Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun

HIV umunnya menginfeksi limfosit T helper (Th) atau CD4, sehingga jumlahnya akan
turun seiring berjalannya waktu. Selainnya jumlah dari limfosit T helper yang akan berkurang,
fungsinya pun akan semakin menurun. Limfosit T helper memiliki peranan utama sebagai
pengatur sistem imunitas tubuh. Limfosit T helper akan merangsang baik sistem imun selular
maupun humoral bila teraktivasi antigen. Namun jika terjadi infeksi dari HIV maka respon
imunitas tubuh tidak akan bekerja secara normal, terutama sistem imun selular.

Abnormalitas pada Imunitas Selular

Jika tubuh terserang oleh parasit, jamur, ataupun bakteri intraseluler maka sebagai
respon, tubuh akan mengeluarkan respon imunitas seluler atau yang biasa disebut Cell
Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini diperankan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T
Lymphocyte) yang diaktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Selain itu sel NK
(Natural Killer) akan membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas yang dibungkus oleh
antibodi. Namun, mekanisme ini tidak berjalan secara normal karena infeksi dari HIV. Pada
sel Th jumlah serta fungsinya akan mengalami penurunan. Secara umum penyakit-penyakit
indikator AIDS tidak akan muncul sebelum CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagaian baru
muncul setelah CD4 mencapai 100/uL. Pengaruh HIV terhadap makrofag adalah menurunkan
fungsi fagositosis dan kemotaksisnya, serta kemampuannya menghancurkan organisme
intraseluler seperti Candida albicans dan Toksoplasma gondii. Kemampuan sel T sitotoksik
untuk menghancurkan sel yang terserang oleh virus menjadi berkurang, terutama pada infeksi
virus stadium lanjut. Sehingga dapat terjadi aktivasi berulang dari virus yang bersifat laten
seperti Herpes zoster dan retinitis sitomegalo.

Abnormalitas pada Imunitas Humoral

Imunitas humoral merupakan imunitas sistem imunitas dengan cara pembentukan


antibodi oleh sel plasma yang berasal dari sel Limfosit B. Biasanya antibodi terbentuk akibat
rangsangan dari sitokin yang dilepaskan oleh sel Limfosit CD4. Antibodi diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui
proses opsonisasi.

Infeksi HIV menyebabkan terjadinya stimulasi sel Limfosit B secara poliklonal dan
bersifat non-spesifik,sehingga dapat terjadi hipergammaglobulinemia terutama pada antibodi
IgA dan IgG. Walaupun sel Limfosit B menghasilkan lebih banyak immunoglobulin, pada
orang ODHA immunoglobulin tersebut tidak memberikan respon yang tepat. Selain itu, terjadi
perubahan dari jenis antibodi, dari antibodi IgM menjadi antibodi IgG dan IgA. Hal ini
menyebabkan infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi lebih berat. Respon antibodi pasca
vaksinasi jenis antigen protein atau polisakarida menjadi sangat lemah, seperti vaksinasi
Hepatitis B, influenza, pneumokokus, dan lain-lain.

Kategori Klinis dari Infeksi HIV

Kategori A : terdiri dari satu atau lebih kondisi yang ada di bawah pada remaja dan dewasa
(>13 tahun) yang terbukti terinfeksi HIV. Kondisi yang terdapat pada kategori B dan C tidak
boleh terjadi.

Infeksi HIV asimptomatik


Limfadenopati generalisata persisten
Infeksi HIV akut (primer) dengan gejala penyerta atau adanya riwayat Infeksi HIV akut

Kategori B : terdiri dari beberapa kondisi pada remaja atau dewasa dengan infeksi HIV yang
tidak termasuk kategori C.

Bacillary angimatosis
Candidiasis, oropharyngeal (thrust)
Candidiasis, vulvovaginal, persisten, respon buruk terhadap terapi
Cervical dysplasia (sedang atau berat)/ cervical carcinoma in situ
Gejala kosntitual, seperti demam (38,50C) atau diare kronik > 1 bulan
Hairy leukoplakia, oral
Herpes zoster, melibatkan kurang lebih 2 episode terpisah atau mengenai lebih dari
satu dermatom
Idiophatic thrombocytopenic purpura
Listerosis
Pelvic inflammatory disease
Peripheral neurophaty

Kategori C : kondisi yang tertera pada the AIDS surveillance definition.

Candidiasis pada bronkus, trakea, atau paru


Candidiasis pada esofageal
Kanker serviks invasif
Coccidioidomycosis, diseminata atau ekstrapulmonal
Cryptococcosis, ekstrapulmonal
Cryptosporoidiosis, kronik
Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
Herpes simplex ulkus kronik
Histoplasmosis
Isosporiasis
Sarkoma kaposi
Lymphoma, burkitts
Mikobakterium tuberkulosis, paru atau ekstraparu
Pneumonia berulang
Wasting syndrome karena HIV
Toxoplasma pada otak
Dan lain-lain

Gambaran Morfologi dari HIV

Gambaran yang ditunjukan dari mikroskop elektorn menunjukan HIV berbentuk


ikosahedral. HIV juga terdiri dari beberapa tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein
major, eksternal gp120 dan transmembran gp41. HIV merupakan virus RNA.
Gambar 2.1 A. Gambaran HIV melalui mikroskop elektron. B. Struktur dari HIV-1

Siklus Replikasi dari HIV

HIV merupakan virus RNA yang menggunakan enzim reverse transcriptase untuk
mengubah genomic RNA-nya menjadi DNA. Proses repilikasi diawali dengan pengikatan
protein gp120 milik HIV dengan reseptor dari permukaan sel CD4. Sel limfosit CD4 memiliki
dua koreseptor utama untuk HIV-1 yaitu CCR5 dan CXCR4. Saat HIV berikatan dengan sel
CD4, maka molekul gp120 akan bergabung dengan sel membran dari sel target dan gp41 akan
melakukan penetrasi molekul sehingga inti virus dapat masuk kedalam sel. RNA HIV akan
diolah oleh enzim reverse transcriptase sehingga berubah menjadi DNA linier yang tak terikat.
DNA ini akan masuk kedalam inti sel dan bergabung dengan DNA sel, sehingga DNA virus
dapat membuat salinan genom RNA dirinya. Setelah replikasi dirasa cukup RNA sel akan
keluar dan menjadikan membran sel host sebagai envelope dirinya.
Gambar 1.2 Siklus Replikasi dari HIV

Transmisi

Transmisi Melalui Hubungan Seksual

Infeksi HIV sebagaian besar ditularkan melalui hubungan seksual. Di Amerikas Serikat
pada tahun 2005, kurang lebih 49% kasus HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seksual
antara laki-laki dengan laki-laki. Di dunia, terutama negara berkembang, secara umum
HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seksual hetero. Virus HIV ditemukan pada cairan
seminal serta cairan vagina dan pemeriksaan cervical smear. Terdapat hubungan yang
bermakna antara penularan HIV dengan melakukan hubungan seksual melalui anal secara
berulang. Hal ini terjadi karena saat melakukan hubungan seksual melalui anal maka akan
terdapat luka dan terpapar oleh darah serta adanya sel langerhans pada lapisan mukosa yang
tidak mengalami trauma. Walaupun mukosa vaginal pada servikal beberapa kali lebih tebal
dibanding lapisan mukosa pada anal, telah terbukti bahwa hubungan seksual melalui vaginal
juga dapat menularkan HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai