Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum usaha peternakan ayam di Indonesia masih sering dihambat

oleh berbagai kendala salah satu di antaranya adalah kejadian penyakit menular

seperti Avian Influenza (AI), Newcastle Disease (ND), dan Infectious Bursal

Disease (IBD) (Kencana, 2012).

Newcastle disease (ND) merupakan penyakit menular yang sangat

merugikan peternak ayam. Di Indonesia penyakit ND dikenal pula dengan sebutan

penyakit tetelo, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan istilah penyakit gerubug.

Kejadian penyakit bersifat akut sampai kronis, dapat menyerang semua jenis

unggas terutama ayam, baik ayam ras maupun ayam bukan ras (buras). Oleh

karena itu kasus ND merupakan ancaman serius bagi industri peternakan di

Indonesia (Santhia, 2003; Tabbu, 2000).

Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam kelompok Avian

paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae (Alexander,1990). Berdasarkan

patogenesisnya, virus ND dikelompokkan ke dalam 4 galur, yaitu: velogenik

(keganasan paling tinggi), mesogenik(keganasan sedang), lentogenik (keganasan

paling rendah) dan asimtomatik enterik (sama sekali tidak ganas) (Beard dan

Hanson ,1984). Sifat keganasan tersebut ternyata memiliki hubungan dengan

struktur antigen virus ND (Millar dan Emmerson,1988).


Virus ND mempunyai sifat dapat mengaglutinasi eritrosit ayam, ini terjadi

akibat suatu protein yang terdapat pada selubung virus yang di sebut

hemaglutinin. Terbentuknya hemaglutinin disebabkan oleh terjadinya ikatan

antara hemaglutinin virus ND dengan reseptor sel, yaitu mukoprotein yang

terdapat pada permukaan eritrosit (Fenner et al.,1993).

Obat yang efektif untuk mengatasi infeksi virus ND belum ada. Tindakan

utama yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya penyakit tersebut dengan

melakukan vaksinasi dan manajemen pemeliharaan ayam. Penggunaan vaksin

aktif dan inaktif telah secara luas diterapkan di bidang peternakan unggas

(Wibowo et al., 2009).

Sejauh ini program pencegahan penyakit ND sudah cukup intensif

dilakukan namun jenis vaksin yang baik belum dapat di tentukan.Pada penelitian

ini vaksinasi ND akan di kombinasikan dengan vaksin IB dan EDS. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam melalukan vaksinasi

pada ayam petelur dengan hasil yang efektif dalam pencegahan penyakit ND.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu:

Bagaimana titer antibodi yang terbentuk pada ayam petelur pasca vaksinasi

dengan vaksin kombinasi ND-IB-EDS?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui titer antibodi yang terbentuk pada ayam petelur pasca

vaksinasi dengan vaksin kombinasi ND-IB-EDS.

1.4 Manfaat Penelitian


Memberikan pengetahuan mengenai titer antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi

dengan vaksin kombinasi ND-IB-EDS.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Petelur

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus

untuk diambil telurnya (BAPPENAS (2008:1)). Ayam petelur yang sekarang kita

kenal adalah strain ayam yang mampu bertelur sebanyak 300 butir lebih per

tahunnya. Ayam-ayam itu pada dasarnya ayam ras yang merupakan ayam hasil

perkawinan silang (silang dalam maupun silang luar) antara bangsa berbagai

bangsa ayam hutan. Ayam hutan merah (Galus-galus bankiva), ayam hutan ceton

(Galus lafayetti), ayam hutan abu-abu (Galus soneratti), dan ayam hutan hijau

(Galus varius, Galus javanicus), (Abidin, 2003).

2.2 Newcastle Diseaes

Newcastle disease (ND) merupakan penyakit menular yang sangat merugikan

peternak ayam. Di Indonesia penyakit ND dikenal pula dengan sebutan penyakit

tetelo, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan istilah penyakit gerubug. Kejadian

penyakit bersifat akut sampai kronis, dapat menyerang semua jenis unggas

terutama ayam, baik ayam ras maupun ayam bukan ras (buras). Oleh karena itu

kasus ND merupakan ancaman serius bagi industri peternakan di Indonesia

(Santhia, 2003; Tabbu, 2000). Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang

saluran pernafasan dan pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus

paramyxovirus (Alexander, 1997). Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di

Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat ini penyakit bersifat endemik di
seluruh wilayah Indonesia.Menurut derajat keganasannya, penyakit ND terdiri

dari 3 macam, yaitu velogenik, mesogenik dan lentogenik (USDA, 2013).

Perubahan patologi anatomi yang patognomonis pada penyakit ND ditandai

dengan ptechie pada proventikulus, ventrikulus, usus, seka tonsil, trakea, dan

paru-paru (Kencana dan Kardena, 2011). Teknologi vaksin telah dikuasai oleh

BBalitvet, seperti vaksin ND peroral pada ayam buras di Indonesia (Ronoharjo et

al,. 1988a; Darminto,et al,. 1989; Ronoharjo et al., 1992). Salah satu cara untuk

pencegahan penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan

vaksinasi. Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme penyebab

penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan,

mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit,

melainkan dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap

agen penyakit tersebut (Tizard,1988). Saat ini telah tersedia beberapa jenis vaksin

diantara vaksin kombinasi yaitu vaksin tripel ND, IB, dan EDS.

2.3 Infectious Bronchitis

IB merupakan penyakit saluran pernafasan atas dan urogenital pada

ayam yang bersifat akut dan menular (King dan Cavanagh, 1991). Serangan

virus IB sangat merugikan karena dapat menyebabkan kematian dengan

tingkat mortalitas 1030% pada anak ayam berumur kurang dari tiga minggu

(Hofstad, 1984), dan ditandai dengan gejala pernafasan seperti sesak nafas,

bersin-bersin, serta ngorok. Ayam berumur di atas enam minggu yang

terserang virus IB dapat menyebabkan pertumbuhan badan terhambat


(Davelaar et al., 1986) , sedangkan pada ayam petelur dewasa yang terserang

virus IB 60% dalam kurun waktu 67 minggu dan selalu disertai dengan

penurunan mutu telur berupa bentuk telur tak teratur, kerabang telur lunak

dan albumin cair (Hofstad, 1984; Davelaar et al., 1986; Muneer et al., 1986;

Chubb, 1988). Penyakit IB disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam

famili Coronaviridae dan hanya memiliki satu genus, yaitu Coronavirus

(Murphy dan Kinsbury, 1990). Penyakit IB dijumpai pertamakali di North

Dakota pada tahun 1930, yang dilaporkan oleh Schalk dan Hawn (1931).

Setelah itu penyakit IB terjadi diseluruh dunia tanpa dipengaruhi oleh musim

dan perbedaan iklim (Cunningham, 1970). Temperatur yang rendah dapat

mendukung terjadinya peningkatan kematian pada ayam-ayam yang terserang

IB (Cumming, 1972). Pada peternakan ayam komersial masih sering terjadi

kasus IB dalam flok ayam yang telah divaksin IB, hal ini dikarenakan vaksin

IB yang digunakan tidak memberikan cukup proteksi untuk serotipe virus IB

lapang yang bersifat heterologus (Darminto, 1995).

2.4 Egg Drop Syndrome

Egg Drop Syndrome 1976 (EDS-76) merupakan penyakit menular pada ayam

yang ditandai dengan penurunan produksi dan kualitas telur sehingga kerugian

ekonomi yang diakibatkan sangat besar. Penyebab EDS-76 adalah Avian

adenovirus dari family Adenoviridae. Materi genetik virus tersusun atas DNA

dengan berat molekul 28,9 kD dan terdiri dari 13 struktur polipeptida. Adenovirus

mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah ungags, tetapi tidak dapat

mengaglutinasi sel darah merah mamalia (Rasool et al., 2005). Penyakit EDS
menyerang organ saluran urogenitalis ayam sehingga menyebabkan terjadinya

gangguan pada saluran reproduksi yang ditandai dengan penurunan produksi telur

(Kencana, 2012). Penyakit ini mempunyai gejala yang sangat mirip dengan IB

yaitu penurunan produksi dan kualitas telur yang jelek(Charles, 2000) , hanya

gejala pernafasan pada IB tidak ditemukan pada EDS 76. Tindakan yang paling

efektif untuk mencegah terjadinya penurunan produksi telur adalah dengan

melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin inaktif.

2.5 Vaksin ND-IB-EDS

Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin Sanavac ND-

IB-EDS. Vaksin ini mengandung virus ND inaktif strain, Infectious Bronchitis

strain H52 dan EDS (Sanbio, 2015). Vaksin ini di berikan pada ayam petelur

umur 14 minggu, vaksinasi di lakukan melalui injeksi intramuskular.

Gambar 1.1 Vakasin Sanavac


2.6 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini menggunakan sampel serum darah ayam petelur ber-

umur 14 minggu saat di vaksinasi kombinasi ND-IB-EDS. Namun peneliti

memerlukan sampel serum darah pra vaksinasi dan pascavaksinasi. Pengambilan

serum di lakukan secara berkala setiap minggu selama 4x penngambilan . Faktor

internal dan faktor ekternal sangat berpengaruh pada titer antibodi yang di amati.

Pengambilan Vaksin Pengambilan


serum serum
ND-IB-EDS Pascavaksin
Pravaksin
Faktor
Faktor Internal :
Eksternal :
1. Maternal
Ayam 1. Pakan dan
Antibodi
minum
2. Status Imun
Petelur 2. Program
3. Umur
Vaksinasi
4. Ras
3. Manajemen
5. Berat badan
pemeliharaan
Pengamatan
Titer Antibodi
EDS Ayam
Petelur

Gambar 1.2 Kerangka Konsep

3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat disusun hipotesis :

1. Pemberian vaksin ND yang diberikan bersama dengan vaksin ND-IB-EDS

akan membentuk titer antibodi yang protektif dan tidak mempengaruhi

efektivitas vaksin ND maupun IB dan EDS.

2. Vaksinasi kombinasi ND-IB-EDS tidak mempengaruhi titer protektivitas EDS.


BAB III

MATERI DAN METODE


3.1 Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan vaksin polivalen ND-IB-EDS (Sanavac ND

IB-EDS) (PT.Sanbio Laboratories, Bogor). Ayam petelur jenis ISA Brown berumur

14 minggu pada peternakan Mitra PT. Sanbio di Desa Pekraman Munduk Paku,

Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Sampel berupa serum diambil sebanyak 4 kali pengambilan: Pengambilan

sampel serum 1 minggu pra vaksinasi (saat ayam berumur 14 minggu) dan

selanjutnya pengambilan serum 3 kali pasca vaksin berturutturut setiap minggu.

3.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya : alkohol

70%, kapas, vaksin kombinasi (polivalen) ND-IB-EDS, serum ayam petelur,

darah ayam, EDTA, larutan PBS, dan Antigen ND.

3.3 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : spuit 3ml, cool

box, sentrifuge, tabung reaksi, besker glass, tabung ukur, pipet, mikroplate V,

mikropipet, mikrotip, dan mikrodiluter.

3.4 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan perlakuan ayam divaksinasi

dengan kombinasi ND-IB-EDS, kemudian titer antibodi terhadap ND diukur

masing-masing pada pra vaksinasi dan pasca vaksinasi (setiap minggu sebanyak 3
kali). Titer antibodi AI pra dan pasca vaksinasi masing-masing dibandingkan.

Setiap pengambilan sampel, diambil sebanyak 15 sampel.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel bebas : Titer antibodi.

Variabel terikat : Manajemen pemeliharaan, pakan dan minum, program

vaksinasi, dosis vaksin, jenis vaksin, dan setiap

pengambilan sampel, diambil sebanyak 15 sampel.

Variabel kendali : Maternal antibodi, status imun, umur, ras dan berat badan.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Vaksinasi

Vaksinasi dilakukan dengan cara injeksi intramuskuler (im) pada otot paha.

3.6.2 Pengambilan Darah

Ayam di restrain posisi dorsal recumbency. Darah diambil dari vena

auricularis (vena daerah sayap) menggunakan spuite 3 mL. Daerah tempat

pengambilan darah didesinfeksi dengan alkohol 70% kemudian darah diambil

sebanyak 1 mL, dan di dalam spuite diberi ruang sampai 3 mL. Spuite diletakkan

secara horizontal selama 1 jam pada suhu ruangan, kemudian diinkubasikan

selama 18 jam pada suhu 4oC.

3.6.3 Pemisahan Serum

Darah dalam refrigator dikeluarkan, kemudian serum dipisahkan dari

bekuan darah. Serum ditampung pada tabung eppendorf. Serum disentrifugasi


dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit dan serum ditampung dengan

tabung yang lain dan disimpan pada suhu -18oC, sampai digunakan.

3.6.4 Pembuatan Suspensi Eritrosit 1%

. Darah ayam diambil sebanyak 3 mL dengan menggunakan spuite volume 3

mL yang telah diisi antikoagulan EDTA sebanyak 2,5 mL. Sel darah merah dicuci

dengan cara menambahkan 5 mL Phospate Buffered Saline (PBS) ke dalam

larutan darah lalu dihomogenkan perlahan-lahan agar sel darah merah tidak rusak,

kemudian disentrifuse selama 10 menit kecepatan 2500 rotation per minute (rpm).

Setelah itu, buffy coat dan supernatan dipisahkan dari endapan sel darah

merah. Pencucian dan pemisahan sel darah merah dilakukan sebanyak tiga kali

dengan cara: endapan sel darah merah diencerkan sampai dengan 1% dalam

larutan PBS.

3.6.5 Uji Hemaglutinasi/HA

Uji hemaglutinasi dengan teknik mikrotiter diawali dengan penambahan

masing-masing 0,025 mL PBS ke dalam setiap sumuran plat mikro bentuk U

dengan menggunakan mikropipet. Sebanyak 0,025 mL suspensi antigen ND

ditambahkan ke dalam sumuran pertama plat mikro. Pengenceran seri

berkelipatan dua dilakukan mulai dari sumuran ke-1 sampai ke-11 dengan

menggunakan mikropipet dan dari sumuran nomor 11 ini suspensi dibuang

sebanyak 0,025 mL. Selanjutnya sebanyak 0,025 mL PBS ditambahkan ke dalam

setiap sumuran plat mikro. Sebanyak 0,025 mL sel darah merah unggas 1%

ditambahkan ke dalam setiap sumuran plat mikro lalu digoyang-goyangkan


dengan menggunakan pengayak mikro selama 15 detik. Plat mikro kemudian

dibiarkan pada suhu ruang selama 30 menit.

Reaksi positif pada uji HA ditandai dengan adanya bentukan butiran seperti

pasir pada sumuran plat mikro akibat dari reaksi haemaglutinasi. Pembacaan titer

HA dilakukan dengan cara memiringkan plat mikro pada kemiringan 45 derajat

dan penentuan titer HA dilihat dari pengenceran antigen tertinggi yang masih

dapat menghaemaglutinasi sel darah merah. Sebelum diidentifikasi lebih lanjut

dalam uji hambatan hemaglutinasi/HI, suspensi virus diencerkan terlebih dahulu

menjadi 4 unit HA yang selanjutnya digunakan pada uji HI.

3.6.6 Uji Hambatan Hemaglutinasi/HI

Sebanyak 0,025 mL PBS dimasukkan ke dalam setiap sumuran plat mikro.

Sumuran pertama diisi dengan 0,025 mL serum lalu diencerkan secara berseri

kelipatan dua mulai dari kelipatan 2(dua) yaitu 2, 4, 8, 16, sampai pengenceran

2048 dengan pengencer mikro. Masing-masing sumuran plat mikro ditambah

dengan 0,025 mL suspensi antigen ND 4 unit HA mulai dari sumuran ke-1 sampai

sumuran ke-11. Plat mikro selanjutnya diayak selama 15 detik dengan

menggunakan mikroshaker kemudian dibiarkan pada suhu ruang selama 30 menit.

Suspensi sel darah merah 1% selanjutnya ditambahkan ke dalam sumuran ke-1

sampai ke-12 masing-masing sebanyak 0,025 mL lalu diayak kembali selama 15

detik. Plat mikro kemudian biarkan selama 30 menit pada suhu kamar sambil

diamati reaksinya.

Pembacaan hasil uji HI dilakukan apabila pada sumuran nomor 11 sudah

tampak adanya aglutinasi eritrosit dan pada sumuran nomor 12 terlihat endapan
eritrosit. Titer HI dibaca dengan cara memiringkan plat mikro 45 derajat dan

melihat ada atau tidaknya endapan sel darah merah yang turun (tear-shaped)

sebagai tanda uji HI positif. Titer HI ditentukan dengan cara melihat pengenceran

tertinggi dari serum yang masih mampu menghambat aglutinasi eritrosit 1 %

(OIE, 2012).

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh di analisis secara statistik menggunakan piranti lunak

SPSS 17 for windows.

3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Virologi dan Patologi Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana, pada bulan Februari 2016. Penelitian

lapangan dilakukan pada peternakan milik mitra PT. Sanbio, yang berlokasi di

Desa Pekraman Munduk Paku, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten

Tabanan.

Anda mungkin juga menyukai