Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

INTUBASI ENDOTRAKEAL

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Syarat Kepanitraan Klinik Bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

KAUTSAR AKBAR

20164011032

Diajukan kepada

Dr. Totok Kristiyono Sp.An., M.Kes

BAGIAN ILMU ANESTESI

RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

INTUBASI ENDOTRAKEAL

Telah dipresentasikan pada tanggal

Desember 2016

Oleh

KAUTSAR AKBAR

20164011032

Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Kepanitraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Totok Kristiyono Sp.An., M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul INTUBASI
ENDOTRAKEAL. Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Anestesi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penulisan referat ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. dr. Totok Kristiyono, Sp.An., selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu
Anestesi sekaligus pembimbing jurnal reading di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo
yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai
selesainya penulisan jurnal reading ini.
2. dr. Agung dan dr. Hendra, selaku dokter Residen Anastesi di RSUD KRT Setjonegoro
yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai
selesainya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Bedah.
3. Seluruh perawat, tenaga medis lainnya dan staf di Instalasi Bedah Sentral (IBS) yang
telah berkenan membantu berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Bedah.
4. Ayah dan Ibu masing-masing dari kami yang telah mencurahkan kasih sayang yang tiada
henti bagi kami dan telah memberikan dukungan financial dalam penyelesaian presus ini.
5. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam selesainya
penulisan presus ini.

Semoga pengalaman dalam membuat referat ini dapat memberikan hikmah bagi semua
pihak. Mengingat penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan
referat selanjutnya.
Wonosobo, Desember 2016

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang


dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas.
Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting
dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang
sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1
18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 0,35% pasien
tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan
sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien
sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 10 pasien yang memiliki
anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat
berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian.

Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh yang
berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu
bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-
obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas
berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan nafas adalah dengan
melakukan tindakan intubasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saluran Nafas Atas

Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas


menghantarkan udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam
volume, tekanan, kelembaban, suhu dan keberhasilan yang cukup untuk menjamin suatu
kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga menjamin proses
eliminasi karbon dioksida yang optimal, yang diangkut ke alveoli lewat aliran darah.
Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari jaringan
erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara, mengatur volume
dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan berbagai aktivitas penyesuaian
udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban udara). Beberapa daerah hidung dimana
jalan napas menyempit dapat diibaratkan sebagai katup. Pada bagian vestibulum
hidung, terdapat dua penyempitan demikian. Penyempitan yang lebih anterior terletak
diantara aspek posterior kartilago lateralis superior dengan septum nasi. Tiap deviasi
septum nasi pada daerah ini sering kali makin menyempitkan jalan napas dengan akibat
gejala-gejala sumbatan jalan napas. Deviasi demikian dapat disebabkan trauma atau
pertumbuhan yang tidak teratur. Penyempitan kedua terletak pada aperture piriformis
tulang. Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung yaitu
sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (didinginkan) mendekati
suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak
di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Nasofaring
meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole. Orofaring meluas dari
batas palatum mole sampai batas epiglottis, sedangkan di bawah epiglottis adalah
laringofaring atau hipofaring. Nasofaring meluas dari dasar tengkorak pada langit-langit
lunak di aspek caudal dari atlas (C1). Dari sini pada aspek caudal dari C3 terletak
orofaring, yang didepan batas adalah persimpangan antara dua pertiga anterior
dan sepertiga posterior lidah. laryngopharyng atau hipofaring bergabung pada C6
dengan esofagus. Di sana, cricopharyngeus (serat lebih rendah inferior pembatas), berasal
pada krikoid yang tulang rawan, mengelilingi esofagus untuk membentuk sfingter atasnya.
Pada anestesi pasien, fungsi yang sama adalah dengan menekan cincin krikoid terhadap
C6 (Sellick manuver).

B. Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung
distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing
ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.

C. Tujuan Intubasi

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea.

Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :

a. Mempermudah pemberian anesthesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan


kelancaran pernapasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak


sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut

D. Indikasi dan kontraindikasi Intubasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran


udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang
tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke
bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas,
Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap
aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan


menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa
orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal
biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung
meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk
intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko
terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak
memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal
intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas,
makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari
pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang
ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit
dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan
intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi,
menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko
tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.

E. Kesulitan Intubasi

Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti


riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas.
Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong,
gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan
lidah.

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja


Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi
prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk menggunakan
analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan
gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang
diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor lain yang digunakan
untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :

Lidah besar
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Mandibula menonjol
Maksila atau gigi depan menonjol
Mobilitas leher terbatas
Pertumbuhan gigi tidak lengkap
Langit-langit mulut sempit
Pembukaan mulut kecil
Anafilaksis saluran napas
Arthritis dan ankilosis cervical
Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre
Robin (micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid
macroglossia,Gondok)
Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar
abses, retropharyngeal abses,epiglottitis)
Massa pada mediastinum
Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus
Jaringan parut luka bakar atau radiasi
Trauma dan hematoma
Tumor dan kista
Benda asing pada jalan napas
Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah
dan kepala, Kumis, jenggot
Nasogastrik tube
Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

F. Persiapan intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alatalat dan


memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di
tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya
dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala
pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah
ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga
melibatkan preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen
100 %.

Persiapan alat untuk intubasi antara lain:

Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara
langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar,
dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.


b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu
pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk
penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak
kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat,
sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah
lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-
anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau


melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila
penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya
pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan
nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.

Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.


Tabel Pipa Trakea dan peruntukannya (Endotracheal Tube (Breathing Tube))

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + umur (tahun)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.
yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif
untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur
radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan
ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea
yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima
glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong,
karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh
karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa
balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan
di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar
tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai
laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak
langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara
lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic.

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa
balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai
karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu
besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak
besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon
tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya


dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4
timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.

Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya


perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi
diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu
memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan
diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.

Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal
airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menyumbat jalan napas.

Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus
plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.

Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.

Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
G. Cara Intubasi

Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop


dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga


tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal
tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan
jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan
plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,


dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama.
Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi
endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tandatanda berupa suara nafas kanan
berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret lebih
banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini,
pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi
ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadangkadang keluar cairan lambung,
dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan car yang
sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan,
seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih pisau
yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif manajemen
saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan jet
ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung
yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang.
Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi
dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke
dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin.
Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus
ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat
di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya
harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT
melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan
adanya resiko masuk ke intrakranial.

I. Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik


anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang
cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari
tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten,
menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan
ventilasi mekanik, dan sebagainya.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat


dibagi menjadi :

Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki
laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang


didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung
mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.


Faktor yang berhubungan dengan anesthesia

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi


krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya
komplikasi selama tatalaksana jalan napas.

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien
dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian
yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan


ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan
intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat
dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi.
Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak.

Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam


keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot- intubation (CVCI).
Tabel Komplikasi pada ETT
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuannya adalah
pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas
buatan secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara adekuat,
mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien,


sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali
dipertahankan. Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah
dengan intubasi. Sehingga teknik intubasi harus dikuasai dengan benar dari mulai indikasi
sampai dengan komplikasi-komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 .
Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997
2. Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,
Jakarta:EGC,1765.
3. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, BagianA
nestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.25
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGr
awHill Companies, Inc.2006, p. 9806.
5. Gail Hendrickson, RN, BS., (2002),
Intubation,http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html3)
6. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
7. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicine diagnosis and treatment. 10
th ed. Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612
8. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective
study. Anaesthesia. 1987;42:487-490
9. Suyama H, Tsuno S, Takeyoshi S. The clinical usefulness of predicting
difficult endotracheal intubation. Masui. 1999;48:37-41
10. McAllistor JD, Gnauck KA. Rapid sequence induction of the pediatric patient:
Fundamentals of practice. Pediatr Clin North Am. 1999;46:1249-1284
11. Anestesia dan Critical Care volume 24,Penerbit Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia,Bandung,2006
12. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at:http://www.suru.com/endo.htm. Accessed:
8thJuly 2012 GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric
airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741
13. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai