Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana dapat diakibatkan baik oleh alam maupun manusia. Kondisi alam
memegang peran penting akan timbulnya suatu bencana, termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan luas
keseluruhan lima juta kilometer persegi. Terletak pada pertemuan tiga lempeng
tektonik utama dunia yang memiliki setidaknya 400 gunung berapi dengan 150
diantaranya adalah gunung berapi aktif. Disamping itu iklim tropis membuat
beberapa bagian daerah basah oleh curah hujan yang melimpah sehingga
beresiko timbul bencana banjir dan longsor. Sebaliknya pada daerah lain dapat
mengalami kekeringan. Faktor manusia juga turut berperan menimbulkan
bencana. Hal ini sering menyebabkan banjir ataupun longsor akibat
penggundulan hutan, kecelakaan lalu lintas dan terorisme.

Berbagai kejadian yang memakan banyak korban jiwa, terutama sejak


kejadian Bom Bali I membuat kegiatan identifikasi korban bencana massal
(Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan
hampir pada setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang
banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana
massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat
selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya
menyerahkan kepada keluarganya.

Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis


penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga
dengan adanya kepastian identitas korban. Disaster Victim Identification (DVI)
adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat

1
dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol (1). Proses DVI
meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik.
Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari fingerprint
(FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri dari
medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi
adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary
identifiers.

Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat
ataupun, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu
dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan identifikasi
dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah
yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut akan menghasilkan keadaan
jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah
berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun
kombinasi dari bermacam-macam keadaan.

Masalah akan timbul dengan berbagai variasi tingkat kesulitan dimana


tindakan identifikasi termudah dan sederhana yaitu secara visual tidak lagi dapat
digunakan. Demikian juga pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut,
pemeriksaan identifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan, maka
dapat digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat lebih tahan
lama terhadap proses pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut juga
dipengaruhi faktor lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta pengalaman di
lapangan menunjukkan bahwa identifikasi korban meninggal massal melalui
gigigeligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas
seseorang. Pada kasus Bom Bali I, korban yang teridentifikasi berdasarkan
gigigeligi mencapai 56%, pada kecelakaan lalu lintas bis terbakar di Situbondo
mencapai 60%, laporan kasus ini menyajikan proses identifikasi korban bencana

2
pada kejadian kapal tenggelam dan pesawat udara yang terbakar didarat. Jenazah
korban tenggelamnya KM Senopati Nusantara, jenazah mengalami pembusukan
lanjut yang berarti disertai dengan tidak utuhnya jaringan tubuh. Sebaliknya pada
jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737-400
jurusan Jakarta-Yogyakarta, jenazah ditemukan terpanggang menjadi separuh
arang. Mempelajari dua kasus yang berbeda tersebut dapat dijadikan dasar dalam
menentukan prioritas identifikasi primer akibat perbedaan keutuhan jaringan
tubuh sesuai dengan modus kejadian kecelakaan. Perbedaan ini akan sangat
mempengaruhi pelaksanaan fase rekonsiliasi dalam upaya pelepasan dan
penyerahterimaan jenazah kepada keluarga yang bersangkutan. Meskipun
terdapat skala prioritas pemeriksaan namun prosedur dan tahap pemeriksaan
harus dikerjakan seluruhnya baik pemeriksaan primer dan pemeriksaan sekunder.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan identifikasi forensik non dental.

2. Mengetahui macam-macam identifikasi forensik non dental.

3. Mengetahui cara identifikasi korban tenggelam, bencana alam atau terbakar


dengan identifikasi forensik non dental.

1.3 Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat dan negara

Sebagai pembelajaran masyarakat tentang bagaimana cara mengidentifikasi


korban bencana melalui pemeriksaan non dental.
Sebagai suatu pedoman penyuluhan kepada masyarakat tentang identifikasi
korban yang sudah tidak dapat dikenali melalui pemeriksaan non dental.

3
2. Bagi penulis, sebagai sarana untuk melatih kepekaan dalam upaya pembelajaran
tentang identifikasi korban yang sudah tidak dapat dikenali melalui pemeriksaan
non dental yang dituangkan dalam makalah sebagai suatu upaya meningkatkan
daya kreatifitas, khususnya dalam menuangkan gagasan, pendapat, pikiran, dan
perasaannya melalui tulis menulis.

3. Bagi universitas, sebagai bahan referensi untuk perpustakaan universitas.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Forensik

Identifikasi atau pengenalan identitas seseorang pada awalnya


berkembang untuk kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana
khususnya penyelesaian permasalahan kriminal. Adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan masalah sosial, identifikasi dimanfaatkan juga untuk
keperluan yang berhubungan dengan pelbagai kasus sipil, seperti kecelakaan
baik di darat, laut, maupun udara, kasus terorisme, bencana alam, dan lain
sebagainya. Pada kasus-kasus seperti ini, tidak jarang terjadi kesulitan dalam
melakukan identifikasi korban karena kerusakan yang membuat sulit untuk
dikenali jenazah. Proses identifikasi menjadi penting bukan hanya untuk
menganalisis penyebab suatu kematian, namun juga upaya untuk memberikan
ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya kepastian identitas
korban (Prawestiningtyas dkk, 2009). Identifikasi individu dapat dilakukan
melalui beberapa parameter, yaitu identifikasi usia, ras dan jenis kelamin.
Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang penting dilakukan
dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan 50% probabilitas
kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi (Suazo
dkk,2010) beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan
tinggi tubuh individu. Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup
antropologi dan kedokteran gigi forensik dapat dilakukan dengan berbagai
metode. Metode yang dapat dilakukan antara lain melalui metode karakteristik
morfologi, metode morfometrik (pengukuran), pemeriksaan histologis, serta
pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun gigi (Nitul Jain, 2013).
Pada kasus-kasus tertentu, tulang tidak dapat memberikan hasil identifikasi
yang optimal, lain halnya dengan gigi. Gigi digunakan sebagai media
identifikasi karena gigi merupakan bagian tubuh yang paling keras dan secara

5
kimiawi merupakan jaringan paling stabil dan paling tahan terhadap degradasi
dan dekomposisi, sehingga membuat gigi dapat bertahan untuk periode yang
lama dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya. Gigi juga memiliki
ketahanan terhadap temperatur yang tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam
identifikasi pada korban terbakar. Hal ini disebabkan sedikitnya jaringan
organik yang dikandungnya, terutama lapisan enamel, yang merupakan
jaringan paling keras pada tubuh manusia.

2.1.1 Identifikasi Primer

2.1.1.1 DNA

Para peneliti menyatakan bahwa materi genetik berada di dalam


struktur yang disebut kromosom dalam inti sel (nukleus). Pada tahun
1927, Griffith dan Avery mengungkapkan bahw a bakteri memiliki
suatu senyawa mengekspresikan sifat- sifat yang berbeda tetapi belum
mengetahui dengan jelas penyebabnya. Penelitian lebih lanjut oleh
Avery, MacLeod, dan McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa
perbedaan ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri
dari dua pita yang berlawanan arah, yang akhirnya dikenal dengan
DNA. Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick
pada tahun 1953 merupakan temuan penting dalam perkembangan
genetika di dunia. Model struktur DNA hasil analisis Watson dan Crick
mampu menjelaskan bagaimana DNA membawa informasi genetis
sebagai cetak biru (blueprint) yang dapat dicopy dan diperbanyak saat
sel membelah sehingga sel-sel baru juga mengandung informasi
genetis yang sama. Inilah mengapa sifat dan ciri fisik seseorang
berasal dari pewarisan orang tua dan nantinya akan diturunkan ke anak
cucunya.

Terjadinya pewarisan sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke anak
turunannya adalah akibat terjadinya peleburan kromosom dari sel

6
sperma dan sel telur. Masing- masing sel kelamin memiliki 22 autosom
dan satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin
sekaligus menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel
telur yang telah dibuahi, bakal calon anak atau zigot, mengandung dua
set gen dalam kromosom dengan demikian untuk setiap pasangan
kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah
dan satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan
karakter tubuh kita yang mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan
karakter tubuh kita yang mirip ibu (Griffiths dkk., 1996).

Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa
(deoksiribosa), gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk
rantai panjang dan berpasangan secara teratur seperti terlihat pada
gambar 1.

Gambar 1. Molekul DNA (sumber: Nitul Jain,2013).

Semua kandungan DNA yang ada pada sel dinamakan genom. Genom
manusia terdiri dari genom inti sel (nukleus) dan genom mitokondria.
Genom mitokondria (ekstranuklear), mengandung lebih banyak

7
kromosom, sehingga jika pada kromosom inti, masing-masing hanya
terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria tersusun dari ribuan
copy (Nitul Jain, 2013). Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada
gen di dalam mitokondria biasanya diwariskan dari ibu ke anak karena
mitokondria seorang manusia adalah hasil pewarisan dari ibu. Hal ini
disebabkan mitokondria lebih banyak ditemukan di dalam sel telur
daripada sperma. Setelah fertilisasi mitokondria dari spermatozoa juga
akan mati sehingga hanya meninggalkan mitokondria dari sel telur
(Griffiths dkk., 1996).

DNA dalam Barang Bukti Forensik

Seorang penjahat tanpa disadari pasti akan meninggalkan sesuatu


(jejak), sehingga ketika polisi dipanggil ke tempat kejadian serius,
tempat kejadian perkara (TKP) segera ditutup dengan pita kuning
police line untuk mencegah pencemaran bukti- bukti penting. Ahli
forensik harus bergegas ke tempat kejadian sebelum bukti penting
yang mungkin membantu mengungkap kejadian hilang/dirusak.
Barang bukti forensik yang ditemukan harus diambil sampelnya untuk
diperiksa di laboratorium demi mendapatkan data pelengkap dan
pendukung. Salah satu pemeriksaan yang penting dan hasilnya bisa
didapat dengan cepat adalah tes sidik DNA. Tes sidik DNA dalam
kasus Pita DNA terdiri dari gula pentose dan fosfat Nukleotida yang
saling berpasangan forensik utamanya dilakukan untuk tujuan
identifikasi korban walaupun sekarang tes sidik DNA juga bisa
dilakukan untuk melacak pelaku kejahatan.

Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan


antara DNA korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua
sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes siik DNA,
tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada

8
pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus- kasus
forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa
saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan
sampel tes sidik DNA (Lutfig and Richey, 2000).

Identifikasi Forensik dengan Tes Sidik DNA

Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang


pertama kali dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang
korbannya tidak dikenal walaupun identifikasi juga bisa dilakukan
pada kasus non kriminal seperti kecelakaan, korban bencana alam dan
perang, serta kasus paternitas (menentukan orang tua). Secara biologis,
pemeriksaan identifikasi korban bisa dilakukan dengan odontologi
(gigi-geligi), anthropologi (ciri tubuh), golongan darah serta sidik
DNA. Sidik DNA merupakan gambaran pola potongan DNA dari
setiap individu. Seperti halnya sidik jari (fingerprint) yang telah lama
digunakan oleh detektif dan laboratorium kepolisian sejak tahun 1930
(Kartika Ratna Pertiwi dan Evy Yulianti, 2011).

Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil


mendemonstrasikan bahwa DNA memiliki bagian-bagian pengulangan
(sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan polimorfisme, yang dapat
digunakan sebagai sarana identifikasi spesifik (individual) dari
seseorang. Perbedaan sidik DNA setiap orang atau individu layaknya
sidik jari, sidik DNA ini juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik jari pada
ujung jari seseorang yang dapat diubah dengan operasi, sidik DNA
tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Bahkan,
sidik DNA mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ
pada setiap individu. Oleh karena itu sidik DNA menjadi suatu metode
identifikasi yang sangat akurat (Lutfig and Richey, 2000).

9
Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang dengan
orang lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk
menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan
sampel dari darah, tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada
kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan
tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat
suatu daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah
menemukan marker di dalam sampel DNA dengan mendesain
sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing akan mencari dan
berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya pada
sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan
menghasilkan pola yang berbeda antara satu individu dengan individu
yang lain. Para ahli forensik membandingkan profil DNA ini untuk
menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada
bukti. Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap
individu, jika dua sampel DNA mirip pada empat atau lima daerah,
sampel tersebut mungkin berasal dari individu yang sama. jika profil
sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan pemilik DNA
yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang ditemukan
sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada sampel
bukti (Marks dkk, 1996).

DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan
DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel
karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria
dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus
kriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang
bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti
jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti

10
sel yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam
mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok. Epitel
ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak. Misalnya
dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang
sulit dikenali diambil sekuens genetikanya.

Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang mirip seperti bar-code di


kemasan makanan atau minuman. Membandingkan kode garis-garis
DNA, antara 30 sampai 100 sekuens rantai kode genetika, dengan
DNA anggota keluarga terdekatnya, biasanya ayah atau saudara
kandungnya, maka identifikasi korban forensik atau kecelakaan yang
hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa
spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala spermatozoanya
yang terdapat DNA inti sel di dalamnya. Jika di TKP ditemukan satu
helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun
untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut
karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria
sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel (Lutfig and Richey,
2000).

Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi


diskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi
pilihan dalam penyelidikan kasus-kasus forensik dibanding teknologi
konvensional seperti serologi dan elektroforesis. Kedua tes ini hanya
mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan
sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya
membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots
misalnya sudah mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi
DNA sekecil 60 nanogram, sedangkan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) hanya memerlukan DNA sejumlah beberapa
nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang

11
bukti yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami
degradasi maka metode yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks
dkk. 1996).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

RFLP adalah salah satu aplikasi analisis DNA asli pada penelitian
forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik analisis DNA yang
lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena
membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel
yang bisanya diperoleh juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor
lingkungan, seperti kotoran atau jamur, tidak dapat digunakan untuk
RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi
fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi
dari sampel yang kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction
endonuclease. Enzim ini memotong DNA pada pola sekuen tertentu
yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi yang
dikenali oleh enzim restriksi) (Nitul Jain, 2013).Ada atau tidaknya sisi
yang dikenali ini di dalam sampel DNA menghasilkan fragmen DNA
dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya potongan fragmen
tersebut akan dipisahkan dengan elektroforesis pada gel agarose 0,5%.
Fragmen DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada
membran nilon dan dihibridisasi spesifik dengan pelacak (probe) DNA
berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan sekuen DNA
komplementernya pada sampel. Metode ini akhirnya muncullah pita-
pita yang unik untuk setiap individu (Marks dkk., 1996).

Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi sejumlah


DNA tanpa terdegradasi. Pada persidangan kasus kriminal, hal ini bisa
menjadi suatu masalah jika jumlah DNA sangat sedikit dan kualitasnya
rendah. Ini terlihat dari hasil pita-pita sidik DNA yang tidak tajam.

12
Jumlah pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika
jumlah pitanya berkurang akibat terdegradasi secara statistik
menurunkan taraf kepercayaan. Semakin banyak pita yang cocok akan
semakin meyakinkan. Oleh karena itu pada kasus ini dapat digunakan
teknik sidik DNA dengan memperkuat (mengamplifikasi) daerah
spesifik pada DNA yang disebut mikrosatelit dengan satuan
pengulangan yang dinamakan Simple Tandem Repeat (STR). Analisis
dengan PCR pada daerah STR tersebut dapat mengatasi masalah
tersebut. Teknik ini dapat menghasilkan data dalam waktu singkat dan
sangat cocok untuk otomatisasi (Yeni Hartati dan Iman Maksum,
2004).

Analisis Polymerase chain reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk membuat jutaan


kopi DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA dengan
menggunakan PCR menyebabkan analisis DNA pada sampel biologis
hanya membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh dari sampel
yang halus seperti rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi
sejumlah kecil DNA memungkinkan untuk menganalisa sampel yang
sudah terdegradasi sekalipun. Namun, tetap saja harus dicegah
kontaminasi dengan materi biologis yang lain selama melakukan
identifikasi, koleksi dan menyiapkan sampelnya (Nittul Jain,2013).

Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari kromosom sel
tubuh (autosom) yang mengandung area STR (short tandem repeats),
suatu area ini tidak memberi kode untuk melakukan sesuatu. STR
inilah yang bersifat unik karena berbeda pada setiap orang.
Perbedaannya terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan
urutan pengulangan STR. Pola STR ini diwariskan dari orang
tua.Aplikasi teknik ini misalnya pada tes DNA untuk paternalitas

13
(pembuktian anak kandung) yaitu tes DNA untuk membuktikan apakah
seorang anak benar-benar adalah anak kandung dari sepasang suami
dan istri. Cara memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil
STR dari anak. Selanjutnya, di laboratorium akan dianalisa urutan
untaian STR ini apakah urutannya sama dengan seseorang yang
dijadikan pola dari seorang anak. Urutan tidak hanya satu-satunya
karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat nomor kromosom.
Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak ditemukan bahwa pada
kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT dengan
pengulangan 2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku orang tua
kandungnya juga memiliki pengulangan sama pada nomor kromosom
yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2 orang itu memiliki
hubungan keluarga. Seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan
darah jika memiliki urutan dan pengulangan setidaknya pada 16 STR
yang sama dengan kelurga kandungnya, maka kedua orang yang dicek
memiliki ikatan saudara kandung atau hubungan darah yang dekat.
Jumlah ini cukup kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral
DNA dalam tubuh kita yang berjumlah miliaran. Sementara itu,
Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set dari 13
daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS merupakan program
software yang mengoperasikan database dari profil DNA local, daerah
dan nasional dari tersangka, bukti tindak kriminalitas yang belum
selesai kasusnya dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu
mempunyai 13 loci yang sama pada profil DNAnya adalah sangat
jarang (Yeni Hartati dan Maksum, 2004).

Analisis Mitochondrial DNA

Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk


menentukan DNA di sampel yang tidak dapat dianalisa dengan
menggunakan RFLP atau STR. Jika DNA pada inti sel (nukleus) harus

14
diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan menggunakan RFLP,
PCR, dan STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan
menggunakan ekstrak DNA dari organela sel yang lain, yaitu
mitokondria (Nitul Jain, 2013). Contohnya pada sampel biologis yang
sudah berumur tua sehingga tidak memiliki materi nukleus, seperti
rambut, tulang dan gigi, maka karena sampel tersebut tidak dapat
dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat dianalisa
dengan menggunakan mtDNA. Pada investigasi kasus yang sudah
sangat lama tidak terselesaikan penggunaan mtDNA sangatlah
dibutuhkan (Marks dkk., 1996).

Semua ibu memiliki DNA mitokondria yang sama dengan anak


perempuannya karena mitokondria pada masing-masing embrio yang
baru berasal dari sel telur ibunya. Sperma ayah hanya berkontribusi
memberikan DNA inti sel (nukleus). Membandingkan profil mtDNA
dari seseorang yang tidak teridentifikasi dengan profil seseorang yang
kemungkinan adalah ibunya merupakan teknik yang penting dalam
investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia
puluhan tahun (Lutfig and Richey, 2000).

DNA mitokondria sangat baik untuk digunakan sebagai alat untuk


analisis DNA, karena mempunyai 3 sifat penting, yaitu DNA ini
mempunyai copy number yang tinggi sekitar 1000-10.000 dan berada
di dalam sel yang tidak mempunyai inti seperti sel darah merah atau
eritrosit. DNA mitokondria dapat digunakan untuk analisa meskipun
jumlah sampel yang ditemukan terbatas, mudah terdegradasi dan pada
kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa terhadap
DNA inti. Kedua, DNA mitokondria manusia diturunkan secara
maternal, sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu yang sama
memiliki tipe DNA mitokondria yang identik. Karakteristik DNA
mitokondria ini dapat digunakan untuk penyelidikan kasus orang

15
hilang atau menentukan identitas seseorang dengan membandingkan
DNA mitokondria korban terhadap DNA mitokondria saudaranya yang
segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA mitokondria mempunyai laju
polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali
lebih cepat dari DNA inti. D-loop merupakan daerah yang mempunyai
tingkat polimorfisme tertinggi dalam DNA mitokondria dimana
terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat variasi terbesar antara
individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Karena itu, dalam penentuan identitas seseorang atau studi forensik
dapat dilakukan hanya dengan menggunakan daerah D-loop DNA
mitokondria saja (Yeni Hartati dan Maksum, 2004).

2.1.1.2 Sidik Jari

ldentitas seseorang dapat diketahui dengan melakukan


berbagai cara, antara lain, dengan cara mempelajari, mengamati dan
meneliti profil wajah seseorang, pas foto, bentuk kepala, bentuk badan,
gigi, sidik jari, atau suara. ldentifikasi merupakan bagian dari suatu
proses untuk mengetahui atau mengenal sesorang berdasarkan organ
tubuh atau barang miliknya sehingga seorang yang identitasnya
sebelumnya tidak jelas menjadi jelas. ldentifikasi melingkupi beberapa
hal antara lain: DNA, sidik jari, retina mata, bibir dan lain-lain.

ldentitas seseorang yang sering digunakan dan dapat


dijamin kepastian hukumnya adalah dengan mempelajari sidik jari,
sidik jari seseorang disebut sebagai daktiloskopi. Daktiloskopi adalah
ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali
identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada
guratan garis jari tangan dan telapak kaki. Penyelenggaraan
daktiloskopi adalah kegiatan mencari, menemukan, mengambil,
merekam, mempelajari, mengembangkan, merumuskan,

16
mendokumentasikan, mencari kembali dokumen dan membuat
keterangan sidik jari seseorang. Data sidik jari adalah rekaman jari
tangan atau telapak kaki yang terdiri atas kumpulan alur garis-garis
halus dengan pola tertentu, baik yang sengaja diambil dengan tinta
atau dengan cara lain maupun bekas yang tertinggal pada permukaan
benda karena terpegang atau tersentuh oleh jari tangan atau telapak
kaki.

Keterangan sidik jari adalah uraian yang menjelaskan


tentang identifikasi data sidik jari seseorang yang dibuat oleh pejabat
daktiloskopi. Daktiloskopi dilaksanakan atas dasar prinsip bahwa sidik
jari tidak sama pada setiap orang dan sidik jari tidak berubah seumur
hidup, kecuali menderita luka bakar. Fungsi daktiloskopi adalah untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap identitas
seseorang.

Metode ldentifikasi Sidik Jari

Penggunaan sidik jari untuk menangkap pelaku kejahatan


pertama kali diusulkan oleh Henry Faulds (seorang dokter dari
Skotlandia), dalam suratnya yang dimuat di majalah Nafure pada
Oktober 1880 Pengambilan sidik jari bukanlah teknik modern,
karena sesungguhnya bangsa Cina kuno sudah memakai sidik jari
sebagai alat identiflkasi. sementara itu, bangsa Babilonia mencetak
sidik jari pada tanah liat.

Menurut M. syamsa Ardisasmita pada artikelnya yang


berjudul : Pengembangan Model Matematika Untuk Analisis Sistem
ldentifikasi Jari Otomatis, menjelaskan bahwa sidik jari memiliki
suatu orientasi dan struktur periodik berupa kompolisi dari garis-
garis gelap dan kulit yang naik (ndges) dan garis-garis terang dari
kulit langlurun (furrows) yang berliku-liku membentuk pola yang

17
berbeda-beda. Walaupun garis-garis alur tangan terbentuk berbeda-
beda, tetapi sifat-sifat khusus dari sidik jari yang disebut dengan
minutiae adalah unik untuk setiap individu. Ciri-ciri ini membentuk
pola khusus yang terdiri dari terminasi atau percabangan dari alur.
Untuk memeriksa apakah dua sidik jari berasal dari jari yang sama
atau bukan, para ahli mendeteksi minutiae tersebut menggunakan
Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis yang akan mengambil dan
membandingkan ciri-ciri tersebut untuk menentukan suatu
kecocokan. Metode klasik pengenalan sidik jari sekarang ini tidak
terlampau sesuai untuk implementasi langsung dalam bentuk
algoritma komputer. Pembuatan suatu model sidik jari diperlukan
dalam pengembangan algoritma analisis baru. Dalam makalah ini
dikembangkan metode numerik baru untuk pengenalan sidik jari
yang berdasarkan pada penggambaran model matematik dari
dermatoglyphics dan pemuatan minutiae, digambarkan juga
rancangan dan penerapan suatu sistem identifikasi sidik jari
otomatis yang beroperasi dalam dua tahap, yaitu ekstraksi minutiae
dan pencocokan minutiae.

Sejarah Hukum ldentifikasi Sidik Jari

Sejarah perkembangan daktiloskopi di Indonesia diawali


dengan dikeluarkannya Koninklitjk Besluit Nomor 27 Tanggal 16
Januari Tahun 1911 (l.S 1911 Nomor 234) tentang Penugasan
Kepada Departemen Kehakiman untuk menerapkan Sistem
ldentifikasi Sidik Jari atau Daktiloskopi. Pelaksanaan sistem
daktiloskopi ini dimulai pada tanggal 12 November 1914 setelah
dengan resmi dibuka sebuah Kantor Daktiloskopi Departemen
Kehakiman yang dilakukan dengan Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda (Besluit van den Governeur-Generaal van
Nederlandsch-lndie) Nomor 21 pada tanggal 30 Maret Tahun 1920

18
(I.S. 1920 Nomor 259) tentang Pembentukan Kantor Pusat
Daktiloskopi Departemen Kehakiman.

Selain itu, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia


Belanda Nomor l7 tanggal 28 Maret Tahun 1914 (l.S 1914 Nomor
322). tentang Reorganisasi Kepolisian di Batavia, Semarang,
Surabaya, termasuk Meester Cornelis, Kepolisian ditugasi untuk
mengambil fotografi dan daktiloskopi di bagian reserse. Salah satu
kekuasaan yang dimiliki oleh negara adalah kekuasaan kepolisian
(the police power), yakni sebuah kekuasaan yang diperlukan untuk
melindungi kesehatan, keselamatan, moral, dan kesejahteraan
umum bagi rakyatnya oleh undang-undang yang berlaku, kekuasaan
tersebut kemudian dipercayakan kepada polisi negara. Salah satu
tugas penting dan utama yang menjadi tanggung jawab polisi
negara dalam bidang keselamatan ialah melakukan tindakan
preventif dan represif.

Dalam hal tindakan represif, polisi diberi kewenangan


melakukan penyelidikan dan penyidikan. Tugas penyelidikan dan
penyidikan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat polisi
tidak ada di tempat kejadian saat tindak pidana berlangsung. polisi
(penyidik) tidak tahu benda atau senjata apa yang dipakai, serta
tidak tahu siapa pelaku dan bagaimana melakukannya. Bekal yang
dipakai hanyalah korban, barang bukti, dan saksi.

Oleh sebab itu, polisi harus menguasai segala macam ilmu


forensik (forensic sciences) untuk memudahkan pekejaannya.
Bahkan terkadang polisi masih perlu dibantu ahli forensik. Dalam
kasus pembunuhan, misalnya di samping harus menerapkan ilmu
forensik yang dikuasainya saat penyelidikan dan penyidikan, polisi
masih memerlukan bantuan dokter ahli forensik. Penerapan ilmu

19
kedokteran forensik terasa sekali dalam proses peradilan di negara
kita. Dalam proses peradilan itu, tugas utama penegak hukum
adalah menemukan kebenaran materiil. Untuk membuktikan
kebenaran materiil tersebut, hasilnya bisa berupa mayat, orang
hidup, bagian tubuh manusia, atau sesuatu yang berasal dari tubuh
manusia. Sebagai contoh Tindak pidana yang diatur dalam Pasal
338 KUHP dinamakan tindak pidana materil yakni tindak pidana
yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut
cara-cara yang menimbulkan akibat tertentu (Leden Marpaung,
2005).

Maka, yang tepat melakukan pekerjaan itu adalah dokter


forensik. Penentuan identifikasi manusia merupakan upaya
mengenal seseorang, baik hidup maupun mati, dengan
menggunakan berbagai sarana ilmu untuk mengetahui siapa
sebenarnya orang tersebut. Dalam perkara pidana, mengenali
korban merupakan hal mutlak yang harus diiakukan. Karena dengan
tahu korbannya, tentu akan terbuka jalan untuk mengenali
pelakunya. Oleh karena itu, identifikasi korban seringkali dijadikan
titik tolak penyidikan. Perlu diperhatikan, bahwa kesalahan
identifikasi bisa mengakibatkan dituntutnya seseorang yang tidak
bersalah.

ldentifikasi sidik jari merupakan bagian dari identifikasi


forensik. Proses pengidentifikasian dengan metode identifikasi sidik
jari merupakan modus yang kerapkali digunakan aparat penegak
hukum (penyidik kepolisian) dalam mengungkap korban maupun
pelaku tindak pidana. Aparat kepolisian (penyidik) berlindung pada
hukum positif Negara Republik lndonesia dalam melaksanakan
tugasnya. Proses identifikasi yang dilakukan pihak Kepolisian
(petugas identifikasi) merupakan proses yang diakui dan dibenarkan

20
dalam undang-undang. Dalam kaitannya dengan hukum,
identifikasi sidik jari merupakan salah satu cara / modus untuk
mengungkap korban atau pelaku kejahatan.

Pengambilan sidik jari sebagai sarana identifikasi diatur


dalam Pasal 5 ayat (1) poin (b) dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Pasal
5 ayat (1) poin (b) mengatur bahwa atas perintah, penyidik dapat
melakukan tindakan berupa :

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,


penggeledahan dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret orang;

4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Sedangkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)


huruf (a) karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang


tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat


kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa


tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan


dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

21
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai


tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam


hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan; dan

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang


bertanggung jawab.

Setelah melalui banyak perkembangan dan perubahan


akhirnya penyidik identifikasi sidik jari tidak lagi mengacu kepada
peraturan perundang-undangan atau peraturan kerajaan zaman
Hindia Belanda tetapi mengacu kepada KUHAP dan peraturan
perundang-undangan lain yang telah ditetapkan khususnya Pasal 5
ayat (1) KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP sesuai dengan
hukum positif Indonesia.

Pada saat ini para wakil rakyat yang duduk di bangku


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR Rl) sementara
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai
Penyelenggaraan Daktiloskopi. RUU ini nantinya yang akan
digunakan sebagai landasan hukum dalam melakukan identifikasi
sidik jari.

2.1.1.3 Gigi

Identifikasi forensik menggunakan gigi geligi melibatkan


pengumpulan, manajemen, interpretasi, evaluasi, dan presentasi
yang benar dari bukti dental untuk kepentingan kriminal atau
kepentingan masyarakat, kombinasi beberapa aspek dental, ilmiah,

22
dan profesi hukum. Kedokteran gigi forensik dapat diartikan
sebagai cabang ilmu kedokteran gigi yang menggunakan
pengetahuan dental untuk masalah masyarakat atau criminal (Rai,
2013).

Tujuan dan manfaat dari identifikasi forensik gigi adalah sebagai


berikut (Averkari, 2013):

Mengenal sistem identifikasi forensik korban hidup dan


korban bencana dengan ilmu kedokteran gigi forensik dan
menggali lebih dalam berbagai metode terbaru.
Meningkatkan kesadaran, peran, dan kompetensi dokter
gigi untuk ikut terlibat dalam penanganan kasus forensik
dan bencana massal secara lebih percaya diri dan penuh
tanggung jawab.

Keuntungan Gigi sebagai Objek Identifikasi Forensik

Terdapat beberapa hal yang menjadi keuntungan gigi menjadi objek


identifikasi, antara lain adalah (Lukman,2006):

a. Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara


anatomis, antropologis dan morfologis mempunyai letak
yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi sehingga
apabila trauma mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
b. Gigi-geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut
sudah mengalami nekrotik atau gangren, biarpun dikubur,
umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang telah
hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).
c. Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena
menurut SIMS dan Furnes bahwa gigi manusia
kemungkinan sama adalah 1:1000000000.
d. Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-
ciri gigi tersebut rusak atau berubah maka sesuai dengan

23
pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap
ras mempunyai ciri yang berbeda.
e. Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh
yang dibunuh dan direndam di dalam drum berisi asam
pekat, jaringan ikatnya hancur sedangkan giginya masih
utuh (Nitul Jain,2013).
f. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan
suhu 4000C gigi tidak akan hancur, kecuali dikremasi
karena suhunya diatas 10000C. Gigi menjadi abu sekitar
suhu lebih dari 6490C. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi
abu sekitar suhu lebih dari 8710C, sedangkan bila gigi
tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloyemas
maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-
10930C.
g. Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis,
biarpun terdapat pecahan-pecahan rahang pada
roentgenogramnya dapat diinterpretasi kadang-kadang
terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang
yang khas (nitul ajin,2013).
h. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya
ia memakai gigi palsu dengan berbagai macam model gigi
palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi. Gigi palsu akrilik akan terbakar menjadi abu
pada suhu 5380C-6490C. Bridgedari porselen akan menjadi
abu pada suhu 10930C.
i. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir dalam identifikasi
apabila sarana-sarana lain atau organ lain tidak ditemukan.

Keterbatasan identifikasi forensik gigi geligi (Rai, 2013):

24
a. Rugae palatal tidak bisa digunakan pada kasus edentulus,
ketika tidak ada data antemortem, ketika ada patologi di
palatal, dan jika korban terbakar, mengalami dekomposisi,
dan skeletonisasi karena rugae sering hancur.
b. Sidik bibir tidak bisa digunakan 20 jam setelah kematian,
jika ada patologi di bibir seperti mukokel, dan cleft, atau
jika ada perubahan postoperaso dari bibir, ada scar, dan lain-
lain.
c. Bite mark tidak bisa digunakan 3 hari setelah kematian atau
jika sudah dekomposisi atau jika korban terbakar.
d. Bisa terjadi kesalahan ketika mengambil foto dan radiograf.
Kesalahan dapat terjadi saat pengambilan sampel, proses,
dan interpretasi. Kontaminasi bakteri dan DNA orang lain
dapat mengubah interpretasi.

2.1.2 Identifikasi Sekunder

Setelah dilakukannya identfikasi primer, kami sebagai ahli


medis perlu melakukan identifikasi sekunder untuk menguatkan
hasil identifikasi primer dan mengenali identitas pasien, salah
satunya dengan metode identifikasi sekunder. Identifikasi sekunder
terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Metode ini
menggunakan ciri-ciri fisik dan data korban. Sebagai contoh adalah
data tinggi badan, berat badan, warna rambut, cacat/kelainan
khusus, dan lain sebagainya. Pada metode identifikasi sekunder
dibagi menjadi beberapa metode, yaitu:

1. Metode Identifikasi Dokumen

Dokumen seperti kartu identitas, baik berupa SIM, KTP,


paspor, dan lain sebagainya. Pada metode ini, tidak menutup

25
kemungkinan apabila kartu identitas yang ada bukan milik korban.
Hal tersebut dapat terjadi apabila terjadi bencana alam atau
kecelakaan massal.

2. Metode Identifikasi Properti

Properti berupa pakaian dan perhiasan yang dikenakan


jenazah mungkin dapat membantu mengetahui merk pakaian atau
nama pembuat, ukuran pakaian, inisial nama pemilik, badge,
ataupun hal lainnya, yang dapat membantu identifikasi walaupun
telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Data mengenai
properti ini juga hendaknya digali dari pihak keluarga yang merasa
kehilangan anggota keluarganya pada kasus-kasus bencana massal,
sehingga nantinya dapat mempermudah proses identifikasi.

3. Metode Identifikasi Medik

Metode ini menggunakan parameter berupa tinggi badan,


berat badan, warna rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus, dan
lainnya. Pada pemeriksaan ini, bisa dikatakan bahwa ciri-ciri fisik
korban yang diperhatikan. Metode ini mempunyai nilai yang tinggi
dalam mengidentifikasi korban, karena selain dilakukan oleh tenaga
ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk
pemeriksaan dengan sinar X, USG, CT-scan, laparoskopi, dan
lainnya. bila diperlukan), sehingga ketepatannya cukup tinggi.
Bahkan pada kasus penemuan tengkorak/kerangka pun masih dapat
dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini, dapat
diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi
badan, kelainan pada tulang, dan data-data lainnya dari korban yang
ditemukan.

26
27
BAB 3

KASUS

Kasus 1. Identifikasi Jenazah Pada Tenggelamnya KM. Senopati Nusantara

Akhir tahun 2006 terjadi tragedi tenggelamnya kapal penumpang KM


Senopati Nusantara di perairan Rembang, Jawa Tengah yang menewaskan ratusan
korban jiwa. Tidak semua korban dapat dievakuasi dan tidak semua proses
identifikasi dapat dilakukan sesuai dengan harapan. Dari ke 36 jenazah tersebut
hanya 13 jenazah (36%) saja yang dapat teridentifikasi dan diserahkan kepada
keluarga yang berhak. Jenazah tersebut merupakan jenazah tenggelam di air laut
dengan rentang waktu bervariasi. Hal tersebut sangat mempengaruhi keutuhan dan
dapat menghilangkan tanda khas seorang individu sebagai bahan pemeriksaan
identifikasi forensik. Kesulitan pemeriksaan identifikasi juga dipengaruhi kejadian
bencana yang bersifat Open Disaster. Bencana tersebut merupakan kejadian bencana
dengan jumlah korban meninggal tidak dapat diketahui secara pasti dan jelas
sehingga tidak dapat ditentukan apakah memiliki kesamaan jumlah dengan nama
pada daftar manifest penumpang yang dinyatakan dalam keadaan meninggal.

Dari 36 jenazah yang dapat dievakuasi 13 dari 36 jenazah tersebut dapat


dilakukan identifikasi dan sesuai berdasarkan kombinasi pemeriksaan primer
(primary identifiers) dan sekunder (secondary identifiers).

1 dari 13 jenazah yang teridentifikasi : kondisi fisik membusuk awal


(ditemukan 2 hari setelah kejadian). Teknik identifikasi yang dapat dilakukan
adalah sederhana secara visual (photography).
Pemeriksaan primer : gigi
Pemeriksaan sekunder : medis dan properti.
0 dari 13 jenazah teridentifikasi : kombinasi data pemeriksaan sekunder
(secondary identifiers).
pemeriksaan medis (medical)
properti (property).

3 dari 13 jenazah berhasil diidentifikasi dengan cara berikut yaitu:

28
1 jenazah : pemeriksaan primer gigi (dental records) dan data sekunder
medis (medical) dan fotografi (photography).
1 jenazah : pemeriksaan primer ( gigi beserta gigi tiruan lepasan yang
ditemukan didalamnya (dental records)) dan data sekunder ( medis (medical)
dan properti (property) ).
1 jenazah : pemeriksaan primer DNA dan pemeriksaan sekunder medis dan
property.

Tidak ada identifikasi dari 13 jenazah tersebut yang dapat dilakukan dari pemeriksaan
postmortem murni berdasarkan pemeriksaan primer (primary identifiers) saja.

Jenazah dengan keadaan membusuk awal memiliki kemudahan dalam proses


identifikasi karena masih dapat dilakukan teknik sederhana melalui visual yaitu foto
keluarga yang ditunjukkan. Data tersebut tetap dilakukan konfirmasi dengan
pemeriksaan sekunder yang lain, yaitu ditemukannya sikatrik pada kaki korban,
kumis dan tahi lalat (Gambar 1 a,b dan c). Kondisi pembusukan awal juga masih
memungkinkan diidentifikasi melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat
ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci
kondisi gigi korban dengan tepat.

A C

29
Gambar 1. Metode Identifikasi Jenazah: 1a) Jenazah dapat diidentifikasi
sederhana secara visual; 1b) Pemeriksaan sekunder medis:
sikatrik; 1c) Pemeriksaan sekunder medis: kumis, tahi lalat.

Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan
berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya
pemeriksaan primer.Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari
setelah kejadian sehingga tidak ada satu pun yang berhasil diidentifikasi berdasarkan
pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi
pembusukan lanjut (Gambar 2). Hampir keseluruhan mengandalkan pemeriksaan
sekunder dengan hasil dapat disebut teridentifikasi bila memenuhi 2 kriteria
pemeriksaan sekunder, seperti pemeriksaan medis, property maupun fotografi
(Gambar 3 a,b dan c).

Gambar 2. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi


Gigi Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak.

30
Gambar 3. Pemeriksaan Primer DNA sebagai Alternatif Penentu
Terakhir.

Gambar 4. 4a) Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan tinggi badan; 4b)
Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat; 4c)
Pemeriksaan sekunder medis dari tatoo sebagai sarana identifikasi.

Kasus 2 Terbakarnya Pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737-400

Pada kecelakaan pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737-400 jurusan


Jakarta Yogyakarta, saat melakukan pendaratan. Pesawat yang membawa 133
penumpang dan 7 awak pesawat ini terbakar dan menewaskan 21 penumpangnya (20
penumpang, 1 kru pesawat). Dua puluh dari 21 jenazah yang ditemukan (95%)
mengalami kondisi menjadi separuh arang dan hanya 1 jenazah yang relatif tidak
menjadi arang. Seluruh (21) jenazah tersebut dapat dilakukan identifikasi secara
tepat. Jenazah dengan kondisi terbakar akan relatif lebih tahan lama terpapar
pembusukan, dan pada kasus ini pemeriksaan identifikasi forensik segera
dilaksanakan satu hari setelah kejadian.

Kelebihan keberhasilan identifikasi pada kasus ini antara lain adalah karena
sifat bencana yang terjadi adalah bencana dengan tipe Close Disaster. Tipe kejadian

31
bencana ini memiliki jumlah korban meninggal dapat diketahui secara pasti dan jelas
dan dinyatakan sama dengan jumlah nama pada daftar manifest penumpang yang
dinyatakan tidak ada atau dinyatakan meninggal

Dari 21 jenazah satu jenazah : kondisi fisik masih baik secara visual sehingga
dapat dilakukan teknik identifikasi sederhana secara visual (photography) data
pemeriksaan sekunder (secondary identifiers) : medis (medical) dan properti
(property).

Mayoritas jenazah, sebanyak 14 jenazah: yang telah menjadi separuh arang

pemeriksaan primer (primary identifiiers) : gigi (dental records).

6 jenazah sisanya yang telah menjadi separuh arang teridentifikasi mwlalui


kombinasi pemeriksaan primer dan sekunder.
- 4 jenazah : pemeriksaan primer gigi (dental records) dan Pemeriksaan
sekunder properti (property)
- 2 jenazah : pemeriksaan primer gigi (dental records) dan Pemeriksaan
sekunder medis (medical).

Dari data tersebut tampak bahwa pada kasus pemeriksaan jenazah yang
mengalami terbakar akibat hangusnya pesawat Garuda masih dapat dilakukan upaya
pemeriksaan primer secara optimal. Hal ini disebabkan karena proses terbakar
menyebabkan keutuhan jaringan penyangga, sehingga meskipun sidik jari tidak
dapat digunakan untuk proses identifikasi primer namun masih terdapat gigi yang
melekat utuh (Gambar 5a dan 5b). Kemudahan identifikasi didukung sifat
bencana close disaster. Selain itu mayoritas korban berada pada status sosial ekonomi
menengah keatas dengan kesadaran pemeriksaan gigi sehingga dapat dilakukan
proses identifikasi tepat berdasarkan gigi geligi. Meskipun demikian tetap harus
dilakukan pemeriksaan sekunder lain, seperti pemeriksaan fotografi dan property
( Gambar 6a dan 6b ). Pemeriksaan sekunder medis justru mengalami keterbatasan
evaluasi akibat pada jenazah yang terbakar maka akan terjadi perubahan fisik secara
nyata baik tinggi badan dan ciri khas lain, kecuali jenis kelamin yang dapat dilakukan

32
dengan membedah jenazah. Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan
primer (primary identifiers) mempunyai nilai yang sangat tinggi (95%) bila
dibandingkan dengan pemeriksaan sekunder (secondary identifiers) yaitu melalui
pemeriksaan primer gigi (dental records).

5a 5b

Gambar 5. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar: 5a) Kondisi jenazah terbakar


hangus, sidik jari tidak dapat dievaluasi; 5b) Pemeriksaan gigi yang
tetap utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.

6a 6b

Gambar 6. Pemeriksaan Gigi: 6a) Pemeriksaan sekunder fotografi,gigi


dapat dijadikan bahan identifikasi superimposed; 6b)
Pemeriksaan primer gigi disertai dengan gigi palsu.

33
BAB 4

PEMBAHASAN

Bencana massal yang berbeda memiliki karakter yang berbeda pula terutama dari
keadaan kondisi jenazah, proses pemeriksaan jenazah dan keberhasilan identifikasi
jenazah. Hal tersebut terutama disebabkan karena kondisi utama jenazah yang
semakin tidak utuh maka akan semakin mempersulit proses identifikasi jenazah,
sehingga akan mempengaruhi keberhasilan penentuan identitas individu.

Perbedaan Keadaan Jenazah Korban Tragedi Tenggelamnya KM. Senopati dan


Terbakarnya Pesawat Garuda

34
Pada jenazah korban tenggelamnya KM. Senopati tampak bahwa sebagian
besar (97,3%) jenazah telah mengalami pembusukan lanjut. Hal ini dikarenakan
karena jenazah tersebut sebagian besar dalam selang waktu minimal 3-4 hari dan
maksimal 29-30 hari setelah kejadian. Dalam jangka waktu minimal tersebut,
didukung dengan keadaan lingkungan sekitar tempat jenazah tersebut ditemukan,
yaitu mengambang di air di lautan bebas, kecepatan proses pembusukan menjadi
lebih cepat.

Pada proses pembusukan lanjut akan terjadi proses skeletonisasi, yang diawali
dengan adanya proses autolisis jaringan dan pembusukan. Skeletonisasi merupakan
proses hilangnya atau lepasnya jaringan lunak dari tulang. Proses ini dapat terjadi
secara lengkap pada seluruh atau sebagian jaringan lunak terutama pada tulang yang
terekspos saja. Proses awal terjadinya pembusukan adalah adanya kerusakan sel
melalui proses autolisis. Proses ini memiliki dua tahap yakni early reversible dan late
irreversible. Keadaan lanjut dari proses tahap 2 (late irreversible) adalah terbentuknya
mekanisme autolisis umum pada seluruh jaringan lunak tubuh yang telah mengalami
pembusukan yang berhubungan dengan proses sintesa ATP. Jaringan dengan
biosintesa dan membran transport tingkat tinggi akan mengalami kerusakan terlebih
dahulu. Pembusukan diawali dengan organ: traktus digestivus, jantung, darah dan
sistem sirkulasi,otot jantung kemudian traktus respiratorius dan paru selanjutnya
ginjal dan kandung empedu lalu otak dan jaringan saraf, otot rangka dan terakhir
jaringan konektif dan integument. Jaringan lunak dengan kadar kolagen tinggi akan
memiliki tingkat lisis yang lebih besar, sehingga baru akan tampak pada proses
pembusukan tingkat lanjut. Pada kasus ini proses pembusukan pada daerah mandibula
dan maksila pada jenazah korban tenggelamnya KM Senopati terutama terletak pada
peridontal ligament atau periodontal membran. Hal inilah yang akan mempengaruhi
ketidakberhasilan penentuan identifikasi forensik melalui pemeriksaan primer dengan
bahan gigi, karena rusaknya periodontal ligament akan menyebabkan hilangnya gigi
pada mandibula maupun maksila.

35
Tahap final proses pembusukan yang ditandai dengan terbentuknya
skeletonisasi, dilaporkan akan terjadi paling cepat tiga (3) hari setelah kematian pada
daerah dengan kelembaban tinggi, panas yang disertai dengan tingkat aktivitas larva
lalat yang tinggi. Pada keadaan normal adanya kandungan kelembaban sebesar 30%
dengan temperatur 70 F, tujuh tahapan proses pembusukan akan mulai nampak
selama 24 jam post mortem.

Pada jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda sebanyak 20 dari 21


jenazah yang ditemukan (95%) mengalami kondisi rusak menjadi separuh arang
(Severely Burned Deceased) dan hanya 1 jenazah yang relatif tidak menjadi arang. 21
jenazah tersebut dapat dilakukan identifikasi secara tepat.

Pada kasus ini pemeriksaan primer dari data gigi masih dapat dilakukan
dibandingkan pemeriksaan primer yang lain yaitu pemeriksaan sidik jari. Identifikasi
dengan sidik jari, mata, kulit tidak dapat dilakukan karena semuanya telah menjadi
kerangka dan sisa kulit yang terbakar telah terpapar panas sehingga sulit
diidentifikasi. Pemeriksaan sekunder pada kasus terbakar akan mengalami banyak
permasalahan karena sebagian tulang tidak ditemukan, kemungkinan telah hancur
menjadi abu. Korban yang berpakaian lebih cepat hancur dan kerusakan lebih komplit
bila terbakar dibandingkan dengan yang tidak memakai pakaian. Hal ini dikarenakan
pakaian merupakan media yang baik untuk kejadian kebakaran. Terbakar pada tempat
terbuka biasanya tidak terjadi luka bakar komplit, kecuali bila menggunakan bahan
bakar untuk meningkatkan fungsi api sebagai pembakar, sehingga tubuh sampai
menjadi arang. Bohnert, et al. (1998) dalam penelitiannya tentang tingkat kerusakan
tubuh manusia dalam kaitannya dengan paparan panas api menyebutkan proses
kerusakan tubuh sangat parah pada suhu 67 -810oC. Senada dengan temuan tersebut
penelitian Buikstra et.al (1984) menyatakan bahwa tulang mampu menahan panas
sampai 600oC.

Pada kasus Pesawat Garuda telah terjadi luka bakar tingkat empat yaitu pada
kulit, dan jaringan dibawahnya telah terjadi kehancuran komplit dan terbentuk arang.

36
Pada kebakaran tingkat 4 maka kulit akan mengkerut (mengetat dan kontraksi), hal
ini terjadi karena pada terbakar terjadi penyusutan berat tubuh > 60% dan akibat
pemanasan maka terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot mengecil diikuti
mengkerutnya kulit. Dikatakan bahwa telinga yang terbakar dapat menjadi mengkerut
sampai 2/3 bagiannya.

Untuk tulang yang tidak terproteksi, saat terpapar panas maka akan
mengalami proses: rapuh (Charring), retak (Cracking), patah (Splintering) dan
menjadi abu (Calcining). Sedangkan gigi, selain dikatakan sebagaimana fingerprint,
merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti Fingerprint tissue. Menurut
Schaefer (2001) gigi memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan panas hingga
suhu 1000 F, karena gigi dilapisi oleh matrik garam anorganik crystal hydroxyapatite
yang tersusun atas calcium dan fosfor, sehingga dapat bertahan lebih lama.

Kedua kasus menunjukkan tempat kejadian yang berbeda akan mempengaruhi


kecepatan proses pembusukan. Jenazah yang berada di udara terbuka akan membusuk
dua kali lebih cepat dibandingkan dengan jenazah yang ada di air. Namun pada kasus
ini memiliki perbedaan pola karena proses cara kematian yang berbeda. Pada jenazah
yang meninggal di udara terbuka namun dalam kondisi terbakar maka akan
mempengaruhi tidak hanya proses pembusukannya, namun juga akan mempengaruhi
proses keberhasilan pemeriksaan identitas jenazah karena efek api terhadap tubuh
jenazah yang bersangkutan. Sebagai bahan pemeriksaan identifikasi primer, baik
sidik jari pada kasus tenggelam dan terbakar memiliki kesamaan tingkat kesulitan
pemeriksaan. Pada kedua kasus tersebut tidak dapat menggunakan sidik jari sebagai
bahan identifikasi karena pada jenazah yang tenggelam telah terjadi pengelupasan
kulit ari dan pada jenazah yang terbakar telah terjadi kerusakan struktur kulit.

Prioritas Cara Pemeriksaan Primer Dengan Kondisi Fisik Jenazah Pada Dua
Kasus Berbeda

Mayoritas jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda, sebanyak 14 dari 20


jenazah yang menjadi separuh arang dapat diidentifikasi murni dari pemeriksaan

37
primer (primary identifiiers) berdasarkan data gigi (dental records). Sebaliknya tidak
ada jenazah korban KM Senopati yang teridentifikasi berdasarkan pemeriksaan
primer (primary identifiiers) saja. Sehingga prioritas identifikasi jenazah dapat
dilakukan berbeda sesuai dengan kekhususannya. Pada prinsipnya pemeriksaan
primer atau primary identifiers memiliki nilai keakuratan yang lebih tinggi dibanding
secondary identifiers karena sifat individualistik yang sangat tinggi.

Gambar 7.Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah

Bila ditemukan jenazah korban bencana massal maka tim pemeriksa jenazah
atau tim post mortem akan melakukan komparasi data dengan tim pengumpul fakta
orang hilang atau tim ante mortem yang datanya diperoleh dari laporan keluarga.
Berdasarkan komparasi pemeriksaan masing masing tim bila terdapat tiga macam
primary identifiers, pemilihan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan yang
bersifat: cepat, akurat, efektif terutama dalam hal ekonomis.

Dalam skema Gambar 7, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang berbeda, karena pemeriksaan

38
DNA, baik nukleus maupun mitokondria dalam pelaksanaannya tetap memerlukan
waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitif. Sebaliknya
pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun
hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi.

Syarat identifikasi dikatakan tepat, yaitu menentukan identitas seseorang


secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah didukung
minimal salah satu primary identifiers positif, atau didukung dengan minimal dua
secondary identifiers positif.

Berdasarkan pemeriksaan korban bencana massal tersebut penulis mengambil


kesimpulan bahwa prioritas pemeriksaan primer berdasarkan jenis kasus (Gambar 9).
Pada korban pesawat terbakar maka terdapat keutuhan jaringan penyangga karena
sifat organ dan jaringan yang terbakar adalah akan membuat jaringan tersbeut
mengkerut dan menyusut dari segi volume. Hal tersebut menyebabkan gigi sebagai
penanda identifikasi primer masih dapat terjaga keutuhannya dibandingkan pada
jenazah yang tenggelam. Dengan demikian rekam gigi merupakan prioritas
pemeriksaan utama (prioritas 1) yang harus dilakukan sebelum melakukan
pemeriksaan sekunder baik medis, properti dan fotografi. Sebaliknya pada korban
kapal yang tenggelam terdapat ketidakutuhan jaringan penyangga, semakin lama
terpapar media pembusukan pada udara dan air mempengaruhi kerusakan jaringan
tubuh termasuk jaringan penyangga pada gigi. Hal tersebut menyebabkan rekam gigi
tidak dapat dijadikan prioritas utama proses identifikasi (memiliki prioritas ) karena
mutlak harus dilakukan pemeriksaan sekunder sebagai bahan identifikasi dengan
prioritas yang sama, pemeriksaan primer tidak dapat diprioritaskan. Apabila
pemeriksaan sekunder yang seharusnya dapat dijadikan bahan untuk mengidentifikasi
individu dianggap meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan DNA sebagai prioritas
berikutnya.

39
Gambar 8. Hasil Prioritas Identifikasi Jenazah pada Korban Tenggelam dan Pesawat
terbakar

40
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Perbedaan dua kejadian bencana massal menunjukkan karakter yang


berbeda terutama keadaan kondisi jenazah, proses pemeriksaan jenazah sehingga
mempengaruhi keberhasilan identifikasi jenazah. Kondisi utama jenazah yang
semakin tidak utuh akan semakin mempersulit proses identifikasi jenazah,
sehingga mempengaruhi keberhasilan penentuan identitas seorang individu. Pada
jenazah terbakar dengan keadaan gigi geligi yang masih relatif baik maka
pemeriksaan primer lebih dititik beratkan pada pemeriksaan gigi dibandingkan
dengan pemeriksaan primer lain seperti sidik jari namun tetap dikombinasikan
dengan pemeriksaan pendukung sekunder. Pada jenazah yang tenggelam dengan
pembusukan lanjut keadaan gigi tidak memungkinkan digunakan sebagai bahan
prioritas identifikasi sehingga harus menggunakan kombinasi pemeriksaan
sekunder. Sebagai tindak lanjut disarankan data identitas penduduk tidak hanya
tergantung pada kartu sidik jari melainkan mulai untuk digalakkan kepemilikan
kartu identitas yang memuat data rekam gigi atau bila memungkinkan data DNA.

5.2 Saran

41
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai bagian tubuh atau jaringan
tubuh lain yang dapat digunakan untuk proses identifikasi forensic di masa yang
akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Averkari EL. 2013. Progress in Challenges in Forensic Odontology, Faculty of


Dentistry. University of Indonesia: Jakarta.

Blau S. The Role of Forensik Anthropology in Disaster Victim Identification : A Brief


Overview dalam DVI Workshop Bandung 25-27 November 2006.

Bregman, A. 1995. Laboratory Investigation in Cell and Molecular Biology. John


Wiley and Son. USA. p 41.

Griffiths, Miller, Suzuki, Leontin, Gelbart. 1996. An Introduction to Genetic Analysis.


USA: W. H. Freeman and Company.

Idris A.M. 1997. Identifikasi pada Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, edisi
pertama. Jakarta: Binarupa Aksara. pp.31-52.

Jain. Nitul. 2013. Textbooks of Forensic Odontolgy. 1st edition. India:JAYPEE


BROTHER. pp. 2;3;11;33-6

Kartika Ratna Pertiwi dan EvyYulianti. 2011. Pengembangan Modul Pengayaan OSN
SMP Materi Forensik. Laporan Penelitian. FMIPA UNY.

Kartika Ratna Pertiwi dan Paramita Cahyaningrum. 2012. Hereditas Manusia Buku
Satu. Buku ajar mata kuliah Genetika. Jurdik Biologi FMIPA UNY.

42
Leden Marpaung. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Cetakan Ke-3.
Jakarta: Sinar Grafika.

Luftig, M. A. and Richey S. 2000. DNA and Forensic Science. New England Law
Review .Vol. 35:3.

Lukman D. 2006. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik. Jilid 1. Jakarta: Sagung
Seto. pp.1-2, 5-6, 45-6

Marks, D.B., Marks, A.D., Smith, C.M. 1996. Basic Medical Biochemistry. Williams
& Wilkins. Baltimore.

Prawestiningtyas, Eriko, dan Agus M.A. 2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan


Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban
Pada Dua Kasus Bencana Massal. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol.25(2), pp.87-94.

Rai B, Kaur J. 2013. Evidence-Based Forensic Dentistry. Heidelberg: Springer. pp.1-


2, 6.

Saparwoko E. DVI in Indonesia : An overview, dalam DVI Workshop Bandung 25-27


November 2006.

Senn DR, Stinson PG. 2010. Forensic Dentistry. 2ndEdition. USA: Taylor & Francis
Group. p.4.

Supardi. 2002. Sidik Jari dan Peranannya Dalam Mengungkap Suatu Tindak Pidana.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Yeni W. Hartati, Iman P. Maksum. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa
Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik.
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian.
Tidak dipublikasi.

43

Anda mungkin juga menyukai