Oleh: Hafidah
1. Pengertian Drama
Drama merupakan karya sastra yang di tulis dalam bentuk
percakapan atau dialog yang dipertunjukkan oleh tokoh di atas pentas di
hadapan para penonton. Drama adalah karya sastra yang bertujuan untuk
menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi
melalui lakuan dan dialog. Drama memiliki beberapa ciri, diantaranya:
1. Berbentuk dialog
2. Ada pelakunya
3. Untuk dipentaskan
4. Ada penontonnya
2. Unsur Intrinsik Drama
1. Tema
Tema adalah ide dasar atau pijakan pokok penggambaran cerita.
Tema drama yang baik harus berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga dipahami benar oleh penulis dan mudah
diterima oleh pembaca naskah drama atau penonton pertunjukan drama.
Tema dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot melalui tokoh-
tokohnya. Tema digali oleh pengarang melalui renungan mendalam atas
pengalaman jiwanya, kemudian dituangkan dalam dialog-dialog yang
tepat dan kuat. . Tema drama misalnya tentang kehidupan,
persahabatan, kesedihan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Ada tiga jenis tokoh bila dilihat dari sisi keterlibatannya dalam
menggerakan alur, yaitu:
1. Tokoh sentral merupakan tokoh yang amat potensial menggerakan
alur. Tokoh sentral merupakan pusat cerita, penyebab munculnya konflik.
2. Tokoh bawahan merupakan tokoh yang tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap prkembangan alur, walaupun ia terlibat juga
dalam pengembangan alur itu.
3. Tokoh latar merupakan tokoh yang sama sekali tidak berpengaruh
terhadap pengembangan alur. Kehadirannya hanyalah sebagai pelengkap
latar, berfungsi menghidupkan latar.
Secara keseluruhan tokoh terdiri atas sepuluh ragam, yaitu
1. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita,
tokoh dibagi menjadi:
1. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian.
2. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sedikit dalam
cerita atau tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak
langsung dan hanya tampil menjadi latar belakang cerita.
2. Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi:
1. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu
jenisnya disebut hero. Ia merupakan tokoh yang taat norma-norma, nilai-
nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiantoro 2004:
178). Identifikasi tokoh yang demikian merupakan empati dari pembaca.
2. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik atau sering
disebut sebagai tokoh jahat. Tokoh ini juga mungkin diberi simpati oleh
pembaca jika dipandang dari kaca mata si penjahat itu, sehingga
memperoleh banyak kesempatan untuk menyampaikan visinya, walaupun
secara vaktual dibenci oleh masyarakat.
3. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi:
1. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu atau sifat watak yang tertentu saja, bersifat datar dan
monoton.
2. Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik
buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi, ada perkembangan yang
terjadi pada tokoh ini.
4. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-
tokoh cerita, tokoh dibedakan menjadi:
1. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat
adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd & Lewis, dalam buku
Teori Pengkajian Fiksi 1994: 188).
2. Tokoh berkembang adalah tokoh yang cenderung akan menjadi
tokoh yang kompleks. Hal itu disebabkan adanya berbagai perubahan dan
perkembangan sikap, watak dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali
dapat terungkapkannya berbagi sisi kejiwaannya.
5. Bedasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
sekelompok manusia dalam kehidupan nyata, tokoh cerita dapat
dibedakan menjadi:
1. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih ditonjolkan kualitas kebangsaannya atau
pekerjaannya Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiantoro 2002: 190) atau
sesuatu yang lain yang bersifat mewakili.
2. Tokoh netral adalah tokoh yang bereksistensi dalam cerita itu
sendiri. Ia merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi
dalam dunia fiksi.
Penokohan adalah pemilihan nama tokoh, watak, dan peran yang
ditampilkan. Penokohan harus sesuai dengan tema, amanat, latar
penceritaan agar tidak terkesan janggal. Sebagai proyeksi realita,
penokohan dan perwatakan hendaklah wajar dan alamiah. Watak tokoh
dapat dibaca melalui gerak-gerik, suara, jenis kalimat, dan ungkapan
yang digunakan. Juga dapat dilihat pada dialog, tingkah laku, cara
berpakaian, jalan pikiran, atau ketika tokoh itu berhubungan dengan
tokoh-tokoh lainnya.
3. Dialog
Dialog adalah percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam
drama. Dialog dapat melancarkan cerita atau lakon dan mencerminkan
pikiran tokoh cerita. Dialog berfungsi menghubungkan tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain dan berfungsi dalam menggerakan cerita dan
melihat watak atau kepribadian tokoh cerita tersebut. Dialog dapat
disebut sebagai nyawa cerita dan dialog yang terlalu panjang, tidak jelas,
tanpa ekspresi, hafalan dan kata-katanya kurang berisi, jelas akan
merusak drama. Kekuatan kata, vokal, dan ekspresi sangat penting. Oleh
sebab itu, dialog dalam drama harus memenuhi dua tuntutan penting,
yaitu dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya, dan dialog yang
diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-
hari.
Selain dialog, dalam drama juga dikenal istilah monolog (adegan
sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang
diri; pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri), prolog (pembukaan
atau pengantar naskah yang berisi keterangan atau pendapat pengarang
tentang cerita yang akan disajikan), dan epilog (bagian penutup pada
karya sastra yang fungsinya menyampaikan intisari atau kesimpulan
pengarang mengenai cerita yang disajikan).
4. Plot/alur
Plot/alur adalah rangkaian peristiwa dalam konflik yang dijalin
dengan saksama dan menggerakan jalan cerita. Sebuah alur cerita juga
harus menggambarkan jalannya cerita dari awal (pengenalan) sampai
akhir (penyelesaian). Alur cerita terjalin dari rangkaian ketiga unsur,
yaitu dialog, petunjuk laku, dan latar/setting. Jalan cerita lebih menarik
apabila tidak bisa ditebak sebelumnya oleh pembaca atau penonton,
sehingga mereka mengikutinya sampai selesai.
Dalam alur terdapat bagian terpenting, yaitu klimaks atau puncak
ketegangan konflik. Klimaks harus tajam, agar misi drama tercapai.
Drama yang datar tidak menarik. Adapun bagian-bagian plot (unsur
pembentuk alur) drama sebagai berikut:
1. Eksposisi (pelukisan awal), yaitu bagian cerita yang bertujuan
memperkenalkan cerita, tokoh, dan latar drama agar penonton
memperoleh gambaran drama yang ditontonnya.
2. Konflik, yaitu keadaan di mana tokoh terlibat dalam suatu pokok
permasalahan. Pada bagian inilah awal mula terjadinya insiden
pertikaian.
3. Komplikasi (pertikaian), yaitu bagian cerita yang mengisahkan
persoalan baru sebagai akibat konflik antartokoh.
4. Klimaks (puncak ketegangan), yaitu peristiwa puncak atau puncak
konflik.
5. peleraian, yaitu tahap peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukan
perkembangan lakuan kearah selesaian.
6. Penyelesaian (happy ending/akhir bahagia, sad ending/ akhir
sedih), yaitu tahap akhir suatu cerita.
Ada dua penyelesaian dalam alur cerita yaitu terbuka dan
tertutup. Selesaian terbuka diserahkan kepada penonton. Dan selesaian
tertutup adalah selesaian yang diberikan oleh pengarang/sastrawan.
Dilihat dari urutan peristiwanya alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
alur maju (progresif), alur mundur (regresif), dan alur
gabungan/campuran (progresif-regresif). Namun, dalam alur sebuah
naskah drama bukan permasalahan maju-mundurnya sebuah ceita seperti
yang dimaksudkan dalam karangan prosa, tetapi alur yang membimbing
cerita dari awal hingga tuntas. Jadi, sudah pasti alur dalam drama itu
adalah alur maju. Dalam alur, juga dikenal istilah sekuen. Sekuen yaitu
ringkasan yang di buat pada bagian cerita. Hal ini dapat terjadi pada saat
ada perubahan, seperti perubahan waktu, perubahan tempat, perubahan
cerita, dan lain sebagainya.
5. Latar/setting
Latar/setting adalah keterangan atau gambaran tentang
tempat/ruang, waktu, dan suasana berlangsungnya peristiwa dalam
drama. Latar drama sesuai dengan jalan cerita dan dipilih yang mudah
dipentaskan agar tetap sepeti latar aslinya. Latar memberikan pijakan
cerita dan kesan realistis kepada pembaca untuk menciptakan suasana
tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro,
1995:17). Kualitas latar drama perlu didukung oleh benda-benda atau
perabot dan bahasa yang digunakan.
6. Petunjuk Laku
Petunjuk laku atau catatan pinggir berisi penjelasan kepada
pembaca atau para pendukung pementasan mengenai keadaan, suasana,
peristiwa, atau perbuatan, tokoh, dan unsur-unsur cerita lainnya.
Petunjuk laku sangat diperlukan dalam naskah drama. Petunjuk laku
berisi petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana, pentas, suara,
keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, dan
sebagainya. Petunjuk laku ini biasanya ditulis dengan menggunakan huruf
yang dicetak miring atau huruf besar semua. Di dalam dialog, petunjuk
laku ditulis dengan cara diberi tanda kurung di depan dan di belakang
kata atau kalimat yang menjadi petunjuk laku.
7. Amanat
Amanat/pesan adalah ajaran moral/pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca/penonton melalui karyanya. Amanat
merupakan nilai implisit dalam cerita yang harus di cari penonton.
Amanat dalam drama bisa diungkapkan secara langsung (tersurat) dan
bisa juga tidak langsung atau memerlukan pemahaman lebih lanjut
(tersirat). Drama yang baik hendaknya mengandung pesan kemanusiaan,
sehingga mampu mengembalikan manusia kepada sifat-sifat kebaikannya.
1) Nilai Sosial-budaya
Nilai sosial-budaya adalah nilai yang berkaitan dengan norma yang
ada di dalam masyarakat. Nilai sosial-budaya ini berhubungan dengan
nilai peradaban kita sebagai manusia. Karena budaya mempunyai makna
pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
yang sukar di ubah, dan sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah
berkembang/ beradab/ maju, maka nilai-nilainya pun berkembang sesuai
dengan masalah-masalah yang terjadi pada manusia.
2) Nilai Moral
Nilai moral adalah nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi
pekerti/susila atau baik buruk tingkah laku.
3) Nilai Agama/religius
Nilai agama/religius adalah nilai yang berkaitan dengan
tuntutan beragama.
4) Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi adalah nilai yang berkaitan dengan
perekonomian.
CONTOH ANALISIS DRAMA
"SEPASANG MERPATI TUA"
KARYA: BAKTI SOEMANTO
Para pelaku:
1. Nenek
2. Kakek
Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang
tua. Di atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di
atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak
tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang
terdapat pintu dan jendela.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-
sebentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu
hari menjelang malam.
1. Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun.
Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-
gadis yang suka memandang. Hmmm(Mengambil cangkir, lalu
meminumnya)
2. Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
3. Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam
begini?
4. Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil
baca Koran.
5. Nenek : Mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
6. Kakek : Agar komplit, Bu
7. Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun
lampau. Tapi sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat
belaka.
8. Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke
sofa, membuka lembarannya)
9. Nenek : Mengapa tidak duduk di sini?
10. Kakek : Sebentar.
11. Nenek : Ada berita rahasia
12. Kakek : Rahasia?
13. Nenek : Habis kau baca Koran kenapa menyendiri?
14. Kakek : Malu.
15. Nenek : Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
16. Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah
tua kenapa pacaran terus.
17. Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya,
lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
18. Kakek : Gila. Malah demonstrasi.
19. Nenek : Sekali waktu memang perlu.
20. Kakek : Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
21. Nenek : Kukira justru!
22. Kakek : Duilah apa-apaan ini.
23. Nenek : Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
24. Kakek : Siapa mengira kita sudah cerai?
25. Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita.
(Berdiri, pergi ke kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam
angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
26. Kakek : Bagus!
27. Nenek : apa maksudmu?
28. Kakek : Tindakan terpuji, itu namanya.
29. Nenek : He, apa sih maksudmu, pak?
30. Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
31. Nenek : Huhuhu (Menangis)
32. Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
33. Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini.
Siapa aku ini? Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut
dapat malu toh. Huhuhu
34. Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru
memuji tindakanmu yang berani.
35. Nenek : (Tiba-tiba berhenti menangis). Berani? Aku pemberani?
36. Kakek : Ya, kau pantas disejajarkan dengan ibu kita Kartini.
37. Nenek : Ibu Tin?
38. Kakek : Bukan, bukan bu tin, Ibu kita Kartini.
39. Nenek : Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin,
kan. Apa salahnya?
40. Kakek : Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan
main semberono dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable.
41. Nenek : Ah, laga profesormu kumat lagi, pak?
42. Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
43. Nenek : Dan kandas.
44. Kakek : Belum. O, malah sudah berhasil. Cuma tunggu pengakuan.
45. Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak
mengajar di perguruan tinggi maupun di dunia ini.
46. Kakek : Secara formal memang tidak. Secara material ia.
47. Nenek : Hah, bagaimana mungkin?
48. Kakek : Kau lihat, banyak mahasiswa yang dating kemari, bukan?
Tidak hanya itu, malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka
mengajak diskusi aku, segala macam soal. Dari soal-soal tata
pemerintahan sampai bagaimana mengatasi kesepian.
49. Nenek : Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti
dikatakan diskusi?
50. Kakek : Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak
pake omong, he?
51. Nenek : Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi
diplomat ulung saja
52. Kakek : Aku kurang senang jadi diplomat.
53. Nenek : Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
54. Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri.
(Nenek termenung tiba tiba)
55. Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau
kepingin aku jadi diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi
keelamatan perkawinan kita.
56. Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana
posku? Negara-negara Barat? Timur? Asia? Atau PBB?
57. Nenek : Ya, PBB saja.
58. Kakek : Tapi (Lalu duduk di sofa termenung)
59. Nenek : Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih
jadi ketua sidang, lantas kelak jadi sekretaris jenderal (Kakek geleng
kepala)
60. Nenek : Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja?
(Kakek memandang nenek)
61. Nenek : Tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat.
Tuhan Cuma diam saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau
sudah terlaksana. Sedang rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap
bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau
ajak Tuhan berdiskusi? (Kakek geleng kepala)
62. Nenek : Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik
kita tercinta di PBB (Kakek geleng kepala)
63. Nenek : Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak.
64. Kakek : Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong
jembatan saja.
65. Nenek : Ah, gila. Itu pekerjaan gila.
66. Kakek : Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos maupun di dunia
ini. Tapi pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan
mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku
menyatakan diri. Maka aku menyediakan diri untuk mewakili
pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
67. Nenek : Tapi kau akan terhina
68. Kakek : Selama kedudukan adalah diplomat, dimanapun
ditempatkan sama saja terhinanya, sama saja mulianya.
69. Nenek : Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
70. Kakek : Kau balum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos
dimanapun juga.
71. Nenek : Kau sudah tidak waras.
72. Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang
pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-
orang di kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup baik-baik.
Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-
sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat
saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil
yang bisa membujuk.
73. Nenek : Ah... bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya
teman-teman. Bagaimana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan.
74. Kakek : Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi
nanti. Tapi kau tidak usah khawatir, kalau kau datang arisan yang lima
ribuan, dan kau ditanya orang-orang apa pekerjaanku jawab saja
diplomat, titik. Kolong jembatannya tidak usah disebut. Kalau kau dating
ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada salahnya kalau kau ngomong
diplomat kolong jembatan
75. Nenek : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di
mana posnya?
76. Kakek : Ah (memegangi kepalanya). Begini, diplomat bagian
sosial hebat toh?
77. Nenek : Masak ada diplomat sosial?
78. Kakek : Kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau
pintar main lidah, beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong,
ada diplomasi SPP, diplomasi macam-macam saja ada.
79. Nenek : Ah, susah aku tak ingin kau jadi diploamat, Pak.
80. Kakek : Tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu.
(Nenek termenung)
81. Kakek : (Memandang Nenek). Susah
82. Nenek : Siapa?
83. Kakek : Kita semua
84. Nenek : Termasuk para penonton itu?
85. Kakek : Ya.
86. Nenek : Kenapa?
87. Kakek : Karena kita hidup
88. Nenek : Mengapa begitu?
89. Kakek : Orang hidup punya beban sendiri. (pergi mengambil teko,
menuang kopi, lalu meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka
stoples lalu memakan makanannya)
90. Nenek : Seorang diplomat harus tahu aturan.
91. Kakek : Apa maksudmu?
92. Nenek : Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat Timur.
93. Kakek : Sudah nyopot dari pekerjaan.
94. Nenek : Mau pindah pekerjaan?
95. Kakek : Ya.
96. Nenek : Apa?
97. Kakek : Teknokrat.
98. Nenek : Gila.
99. Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang.
100. Nenek : Ekonomi?
101. Kakek : Bukan.
102. Nenek : Politik?
103. Kakek : Bukan.
104. Nenek : Militer?
105. Kakek : Bukan.
106. Nenek : Lalu apa?
107. Kakek : Bidang persampahan.
108. Nenek : Apa?
109. Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab
adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya
selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu.
Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya (Nenek
termenung)
110. Kakek : Kau tidak senang?
111. Nenek : Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
112. Kakek : Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-
kenyataan.
113. Nenek : Mengapa?
114. Kakek : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya.
115. Kakek : Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis.
116. Nenek : Ah, makin pusing mendengarkan bicaramu
117. Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir
perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu.
Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi.
Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan
teori yang tidak kita pahami sendirikeutuhan manusia sudah dikerdilkan.
Hubungan seks tinggal bernilai nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika,
atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga hidup kita didoktrinkan ini tidak
bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu
Sofokles, Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita didoktrinkan ini tidak
bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu
Sofokles, Aristoteles, Albesepkan. Juga hidup kita didoktrinkan ini tidak
bisa. Akibatnya, kita tenggelam pada ukuran-ukuran mini. Kita rindu
Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan kembali di sini. Citra
manusia yang terpancar dari karya-karya mereka harus dipancarkan
kembali di sini.
118. Nenek : Suamiku Suamiku Suamiku Sudahlah.
119. Kakek : Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya,
manusia harus.
120. Nenek : Sudahlah (Menuntun ke sofa)
121. Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati
disiplin mati itu doktrin-doktrin itu harus harus.
122. Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi.
Kalau kau terlalu semangat begitu.
123. Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-
konsep tetapi dengan merangsangnya dengan menggoncangkan jiwanya
agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia
bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
124. Nenek : (Terseduh)
125. Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa
kau menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri.
126. Nenek : Kau masih hidup?
127. Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh
doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku
menghayati hidupku sendiri.
128. Nenek : Tetapi kau berbicara, kau bernapas.
129. Kakek : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
130. Nenek : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.
131. Kakek : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.
132. Nenek : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku
belum mengerti.
133. Kakek : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup
kau mengikuti doktrin-doktrin itu.
134. Nenek : Bagaimana seharusnya, Sayangku?
135. Kakek : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!
136. Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak.
(Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
137. Nenek : Sudah larut tengah malam.
138. Kakek : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.
139. Nenek : Kita akan menjadi segar kembali
140. Kakek : Dan tambah tua (Nenek termenung. Kakek termenung)
141. Nenek : Kapan kita mati?
142. Kakek : Entah. Tapi kita harus siap-siap
143. Nenek : Sungguh ngeri!
144. Kakek : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
145. Nenek : Aku takut
146. Kakek : Aku juga (Terdengar lonceng jam dinding dua belas
kali)
147. Nenek : Dua belas kali
148. Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
149. Kakek : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
150. Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas
kali, mestinya bunyi lagi satu kali, begitu kan?
151. Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-
kebiasaan, ukuran- ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok.
152. Nenek : Bagaimana cara kita mengerti?
153. Kakek : Itulah soalnya.
(Layar turun, lampu mati)
a. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto,
yaitu Keinginan/ harapan Untuk Meraih Kesejahteraan Hidup.
Hal ini dibuktikan dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi seorang
diplomat yang diberi pos di kolong jembatan demi membujuk para
penghuni kolong jembatan agar mau memperbaiki hidup/nasib mereka
dengan mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri
sendiri. Serta keinginan Kakek untuk menjadi seorang Teknokrat dalam
bidang sampah-sampah demi menghindari terjadinya banjir akibat dari
menumpuknya sampah-sampah si selokan.
Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai
ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di
kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha
mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi
untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa
membujuk.
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab
adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya
selokan-selokan itu. Kau lihat jalan-jalan yang sering tergenang air itu.
Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya
3) Dialog
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun.
Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-
gadis yang suka memandang. Hmmm(Mengambil cangkir, lalu
meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam
begini?
Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil
baca Koran.
Nenek : Mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?
Kakek : Agar komplit, Bu
.
Kutipan di atas disebut dialog karena percakapan itu minimal dilakukan
oleh dua orang. Kutipan teks drama di atas dapat disebut sebagai dialog
karena diucapkan secara bergantian oleh tokoh Nenek dan Kakek.
4. Alur
Alur dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini
adalah:
1) Eksposisi (pelukisan awal)
2) Konflik
3) Komplikasi (pertikaian)
Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu
sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya
rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita
sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati.
Nenek : Suamiku Suamiku Suamiku Sudahlah.
Kakek : Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya, manusia
harus.
Nenek : Sudahlah (Menuntun ke sofa)
Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin
mati itu doktrin-doktrin itu harus harus.
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau
kau terlalu semangat begitu.
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep
tetapi dengan merangsangnya dengan menggoncangkan jiwanya agar
tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia
bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek : (Terseduh)
Cerita mencapai puncaknya pada saat Kakek berbicara dengan
penuh semangat hingga ia tidak dapat mengontrol bicaranya sendiri yang
membuat penyakit napasnya kambuh kembali. Peringatan Nenek tidak
didengarnya karena semangatnya tersebut. Karena semangatnya yang
terlalu berlebihan, hingga membuatnya rebah dan membuat Nenek
menjerit dan menangis.
5) Peleraian
6) Penyelesaian
5) Latar/setting
Latar dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto
ini terbagi tiga dua jenis, yaitu:
1) Latar Tempat
a) Ruangan tengah rumah, tempat Kakek dan Nenek duduk berbincang-
bincang.
Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang
orang tua.
b) Sofa, tempat Kakek duduk membaca Koran dan tempat Nenek
menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek.
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke
sofa, membuka lembarannya) dan pada kutipan
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu
menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
c) Meja makan, tempat Nenek mengambil cangkir dan tempat Kakek
mengambil panganan dari toples.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun.
Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-
gadis yang suka memandang. Hmmm(Mengambil cangkir, lalu
meminumnya) dan pada kutipan
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang suami. Kakek membuka
stoples lalu memakan makanannya)
d) Kursi, tempat Nenek duduk setelah bangkit dari sofa.
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita.
(Berdiri, pergi ke kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam
angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
2) Latar Waktu
a) Menjelang malam hari, waktu Kakek dan Nenek berbincang-bincang.
Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-
sebentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat
itu hari menjelang malam.
b) Empat puluh tahun yang telah lampau, waktu Kakek menjadi juru
tulis.
Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun
lampau. Tapi sekarang, kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
c) Delapan puluh tahun, waktu Nenek menjalani kehidupan.
Nenek : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum
mengerti.
d) Jam 12 malam, waktu Kakek dan Nenek tersadar bahwa waktu telah
larut.
Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak.
(Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
Nenek : Sudah larut tengah malam.
3) Latar Suasana
a. Jengkel, perasaan Nenek kepada Kakek karena selalu bersolek
dengan memakai kopiah ketika membaca koran.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun.
Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-
gadis yang suka memandang. Hmmm(Mengambil cangkir, lalu
meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam
begini?
Kakek : Tidak ke mana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca
Koran.
b. Romantis, suasana ketika Nenek duduk di samping Kakek sambil
menyandarkan kepalanya ke bahu kakek sebelah kiri.
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu
menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
c. Mengolok-olok, suasana ketika Kakek berbicara kepada Nenek hingga
membuatnya menangis.
Kakek : Tindakan terpuji, itu namanya.
Nenek : He, apa sih maksudmu, pak?
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Huhuhu (Menangis)
Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa
aku ini? Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat
malu toh. Huhuhu
d. Sedih, suasana hati Nenek ketika diolok-olok oleh Kakek dan suasana
hatinya ketika Kakek rebah tah berdaya.
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Huhuhu (Menangis).
Dan pada kutipan:
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep
tetapi dengan merangsangnya dengan menggoncangkan jiwanya agar
tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia
bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek : (Terseduh)
e. Menghibur, tindakan Kakek untuk membuat Nenek berhenti
menangis.
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru
memuji tindakanmu yang berani.
f. Percaya diri, sikap Kakek ketika ia menyatakan diri ingin menjadi
profesor, diplomat, dan teknokrat.
Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Kakek : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku?
Negara-negara Barat? Timur? Asia? Atau PBB?
Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang.
g. Ikhlas, sikap Kakek ketika menerima saran Nenek untuk menjadi
diplomat demi menyelamatkan perkawinan mereka.
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau
kepingin aku jadi diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi
keelamatan perkawinan kita.
h. Termenung, sikap Nenek ketika mendengar pembicaraan Kakek dan
sikap Kakek ketika mendengar pembicaraan Nenek.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri.
(Nenek termenung tiba tiba)
Kakek : Tapi (Lalu duduk di sofa termenung)
i. Berdebat, sikap Nenek dan Kakek yang memperdebatkan jabatan
menjadi profesor, diplomat, dan teknokrat.
j. Sadar, suasana ketika Nenek dan Kakek tersadar bahwa apa yang
telah mereka perdebatkan hanyalah hayalan semata.
Nenek : Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?
k. Menegangkan, suasana ketika Kakek berbicara dengan penuh
semangat hingga membuatnya rebah tak berdaya yang membuat Nenek
menjerit dan menangis.
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep
tetapi dengan merangsangnya dengan menggoncangkan jiwanya agar
tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia
bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru (Kakek rebah, Nenek
menjerit)
Nenek : (Terseduh)
l. Bangkit, keadaan Kakek setelah terbangun dari rebahannya.
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau
menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri.
m. Mengerikan, suasana hati Nenek ketika mengingat kematian.
Nenek : Kapan kita mati?
Kakek : Entah. Tapi kita harus siap-siap
Nenek : Sungguh ngeri!
n. Menakutkan, suasana hati Nenek dan kakek ketika mengingat
kematian.
Kakek : Memang. Tapi itulah kenyataannya.
Nenek : Aku takut
Kakek : Aku juga (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
o. Aneh, suasana hati Nenek ketika mendengar suara jam dinding
berbunyi dua belas kali untuk yang kedua kalinya.
Nenek : Dua belas kali
Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
p. Bingung, suasana hati Nenek yang tidak paham dengan arti
kehidupan yang dijelaskan oleh Kakek.
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-
kebiasaan, ukuran- ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok.
Nenek : Bagaimana cara kita mengerti?
Kakek : Itulah soalnya.
6. Petunjuk Laku
Petunjuk laku yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua,
yaitu diantaranya terdapat pada kutipan berikut:
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun.
Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-
gadis yang suka memandang. Hmmm(Mengambil cangkir, lalu
meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke
sofa, membuka lembarannya)
Kakek : Dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua
kenapa pacaran terus.
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu duduk disebelahnya, lalu
menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita.
(Berdiri, pergi ke kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam
angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
.
7. Amanat
Amanat dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto
ini, yaitu:
1. Jika kita memiliki ilmu, maka manfaatkanlah ilmu itu untuk
kepentingan orang banyak.
2. Jika kita menjadi seorang pemimpin, maka perhatikanlah
kepentingan masyarakat demi menciptakan kesejahteraan.
3. Jika kita memiliki jabatan tertentu, maka manfaatkanlah jabatan
tersebut dengan sebaik-baiknya demi kepentingan diri sendiri dan orang
lain.
4. Hargailah tiap jabatan yang diperoleh, bagaimana pun jenis
jabatannya.
5. Hargailah tiap kehidupan yang diperoleh, karena kehidupan yang
telah diperoleh sebelumnya tidak akan pernah kembali lagi.
b. Unsur Ekstrinsik
Nilai-nilai yang terkandung dalam drama Sepasang Merpati Tua,
karya Bakti Soemanto, yaitu:
1) Nilai sosial-budaya
Nilai sosial-budaya terletak pada niat Kakek yang ingin menjadi
diplomat kolong jembatan untuk membantu orang-orang yang tinggal di
kolong jembatan agar mau hidup baik-baik dengan berusaha untuk
mencari pekerjaan yang layak dan menimbulkan kepercayaan diri sendiri.
Juga dapat dilihat pada niat Kakek yang ingin menjadi Teknokrat di
bidang persampahan demi mencegah terjadinya banjir.
Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai
ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di
kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha
mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi
untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa
membujuk.
Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam bidang.
Kakek : Bidang persampahan.
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab
adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya
selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu.
Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya (Nenek
termenung)
2) Nilai Moral
Nilai moral teletak pada sikap Kakek yang bijaksana dalam
menanggapi segala sikap Nenek terhadapnya. Juga pada sikap Kakek yang
peduli terhadap sesama dengan memperhatikan kehidupan orang-orang
yang hidup di kolong jembatan dan niat Kakek untuk membersihkan
sampah-sampah demi mencegah terjadinya banjir yang dapat merugikan
banyak orang. Serta, teletak pada sikap Nenek yang peduli terhadap
Kakek dengan jabatan yang ingin diraihnya dan sikap pedulinya terhadap
kondisi Kakek.
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin
aku jadi diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan
perkawinan kita.
Kakek : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai
ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di
kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha
mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak
sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi
untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa
membujuk.
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab
adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya
selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu.
Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya (Nenek
termenung)
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau
kau terlalu semangat begitu.
3) Nilai Agama
Nilai agama terletak pada perkataan Nenek dengan membawa
nama Tuhan dalam menentukan jenis diplomat yang harus diambil oleh
Kakek. Serta terletak pada niat Kakek yang ingin membersihkan sampah-
sampah yang menumpuk di selokan, sebab dalam agama menyatakan
bahwa Kebersihan adalah sebagian dari iman.
Nenek : Tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan
Cuma diam saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah
terlaksana. Sedang rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan?
Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak
Tuhan berdiskusi? (Kakek geleng kepala)
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab
adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya
selokan-selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering tergenang air itu.
Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya (Nenek
termenung)
4) Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi terletak pada kehidupan Kakek dan Nenek yang
hidup sederhana dengan menikmati hidangan apa adanya, serta dengan
perabotan rumah yang mulai lusuh.
Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang
tua. Di atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di
atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak
tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang
terdapat pintu dan jendela.