Anda di halaman 1dari 3

A.

AJARAN TASAWUF AKHLAQI

Bagian terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan lagsung


dengan tuhan sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat
Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi,
pengalaman Nabi dalam Isra Miraj, misalnya merupakan sebuah contoh pengalaman
rohani. Ia adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi.
Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani. Nabi itu dalam dimensi,
skala dan format yang sepadan dengan kemampuannya. Pertemuan dengan Tuhan
merupakan puncak kebahagian yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagi sesuatu yang
tidak pernah terlihat oleh mata.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan
seseorang kehadirat Allah hanyalah sengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia
merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Maha Suci, segala sesuatu
itu harus sempurna dan suci, sekalipun tingkat kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi
menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya.
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan
pendidikan dan latihan mentalyang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama, teori
dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan kata lain untuk berada dihadirat Allah dan
sekaligus mencapai tingkat kebahagian yang optimum, manusia harus lebih dulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa
raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak
mulia.
Sejalan dengan tujuan hidup tasawauf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan
yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan
buruk sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangan terhadap kehidupan
duniawi. Falsafah hidup seseorang tentang kehidupan material merupakan alat ukur bagi
baik-buruknya sikap mental atau rohaninya. Kaum sufi berpendapat bahwa kenikmatan
hidup duniawi adalah bukan tujuan, tetapi sekedar jembatan. Oleh karena itu, dalam
rangka pendidikan mental yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai atau
menghilangkan penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak
terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber
utama dari kerusakan akhlak. Seandainya menurut Al-Ghazali, bukan karena rasa
ketergantungan manusia pada kemewahan harta benda. Pasti tidak akan terjadi kerusakan
akhlak. Kalau bukan adanya kompetisi dalam mengejar atribut-atribut kebesaran duniawi,
tentu tidak aka nada tindakan tindakan manipulasi, korupsi, fitnah, ria, sombong, takabur
dan sikap mental lain yang sejalan dengan itu.
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental spiritual, metode yang ditempuh
para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Ini berarti
melepaskan kesenangan duniawi untuk mencintai Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan
adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi keunggulan seseorang bukanlah diukur dari
tumpukan harta yang dimilikinya, bukan pula dilihat dari pangkat yang dijabatnya, dan
bukan pula dari otoritas yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadi yang
diterapkannya.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik
diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Itulah sebabnya, pada tahap-
tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan
hawa nafsu: menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah dan bila mungkin mematikan
hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi sistem pembinaan akhlak
disusun sebagai berikut:

I. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak
tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap timbulnya akhlak jelek
lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan
jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha
melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Dalam menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan
hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang moderat berpendapat
bahwa rasa kebencian terhadap kehidupan duniawi cukup sekedar tidak melupakan
tujuan hidupnya dan tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian pula dengan
pematian hawa nafsu ini, cukup sekedar dikuasai melalui pengaturan disiplin
kehidupan. Aliran ini tidak meminta agar manusia secara total melarikan diri dari
problema dunia dan tidak pula menyuruh menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini
tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya dengan menekan dan mengontrol
dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan.
Sementara itu sekolompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan
bahwa kehidupan duniawi benar benar sebagai racun pembunuh kelangsungan cita
cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karena nafsu yang
bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan,
yaitu memperoleh kebahagian spiritual yang hakiki. Bagi mereka cara memperoleh
keridhoan Tuhan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material.
Pengingkaran ego dengan cara merasapkan diri dari pada kemauan Tuhan adalah
perbuatan utama.
Sikap mental yang tidak sehat sebenarnya diakibatkan oleh keterikatan kepada
kehidupan duniawi. Bentuk keterikatan itu, menurut pandangan sufi bermacam
macam, antara lain yang dipandang sangat berbahaya adalah sikap mental riya.
Sifat yang ingin disanjung dan diagungkan, menurut Al-Ghazali sulit untuk menerima
kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima keagungan Allah. Sebab, hasrat ingin
disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari adanya perasaan paling unggul, rasa
superioritas dan ingin menang sendiri. Kesombongan dianggap sebagai dosa besar
kepada Allah. Oleh karena itu Al-Ghazali menyatakan bahwa kesombongan sama
dengan penyembahan diri, satu macam dari politeisme.

Anda mungkin juga menyukai