Anda di halaman 1dari 22

REFERAT NEUROLOGI

PENDEKATAN KLINIS ANAK DENGAN KEJANG

Oleh:
Fernaldi Anggadha
109103000020

Pembimbing:
dr. Deddy Ria Saputra, SpA

MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang merupakan keadaan dimana adanya berubahnya aktivitas motorik dan perilaku
diakibatkan oleh aktivitas elektrik abnormal.1 Kejang merupakan suatu kedaruratan
neurologi yang banyak dijumpai di instalasi gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di
bawah 16 tahun pernah mengalami kejang selama hidupnya. Kebanyakan kejang pada
anak diprovokasi oleh salah satunya keadaan ekstrakanial, misalnya demam tinggi,
infeksi, trauma kepala, sinkop, hipoksia, dan toksin. Kejang sederhana, dapat berhenti
sendiri dan memerlukan pengobatan lanjutan, atau gejala awal dari penyakit berat, atau
cenderung menjadi status epileptikus.1
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini
kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
Tatalaksana kejang meliputi stabilitas pasien, identifikasi dan pengobatan penyebab akut,
serta pengamatan lanjutan yang baik.2

Tabel 1. Membedakan Kejang dan Bukan Kejang dari keadaan klinis (Smith DKK, 1998)
Keadaan Kejang Bukan kejang
Onset tiba-tiba Gradual
Kesadaran Terganggu tidak terganggu
Gerakan ekstrem. Sinkron Asinkron
Sianosis Sering Jarang
Gerakan abnormal mata Selalu Jarang
Serangan khas Sering Jarang
Lama detik-menit beberapa menit
Dapat diprovokasi Jarang hampir selalu
Ictal EEG abn Selalu tidak pernah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Lepasnya muatan listrik di otak secara berlebihan akibat kelainan anatomi, fisiologi,
biokimia, atau gabungannya itulah yang disebut dengan kejang. Manifestasi klinis intermiten
khas pada kejang adalah gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik yang
abnormal, kelainan perilaku, dan gangguan sensoris atau otonom.2

2.2. Epidemiologi
Sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian kejang dalam 16 tahun
pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang berusia kurang dari tiga
tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak mendapatkan kejang dan
30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsy.

2.3. Klasifikasi Kejang

Berdasarkan rekomendasi dari Commision of Classification and Terminology of


International League Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981dan tahun 1989, dan rekomendasi
tersebut didiskusikan pada tahun 2010, klasifikasi kejang sebagai berikut:

I. Kejang Parsial (fokal, lokal) 2

A. Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal. 2


1. Dengan gejala motorik
a. Fokal motorik tidak menjalar : kejang sebatas pada satu bagian tubuh
saja.
b. Fokal motorik menjalar : kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
c. Versif : kejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
d. Postural : kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
e. Disertai gangguan fonasi : kejang disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitkan
yang disertai vertigo.
a. Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
b. Visual: terlihat cahaya
c. Auditoris: terdengar sesuatu
d. Gustatoris: terkecap sesuatu
e. Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, memberat, piroleksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a. Disfasia : gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat.
b. Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah
mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa
melihatnya lagi.
c. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
f. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara
musik, melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.
B. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.
1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran
b. Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku
yang timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan
mengunyah-nguyah, menelan-nelan, wajah muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-
megang kancing baju, berjalan dan berbicara tak menentu.
2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak
serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
a. Hanya dengan penurunan kesadaran
b. Dengan automatisme.
C. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik)
a. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang
generalisata
b. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang
generalisata
c. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks lalu
berkembang menjadi kejang generalisata.
II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)
1. Kejang lena (Absence)
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka tampak seperti
melamun dan pandangan kosong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi
bila diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama -1/2 menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
a. Hanya penurunan kesadaran
b. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot
lainnya bilateral.
c. Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak
mengulai.
d. Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang
e. Dengan automatisme
f. Dengan komponen autonom
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri atau kombinasi.
2. Kejang lena tidak khas

Dapat disertai:

a. Gangguan tonus yang lebih jelas


b. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
A. Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulang-ulang. Kejang ini
dapat terjadi pada semua umur.
B. Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang klojot.
Dijumpai terutama pada anak.
C. Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,
juga terdapat pada anak.

D. Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira -1/2 menit diikuti kejang klojot di seluruh badan.

Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam


beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, dan nyeri kepala.

E. Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini
terutama tejadi pada anak-anak.
III. Kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

2.4. Etiologi

Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis
akut, exantema subitum, bronchitis, dan infeksi saluran kemih. Selain itu juga infeksi diluar
susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi DPT
(pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.

Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, yaitu: 3

1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus (t.u shigellosis,
salmonellosis) terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas
6. Gabungan dari keseluruhan faktor diatas
Kejang
Kejang

Infeksi
Infeksi non-Infeksi
non-Infeksi

Intrakranial
Intrakranial Ekstrakranial
Ekstrakranial gangguan
gangguan metabolik
metabolik

kejang demam
kejang demam
meningitis
meningitis gangguan elektrolit
gangguan elektrolit
sederhana
sederhana

kejang demam
kejang demam gangguan
gangguan
ensefalitis
ensefalitis kompleks
kompleks kardiovaskular
kardiovaskular

meningoensefalitis
meningoensefalitis keganasan
keganasan

epilepsi
epilepsi

Infeksi viral paling sering ditemukan pada kejang demam. Hal ini mungkin
disebabkan karena infeksi viral memang lebih sering menyerang pada anak dan mungkin
bukan merupakan suatu hal yang khusus.3

2.5. Patofisiologi

Stimulasi Mekanis /
Sel Kimiawi
Glia Na+ POMPA
K+ K +
ION
Jejas /kel.Gen Gangguan
LEPAS metabolik
Na K ATPase
MUATAN
BERLEBIHAN Oksigen
Eksitasi Glukose
Asetil kolin
As. glutamat
Zat Transmiter
Inhibisi
GABA
Gliserin
Tidak menjalar ke Menjalar sampai Menjalar ke
sekitar jarak tertentu seluruh
Kejang (-) (kejang fokal) otak (kejang
umum)
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa
glukosa yang didapat dari proses metabolisme. Terdapat 4 sumber energi otak adalah glukosa
yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na rendah.5

Keadaan sebaliknya terjadi di daerah luar sel neuron, karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut
Potensial Membran Sel Neuron. Menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan
energi dan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.5 Keseimbangan potensial
membran sel sangat dipengaruhi oleh:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.

Secara umum, kejang terjadi kerena menurunnya potensial membran sel saraf akibat
proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan
terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.6

Beberapa penelitian menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan


potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-
waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah
cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari
permukaan otak selama tidur. 6

Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri
atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis,
ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari
asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf.
Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini
merupakan mekanisme kejang fokal yang biasanya simptomatik.6
Pada kejang tonik-klinik atau grand mal, secara primer muatan muatan listrik
dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti centrecephalic. Inti
merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemsnikal.
Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik menentukan derajat kesadaran.
Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, dimana
etiologinya belum diketahui, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik
secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang
seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima
impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.6

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian


rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti
intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada
otot skeletal yang dikenal sebagai petit mal.6

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Pada seorang anak yang
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang
dewasa hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun natrium melalui membran, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi
kejang. 1
Demam

(kenaikan suhu tubuh 1oC)

Metabolisme kebutuhan O2
basal (10-15%) (20%)

Perubahan keseimbangan
(membran sel neuron)

Difusi melalui membran


(ion K+ -------- ion Na+)

Lepas muatan listrik

Kejang

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40oC.1 Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan
Natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
anak dengan ambang kejang rendah. 4

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan enrgi ontuk kontraksi otot skelet
yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak. 4

Dari penjelasan diatas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak
pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vascular dan udem
otak serta kerusakan sel neuron. 4 Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa
terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama.
Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.4

2.6. Diagnosis

2.4.1. Anamnesis
Anamnesis merupakan kunci diagnosis kejang. Sebaiknya keterangan

diperoleh dari orang yang telah beberapa kali menyaksikan kejang yang dialami

pasien. Jika pasien cukup umur, hendaknya juga dilakukan autoanamnesis.3

Manifestasi klinis intermiten yang khas pada kejang adalah :

Gangguan atau kehilangan kesadaran

Aktivitias motorik yang abnormal

Kelainan perilaku

Gangguan sensoris atau otonom

Pada anamnesa, harus ditanyakan saat pre-iktal, saat iktal, dan pos-iktal.
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :

Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan


stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau
bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara suara,
mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak
mengkonsumsi obat obatan tertentu?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang
demam sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu
sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :

Berapa lama kejang berlangsung?


Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau
tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau
anak tampak seperti tidak terjadi apa apa?
Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus
diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak
anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda tanda trauma
kepala, serta tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher
apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh
juga penting dilakukan.
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang
tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam
mempertajam diagnosis dari kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang
dapat di lakukan adalah :

1. Lumbal pungsi

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6-6,7%.

Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan


diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu pungsi lumbal.

2. Elektroensefalografi
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-anak dengan kejang
demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas yang rendah pada anak di bawah
usia tiga tahun dengan kejang dan peran yang terbatas dalam diagnosis
gangguan ensefalopatik akut
3. Pencitraan

Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang demam sederhana,


tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis dari gangguan neurologis,
misalnya mikrosefali atau makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada,
defisit neurologis post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau
ketika ada kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang yang dicurigai
bukan kejang demam Magnetic Resonance Imaging lebih sensitif
dibandingkan Computed Tomography untuk mendeteksi proses intrakranial
yang dapat menyebabkan kejang..
2.7. Diagnosis Banding
Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus segera
menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah yang dialami
seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah beberapa kondisi
pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :

1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita
tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya terjadi
pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang terjadi secara
tiba tiba, kapan saja, dan dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak anak,
biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells terjadi pada
5% anak anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe dari Breath
holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell dan pallid spell.
Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan napas, sianosis,
rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan gerakan seperti kejang pada
ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita
tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang abnormal
dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi. Tics adalah
gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Tics
muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan kemunculannya.
Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang berlangsung selama
beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal. Distonia akut ditandai
dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter dengan postur yang
abnormal dan wajah yang meringis.
1. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal movement
disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang sebenarnya dan sering
terjadi pada anak anak dengan riwayat epilepsi.
2. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum masuk
sekolah. Anak tiba tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan menangis, berteriak
dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan tidak dapat mengingat
kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat ditemukan pada anak usia
sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa tujuan dan disertai dengan
pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke tidurnya. Narcolepsy sering
ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan kesadaran disertai rasa kantuk tak
tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot
secara tiba tiba

2.8. Tatalaksana

Beberapa obat yang digunakan dalam penanganan jangka panjang adalah sebagai berikut :
Antipiretik

o Antipiretik tidak mencegah kejang demam. Penelitian menunjukkan tidak ada


perbedaan dalam pencegahan berulangnya kejang demam antara pemberian
asetaminofen setiap 4 jam dengan pemberian asetaminofen secara sporadis.
Demikian pula dengan ibuprofen.

o Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali 4x sehari tidak boleh > 5 kali per hari.

o Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali 3-4 kali/hari.

Antikonvulsan

o Diazepam rektal 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam, jika suhu >38,5oC

o Diazepam IV maks sekali pemberian 10 mg dengan kecepatan 2 mg/menit,


dapat diberikan 2-3 kali dengan interval 5 menit.

o Fenitoin IV dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB). Sediaan


IV diencerkan dengan 1 ml NaCL 0,9% per 10 mg (larut dan tidak
menggumpal) kecepatan pemberian IV maksimum 50 mg/menit.

o Fenobarbital IV dosis inisial maksimum 600 mg (30 mg/kgBB). Kecepatan


pemberian maksium 30 mg/menit. Jika kejang sudah berulang berkali-kali
lebih dari 6 kali per hari.

o Midazolam IV bolus 0,2 mg/kgBB (perlahan), kemudian drip 0,02-0,4


mg/kg/jam. Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.

Pengobatan rumatan

o Indikasi pemberian pengobatan rumatan :

Kejang lama >15 menit

Ada kelainan neurologis sebelum atau setelah kejang

Kejang fokal
Kejang berulang dalam waktu 24 jam

Terjadi pada bayi < 12 bulan

Kejang demam terulang 4x dalam setahun

o Fenobarbital 34 mg/kgBB/hari 1-2 dosis atau asam valproat 15 40


mg/kgBB/hari, setiap hari efektif menurunkan risiko berulangnya kejang.

o Efek samping dari fenobarbital seperti gangguan prilaku dan kesulitan belajar.

o Efek samping dari asam valproat pada anak < 2 tahun, bisa menyebabkan
gangguan fungsi hati.

o Hanya diberikan pada kasis selektif dan dalam waktu jangka pendek.

Efek Samping Obat

Fenobarbital berupa ruam kulit dan diskrasia darah (jarang). Kadang-kadang


o

terdapat mual, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian

kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan

intelektual, penyakit tulang metabolik dan gangguan jaringan ikat.

Fenitoin memiliki banyak efek samping, seperti ruam, sindrom Steven-


o

Johnson, limfadenopati, penyakit seperti lupus, hiperplasia gusi, hirsutisme,

anemia megaloblastik, polineuropati dan rakitis (terutama pada politerapi).

o Diazepam : hipotensi, respiratory disstress

2.9. Prognosis

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.


Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal.

Kemungkinan mengalami kematian

Kematian karena kejang demamtidak pernah dilaporkan.

Kemungkinan mengalami kejang berulang

Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:

Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif
normal

Riwayat demam yang sering

Kejang pertama adalah complex febrile seizure

Risiko berulangnya kejang demam adalah 10% tanpa faktor risiko, 25% dengan 1
faktor risiko, 50% dengan 2 faktor risiko, dan dapat mencapai 100% dengan 3 faktor risiko.
Dan kemungkinan terjadinya epilepsy pada anak dengan factor resiko diatas adalah >9% bila
dibandingkan dengan 1% anak dengan kejang demam tanpa factor resiko.1

Faktor risiko terjadinya epilepsi

Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.

Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung


Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai
4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian
obat rumat pada kejang demam.

2.10. Edukasi Kepada Orang Tua


Meyakinkan bahwa kejang umumnya memiliki prognosis baik, kembali pada keadaan
pasien

Memberi tahu tatacara penanganan kejang ketika di rumah prehospital

Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali; biasanya pada pasien kejang


demam

Menjelaskan tentang sebab dan akibat dari kejang

Mejelaskan efek samping terapi kejang

Bila kejang terjadi kembali :

Tetap tenang dan tidak panik pada setiap kejang

Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

Bila sadar, posisikan terlentang dan kepala miring yang bertujuan agar lidah tidak
terjatuh ke belakang dan menghambat jalan nafas serta tidak tersedak oleh ludah
pasien sendiri.

Jika pasien menggigit lidahnya sendiri, tidak diperbolehkan memasukkan apapun


kedalam mulut pasien karena akan mengakibatkan kerusakan, obstruksi, dan tersedak

Bersihkan jalan nafas untuk mencegah adanya sumbatan yang menghambat jalan
nafas

Ukur suhu, observasi dan catat lama, dan bentuk kejang

Tetap bersama pasien selama kejang

Berikan diazepam rektal dan jangan berikan jika kejang berhenti

Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang terjadi tanpa dibatasi oleh waktu
DAFTAR PUSTAKA

1. Johnston, Michael V. Nelson Textbook of Pediatrics : Seizure in Childhooh, Febrile


Seizure. 18th edition. Saunders Elsevier Inc, Philadelphia. 2007.

2. Rudzinski, Leslie A. Jerry J. The Classification of Seizures and Epilepsy Syndromes.


Emory University School of Medicine, Mayo Clinic Florida. U.S.A. 2011.
3. Pusponegoro, Hardiono D, Widodo, Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus penatalaksanaan
kejang. IDAI. Jakarta. 2006.

4. Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen, 1995.

5. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Agustus 2007.
6. Shorvon S. Status epilepticus. Program and abstracts of the 17th World Congress of
Neurology; June 17-22, 2001; London, UK. J Neurol Sci. 2001;187(suppl 1):S213

Anda mungkin juga menyukai