Anda di halaman 1dari 3

TUGU baru Simpang Lima Kota Banda baru saja diresmikan.

Kehadirannya banyak memunculkan


interpretasi tentang konsep dan bentuk desain tugu yang dibangun. Ada yang mengagumi,
mempertanyakan dan ada juga yang menyatakan ketidakpahaman akan desain tersebut secara
terang-terangan. Respons yang variatif seperti itu adalah wajar, mengingat memang belum semua
masyarakat sepenuhnya paham mengenai konsep desain Tugu Simpang Lima yang sebenarnya.

Bukan sedikit yang berpikir bahwa tugu tersebut sekadar asal jadi dan malah dituding meniru
bentuk-bentuk tertentu. Namun berapa banyak yang tahu bahwa sebenarnya proses desain tugu
tersebut menghabiskan waktu yang tidak singkat dan atas dasar riset, dengar pendapat dan
diskursus yang disandarkan pada disiplin keilmuan yang berkompeten di bidangnya. Intinya, desain
yang sederhana ini tercipta melalui proses panjang, yang justru tidak sederhana.

Ada empat konsep dasar yang dielaborasi dalam pengembangan desain Tugu Simpang Lima Banda
Aceh, antara lain: Konteks lokasi, isu desain, karakter desain dan budaya perusahaan Bank Bukopin.
Mengapa Bank Bukopin? Karena tugu ini direvitalisasi oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan
Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh.

Proses perencanaan
Yang pertama adalah konteks lokasi. Dalam proses perencanaan, kondisi eksisting kawasan
perencanaan dan konteks lokasi menjadi hal penting yang dipertimbangkan dalam proses desain ini.
Tugu Simpang Lima Banda Aceh merupakan satu landmark yang terletak pusat kota yang memiliki
sejarah dan memori sebagai tempat yang sering dijadikan lokasi penyampaian aspirasi dan
demonstrasi.

Pada konteks lokasi, ada empat eksplorasi konsep yang diterapkan pada desain, antara lain: axis-
oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark Kota Banda Aceh. Sesuai
namanya, lokasi tugu ini memiliki lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu: Jalan
Tgk HM Daud Beureuh, Jalan T Panglima Polem, Jalan Sri Ratu Safiatuddin, Jalan Diponegoro, dan
Jalan T Angkasa Bendahara. Aksis ini direspons dengan menciptakan bentuk tugu yang berorientasi
menghadap kelima aksis (sumbu) jalan yang ada pada sekitar kawasan.

Konsep urban oase diterjemahkan dengan menghadirkan lansekap taman kecil dan Kolam Air
Mancur sebagai elemen pendukung untuk memberi nilai lebih terhadap tugu. Keberadaan taman
dan Kolam Air Mancur tersebut diharapkan mampu berkontribusi untuk mengendalikan iklim mikro
dalam menurunkan suhu di sekitar tugu.

Kemudian, konsep multi-purposes sculpture diterjemahkan melalui penciptaan bentuk tugu yang
bukan hanya mengedepan estetika saja, namun juga aspek yang fungsional. Sesuai dengan latar
belakang konteks lokasi tugu sebagai tempat yang sering dijadikan lokasi penyampaian aspirasi dan
demonstrasi, maka desain tugu yang baru ini justru memberi ruang yang lebih nyaman untuk itu.

Semakin hari kota akan semakin berkembang menyesuaikan diri. Identitas kota dapat
dipertahankan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa perkembangan kota bisa melahirkan
identitas baru. Kehadiran tugu baru ini diharapkan tetap bisa menjadi penanda kota (landmark)
menggantikan tugu yang lama.

Isu desain
Konsep dasar desain yang kedua adalah isu desain. Isu desain yang diangkat dalam desain ini adalah
isu-isu kekinian yang berhubungan dengan lokalitas, identitas, dan karakter Kota Banda Aceh saat
ini. Ide awal perencanaan tugu ini diambil dari bentuk Pintoe Aceh, sesuai dengan permintaan Ibu
Wali Kota Banda Aceh. Bentuk yang ditransformasikan adalah setengah Pintoe Aceh yang kemudian
dieksplorasi melalui beberapa proses dengan memasukkan nilai-nilai dari konsep kota madani.

Tugu tersebut berjumlah lima pilar utama yang merujuk pada lima Rukun Islam. Pilar tersebut
berbentuk setengah Pintoe Aceh yang menjulang ke atas. Bentuk Pintoe Aceh akan terlihat secara
abstrak dari view tertentu. Beberapa menilai bahwa tugu ini bentuknya asimetris. Padahal
ketidaksimetrisan itu disengaja sebagai bagian dari desain yang dinamis; agar visualisasi yang
tercipta lebih kaya dan beragam jika dilihat dari berbagai sudut di Simpang Lima itu sendiri.

Belum lagi ada yang mengait-ngaitkan bentuk tugu dengan lambang partai politik tertentu. Padahal
tudingan tersebut sama sekali tidak relevan. Betapa banyak hal yang menunjukkan kemiripan di
dunia ini meskipun tidak ada kaitannya sama sekali, misalnya bentuk bulan sabit yang sering
dijadikan logo organisasi, lambang negara dan sebagainya dengan tujuan dan makna masing-masing.
Adalah sebuah kemustahilan pula mengaitkan proses desain dan pembangunan tugu ini dengan
negosiasi pada partai politik tertentu. Kalau memang benar melibatkan partai politik tertentu, pasti
pihak Bank Bukopin dan pemerintah kota akan langsung menolak mentah-mentah ide dan konsep
desain tugu tersebut.

Satu prinsip kota madani yang diterjemahkan dalam desain tugu ini adalah konsep hablum-minallah
dan hablum-minannas. Konsep ini diterjemahkan dengan mentranformasikan bentuk yang
mengerucut ke atas (vertikal) sebagai simbol hablum-minallah. Sedangkan konsep hablum-minannas
sendiri diterjemahkan melalui bentuk kaki tugu, yang jika terlihat dari atas akan membentuk sebuah
transformasi rangkulan yang berkesinambungan dan tidak berujung.

Asmaul husna yang diterapkan pada konsep awal memiliki filosofi sebagai jembatan atau media
menyatukan konsep hablum-minannas menuju hablum-minallah. Ini memiliki filosofi bahwa, jika
warga kota saling bahu membahu dan saling bekerja sama dalam membangun Kota Banda Aceh
dengan mengikat diri pada konsep hablum-minallah, maka visi isi kota madani akan tercapai.

Mengenai perubahan konsep asmaul husna menjadi ornamen Pintoe Aceh, Wali Kota Banda Aceh
Illiza Saaduddin Djamal sudah menjelaskan bahwa setelah melakukan audiensi dengan MPU, para
ulama tidak setuju dengan dibuatkannya tulisan asmaul husna tersebut. Menurut para ulama, Tugu
Simpang Lima merupakan pusat demonstrasi masyarakat kota, sedangkan tulisan asmaul husna
merupakan tulisan yang sangat sakral. Oleh sebab itu, tidaklah sesuai disandingkan dengan berbagai
aksi demonstrasi tersebut.

Identitas kota
Desain ini juga memasukkan unsur identitas kota Banda Aceh. Hal ini dinisbatkan pada Hari Jadi Kota
Banda Aceh, 22 April, di mana hari jadi sebuah kota adalah sesuatu yang memorable bagi setiap
masyarakat kotanya. 22 Buah jumlah lampu taman adalah bermakna tanggal jadinya Kota Banda
Aceh, sedangkan 4 tingkatan tugu ini bermakna bulan jadinya Kota Banda Aceh (April).

Bentuk tugu didesain ikonik dan estetis dengan konsep bentuk modern dan dinamis sebagai etalase
penada kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa tugu ini
tidak didesain untuk sekadar menjadi sculpture atau landmark kota, namun juga fungsional sebagai
ruang publik kota. Desain Tugu Simpang Lima ini diharapkan mampu menggambarkan nilai seni,
filosofi, karakter, dan cita-cita yang mencerminkan keberadaan, dinamika, dan orientasi futuristik,
baik bagi wilayah maupun warga kotanya, dengan mempertimbangkan keharmonisan dengan
konteks lokasi kawasan.
Tugu Simpang Lima ini direvitalisasi oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan Pemerintah Kota Banda
Aceh. Oleh karena itu salah satu konsep yang di transformasikan dalam desain adalah 3 dari 5
budaya Perusahaan Bukopin: respect others, excellent, dan dedicated to customers. Ketiga budaya
tersebut diterjemahkan dengan menghadirkan desain yang respek terhadap kebutuhan masyarakat
kota, memberi nilai tambah bagi lingkungan sekitar, dan berkontribusi terhadap perkembangan Kota
Banda Aceh. Pada setiap ujung tugu juga akan dipasang kamera CCTV.

Anda mungkin juga menyukai