PENDAHULUAN
Bencana dapat diakibatkan baik oleh alam maupun manusia. Kondisi alam
memegang peran penting akan timbulnya suatu bencana, termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan luas
keseluruhan lima juta kilometer persegi. Terletak pada pertemuan tiga lempeng
tektonik utama dunia yang memiliki setidaknya 400 gunung berapi dengan 150
diantaranya adalah gunung berapi aktif. Disamping itu iklim tropis membuat
beberapa bagian daerah basah oleh curah hujan yang melimpah sehingga
beresiko timbul bencana banjir dan longsor. Sebaliknya pada daerah lain dapat
mengalami kekeringan. Faktor manusia juga turut berperan menimbulkan
bencana. Hal ini sering menyebabkan banjir ataupun longsor akibat
penggundulan hutan, kecelakaan lalu lintas dan terorisme.
1
dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol (1). Proses DVI
meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik.
Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari fingerprint
(FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri dari
medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi
adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary
identifiers.
Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat
ataupun, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu
dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan identifikasi
dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah
yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut akan menghasilkan keadaan
jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah
berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun
kombinasi dari bermacam-macam keadaan.
2
pada kejadian kapal tenggelam dan pesawat udara yang terbakar didarat. Jenazah
korban tenggelamnya KM Senopati Nusantara, jenazah mengalami pembusukan
lanjut yang berarti disertai dengan tidak utuhnya jaringan tubuh. Sebaliknya pada
jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737-400
jurusan Jakarta-Yogyakarta, jenazah ditemukan terpanggang menjadi separuh
arang. Mempelajari dua kasus yang berbeda tersebut dapat dijadikan dasar dalam
menentukan prioritas identifikasi primer akibat perbedaan keutuhan jaringan
tubuh sesuai dengan modus kejadian kecelakaan. Perbedaan ini akan sangat
mempengaruhi pelaksanaan fase rekonsiliasi dalam upaya pelepasan dan
penyerahterimaan jenazah kepada keluarga yang bersangkutan. Meskipun
terdapat skala prioritas pemeriksaan namun prosedur dan tahap pemeriksaan
harus dikerjakan seluruhnya baik pemeriksaan primer dan pemeriksaan sekunder.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
3
2. Bagi penulis, sebagai sarana untuk melatih kepekaan dalam upaya pembelajaran
tentang identifikasi korban yang sudah tidak dapat dikenali melalui pemeriksaan
non dental yang dituangkan dalam makalah sebagai suatu upaya meningkatkan
daya kreatifitas, khususnya dalam menuangkan gagasan, pendapat, pikiran, dan
perasaannya melalui tulis menulis.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
kimiawi merupakan jaringan paling stabil dan paling tahan terhadap degradasi
dan dekomposisi, sehingga membuat gigi dapat bertahan untuk periode yang
lama dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya. Gigi juga memiliki
ketahanan terhadap temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam
identifikasi pada korban terbakar. Hal ini disebabkan sedikitnya jaringan
organik yang dikandungnya, terutama lapisan enamel, yang merupakan
jaringan paling keras pada tubuh manusia.
2.1.1.1 DNA
Terjadinya pewarisan sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke anak
turunannya adalah akibat terjadinya peleburan kromosom dari sel
6
sperma dan sel telur. Masing- masing sel kelamin memiliki 22 autosom
dan satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin
sekaligus menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel
telur yang telah dibuahi, bakal calon anak atau zigot, mengandung dua
set gen dalam kromosom dengan demikian untuk setiap pasangan
kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah
dan satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan
karakter tubuh kita yang mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan
karakter tubuh kita yang mirip ibu (Griffiths dkk., 1996).
Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa
(deoksiribosa), gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk
rantai panjang dan berpasangan secara teratur seperti terlihat pada
gambar 1.
Semua kandungan DNA yang ada pada sel dinamakan genom. Genom
manusia terdiri dari genom inti sel (nukleus) dan genom mitokondria.
Genom mitokondria (ekstranuklear), mengandung lebih banyak
7
kromosom, sehingga jika pada kromosom inti, masing-masing hanya
terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria tersusun dari ribuan
copy (Nitul Jain, 2013). Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada
gen di dalam mitokondria biasanya diwariskan dari ibu ke anak karena
mitokondria seorang manusia adalah hasil pewarisan dari ibu. Hal ini
disebabkan mitokondria lebih banyak ditemukan di dalam sel telur
daripada sperma. Setelah fertilisasi mitokondria dari spermatozoa juga
akan mati sehingga hanya meninggalkan mitokondria dari sel telur
(Griffiths dkk., 1996).
8
pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus- kasus
forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa
saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan
sampel tes sidik DNA (Lutfig and Richey, 2000).
9
Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang dengan
orang lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk
menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan
sampel dari darah, tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada
kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan
tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat
suatu daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah
menemukan marker di dalam sampel DNA dengan mendesain
sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing akan mencari dan
berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya pada
sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan
menghasilkan pola yang berbeda antara satu individu dengan individu
yang lain. Para ahli forensik membandingkan profil DNA ini untuk
menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada
bukti. Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap
individu, jika dua sampel DNA mirip pada empat atau lima daerah,
sampel tersebut mungkin berasal dari individu yang sama. jika profil
sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan pemilik DNA
yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang ditemukan
sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada sampel
bukti (Marks dkk, 1996).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan
DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel
karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria
dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus
kriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang
bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti
jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti
10
sel yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam
mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok. Epitel
ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak. Misalnya
dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang
sulit dikenali diambil sekuens genetikanya.
11
bukti yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami
degradasi maka metode yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks
dkk. 1996).
RFLP adalah salah satu aplikasi analisis DNA asli pada penelitian
forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik analisis DNA yang
lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena
membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel
yang bisanya diperoleh juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor
lingkungan, seperti kotoran atau jamur, tidak dapat digunakan untuk
RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi
fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi
dari sampel yang kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction
endonuclease. Enzim ini memotong DNA pada pola sekuen tertentu
yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi yang
dikenali oleh enzim restriksi) (Nitul Jain, 2013).Ada atau tidaknya sisi
yang dikenali ini di dalam sampel DNA menghasilkan fragmen DNA
dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan fragmen
tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%.
Fragmen DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada
membran nilon dan dihibridisasi spesifik dengan pelacak (probe) DNA
berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan sekuen DNA
komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya muncullah pita-
pita yang unik untuk setiap individu (Marks dkk., 1996).
12
Jumlah pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika
jumlah pitanya berkurang akibat terdegradasi secara statistik
menurunkan taraf kepercayaan. Semakin banyak pita yang cocok akan
semakin meyakinkan. Oleh karena itu pada kasus ini dapat digunakan
teknik sidik DNA dengan memperkuat (mengamplifikasi) daerah
spesifik pada DNA yang disebut mikrosatelit dengan satuan
pengulangan yang dinamakan Simple Tandem Repeat (STR). Analisis
dengan PCR pada daerah STR tersebut dapat mengatasi masalah
tersebut. Teknik ini dapat menghasilkan data dalam waktu singkat dan
sangat cocok untuk otomatisasi (Yeni Hartati dan Iman Maksum,
2004).
Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari kromosom sel
tubuh (autosom) yang mengandung area STR (short tandem repeats),
suatu area ini tidak memberi kode untuk melakukan sesuatu. STR
inilah yang bersifat unik karena berbeda pada setiap orang.
Perbedaannya terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan
urutan pengulangan STR. Pola STR ini diwariskan dari orang
tua.Aplikasi teknik ini misalnya pada tes DNA untuk paternalitas
13
(pembuktian anak kandung) yaitu tes DNA untuk membuktikan apakah
seorang anak benar-benar adalah anak kandung dari sepasang suami
dan istri. Cara memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil
STR dari anak. Selanjutnya, di laboratorium akan dianalisa urutan
untaian STR ini apakah urutannya sama dengan seseorang yang
dijadikan pola dari seorang anak. Urutan tidak hanya satu-satunya
karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat nomor kromosom.
Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak ditemukan bahwa pada
kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT dengan
pengulangan 2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku orang tua
kandungnya juga memiliki pengulangan sama pada nomor kromosom
yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2 orang itu memiliki
hubungan keluarga. Seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan
darah jika memiliki urutan dan pengulangan setidaknya pada 16 STR
yang sama dengan kelurga kandungnya, maka kedua orang yang dicek
memiliki ikatan saudara kandung atau hubungan darah yang dekat.
Jumlah ini cukup kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral
DNA dalam tubuh kita yang berjumlah miliaran. Sementara itu,
Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set dari 13
daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS merupakan program
software yang mengoperasikan database dari profil DNA local, daerah
dan nasional dari tersangka, bukti tindak kriminalitas yang belum
selesai kasusnya dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu
mempunyai 13 loci yang sama pada profil DNAnya adalah sangat
jarang (Yeni Hartati dan Maksum, 2004).
14
diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan menggunakan RFLP,
PCR, dan STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan
menggunakan ekstrak DNA dari organela sel yang lain, yaitu
mitokondria (Nitul Jain, 2013). Contohnya pada sampel biologis yang
sudah berumur tua sehingga tidak memiliki materi nukleus, seperti
rambut, tulang dan gigi, maka karena sampel tersebut tidak dapat
dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat dianalisa
dengan menggunakan mtDNA. Pada investigasi kasus yang sudah
sangat lama tidak terselesaikan penggunaan mtDNA sangatlah
dibutuhkan (Marks dkk., 1996).
15
hilang atau menentukan identitas seseorang dengan membandingkan
DNA mitokondria korban terhadap DNA mitokondria saudaranya yang
segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA mitokondria mempunyai laju
polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali
lebih cepat dari DNA inti. D-loop merupakan daerah yang mempunyai
tingkat polimorfisme tertinggi dalam DNA mitokondria dimana
terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat variasi terbesar antara
individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Karena itu, dalam penentuan identitas seseorang atau studi forensik
dapat dilakukan hanya dengan menggunakan daerah D-loop DNA
mitokondria saja (Yeni Hartati dan Maksum, 2004).
16
mendokumentasikan, mencari kembali dokumen dan membuat
keterangan sidik jari seseorang. Data sidik jari adalah rekaman jari
tangan atau telapak kaki yang terdiri atas kumpulan alur garis-garis
halus dengan pola tertentu, baik yang sengaja diambil dengan tinta
atau dengan cara lain maupun bekas yang tertinggal pada permukaan
benda karena terpegang atau tersentuh oleh jari tangan atau telapak
kaki.
17
berbeda-beda. Walaupun garis-garis alur tangan terbentuk berbeda-
beda, tetapi sifat-sifat khusus dari sidik jari yang disebut dengan
minutiae adalah unik untuk setiap individu. Ciri-ciri ini membentuk
pola khusus yang terdiri dari terminasi atau percabangan dari alur.
Untuk memeriksa apakah dua sidik jari berasal dari jari yang sama
atau bukan, para ahli mendeteksi minutiae tersebut menggunakan
Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis yang akan mengambil dan
membandingkan ciri-ciri tersebut untuk menentukan suatu
kecocokan. Metode klasik pengenalan sidik jari sekarang ini tidak
terlampau sesuai untuk implementasi langsung dalam bentuk
algoritma komputer. Pembuatan suatu model sidik jari diperlukan
dalam pengembangan algoritma analisis baru. Dalam makalah ini
dikembangkan metode numerik baru untuk pengenalan sidik jari
yang berdasarkan pada penggambaran model matematik dari
dermatoglyphics dan pemuatan minutiae, digambarkan juga
rancangan dan penerapan suatu sistem identifikasi sidik jari
otomatis yang beroperasi dalam dua tahap, yaitu ekstraksi minutiae
dan pencocokan minutiae.
18
(I.S. 1920 Nomor 259) tentang Pembentukan Kantor Pusat
Daktiloskopi Departemen Kehakiman.
19
kedokteran forensik terasa sekali dalam proses peradilan di negara
kita. Dalam proses peradilan itu, tugas utama penegak hukum
adalah menemukan kebenaran materiil. Untuk membuktikan
kebenaran materiil tersebut, hasilnya bisa berupa mayat, orang
hidup, bagian tubuh manusia, atau sesuatu yang berasal dari tubuh
manusia. Sebagai contoh Tindak pidana yang diatur dalam Pasal
338 KUHP dinamakan tindak pidana materil yakni tindak pidana
yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut
cara-cara yang menimbulkan akibat tertentu (Leden Marpaung,
2005).
20
dalam undang-undang. Dalam kaitannya dengan hukum,
identifikasi sidik jari merupakan salah satu cara / modus untuk
mengungkap korban atau pelaku kejahatan.
21
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
2.1.1.3 Gigi
22
dan profesi hukum. Kedokteran gigi forensik dapat diartikan
sebagai cabang ilmu kedokteran gigi yang menggunakan
pengetahuan dental untuk masalah masyarakat atau criminal (Rai,
2013).
23
pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap
ras mempunyai ciri yang berbeda.
e. Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh
yang dibunuh dan direndam di dalam drum berisi asam
pekat, jaringan ikatnya hancur sedangkan giginya masih
utuh (Nitul Jain,2013).
f. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan
suhu 4000C gigi tidak akan hancur, kecuali dikremasi
karena suhunya diatas 10000C. Gigi menjadi abu sekitar
suhu lebih dari 6490C. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi
abu sekitar suhu lebih dari 8710C, sedangkan bila gigi
tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloyemas
maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-
10930C.
g. Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis,
biarpun terdapat pecahan-pecahan rahang pada
roentgenogramnya dapat diinterpretasi kadang-kadang
terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang
yang khas (nitul ajin,2013).
h. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya
ia memakai gigi palsu dengan berbagai macam model gigi
palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi. Gigi palsu akrilik akan terbakar menjadi abu
pada suhu 5380C-6490C. Bridgedari porselen akan menjadi
abu pada suhu 10930C.
i. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir dalam identifikasi
apabila sarana-sarana lain atau organ lain tidak ditemukan.
24
a. Rugae palatal tidak bisa digunakan pada kasus edentulus,
ketika tidak ada data antemortem, ketika ada patologi di
palatal, dan jika korban terbakar, mengalami dekomposisi,
dan skeletonisasi karena rugae sering hancur.
b. Sidik bibir tidak bisa digunakan 20 jam setelah kematian,
jika ada patologi di bibir seperti mukokel, dan cleft, atau
jika ada perubahan postoperaso dari bibir, ada scar, dan lain-
lain.
c. Bite mark tidak bisa digunakan 3 hari setelah kematian atau
jika sudah dekomposisi atau jika korban terbakar.
d. Bisa terjadi kesalahan ketika mengambil foto dan radiograf.
Kesalahan dapat terjadi saat pengambilan sampel, proses,
dan interpretasi. Kontaminasi bakteri dan DNA orang lain
dapat mengubah interpretasi.
25
kemungkinan apabila kartu identitas yang ada bukan milik korban.
Hal tersebut dapat terjadi apabila terjadi bencana alam atau
kecelakaan massal.
26
27
BAB 3
KASUS
28
1 jenazah : pemeriksaan primer gigi (dental records) dan data sekunder
medis (medical) dan fotografi (photography).
1 jenazah : pemeriksaan primer ( gigi beserta gigi tiruan lepasan yang
ditemukan didalamnya (dental records)) dan data sekunder ( medis (medical)
dan properti (property) ).
1 jenazah : pemeriksaan primer DNA dan pemeriksaan sekunder medis dan
property.
Tidak ada identifikasi dari 13 jenazah tersebut yang dapat dilakukan dari pemeriksaan
postmortem murni berdasarkan pemeriksaan primer (primary identifiers) saja.
A C
29
Gambar 1. Metode Identifikasi Jenazah: 1a) Jenazah dapat diidentifikasi
sederhana secara visual; 1b) Pemeriksaan sekunder medis:
sikatrik; 1c) Pemeriksaan sekunder medis: kumis, tahi lalat.
Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan
berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya
pemeriksaan primer.Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari
setelah kejadian sehingga tidak ada satu pun yang berhasil diidentifikasi berdasarkan
pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi
pembusukan lanjut (Gambar 2). Hampir keseluruhan mengandalkan pemeriksaan
sekunder dengan hasil dapat disebut teridentifikasi bila memenuhi 2 kriteria
pemeriksaan sekunder, seperti pemeriksaan medis, property maupun fotografi
(Gambar 3 a,b dan c).
30
Gambar 3. Pemeriksaan Primer DNA sebagai Alternatif Penentu
Terakhir.
Gambar 4. 4a) Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan tinggi badan; 4b)
Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat; 4c)
Pemeriksaan sekunder medis dari tatoo sebagai sarana identifikasi.
Kelebihan keberhasilan identifikasi pada kasus ini antara lain adalah karena
sifat bencana yang terjadi adalah bencana dengan tipe Close Disaster. Tipe kejadian
31
bencana ini memiliki jumlah korban meninggal dapat diketahui secara pasti dan jelas
dan dinyatakan sama dengan jumlah nama pada daftar manifest penumpang yang
dinyatakan tidak ada atau dinyatakan meninggal
Dari 21 jenazah satu jenazah : kondisi fisik masih baik secara visual sehingga
dapat dilakukan teknik identifikasi sederhana secara visual (photography) data
pemeriksaan sekunder (secondary identifiers) : medis (medical) dan properti
(property).
Dari data tersebut tampak bahwa pada kasus pemeriksaan jenazah yang
mengalami terbakar akibat hangusnya pesawat Garuda masih dapat dilakukan upaya
pemeriksaan primer secara optimal. Hal ini disebabkan karena proses terbakar
menyebabkan keutuhan jaringan penyangga, sehingga meskipun sidik jari tidak
dapat digunakan untuk proses identifikasi primer namun masih terdapat gigi yang
melekat utuh (Gambar 5a dan 5b). Kemudahan identifikasi didukung sifat
bencana close disaster. Selain itu mayoritas korban berada pada status sosial ekonomi
menengah keatas dengan kesadaran pemeriksaan gigi sehingga dapat dilakukan
proses identifikasi tepat berdasarkan gigi geligi. Meskipun demikian tetap harus
dilakukan pemeriksaan sekunder lain, seperti pemeriksaan fotografi dan property
( Gambar 6a dan 6b ). Pemeriksaan sekunder medis justru mengalami keterbatasan
evaluasi akibat pada jenazah yang terbakar maka akan terjadi perubahan fisik secara
nyata baik tinggi badan dan ciri khas lain, kecuali jenis kelamin yang dapat dilakukan
32
dengan membedah jenazah. Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
primer (primary identifiers) mempunyai nilai yang sangat tinggi (95%) bila
dibandingkan dengan pemeriksaan sekunder (secondary identifiers) yaitu melalui
pemeriksaan primer gigi (dental records).
5a 5b
6a 6b
33
BAB 4
PEMBAHASAN
Bencana massal yang berbeda memiliki karakter yang berbeda pula terutama dari
keadaan kondisi jenazah, proses pemeriksaan jenazah dan keberhasilan identifikasi
jenazah. Hal tersebut terutama disebabkan karena kondisi utama jenazah yang
semakin tidak utuh maka akan semakin mempersulit proses identifikasi jenazah,
sehingga akan mempengaruhi keberhasilan penentuan identitas individu.
34
Pada jenazah korban tenggelamnya KM. Senopati tampak bahwa sebagian
besar (97,3%) jenazah telah mengalami pembusukan lanjut. Hal ini dikarenakan
karena jenazah tersebut sebagian besar dalam selang waktu minimal 3-4 hari dan
maksimal 29-30 hari setelah kejadian. Dalam jangka waktu minimal tersebut,
didukung dengan keadaan lingkungan sekitar tempat jenazah tersebut ditemukan,
yaitu mengambang di air di lautan bebas, kecepatan proses pembusukan menjadi
lebih cepat.
Pada proses pembusukan lanjut akan terjadi proses skeletonisasi, yang diawali
dengan adanya proses autolisis jaringan dan pembusukan. Skeletonisasi merupakan
proses hilangnya atau lepasnya jaringan lunak dari tulang. Proses ini dapat terjadi
secara lengkap pada seluruh atau sebagian jaringan lunak terutama pada tulang yang
terekspos saja. Proses awal terjadinya pembusukan adalah adanya kerusakan sel
melalui proses autolisis. Proses ini memiliki dua tahap yakni early reversible dan late
irreversible. Keadaan lanjut dari proses tahap 2 (late irreversible) adalah terbentuknya
mekanisme autolisis umum pada seluruh jaringan lunak tubuh yang telah mengalami
pembusukan yang berhubungan dengan proses sintesa ATP. Jaringan dengan
biosintesa dan membran transport tingkat tinggi akan mengalami kerusakan terlebih
dahulu. Pembusukan diawali dengan organ: traktus digestivus, jantung, darah dan
sistem sirkulasi,otot jantung kemudian traktus respiratorius dan paru selanjutnya
ginjal dan kandung empedu lalu otak dan jaringan saraf, otot rangka dan terakhir
jaringan konektif dan integument. Jaringan lunak dengan kadar kolagen tinggi akan
memiliki tingkat lisis yang lebih besar, sehingga baru akan tampak pada proses
pembusukan tingkat lanjut. Pada kasus ini proses pembusukan pada daerah mandibula
dan maksila pada jenazah korban tenggelamnya KM Senopati terutama terletak pada
peridontal ligament atau periodontal membran. Hal inilah yang akan mempengaruhi
ketidakberhasilan penentuan identifikasi forensik melalui pemeriksaan primer dengan
bahan gigi, karena rusaknya periodontal ligament akan menyebabkan hilangnya gigi
pada mandibula maupun maksila.
35
Tahap final proses pembusukan yang ditandai dengan terbentuknya
skeletonisasi, dilaporkan akan terjadi paling cepat tiga (3) hari setelah kematian pada
daerah dengan kelembaban tinggi, panas yang disertai dengan tingkat aktivitas larva
lalat yang tinggi. Pada keadaan normal adanya kandungan kelembaban sebesar 30%
dengan temperatur 70 F, tujuh tahapan proses pembusukan akan mulai nampak
selama 24 jam post mortem.
Pada kasus ini pemeriksaan primer dari data gigi masih dapat dilakukan
dibandingkan pemeriksaan primer yang lain yaitu pemeriksaan sidik jari. Identifikasi
dengan sidik jari, mata, kulit tidak dapat dilakukan karena semuanya telah menjadi
kerangka dan sisa kulit yang terbakar telah terpapar panas sehingga sulit
diidentifikasi. Pemeriksaan sekunder pada kasus terbakar akan mengalami banyak
permasalahan karena sebagian tulang tidak ditemukan, kemungkinan telah hancur
menjadi abu. Korban yang berpakaian lebih cepat hancur dan kerusakan lebih komplit
bila terbakar dibandingkan dengan yang tidak memakai pakaian. Hal ini dikarenakan
pakaian merupakan media yang baik untuk kejadian kebakaran. Terbakar pada tempat
terbuka biasanya tidak terjadi luka bakar komplit, kecuali bila menggunakan bahan
bakar untuk meningkatkan fungsi api sebagai pembakar, sehingga tubuh sampai
menjadi arang. Bohnert, et al. (1998) dalam penelitiannya tentang tingkat kerusakan
tubuh manusia dalam kaitannya dengan paparan panas api menyebutkan proses
kerusakan tubuh sangat parah pada suhu 67 -810oC. Senada dengan temuan tersebut
penelitian Buikstra et.al (1984) menyatakan bahwa tulang mampu menahan panas
sampai 600oC.
Pada kasus Pesawat Garuda telah terjadi luka bakar tingkat empat yaitu pada
kulit, dan jaringan dibawahnya telah terjadi kehancuran komplit dan terbentuk arang.
36
Pada kebakaran tingkat 4 maka kulit akan mengkerut (mengetat dan kontraksi), hal
ini terjadi karena pada terbakar terjadi penyusutan berat tubuh > 60% dan akibat
pemanasan maka terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot mengecil diikuti
mengkerutnya kulit. Dikatakan bahwa telinga yang terbakar dapat menjadi mengkerut
sampai 2/3 bagiannya.
Untuk tulang yang tidak terproteksi, saat terpapar panas maka akan
mengalami proses: rapuh (Charring), retak (Cracking), patah (Splintering) dan
menjadi abu (Calcining). Sedangkan gigi, selain dikatakan sebagaimana fingerprint,
merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti Fingerprint tissue. Menurut
Schaefer (2001) gigi memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan panas hingga
suhu 1000 F, karena gigi dilapisi oleh matrik garam anorganik crystal hydroxyapatite
yang tersusun atas calcium dan fosfor, sehingga dapat bertahan lebih lama.
Prioritas Cara Pemeriksaan Primer Dengan Kondisi Fisik Jenazah Pada Dua
Kasus Berbeda
37
primer (primary identifiiers) berdasarkan data gigi (dental records). Sebaliknya tidak
ada jenazah korban KM Senopati yang teridentifikasi berdasarkan pemeriksaan
primer (primary identifiiers) saja. Sehingga prioritas identifikasi jenazah dapat
dilakukan berbeda sesuai dengan kekhususannya. Pada prinsipnya pemeriksaan
primer atau primary identifiers memiliki nilai keakuratan yang lebih tinggi dibanding
secondary identifiers karena sifat individualistik yang sangat tinggi.
Bila ditemukan jenazah korban bencana massal maka tim pemeriksa jenazah
atau tim post mortem akan melakukan komparasi data dengan tim pengumpul fakta
orang hilang atau tim ante mortem yang datanya diperoleh dari laporan keluarga.
Berdasarkan komparasi pemeriksaan masing masing tim bila terdapat tiga macam
primary identifiers, pemilihan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan yang
bersifat: cepat, akurat, efektif terutama dalam hal ekonomis.
Dalam skema Gambar 7, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang berbeda, karena pemeriksaan
38
DNA, baik nukleus maupun mitokondria dalam pelaksanaannya tetap memerlukan
waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitif. Sebaliknya
pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun
hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi.
39
Gambar 8. Hasil Prioritas Identifikasi Jenazah pada Korban Tenggelam dan Pesawat
terbakar
40
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
41
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai bagian tubuh atau jaringan
tubuh lain yang dapat digunakan untuk proses identifikasi forensic di masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Idris A.M. 1997. Identifikasi pada Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, edisi
pertama. Jakarta: Binarupa Aksara. pp.31-52.
Kartika Ratna Pertiwi dan EvyYulianti. 2011. Pengembangan Modul Pengayaan OSN
SMP Materi Forensik. Laporan Penelitian. FMIPA UNY.
Kartika Ratna Pertiwi dan Paramita Cahyaningrum. 2012. Hereditas Manusia Buku
Satu. Buku ajar mata kuliah Genetika. Jurdik Biologi FMIPA UNY.
42
Leden Marpaung. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Cetakan Ke-3.
Jakarta: Sinar Grafika.
Luftig, M. A. and Richey S. 2000. DNA and Forensic Science. New England Law
Review .Vol. 35:3.
Lukman D. 2006. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 1. Jakarta: Sagung
Seto. pp.1-2, 5-6, 45-6
Marks, D.B., Marks, A.D., Smith, C.M. 1996. Basic Medical Biochemistry. Williams
& Wilkins. Baltimore.
Senn DR, Stinson PG. 2010. Forensic Dentistry. 2ndEdition. USA: Taylor & Francis
Group. p.4.
Supardi. 2002. Sidik Jari dan Peranannya Dalam Mengungkap Suatu Tindak Pidana.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Yeni W. Hartati, Iman P. Maksum. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa
Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik.
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian.
Tidak dipublikasi.
43