwashiorkor ditandai dengan tampak sembab, latergik, cengeng, mudah
terangsang, pada tahap lanjut anak menjadi apatis dan koma, pertumbuhan
terganggu (berat badan dan tinggi badan kurang dari standar), edema ringan
sampai berat, anoreksia dan diare, jaringan otot mengecil, tonus menurun,
jaringan subkutis tipis, rambut bewarna pirang, berstruktur kasar dan kaku,
kelainan kulit, anak mudah terjangkit infeksi, terjadi defisiensi vitamin dan
mineral, perubahan mental, gejala gastrointestinal, pembesaran hati, dan
anemia akibat gangguan eritropoisis.
Adapun penatalaksanaan anak dengan gizi buruk diatur di Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk oleh Direktorat Jendral Bina Gizi dan KIA
Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 meliputi alur pemeriksaan, alur
pelayanan di RS dan Puskesmas, Penentuan Status Gizi anak, jadwal
pengobatan dan perawatan, hal hal penting yang harus diperhatikan, dan hasil
pemeriksaan dan tindakan pada anak gizi buruk. Dalam tatalaksana itu juga
diatur mengenai pemberian cairan dan makanan untuk stabilisasi anak gizi
buruk sesuai manifestasi klinis yang ditimbulkan.
Malnutrisi dialami oleh cukup banyak balita di Indonesia. Balita
merupakan tahap awal pengenalan anak dengan suatu lingkungan sosial di
masyarakat umum di luar keluarga. Seorang anak balita sedang mengalami
masa tumbuh kembangnya yang relatif pesat. Pada masa ini, proses perubahan
fisik, emosi dan sosial anak balita berlangsung cepat. Proses ini dipengaruhi
berbagai faktor dari diri anak sendiri dan lingkungan. Dalam hal konsumsi
pangan, pada anak balita akan terjadi peralihan dari golongan konsumen pasif
menjadi konsumen aktif sehingga pada usia balita anak sangat rentan terhadap
berbagai masalah kesehatan terutama masalah gizi. Apabila anak mengalami
gizi kurang dan kekurangan gizi ini berlangsung lama, maka akan berakibat
terganggunya pertumbuhan, perkembangan mental, serta sistem imunitas,
sehingga anak mudah terserang penyakit dan berakhir pada kematian. Oleh
karena itu, penting bagi perawat untuk memahami konsep teori malnutrisi
yang meliputi marasmus dan kwashiokor sebagai acuan untuk memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensif pada anak dengan malnutrisi.

1.2.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep teori dan asuhan keperawatan
pada anak dengan malnutrisi yang meliputi marasmus dan kwashiokor.

B. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
Memahami konsep teori yang meliputi definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, dan komplikasi
pada anak dengan malnutrisi yang meliputi marasmus dan
kwashiokor.
Memahami proses asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian,
analisa data, diagnosis, dan intervensi pada anak dengan malnutrisi
yang meliputi marasmus dan kwashiokor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIARE
2.1.1 Definisi
Diare diartikan sebagai pengeluaran tinja yang berair (encer), dapat berupa
diare akut dan kronis, terinflamasi dan non-inflamasi, atau disebabkan
virus, bakteri dan parasit. Diare bukanlah sebuah penyakit, tetapi sebuah
gejala atau hasil dari berbagai jenis penyakit termasuk infeksi pernafasan
(terutama pada anak-anak) dan gangguan saluran pencernaan; dapat pula
merupakan efek samping dari pengobatan. Walaupun patofisiologi awal
dapat berbeda sesuai penyebab, diare terjadi ketika faktor kausatif
meningkatkan motilitas usus, hal ini menyebabkan pengosongan usus yang
cepat dan gangguan penyerapan air dan elektrolit di usus besar
(Guandalini & Frye, 2006 dalam Broyles, 2009).

Menurut Limbos (2005) dalam Burns et al (2009) menyebutkan dilihat


dari jenisnya diare dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :
a. Diare Osmotik
Terjadi ketika partikel aktif yang mempengaruhi tingkat osmotik
dalam usus menarik cairan ke saluran cerna. Kondisi ini terjadi
pada dumping syndrome, defisiensi laktase, overfeeding, sindrom
malabsorpsi, dan konsumsi cairan hipertonik dalam jumlah
berlebihan.
b. Diare Sekretorik
Terjadi ketika terjadi sekresi aktif air dan elektrolit dari sel Crypt
mukosa di usus halus ke dalam lumen usus. Oleh karenanya
cenderung terjadi pengeluaran tinja berair (encer) dalam volume
besar walaupun anak tidak mengkonsumsi makanan. Hal ini
melibatkan produksi endotoksin dari bakteri, kelainan kongenital,
gangguan mukosa dan tumor.
c. Gangguan Motilitas
Gangguan motilitas menyebabkan diare namun tidak terjadi
malabsorpsi, defisiensi garam empedu dan enzim pancreas dapat
menyebabkan diare oleh karena mencegah atau menghambat
proses absorpsi normal. Toddlers Diarrhea diduga disebabkan
oleh adanya peningkatan motilitas usus.
d. Proses Inflamasi
Invasi bakteri, parasit dan virus, penyakit celiac, dan Inflamatory
Bowel syndrome atau prosedur bedah dapat merubah anatomi dan
kemampuan fungsional dari usus. Peristaltis abnormal untuk alasan
apapun dapat mengakibatkan terjadinya diare akut.
Perry (2009) menyebutkan diare dapat diklasifikasikan menjadi diare akut
dan diare kronis .Dalam makalah ini diare yang dijelaskan dibatasi pada
diare kronis.

Pengertian Diare Kronis :


a. Diare kronis (persisten) adalah buang air besar dengan konsistensi
cair/encer lebih dari 3 kali perhari selama lebih dari 2 minggu,
pada anak-anak kadang disertai penurunan berat badan (Bhutta et
all, 2004 dalam Burns, Catherine E., et all 2009)
b. Diare Kronis diartikan sebagai peningkatan frekuensi defekasi dan
meningkatnya kandungan air (dalam tinja) dengan durasi lebih dari
14 hari. Seringkali disebabkan oleh kondisi kronis seperti Sindrom
Malabsorpsi, Inflammatory Bowel Syndrome, Immunodefisiensi,
alergi makanan, Intoleransi Laktosa atau CNSD (Chronic Non
Specific Diarrhea/childhood and toddler diarrhea), atau dapat
merupakan hasil dari penanganan diare akut yang tidak adekuat.
(Perry, 2010)
c. Diare kronis didefinisikan sebagai diare yang terjadi selama lebih
dari 2 minggu (Broyles, Bonita E. 2009)

2.1.2 Etiologi
Burns et al (2013) menjelaskan penyebab umum diare kronik adalah
sebagai berikut:

Penyebab Umum Diare Kronis yang Ditemukan pada Anak-Anak

Usia Penyebab
0 6 bulan 1. Malabsorpsi Karbohidrat (didapat, kongenital)
2. Hipersensitifitas Protein
3. Konsumsi formula atau cairan lain secara berlebihan
(Air, Jus, Makanan/minuman yang mengandung
sorbitol/fruktosa, larutan tinggi karbohidrat)
4. Postenteritis
5. Infeksi
6. Fibrosis Kistik atau kondisi absorpsi lemak yang lain
7. Neuroblastoma (jarang)
8. Immunodefisiensi (HIV/AIDS)
9. Lymphangiectasia
10. Penyakit Hirchsprung
11. Enteropati Neonatal maupun Infan
12. Terapi Radiasi
7 24 bulan Delapan kondisi awal di atas ditambah :
1. Diare Nonspesifik Kronis
2. Pertumbuhan usus kecil yang berlebihan (overgrowth)
3. Penyakit celiac
4. Graft vs Host enterophaty
5. Autoimmune Enteropathy
6. Terapi Radiasi
>24 bulan 1. Intake jus buah / minuman berkarbohidrat tinggi
2. Infeksi
3. Pertumbuhan bakteri di usus halus yang berlebih
4. Penyakit Celiac
5. Syndrome Munchausen
6. Grant vs host enteropathy
7. Malabsorpsi karbohidrat
8. Irritable Bowel Syndrome
9. Hipolaktase tipe dewasa
10. Encopresis
11. Inflamatory Bowel Disease
12. Penggunaan laksatif berlebihan
13. Terapi radiasi
14. Defisiensi Laktase yang didapat pada anak, terutama
pada keturunan Afrika, Asia dan Timur Tengah
(Keating, 2005)
15. Perforasi Appendix

Perry (2010) menjelaskan bahwa diare kronis disebabkan oleh kondisi


kronis seperti Sindrom Malabsorpsi, Inflammatory Bowel Syndrome,
Immunodefisiensi, alergi makanan, Intoleransi Laktosa atau CNSD
(Chronic Non Specific Diarrhea/childhood and toddler diarrhea), atau
dapat merupakan hasil dari penanganan diare akut yang tidak adekuat.
a. Penanganan Diare Akut yang tidak adekuat (Diare Persisten)
Diare akut merupakan penyebab utama terjadinya kondisi sakit pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun, dan diartikan sebagai peningkatan
frekuensi BAB secara -tiba dan disertai perubahan konsistensi tinja,
seringkali disebabkan oleh agen infeksius pada saluran pencernaan.
Dapat juga dihubungkan dengan infeksi saluran pernafasan atas
(ISPA), infeksi saluran kemih, terapi antibiotik, atau penggunaan
laksatif (Perry, 2010).
b. Sindroma Malabsopsi :
Malabsorpsi terjadi ketika seorang anak tidak dapat mencerna atau
menyerap nutrisi dalam makanan. Gangguan malabsorpsi termasuk di
dalamnya Penyakit Celiac, Intoleransi Laktosa dan Sindroma Usus
Pendek (Ball & Bindler, 2008)
1). Penyakit Celiac
Penyakit Celiac disebut juga gluten induced enteropathy, gluten
sensitive enteropathy, atau celiac sprue adalah enteropathy yang
diperantarai imun pada proximal/awal usus halus yang dipicu oleh
respon imun yang tidak seharusnya karena mengkonsumsi gluten
dan protein terkait gluten yang ditemukan pada gandum, rye dan
barley (Hockenberry, 2009).
Faktor predisposisi genetik merupakan faktor penting pada
perkembangan Penyakit Celiac. Reseptor membran yang terlibat
adalah presentasi Antigen pada T sel CD4+, memainkan peran
yang krusial pada karakteristik respon imun pada Penyakit Celiac.
Saat reaksi inflamasi diaktivasi oleh gluten, T sel CD4+
memproduksi Sitokin, yang berkontribusi pada rusaknya usus.
Kerusakan terdiri dari infiltrasi lamina propria, hiperplasia crypt,
dan atropi dan penipisan filia usus (Perry, 2010).
Atropi dan penipisan fillia usus mengurangi luas permukaan
penyerapan di usus, Nutrisi yang mengalami malabsorpsi adalah
lemak, vitamin yang larut dalam lemak, dan karbohidrat (Broyles,
2009).
2). Intoleransi Laktosa
Intoleransi Laktosa adalah gangguan kongenital maupun didapat
dimana anak tidak memproduksi laktase, enzim yang diperlukan
untuk mencerna laktosa. (Towle & Adam, 2008). Laktosa adalah
sebuah disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa, dan
ditemukan secara eksklusif pada susu mamalia. Laktosa
membutuhkan enzim laktase, yang diproduksi pada usus halus,
untuk menghidrolisa 2 monosakarida tersebut agar terpisah,
sehingga dapat diserap pada usus halus, laktosa yang tidak dapat
diserap meningkatkan tekanan osmotik pada usus sehingga
menarik cairan dan elektrolit ke dalam usus sehingga
mengakibatkan tinja cair atau diare. Laktosa yang tidak dapat
diserap dimetabolime oleh bakteri di dalam usus menghasilkan gas
(metana, karbon dioksida dan hidrogen) sehingga mengakibatkan
sendawa dan flatus (kentut) (Burns et all, 2009).
3). Sindroma Usus Pendek
Sindroma usus pendek adalah gangguan penyerapan yang terjadi
ketika terjadi penurunan area permukaan mukosa, biasanya sebagai
hasil dari reseksi ekstensif usus halus. Penyebab paling umum
sindroma usus pendek pada anak-anak termasuk anomali
kongenital (atresia jejunum dan ileum, gastroschisis), iskemia
(necrotizing enterocolitis), dan trauma atau perlukaan vaskuler
(volvulus). Penyebab lain termasuk volvulus yang menyebabkan
reseksi masif, Penyakit Hirschprung bersegmen panjang dan
omphalocele (Perry, 2010)
c. Inflamatory Bowel Syndrome
Inflamatory Bowel Syndrome adalah kondisi inflamasi kronis pada
usus halus dan/atau usus besar yang termasuk diantaranya 2 gangguan:
Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif (Broyles, 2009) :

Gambar: Tampilan Permukaan usus Terinflamasi

Gambar : Perbedaan Crohn Disease dan Kolitis Ulseratif

1). Penyakit Crohn


Penyakit Crohn adalah kondisi autoimun kronis yang dapat terjadi
di semua bagian saluran pencernaan dan dapat mempengaruhi ke 3
level mukosa usus (Broyles, 2009), sedangkan Burns (2009)
mengartikan Penyakit Crohn sebagai penyakit inflamasi kronis
dengan eksaserbasi dan remisi melibatkan seluruh bagian saluran
cerna. Area yang tidak terpengaruh disebut skip area.
2). Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif biasanya terjadi di usus besar dan hanya
mempengaruhi lapisan mukosa dan sub-mukosa dinding usus besar
(Broyles, 2009).
Proses Inflamatory Bowel Syndrome
Usus merespon pemicu lingkungan (virus, alergi, imunologi) yang
diidentifikasi oleh sistem imun sebagai hal yang mengancam dan
berbahaya dan menyebabkan injuri sehingga terjadi vasokonstriksi.
Kemudian dilanjutkan dengan pelepasan mediator sel terlokalisir,
termasuk histamin, yang mengakibatkan vasodilatasi kapiler. Kapiler
menjadi distended / meregang dengan darah, mukosa bengkak dan
menebal. Permeabilitas kapiler meningkat dan bengkak usus yang
semakin parah, Usus yang bengkak menjadi rentan dan perlukaan
menembus barier mukosa, terjadi ruptur pada dinding usus. Enzyme
pencernaan dan bakteri usus mengenai jaringan yang luka,
menyebabkan iritasi dan inflamasi lebih lanjut, serta ulserasi dan
perdarahan. Ulserasi dapat berkembang menjadi fissure. Eksudat
inflamasi yang terdiri atas protein plasma menarik lebih banyak cairan
pada usus sehingga terjadi diare.(Pott, NL., & Mandleco BL., 2012)

d. Diare Nonspesifik Kronis (Chronic Nonspesific Diarrhea)


Disebut juga Irritable Colon dan Childhood and Toddlers Diarrhea.
Merupakan penyebab umum terjadinya diare kronis pada anak pada
usia 6-54 bulan. Seringkali dijumpai tinja yang cair pada anak, dengan
partikel makanan yang belum dicerna, dan diare terjadi selama lebih
dari 2 minggu. Anak dengan diare non spesifik kronis tumbuh dengan
normal dan tidak dijumpai terjadinya malnutrisi, tidak ada darah dalam
tinja, dan tidak ada infeksi usus. Pemilihan diet yang kurang tepat dan
alergi makanan telah dikaitkan sebagai penyebab diare kronis.
Konsumsi jus dan pemanis buatan seperti sorbitol, sebuah bahan
pengganti makanan yang ditemukan pada banyak makanan dan
minuman kemasan komersil secara berlebihan, dapat menjadi faktor
penyebabnya (Perry, 2009)

2.1.3 Manifestasi Klinis


a. Riwayat
1). Adanya BAB encer 3 kali per hari atau lebih selama lebih dari 2
minggu ; bila dijumpai diare cair 10 kali per hari dan terdapat
partikel makanan yang belum dicerna merupakan tipe Toddlers
Diarrhea
2). Adanya Red Flags (Keating, 2005)
Hematochezia atau melena
Demam yang persisten
Penurunan berat badan atau perlambatan perkembangan
Anemia
3). Riwayat Diet (termasuk jumlah intake jus buah atau minuman
berkarbohidrat tinggi yang diminum tiap hari)
4). Konsistensi Tinja, adanya darah, lendir, pus, partikel makanan
5). Paparan dengan sumber sakit (termasuk di tempat penitipan anak,
kontak dengan binatang peliharaan/binatang lain)
6). Teething
7). Penanganan diare (manipulasi diet yang diberikan, obat maupun
tindakan yang diberikan di rumah)
8). Riwayat bepergian sebelumnya.
(Burns et al, 2013)

b. Pemeriksaan Fisik
Perhatikan temuan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kondisi
patologi yang mendasari.
1). Pengkajian status hidrasi
2). Pengukuran berat badan dan tinggi badan ; perhatikan penurunan
berat badan
3). Retardasi pertumbuhan
4). Kondisi kulit dan rambut, warna kulit dan konjungtiva
5). Palpasi pembesaran tiroid
6). Peningkatan denyut jantung
7). Gejala Respirasi
8). Clubbing Fingers
9). Pemeriksaan Abdomen
10).Pemeriksaan Rektal
2.1.4 Patofisiologi
Web of Causation Chronic Diarrhea

Penyebab Malabsorpsi Inflamatory Bowel Syndrome Diare akut yang tidak Immunodefisiensi Diare Nonspesifik Kronis
a. Penyakit Celiac Crohn Disease tertangani Irritable Bowel Syndrome
b. Short Bowel Syndrome Kolitis Ulseratif (infeksius)
c. Intoleransi Laktosa

Kerusakan jaringan usus Peningkatan jumlah bakteri/virus/parasit di saluran


cerna yang memproduksi endotoksin
a. Gluten merangsang respon imun,
kerusakan dan perubahan vilia usus
b. Pengurangan area absorpsi usus Gangguan Absorpsi
nutrisi, cairan dan Respon sel :
c. Laktosa yang tidak tercerna Peningkatan sekresi jaringan usus
meningkatkan tekanan osmotik elektrolit
Penurunan absorpsi akibat kerusakan sel
saluran cerna, terjadi perpindahan terkait proses inflamasi
cairan ekstrasel ke dalam saluran
usus

DIARE KRONIS
MK : Inkonintesia Alvi
Penurunan penyerapan Penurunan penyerapan Kulit anus terpapar Karbohirat yang Penurunan penyerapan
& peningkatan & peningkatan cairan lambung diserap minimal protein
pengeluaran cairan pengeluaran elektrolit yang bersifat asam
hipoglikemi Protein serum Penurunan kadar
Gangguan keseimbangan cairan Gangguan iritasi menurun sitokin
keseimbangan elektrolit
glukoneogenesis
Perpindahan CIV Respon imun
MK : Defisit Volume Cairan MK : kerusakan
ke CES menurun
Hiponatremi, Peningkatan integritas jaringan
kulit Penurunan BB
hipokalemia eksresi NH3+
MK :Resiko Syok Edema Rentan
MK : Nutrisi kurang terjadi infeksi
Asidosis
Gangguan metabolik dari kebutuhan
hantaran listrik
jantung MK : resiko Perubahan Status
CO2 Meningkat kerusakan integritas Kesehatan
Gangguan
pertumbuhan dan jaringan kulit
aritmia
PCO2 Meningkat perkembangan Ansietas

Penurunan curah
Nafas Cepat dan Gangguan Pertukatran Gas
jantung
Dalam
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Tinja : Kultur tinja, pH tinja, Partikel bahan makanan, partikel darah,
leukosit, adanya lemak pada tinja (pH normal tinja >5,5, karbohidrat
negatif)
b. Darah : Uji darah lengkap (hitung darah, elektrolit, albumin)
c. Urine : tes Urine Lengkap, kultur urin pada anak-anak.
Pemeriksaan berikut ini dapat dilakukan sesuai indikasi berdasarkan
riwayat, pemeriksaan fisik, dan pertimbangan diagnosis banding :
ESR (Erythrocyte sedimentation rate), CRP (C Reaktif Protein)
Pemeriksaan hormonal untuk mengkaji tumor di saluran cerna
(Vasoactive intestinal peptide, gastrin, secretin, Urine assay untuk
5-hydroxytryptamine [5-HT])
Test hidrogen pernafasan untuk intoleransi laktose dan sukrosa
Serologi Virus, seperti HIV atau CMV
Test Klorida keringat untuk menguji Kistik Fibrosis
Endoskopi, tes barium (Burns, et al, 2013)
2.1.6 Penatalaksanaan
Burns et al (2013) menjelaskan manajemen tindakan pada penderita diare
kronis :
a. Tangani penyebab yang mendasari
b. Pada Diare Nonspesifik kronik/Toddlers Diarrhea :
Normalisasi diet ; hindarkan makanan dan minuman yang memicu
diare; hindarkan minuman yang mengandung sorbitol dan fruktosa;
kurangi intake cairan tidak lebih dari 90 mL/kgBB/24 jam (berikan
separuhnya berupa susu); tingkatkan asupan lemak hingga 35-40%
pada diet makanan; tingkatkan konsumsi serat untuk memadatkan
tinja.
c. Tangani malabsorpsi karbohidrat dengan mengurangi laktosa atau
sukrosa ; tambahkan lactase atau sakrosidase sesuai indikasi
berdasarkan jenis intoleransi karbohidrat.
d. Sindroma malabsorpsi post gastroenteritis (terjadi pada infan
dengan penurunan berat badan dan terdapat gumpalan lemak pada
tinja) dapat diberikan predigested formula (mis : Pregistmil), jika
mampu ditoleransi selama 3-4 minggu. Formula elemental dapat
diberikan jika tidak terjadi intoleransi.
e. Rujuk pasien pada gastroenterologist :
1). Diare pada bayi baru lahir.
2). Pasien dengan perlambatan atau terhentinya pertumbuhan
3). Pasien dengan keluhan fisik abnormal (Anoreksia, nyeri perut,
sendawa kronis, muntah, kelemahan)
4). Menderita kesakitan yang parah
2.1.7 Komplikasi
a. Malnutrisi
b. Gangguan pertumbuhan
c. Gangguan kognitif/perkembangan
(Burns et al, 2013)

2.2 Malnutrisi
2.2.1 Definisi
Malnutrisi Energi Protein dapat dikelompokkan menjadi dua., yaitu Primer
dimana MEP dilatarbelakangi ketiadaan pangan sehingga menyebabkan
berkurangnya asupan, dan Sekunder yang disebabkan oleh penyakit yang
menyebabkan pengurangan asupan, gangguan penyerapan dan utilisasi
pangan, serta peningkatan kebutuhan atau bahkan menimbulkan
kehilangan zat gizi (Solikin, 2011). Bentuk malnutrisi yang paling ekstrim
adalah kekurangan energi-protein, yaitu Kwarshiorkor dan Marasmus.
a. Kwarshiorkor
Kwarshiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh
defisiensi protein yang berat, bisa dengan konsumsi energi dan kalori
tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan. Kwarshiorkor atau busung
lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan yang dikenali
sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP), dengan beberapa
karakteristik berupa edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi,
hyperkeratosis (Nurarif & Kusuma, 2016).
Kwarshiorkor berasal dari bahasa Ga (Ghana) yang berarti penyakit
yang didapatkan anak yang lebih tua saat bayi berikutnya lahir dan
dengan tepat menggambarkan sindrom yang berkembang pada anak
pertama, biasanya pada usia 1-4 tahun, ketika terjadi penyapihan ASI
setelah anak kedua lahir (Perry, 2010).

Gambar 2.3. Anak dengan Kwarshiorkor


b. Marasmus
Marasmus dihasilkan dari malnutrisi umum yaitu kekurangan kalori
dan protein. Marasmus sering kali terjadi di negara miskin selama
musim kering, terutama pada budaya dimana orang tua makan terlebih
dahulu, dan makanan yang tersisa seringkali tidak mencukupi baik
secara kualitas maupun kuantitas bagi anak-anak.
Marasmus adalah biasanya sebuah sindroma penurunan fisik dan
emosional dikarakteristikkan dengan pengecilan dan atropi gradual
pada jaringan tubuh, terutama lemak subkutan.

Gambar 2.4. Anak dengan marasmus

c. Marasmus-kwarshiorkor adalah suatu bentuk dari kekurangan energi


protein dimana terdapat tanda klinis dari kwarshiorkor dan marasmus :
terdapat edema, kurus yang parah, dan berhentinya pertumbuhan
(Perry, 2010).

2.2.2 Etiologi
Penyebab kondisi malnutrisi pada anak :
a. Diare kronis
Diare yang berkepanjangan dapat menimbulkan kondisi malnutrisi
karena proses absorpsi nutrisi makanan termasuk di dalamnya
protein dan karbohidrat terganggu.
b. Kekurangan pangan
Kondisi sosial-ekonomi (kemiskinan) merupakan penyebab utama
kondisi malnutrisi, dimana orang tua tidak mampu menyediakan
makanan yang cukup mengandung kalori dan protein yang adekuat.
Situasi sosial politik, dan iklim berpengaruh dalam tersedianya
bahan makanan.
c. Fibrosa kistik
Fibrosa kistik adalah gangguan multisystem kronis yang
mempengaruhi kelenjar eksokrin (James & Ashwin, 2007).
Penyakit Fibrosa kistik merupakan penyakit keturunan akibat
mutasi gen pada lengan panjang kromosom 7, yang merupakan
kode sebuah protein bernama 1480 amino acid yang disebut Cystic
Fibrosis Trans-membrane Regulator (CFTR). Protein CFTR terkait
dengan famili glikoprotein yang berada pada membrane.
Glikoprotein ini mempengaruhi jalur Klorida dan mengatur
perpindahan Natrium dan Klorida pada permukaan epitel sel
(Perry, 2010).
Fibrosa Kistik ditandai dengan peningkatan viskositas sekresi
kelenjar mukosa, peningkatan pengeluaran elektrolit pada keringat,
abnormalitas fungsi system syaraf otonom dll. Pada saluran
pencernaan penyakit ini mempengaruhi produksi enzyme
pencernaan. Saluran pancreas tersumbat oleh adanya mukus yang
kental sehingga tidak mampu menghasilkan enzyme tripsin,
amylase dan lipase ke usus halus. Tanpa enzim-enzim ini protein,
karbohidrat dan lemak tidak dapat dicerna dan diserap. Vitamin-
vitamin yang terlarut dalam lemak (A,D,E dan K) tidak mampu
diserap oleh tubuh, mengakibatkan defisiensi nutrisi. Pencernaan
bahan makanan yang tidak sempurna menghasilkan feses yang
keras, amis, dan steatorrhea (Perry, 2010)
d. Kegagalan menyusui dan tidak ada solusi alternatif
Kejadian malnutrisi dapat ditemukan pada usia 3 bulan ketika
terjadi kegagalan menyusui oleh ibu dan tidak didapatkan solusi
alternatif pengganti ASI (Hockenberry & Wilson, 2011). Solusi
alternatif dapat berupa donor asi maupun susu formula bayi.
e. Gangguan ginjal
Gangguan ginjal yang mengakibatkan lolosnya protein pada urine
(albumin normalnya setelah terfiltrasi pada glomerulus, akan
diserap kembali oleh tubula proksimal menuju sirkulasi darah).
Hipoalbuminemia mengakibatkan perpindahan cairan intra
vaskuler ke ekstra sel. Kurang pengetahuan tentang diet pada gagal
ginjal, mengakibatkan pasien tidak mendapatkan asupan kalori-
protein yang tidak adekuat, selain dari efek penurunan nafsu
makan, mual dan muntah pada penderita gagal ginjal.
f. Kanker
Kanker pada anak yang tidak ditangani dengan tepat akan
menimbulkan kondisi malnutrisi akibat ketidakadekuatan konsumsi
makanan maupun gangguan pencernaan, absorpsi dan distribusi
makanan ke sel.
g. Malabsorpsi saluran cerna
Gangguan absorpsi yang dapat disebabkan oleh Penyakit Celiac,
Intoleransi laktosa, alergi protein susu, dan sindroma usus pendek
mengakibatkan defisiensi nutrisi walaupun asupan adekuat karena
menimbulkan percepatan pengosongan saluran cerna dan
penyerapan nutrisi yang tidak sempurna.

Faktor Resiko :
a. Pemberian diet MPASI yang tidak sesuai (air beras, bubur jagung,
molase, krimer non susu)
Diet yang hanya terdiri dari biji-bijian (beras, gandum dll)
menyediakan kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat, namun
rendah kandungan protein berkualitas tinggi. Sebagai contoh Tajin
(Rice Milk) mengandung 0,13g protein per 100g dibandingkan
dengan 0,5g protein per 100g pada ASI dan susu formula untuk
bayi (Katz et all, 2005).
b. Kurang pengetahuan dan pengabaian nutrisi oleh pengasuh
Buta huruf, kurang pengetahuan dan pengabaian dari pengasuh
dalam memberikan nutrisi yang adekuat untuk perkembangan anak
dapat menimbulkan kondisi malnutrisi terutama di kota besar.
c. Agama dan budaya dan dianut
Restriksi bahan makanan dianut oleh berbagai agama yang dianut
penduduk dunia, hal ini mempengaruhi asupan nutrisi anak.
Budaya yang dianut dimana orang dewasa makan terlebih dahulu
serta keyakinan yang dianut misal dalam kebutuhan mencari tenaga
non kesehatan saat mengalami sakit juga mempengaruhi status
nutrisi anak.
d. Kondisi sanitasi yang buruk
Pemberian makanan dalam botol (bottle feeding) dalam kondisi
sanitasi yang buruk dapat membuat anak dalam kondisi sakit.
e. Gangguan sosial dalam keluarga
Kondisi kekacauan dalam keluarga mempengaruhi kondisi
kesehatan dan status nutrisi anak yang belum mampu memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
(Hockenberry & Wilson, 2011)

2.2.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis malnutrisi bervariasi berdasarkan derajat lama
kehabisan protein dan energi.; umur penderita; dan modifikasi yang
ditimbulkan oleh kedaan defisiensi vitamin, mineral dan unsur hara terkait
a. Kwarshiorkor
Sangat kurus
Pengecilan Ekstremitas
Edema, ascites
Kulit bersisik dan kering, ada area depigmentasi
Dermatosis oleh karena defisiensi vitamin
Defisiensi Mineral (besi, kalsium, zinc)
Anemia, ruam kulit, kerontokan rambut, kerusakan respon imun;
mudah mengalami infeksi, gangguan pencernaan, penyembuhan
luka yang lambat, gangguan pertumbuhan.
Rambut kering, tipis, berubah warna dan bercabang, mudah
dicabut. (Hockenberry & Wilson, 2011)
Sembab, letargik, cengeng, mudah terangsang, pada tahap lanjut
apatis hingga koma
Pembesaran hati (kadang batas setinggi pusat, teraba kenyal, licin,
dengan batas yang tegas)
Perlemakan hati (disertai tanda fibrosis, nekrosis dan infiltrasi sel
mononukleus)
(Nurarif & Kusuma, 2016)

b. Marasmus
Sangat Kurus
Pengecilan/atrofi gradual jaringan tubuh (terutama lemak
subkutan)
Anak Nampak tua, kulit berkerut (keriput, turgor kulit jelek)
Rewel, apatis, menarik diri, lemah (letargi).
(Hockenberry & Wilson, 2011)
Akral dingin dan tampak sianosis.
Mata besar dan dalam
Pertumbuhan perkembangan terganggu
Perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas
Nadi lambat dan metabolisme basal menurun
Vena superficial nampak jelas
Ubun-ubun besar dan cekung
Tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol
Anoreksia, diare
(Nurarif & Kusuma, 2016).

Manifestasi klinis dari marasmus hampir sama dengan kwarshiorkor,


namun ada perbedaan :
Pada marasmus tidak ada edema akibat hipoalbuminemia atau
retensi natrium
Tidak nampak dermatosis akibat defisiensi vitamin
Depigmentasi kulit dan rambut sangat jarang ditemukan
Metabolisme lemak dan absorpsi lipid normal
Mempunyai ukuran kepala yang lebih kecil
Pemulihan yang lambat setelah mendapatkan penanganan.
(Hockenberry & Wilson, 2011)
2.2.4 Patofisiologi
Web of Causation Malnutrition Energy-Protein (Kwarshiorkor-Marasmus)

Diare Kronis Faktor Resiko :


1. Status Sosial Ekonomi rendah Kekurangan asupan Protein/Kalori
Proteinuria pada Nefrosis (kuantitatif dan kualitatif)
Penyakit hati kronis (gagal sintesa protein-kalori) 2. Kurang Pengetahuan
3. Sistem dukungan sosial tidak memadai Pemberian ASI dan MPASi yang tidak tepat
Malabsorpsi kalori/protein

Kekurangan Protein Kekurangan Kalori

KWARSHIORKOR
Gangguan Sintesis Sel Hipoglikemi

Kadar Protein Serum sel otak


Gangguan Glukoneogenesis sel jantung sel usus
rendah
perkembangan

Hipoalbuminemia glikogenolisis Pemecahan sel lemak Gangguan Penurunan Iritabel


Gangguan kontraksi lethargi
Pertumbuhan motilitas usus
Penurunan massa Metabolisme basal turun
Perubahan otot Penurunan Penurunan
osmolalitas CIV curah jantung absorpsi nutrisi
Gangguan Insulator panas tubuh
pembentukan MK : Intoleransi berkurang
sel darah aktifitas
Perpindahan CIV ke Penurunan
CES oksigenasi MK : Nutrisi
MK : Resiko Hipotermia
jaringan dan Kurang dari
sel kebutuhan
oedema Leukosit, Eritrosit, Hb

Imunitas turun Anemia


Ascites

MK : Oksigenasi sel
MK : Resiko Resiko menurun
Kerusakan Integritas Infeksi
kulit
Gangguan
perfusi
jaringan
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Kadar gula darah
Anak dengan gizi buruk, dianggap mengalami hipoglikemia bila kadar
glukosa darah <3 mmol/l atau 54 mg/dL. Pada unit pelayanan
kesehatan yang belum mampu memeriksa kadar glukosa darah, setiap
anak gizi buruk yang datang harus dianggap mengalami hipoglikemia.
(Depkes, 2011)
b. Protein serum (albumin, globulin, protein total)
Protein serum akan mengalami penurunan akibat intake yang tidak
adekuat (Nilai normal Protein total : 6,6-8,7g/dL, Albumin : 3,4-
4,8g/dL, Globulin : 3,2-3,9g/dL)
c. Elektrolit serum (Hiponatremia, Hipomagnesemia, Hipokalemia)
d. Uji darah lengkap, hitung jenis, kultur darah
e. Uji urine lengkap, kultur urine
f. Pemeriksaan Tinja, kultur tinja
g. EKG : mungkin didapatkan aritmia jantung akibat hiponatremia dan
hipokalemia.
h. Antropometri
1). BB/PB atau BB/TB <-3SD
2). LILA <11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan)
(Depkes, 2011)
2.2.6 Penatalaksanaan
a. Memberikan diet dengan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral
yang berkualitas tinggi
b. Perlindungan dari infeksi
c. Hidrasi yang adekuat
d. Perawatan kulit
e. Edukasi :
Pemberian vaksinasi untuk mencegah penyakit
Promosi nutrisi dan kesejahteraan ibu hamil dan menyusui
Dukungan dan partisipasi dengan kunjungan ke anak dan bayi
Sanitasi yang baik untuk mencegah terjadinya penyakit saluran
cerna pada anak.
f. Jika Malnutrisi disebabkan oleh diare persisten :
Rehidrasi dengan cairan dehidrasi oral yang juga menggantikan
elektrolit
Pemberian medikasi seperti antibiotik dan antidiare
Pemberian nutrisi adekuat baik dengan pemberian ASI yang benar
maupun pemberian diet penyapihan yang sesuai. (Perry, 2010)
Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 mengeluarkan suatu pedoman
penanganan malnutrisi sesuai pedoman tatalaksana anak dengan malnutrisi dari
WHO tahun 2003, dengan 10 Langkah utama penatalaksanaan gizi buruk yaitu :
1. Pengobatan atau pencegahan Hipoglikemia
Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak
sadar dan dapat menerima makanan usahakan memberikan makanan
sering/cair 2-3 jam sekali. Jika anak tidak dapat makan (tetapi masih dapat
minum) berikan air gula dengan sendok.
2. Pengobatan dan pencegahan Hipotermia
Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah <36 C. Pada keadaan
ini anak harus dihangatkan dengan cara ibu atau orang dewasa lain
mendekap anak ini di dadanya lalu ditutupi selimut atau dengan
membungkus anak dengan selimut tebal dan meletakkan lampu di
dekatnya. Selama masa penghangatan ini silakukan pengukuran suhu anak
pada dubur. Jika suhu anak sudah normal dan stabil tetap dibungkus
selimut/pakaian rangkap agar tidak jatuh kembali pada keadaan hipotermia
3. Pengobatan dan pencegahan kekurangan cairan.
Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak KEP berat dengan dehidrasi
adalah ada riwayat diare sebelumnya, anak sangat kehausan, mata cekung,
nadi lemah, tangan dan kaki teraba dingin, anak tidak buang air kecil
dalam waktu cukup lama. Tindakan yang dilakukan :
a. Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan tiap jam sekali
tanpa berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan
rehidrasi oral dengan member minum anak 50ml (3 sendok makan)
setiap 30 menit dengan sendok. Cairan rehidrasi oral khusus KEP
disebut ReSoMal (Rehidration Solution for Malnutrition)

Gambar 2.5 Resomal dalam kemasan


b. Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2x. jika anak tidak dapat minum,
lakukan rehidrasi intravena (infuse) RL/Glukosa 5% dengan NaCl
dengan perbandingan 1:1.
Bila tidak didapatkan Resomal maupun Formula tambahan, maka dapat dibuat
sendiri dengan komposisi :
Bahan/ komponen F-75 F-100 ReSoMaL
Susu skim (g) 25 85 -
Gula pasir (g) 100 50 25
Minyak sayur (g) 30 60 -
Oralit (sachet) - - 2,5
Mineral mix (ml) 20 20 20
Air s/d 1000 ml
Fase Stabilisasi Transisi dan rehabilitasi Gibur dengan
diare dan atau
dehidras
Tabel 2.1 Pembuatan Resomal dan formula tambahan
(sumber : http://gizi.depkes.go.id/mineral-mix-solusi-alternatif )
4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit
Pada semua KEP berat/gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit, diantaranya :
a. Kelebihan Natrium tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah
b. Defisiensi Kalium dan Magnesium
Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan untuk
pemulihan keseimbangan elektrolit diperlukan waktu minimal 2
minggu. Berikan makanan tanpa/rendah garam, untuk rehidrasi berikan
cairan elektrolit 1 liter yang diencerkan 2x (dengan penambahan 1 liter
air) ditambah KCl 4 gr dan 50 gr gula atau bila balita bisa makan
berikan bahan makanan yang banyak mengandung mineral bentuk
makanan lumat.
5. Lakukan pengobatan dan pencegahan infeksi
Pada KEP berat tanda yang umumnya menunjukkan adanya infeksi seperti
demam seringkali tidak tampak. Pada semua KEP berat secara rutin
diberikan antibiotik spektrum luas.
6. Pemberian makanan dengan perhatian :
Pemberian diat pada anak dengan KEP berat dibagi menjadi 3 fase :
a. Fase Stabilisasi (1-2 hari)
Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati,
karena keadaan faal anak yang sangat lemah dan kapasitas homeostatic
berkurang, pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak
dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energy dan protein
cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja. Formula khusus
seperti formula WHO-75/modifikasi/modisco yang dilanjutkan dan
jadual pemberian makanan harus disusun agar dapat mencapai prinsip
tersebut dengan persyaratan diet sbb : porsi kecil, sering, rendah serat
dan rendah laktosa, energi 100kkal/kg/hari, protein 1-1,5gr/kgbb/hari,
cairan 130 ml/kgbb/hari (jika ada edema berat100 ml/kgbb/hari), bila
anak mendapat ASI teruskan, dianjurkan member formula WHO
75/pengganti/Modisco dengan gelas, bila anak terlalu lemah berikan
dengan sendok/pipet. Pemberian formula WHO 75/pengganti/Modisco
atau pengganti dan jadual pemberian makanan harus sesuai dengan
kebutuhan anak. Perhatikan pula masa tumbuh kejar balita.

Gambar 2.6 Kemasan F-75 WHO


7. Raih Tumbuh Kejar
b. Fase Transisi (minggu II)
Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara perlahan
untuk menghindari resiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila
anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak
Ganti formula khusus awal (F75 WHO energi 75kkal dan protein
0,9-1 gr/100 ml) dengan formula khusu lanjutan (F100 WHO
energi 100 kkal dan protein 2,9 gr/100 ml) dalam jangka waktu 48
jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asal
kandungan energi dan protein sama.
Naikkan dengan 10 ml setiap kali sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30ml/kgbb/kali
pemberian (200 ml/kgbb/hari).

Gambar 2.7 Kemasan F-100


c. Fase Rehabilitasi
Berikan Formula WHO F135/pengganti/modisco 1 dengan
jumlah tidak terbatas dan sering dengan kandungan energi 150-220
kkal/kgbb/hari ; Protein 4-6 gr/kgbb/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI ditambah dengan
makanan formula karena energy dan protein ASI tidak akan
mencukupi untuk tumbuh kejar
Secara Perlahan dikenalkan pada makanan keluarga
8. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro
Semua pasien KEP berat mengalami kurang vitamin dan mineral,
walaupun anemia biasa terjadi, jangan tergesa gesa memberikan preparat
besi (Fe). Tunggu sampai anak mau makan dan BB nya mulai naik (pada
minggu II). Pemberian Fe pada masa stabilisasi dapt memperburuk
keadaan infeksinya. Berikan setiap hari :
Tambahan multivitamin lain
Bila BB anak mulai naik berikan zat besi dalam bentuk tablet besi
folat/sirup besi
Bila anak diduga menderita cacingan, berikan pirantel pamoat
dosis tunggal
Vitamin A oral 1x
Dosis tambahan disesuaikan dengan buku pedoman pemberian
kapsul vitamin A.
9. Berikan stimulasi dan dukungan emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
oleh karena itu berikan kasih saying, ciptakan lingkungan menyenangkan,
lakukan terapi bermain terstruktur 15-30 menit, rencanakan aktifitas fisik
setelah sembuh, tingkatkan keterlibatan ibu.
10. Persiapan untuk tindak lanjut di rumah
Bila BB anak sudah berada di garis warna kuning, anak dapat dirawat di
rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas.
Pedoman Penatalaksanaan Anak dengan Gizi Buruk menurut Kemenkes RI, 2011 :

Tata laksana pemeriksaan gizi buruk kementerian Kesehatan RI, 2011

Alur pelayanan gizi buruk kementerian Kesehatan RI, 2011


Jadwal pengobatan anak gizi buruk, Kementerian Kesehatan RI, 2011

11. Komplikasi
a. Hipotermia
b. Kerusakan kulit
c. Infeksi
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
e. Kegagalan pertumbuhan dan perkembangan.
f. Kebutaan
g. Kematian
DAFTAR PUSTAKA

Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk Buku 1, Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk Buku 2, Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Ball, Jane W., dan Bindler Ruth C., 2008. Pediatric Nursing : Caring for Children
4th edition, New Jersey : Pearson Prentice Hall
Broyles, Bonita E., 2009 Clinical companion for pediatric nursing. New York :
Delmar
Burns, Catherine E., Dunn, Ardys M., Brady, Margaret A., Starr, Nancy B.,
Blosser, Catherine G., 2013. Pediatric Primary care 5th edition, Philadelphia
: Elsevier.
Hockenberry, Marilyn J., & Wilson, David. 2011 Nursing care of infants and
children, Missouri : Elsevier
Hockenberry, Marylin J.,2009. Clinical Companion for Wongs essential of
pediatric nursing, 8Th edition Missouri : Mosby Elsevier
http://gizi.depkes.go.id/mineral-mix-solusi-alternatif diakses pada 26 september
2016 pukul

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/1-dari-8-penduduk-dunia-
mengalami-gizi-buruk diakses pada 26 september 2016 pukul 11.35
http://www.unicef.org/health/index_43834.html diakses pada 26 september 2016
http://www.unicef.org/health/index_92007.html diakses pada 26 september 2016
http://www.unicef.org/nutrition/index_faces-of-malnutrition.html diakses pada 26
september 2016
http://www.who.int/bulletin/volumes/94/9/15-162867/en/
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs178/en/# diakses pada 22 September
2016 pukul 13.35 WIB
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/ diakses pada 22 September
2016 pukul 13.49 WIB
James, Susan Rowen & Ashwill, Jean Weiler. 2007. Nursing Care of Children :
Principles and Practices, 3rd edition. Missouri : Elsevier.
Nurarif, Amin H., & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 1
Yogyakarta : Mediaction
Nurarif, Amin H., & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 2
Yogyakarta : Mediaction
Perry, Shannon E. et al. 2010. Maternal child nursing care 4th edition. Missouri :
Elsevier
Pott, NL., and Mandleco BL., 2012. Pediatric Nursing : Caring for Children and
Their Families. New York : Delmar
Sodikin, 2011 Asuhan Keperawatan Anak : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
hepatobilier. Jakarta : Salemba Medika
Towle, Marry Ann & Adams, Ellise D., 2008. Maternal-child nursing care. New
Jersey : Pearson Prentice Hall

Anda mungkin juga menyukai